Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Bali mengenal adanya dua bentuk desa, yaitu desa dinas dan desa

desa pakraman (dulu disebut desa adat). Desa dinas didefinisikan sebagai sebuah

kelompok masyarakat yang secara struktural dan teritorial berkaitan dengan tugas-

tugas pemerintah pusat.1 Sedangkan desa adat diartikan sebagai suatu kelompok

masyarakat yang menjalankan aturan pemerintahannya secara otonom, demokratis,

mencakup wilayah tertentu (hak ulayat) yang jelas batas-batasnya, memiliki

pemimpin, peraturan (awig-awig) untuk warganya, memiliki kekayaan dan secara

hirarkis tidak berada di bawah satu kekuasaan yang lebih tinggi.2

Konsep desa adat ini berawal dari penelitian L.A.Liefrinck di Bali Utara

(1886-1887) yang menyatakan desa di Bali sesungguhnya adalah sebuah republik

kecil yang memililiki hukum atau aturan adat tersendiri. Penelitian ini kemudian

diperkuat penelitian yang dilakukan V.E.Korn tentang studi hukum adat di Bali. Korn

yang menghasilkan buku Het Adatrecht van Bali (1932) menyatakan desa-desa di

Bali bersifat otonom. Dari sinilah muncul desa adat yang artinya desa yang memiliki

adat atau hukum-hukum tradisi yang menjadi pedoman masyarakat.3

                                                            
1
I Gede Parimartha, 2013, Silang Pandang Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Udayana
University Press, Denpasar, h.24
2
Ibid., h. 44
3
Ibid.

 

Perkembangan berikutnya muncul istilah otonomi desa pakraman. Otonomi

diartikan sebagai konsep bagaimana suatu daerah atau suatu kekuasaan dapat

mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri tanpa banyak dicampuri oleh pihak-

pihak luar. Otonomi sendiri berasal dari bahasa Latin, autos yang berarti sendiri dan

nomos yang berarti aturan. Jadi otonomi secara etimologis berarti mengatur sendiri.

Otonomi desa pakraman pun diartikan sebagai hak dan kewajiban untuk mengatur

dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa, dan

kemampuan sendiri.4

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman

yang diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 dengan

jelas mendefinisikan desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di

provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup

masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau

kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta

berhak mengurus rumah tangganya sendiri.

Dari definisi ini sudah sudah ditegaskan desa pakraman merupakan suatu

kesatuan masyarakat sosial religius yang bersifat otonom, berhak mengurus rumah

tangganya sendiri. Hak ini selanjutnya disebut sebagai hak tradisional masyarakat

hukum adat yang diakui dan dihormati negara seperti diatur dalam Pasal 18B ayat 2

UUD NRI 1945, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

                                                            
4
AA Gede Oka Parwata, “Memahami Awig-awig Desa Pakraman”. dalam: Ketut Sudantra
dan Oka Parwata (Ed), Wicara lan Pamidanda, Udayana University Press, Denpasar, h.52

 

hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

diatur dalam undang-undang.”

Salah satu isi dari otonomi desa pakraman adalah menetap aturan sendiri yang

berlaku bagi mereka. Kewenangan ini secara yuridis formal diatur dalam Pasal 5

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang

diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003, “Desa

Pakraman mempunyai tugas membuat awig-awig.”

Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau

banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana

sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman/banjar pakraman

masing-masing. Definisi ini ditegaskan lagi dalam Bab VII Pasal 11 dan Pasal 12

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang

diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003. Pasal 11

mengatur (1) Setiap desa pakraman menyuratkan awig-awig-nya. (2) Awig-awig desa

pakraman tidak boleh bertentangan dengan agama, Pancasila, UUD 1945, dan hak

asasi manusia. Pasal 12 mengatur (1) Awig-awig desa pakraman dibuat dan disahkan

oleh krama desa pakraman melalui paruman desa pakraman. (2) Awig-awig desa

pakraman dicatatkan di Kantor Bupati/Wali Kota masing-masing.



 

Sejak tahun 1969 ada kecenderungan desa pakraman menuliskan awig-awig-

nya dalam bentuk dan sistematika yang seragam. Tujuannya agar prajuru adat dan

generasi mendatang dapat lebih memahami isi awig-awig desanya.5

Istilah awig-awig mulai memasyarakat di Bali tahun 1986 sejak

dikeluarkannya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 tentang

Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Pakraman sebagai Kesatuan Hukum Adat

dalam Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Sebelumnya, istilah yang digunakan

bermacam-macam, antara lain pengeling-eling, paswara, geguat, awig, perarem,

gama, dresta, cara, tunggul, kerta, palakerta, dan sima.6

Proses penulisan awig-awig ini bukanlah proses kegiatan sekali jadi.

Pembuatan awig-awig tidak boleh awag-awag (sembarangan). Kalau awag-awag

menulis awig-awig desa pakraman bisa menjadi uwug (rusak).7 Ada empat tahapan

yang harus dilalui dalam pembuatan awig-awig, tahap persiapan, tahap penulisan

rancangan awig-awig, tahap sosialisasi rancangan awig-awig, dan tahap

penyelesaikan penulisan awig-awig.

Proses selanjutnya adalah penandatanganan oleh Bupati/Wali Kota. Dari 15

awig-awig yang diteliti, awig-awig Desa Adat Bondalem dan Desa Adat Penarukan

(Buleleng), Desa Adat Gebog Satak Tiga Buungan dan Desa Adat Bangklet (Bangli),

Desa Adat Bading Kayu dan Desa Adat Yeh Buah (Jembrana), Desa Pakraman

                                                            
5
Ibid., h. 54
6
Ketut Sudantra, dkk, 2011, Penuntun Penyuratan Awig-awig. Contoh Awig-awig Tertulis
Desa Pakraman Tanah Aron Kabupaten Karangasem, Udayana University Press, Denpasar, h.18
7
Ibid., h. 25

 

Gadungan (Tabanan), Desa Adat Belega (Gianyar), Desa Adat Samu dan Desa Adat

Ungasan (Badung), Desa Adat Sengkiding dan Desa Adat Jungut Batu (Klungkung),

Desa Adat Geriyana Kangin (Karangasem), serta Desa Adat Pedungan dan Desa

Pakraman Padangsambian (Denpasar) memiliki kesamaan adanya tanda tangan dan

stempel dari Bupati/ Wali Kata.

Awig-awig Desa Adar Bondalem (1987), Desa Adat Sengkiding (1987), Desa

Adat Geriyana Kangin (1988), Desa Adat Badingkayu (1994), Desa Adat Belega

(1995), dan Desa Pakraman Padangsambian (2007), menggunakan istilah Mengetahui

dan Dicatat. Awig-awig Desa Adat Jungut Batu, Desa Adat Penarukan (1985), Desa

Adat Pedungan (1986), Desa Adat Yeh Buah (1990), Desa Adat Gebog Satak Tiga

Buungan (1995), Desa Adat Bangklet (1996), Desa Pakraman Gadungan (2004),

Desa Adat Ungasan (2006), dan Desa Pakraman Samu (2011), menggunakan istilah

Murdhaning Pamikukuh atau Kapikukuhin atau Kakukuhang

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, yang menjadi rumusan masalah adalah:

1. Apa landasan yuridis dari pengukuhan awig-awig desa pakraman oleh

Bupati/Wali Kota?

2. Apa makna pengukuhan awig-awig desa pakraman oleh Bupati/Wali Kota?



 

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup penelitian berkaitan dengan latar belakang dan rumusan

masalah. Ruang lingkup masalah digunakan untuk membatasi area penelitian dan

untuk mempersempit pembahasan yang hanya pada permasalahan yang sudah

ditetapkan. Sesuai permasalahan yang sudah ditetapkan, ruang lingkupnya adalah

sejak adanya penyeragaman pembuatan awig-awig di Bali tahun 1969 dimana secara

umum awig-awig sudah memiliki standar. Fokusnya pada landasan yuridis

pengukuhan awig-awig oleh Bupati/Wali Kota dan makna dari pengukuhan ini.

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dibedakan ke dalam tujuan umum dan tujuan khusus.

1.4.1. Tujuan Umum

Upaya peneliti untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma

science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini, ilmu tidak akan

pernah berakhir untuk mencari kebenaran di bidang objek masing-masing. Dalam

penelitian ini akan mengkaji secara kritis makna pengukuhan dalam awig-awig.

1.4.2. Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui dan menganalisa landasan yuridis dari pengukuhan awig-awig

desa pakraman oleh Bupati/Wali Kota



 

2. Untuk mengetahui dan menganalisa makna pengukuhan awig-awig desa pakraman

oleh Bupati/Wali Kota

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran dalam bidang ilmu hukum khususnya konsentrasi hukum dan masyarakat

karena akan menggambarkan bagaimana hukum berlaku di masyarakat.

1.5.2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah memberi sumbangan pengetahuan

kepada masyarakat, pemerintah, dan akademisi tentang proses penyusunan awig-

awig, landasan yuridis, dan makna pengukuhan awig-awig desa pakraman oleh

Bupati/Wali Kota. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

acuan dalam penulisan awig-awig oleh desa pakraman.

1.6. Orisinalitas Penelitian

Dari beberapa penelusuran mengenai tesis yang berkaitan dengan awig-awig

maupun peran Bupati/Wali Kota, ada tiga tesis yang mengangkat tema tersebut.

Pertama, tesis “Penerapan Sanksi terhadap Pelanggaran Awig-awig Desa Adat

oleh Krama Desa di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung,

Provinsi Bali” oleh Budi Kresna Aryawan, Program Studi Magister Kenotariatan

 

Universitas Diponegoro, Semarang.8 Tesis ini membahas awig-awig di dalam desa

adat sangat diperlukan, karena di samping sebagai aturan-aturan pelaksana di dalam

wadah dari kesatuan masyarakat hukum adat di Bali berdasarkan satu kesatuan tradisi

dan tata krama pergaulan hidup yang diwariskan secara turun-temurun dan diikat oleh

falsafah Tri Hita Karana, dimana desa adat dan awig-awignya sesuai dengan fungsi

dan posisinya, akan selalu berperanan aktif dalam rangka menjaring nilai-nilai baru

dalam pembangunan sehingga keberadaanya dan penerapannya mutlak diperlukan.

Rumusan masalah yang dikemukan dalam tesis ini adalah bagaimana penerapan

sanksi awig-awig Desa Adat Mengwi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh

Krama Desa Adat Mengwi? Bagaimanakah hambatan-hambatnnya dalam penerapan

sanksi awig-awig Desa Adat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Krama Desa

Adat Mengwi?

Kedua, tesis “Awig-awig Desa Adat Tenganan Pegringsingan dan Kelestarian

Lingkungan: Sebuah Kajian tentang Tradisi dan Perubahan” yang dibuat Ida Bagus

Dharmika, Universitas Indonesia.9 Tesis ini mengupas awig-awig desa adat Tenganan

Pegringsingan dan ketaatan penduduk untuk menegakkan aturan-aturan yang

bersangkutan memungkinkan sumber daya lingkungan alam tetap terpelihara. Berkat

ketaatan penduduk dalam menjalankan aturan-aturan yang ada dalam awig-awig ini,

                                                            
8
Budi Kresna Aryawan, “Penerapan Sanksi terhadap Pelanggaran Awig-awig Desa Adat oleh
Krama Desa di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Bali” (tesis), 
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang,
http://eprints.undip.ac.id/16843/1/BUDI_KRESNA_ARYAWAN%2C_SH.pdf, diunduh 31 Mei 2014
9
Ida Bagus Dharmika, “Awig-awig Desa Adat Tenganan Pegringsingan dan Kelestarian
Lingkungan: Sebuah Kajian tentang Tradisi dan Perubahan” (tesis), Universitas Indonesia,
http://lontar.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp?id=81933&lokasi=lokal, diunduh 31 Mei 2014

 

penduduk desa Tenganan Pegringsingan memperoleh penghargaan Kalpataru untuk

kategori penyelamat lingkungan tahun 1989. Rumusan masalah yang dikemukakan

adalah mengapa pranata seperti awig-awig itu masih dipertahankan dan dilaksanakan

oleh masyarakat desa adat Tenganan sampai sekarang? Adakah perubahan-perubahan

yang terjadi baik pada tingkat peraturan-peraturan dan penafsiran maupun pada

tingkat perilaku masyarakat yang bersangkutan? Kalau ada, bagaimana perubahan-

perubahan itu?

Ketiga, tesis “Fungsi Kepala Daerah dalam Penyelenggaran Pemerintahan

Daerah sesuai dengan Prinsip-Prinsip Demokrasi” yang dibuat oleh I Nengah Suriata,

Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana tahun 2011.10 Tesis ini meneliti

apakah fungsi kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah telah

sesuai atau belum dengan norma/kaidah berlandaskan otonomi daerah serta standar

kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut prinsip-prinsip

demokrasi. Kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah otonom

mempunyai hak dan berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat, atas prakarsa dan inisiatif daerah telah sesuai dengan norma

atau kaidah yang berlandaskan otonomi daerah. Rumusan masalahnya, apakah fungsi

kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah telah sesuai dengan

kaidah atau norma-norma berlandaskan asas otonomi daerah? Apakah standar

                                                            
10
I Nengah Suriata, “Fungsi Kepala Daerah dalam Penyelenggaran Pemerintahan Daerah
sesuai dengan Prinsip-Prinsip Demokrasi” (tesis), Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Udayana, http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-380-8569029-
tesis%20i%20nengah%20suriata.pdf, diunduh 8 Juni 2014
10 
 

penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh kepala daerah menurut prinsip-prinsip

demokrasi ?

Dari ketiga rumusan masalah tesis sebelumnya ini, tidak ditemukan adanya

kesamaan dengan rumusan masalah dalam tesis ini. Tesis pertama membahas awig-

awig tetapi dalam hal penerapan sanksi. Tesis kedua membahas awig-awig tetapi

lebih ke kajian tradisi dan perubahan. Tesis ketiga tidak membahas awig-awig tetapi

membahas fungsi kepala daerah yang dikaitkan dengan otonomi daerah. Hal ini

memiliki kedekatan dengan tesis ini karena ada peran kepala daerah dalam era

otonomi. Karena tidak ada hal yang sama, maka bisa dijamin keaslian atau

orisinalitas dari penelitian ini.

1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

1.7.1. Teori Hukum Normatif karena Grundnorm

Setiap penelitian disertai pemikiran-pemikiran teoritis karena ada hubungan

timbal balik antara teori dengan kegiatan pengumpulan data, analisa, serta konstruksi

data. Penggunaan teori juga akan memperjelas fenomena yang dihadapi. Kerlinger

mengungkapkan, “a theory is a set of interrelated constructs (concept), definitions

and proposition that presents a systematic vies of a phenomena by specifying

relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the

phenomena.”

Teori-teori sebagai landasan untuk menjelaskan fenomena atau untuk

membahas permasalahan penelitian yang bertujuan mewujudkan kebenaran ilmu


11 
 

hukum melalui penelusuran. Makin banyak teori, konsep, dan asas yang berhasil

diidentifikasi untuk mendukung penelitian, makin tinggi tingkat kebenaran yang bisa

diperoleh. Alexander Peczenik mengatakan, “What is legal theory? It has many

names: general theory of law, theory of state and law, allgemeine Rechtslehre,

jurisprudence. It’s content is a mixture of legal philosophy, methodology of law,

sociology of law, logical analysis of normative concepts, some comparative law and

some study of national positive law. The didactic value of legal theory is great.”11

Selain pandangan Peczenik tentang legal theory (teori hukum), perlu juga

dipahami teori sistem hukum seperti yang dikemukakan H.L.A. Hart, “in a modern

legal system where there a variety of ‘sources’ of law, the rule of recognition is

correspondingly more complex: the criteria for identifying the law are multiple and

commonly include a written constitution, enactment by legislature, and judicial

precedents.”12

Hart juga menjelaskan pemikirannya mengenai primary rules dan secondary

rules yang merupakan pusat dari sistem hukum. Primary rules menekankan kepada

kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Ini akan ditemukan dalam

seluruh bentuk hukum (forms of law). Primary rules eksis apabila memenuhi dua

syarat, adanya suatu keteraturan perilaku dalam masyarakat dan aturan itu harus

dirasakan sebagai suatu kewajiban.

                                                            
11
Alexander Peczenik, 2001, “A Theory of Legal Doctrine”. Ratio Juris: Vol 14 No 1, USA.
12
H.L.A.Hart, 1997, The Concept of Law, Oxford University Press, New York, p.101.
12 
 

Secondary rules menekankan aturan tentang aturan (rules about rules) yang

menjelaskan kapan aturan itu dianggap sah (rules of recognition), bagaimana dan

oleh siapa dapat diubah (rules of change), dan bagaimana serta oleh siapa dapat

dikuatkan atau ditegakkan (rules of adjudication). Jika ditelaah lebih jauh, rules of

adjudication lebih efisien, sedangkan rules of change bersifat sedikit kaku dan rules

of recognition bersifat reduksionis.

Hart dalam teori sistemnya menempatkan secondary rules sebagai fokus lain

disamping primary rules dalam penguraian pikirannya. Eksistensi keduanya dinilai

penting bagi keberadaan sistem hukum. Beberapa pemikir bahkan menilai secondary

rules lebih nampak sebagai aturan sosial tentang para pejabat. Aturan sosial

memerlukan pengamatan eksternal yang konsisten, baik mengenai perilaku juga kritik

terhadap mereka yang melakukan pelanggaran. Secondary rules adalah kekuasaan

atau kemampuan tentang tatacara negosiasi dalam pembuatan undang-undang dan

apabila ada yang melebihi otoritas itu, itu bukanlah sebuah pelanggaran. Otoritas

dalam perundingan itu hanyalah norma yang menuntut pejabat untuk membatasi diri

mereka dalam otoritas tersebut.

Dari uraian tersebut, pendekatan historis sosiologis, asal hukum berkembang

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhannya untuk bekerja sama

dalam memuaskan kebutuhan fisik biologis, dan sosial. Perkembangannya dalam

masyarakat dibagi dalam dua periode, primitif dan modern.13 Di periode hukum

                                                            
13
I Dewa Gede Atmaja, 2013, Filsafat Hukum. Dimensi Tematis dan Historis, Setara Press,
Malang, h.27.
13 
 

primitif, hukum lahir dari adat istiadat yang kemudian menjadi hukum kebiasaan

(customary law). Selanjutnya di periode modern, hukum berasal dari kesepakatan

legislator menghasilkan statutary law atau state law yang bercirikan rasional dan

normatif.

Menurut J.J.H.Bruggink, teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling

berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-

putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan.14

Kerangka konseptual ini menjadi hal sangat penting dalam menjelaskan hukum. Mark

Van Hoecke mengatakan, law cannot be described without a conceptual framework.15

Kerangka konseptual ini sebagian berada di dalam hukum positif yang sedang

berlaku. Intinya adalah orang harus menyesuaikan diri dengan apa yang ditentukan.

Disinilah letak sifat normatif hukum.

Keharusan dan kewajiban menaati hukum ditentukan sescara yuridis formal

bukan karena nilai yang dikandung dalam materi hukum itu sendiri. Karenanya,

muncul istilah “yuridis normatif”. Pertanyaan yang muncul berikutnya adalah

darimana sumber pedoman yang objektif itu.

Menurut Hans Kelsen, sumber semua itu adalah grundnorm (norma dasar).

Grundnorm diartikan sebagai tatanan yang hendak diwujudkan dalam hidup bersama,

dalam hal ini negara. Kelsen menegaskan grundnorm merupakan syarat transedental

                                                            
14
Otje Salman dan Anthon Susanto, 2008, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan
Membuka Kembali), PT Refika Aditama, Bandung, h.60
15
Mark Van Hoecke, “Legal Doctrine in Crisis: Towards a European Legal Science”,
Katholieke Universiteit, Brussel
14 
 

logis bagi berlakunya seluruh tata hukum. Tata hukum positif ini harus berpedoman

secara hierarki pada grundnorm.16

Dengan konsep Stufenbau (lapisan-lapisan aturan menurut eseleon), Kelsen

mengkonstruksi pemikiran tentang tertib yuridis melalui jenjang-jenjang perundang-

undangan. Seluruh sistem perundang-undangan mempunyai struktur pyramid (mulai

dari yang abstrak yakni grundnorm sampai yang kongkret seperti undang-undang,

peraturan pemerintah, hingga peraturan daerah).

1.7.2. Teori Pluralisme Hukum

Kerangka teori berikutnya adalah teori Pluralisme Hukum yang dikemukakan

J. Griffiths yang menyatakan kecenderungan terfokus pada penekanan dikotomi

keberadaan hukum negara terlihat ada interaksi sistem-sistem hukum dalam suatu

masyarakat, antara hukum negara (state law) dengan sistem hukum rakyat (folk law)

dan sistem hukum agama (religious law) dalam suatu komunitas masyarakat.

Pluralisme hukum digunakan sebagai alat analisa untuk memahami dua atau lebih

sistem hukum.17

Teori Pluralisme Hukum dari Griffiths pada dasarnya dibedakan menjadi dua

macam, yaitu pluralisme yang lemah (weak legal pluralism) dan pluralisme yang kuat

                                                            
16
 Bernard L. Tanya, dkk, 2013, Teori Hukum. Strategi Tertib Manusia Lintas Generasi,
Genta Publishing, Yogyakarta, h. 115 
17
Andiko, “Upaya tiada Henti Mempromosikan Pluralisme dalam Hukum Agraria di
Indonesia”. Dalam: Untuk Apa Pluralisme Hukum? Regulasi, Negosiasi, dan Perlawanan dalam
Konflik Agraria di Indonesia, 2011, Myrna A. Safitri (Ed), HuMa, Jakarta, h.58
15 
 

(strong legal pluralism).18 Pluralisme hukum yang lemah merupakan bentuk lain dari

sentralisme hukum (legal centralism), karena walaupun dalam kenyataannya hukum

negara (state law) mengakui adanya sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum

negara tetap dipandang sebagai superior, dan sementara itu sistem-sistem hukum

yang lain bersifat inferior dalam hirarki sistem hukum negara.

Salah satu contoh penerapan pluralsime hukum lemah adalah konsep yang

diajukan Hooker yang mengakui adanya keanekaragaman sistem hukum tetapi masih

menekankan adanya pertentangan antara apa yang disebut municipal law sebagai

sistem yang dominan (hukum negara) dengan servient law yang menurutnya inferior,

seperti kebiasaan dan hukum agama.19

Pluralisme hukum kuat merupakan bentuk dari kemajemukan sistem hukum

dalam masyarakat namun semuanya dipandang sama kedudukannya. Tidak ada

hirarki yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari sistem hukum

yang lainnya. Teori living law yang dikemukakan Eugene Ehrlich merupakan salah

satu contoh dari penerapan pluralisme hukum kuat. Ehrlich menyatakan aturan

hukum yang hidup dari tatanan normatif dikontraskan dengan hukum negara.

Desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki

otonomi dalam mengatur dirinya, harus tunduk kepada Pancasila dan UUD 1945.20

                                                            
18
J. Griffiths, 1986, “What is Legal Pluralism?”, Journal of Legal Pluralism and Unofficial
Law, Number 24, Published by Foundation for the Journal of Legal Pluralism
19
Andiko, loc. cit.
20
I Wayan Surpha, 2012, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Pustaka Bali Post,
Denpasar,(Selanjutnya disebut I Wayan Surpha I), h. 57
16 
 

Eksistensi desa pakraman ini diakui pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia menurut ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945.

Moh. Mahfud MD mengatakan pengakuan negara terhadap kesatuan

masyarakat hukum adat ini mengandung empat konsekuensi.21 Pertama, kesatuan

masyarakat hukum adat dapat bertindak sebagai subjek hukum. Kedua, terhadap

kesatuan masyarakat hukum adat dapat dilekatkan hak dan kewajiban serta dapat

melakukan tindakan hukum dalam hal kepemilikan tertentu. Ketiga, saat terdapat

pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat maka dengan sendirinya negara

mengakui sistem hukum yang membentuk dan menjadikan masyarakat itu sebagai

kesatuan masyarakat hukum. Keempat, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat

hukum adat juga dengan sendirinya berarti pengakuan terhadap struktur dan tata

pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma hukum tata negara adat setempat.

Kusumadi Pudjosewojo memberi pengertian yang berbeda antara masyarakat

hukum dan masyarakat hukum adat.22 Masyarakat hukum adalah suatu masyarakat

yang menetapkan, terikat, dan tunduk pada tata hukumnya sendiri. Sedangkan

masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah

tertentu yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih

tinggi. Rasa solidaritas para anggotanya sangat besar dan memandang bukan anggota

masyarakat sebagai anggota luar, serta sumber kekayaan yang ada di wilayahnya
                                                            
21
Moh. Mahfud MD, 2010, “Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka UUD
1945 Menyongsong Globalisasi”, Makalah Disampaikan pada Seminar Awig-Awig II, “Pemberdayaan
Awig-Awig Desa Pakraman di Bali dalam Mewujudkan Masyarakat Adat yang Sejahtera”, Bali, 30
September 2010.
22
I Gede A.B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia. Perkembangannya dari Masa ke
Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.111
17 
 

hanya dapat dipakai oleh anggota. Struktur persekutuan hukum ini menurut Soepomo

dapat dibedakan berdasarkan pengikat anggota persekutuan, yakni faktor genealogis

(pertalian keturunan yang sama), faktor teritorial (lingkungan daerah yang sama), dan

genealogis teritorial (campuran keduanya).23

Persekutuan hukum berdasarkan teritorial banyak dijumpai di Bali dan

dikategorikan persekutuan desa. Ada sesuatu yang khas di Bali karena mengenal

istilah desa dinas dan desa pakraman. Desa pakraman merujuk kepada organisasi

sosial yang berdasarkan aturan adat sedangkan desa dinas merupakan organisasi

birokrasi yang berstruktur.24 Kadangkala ada ketergantungan dari dua bentuk desa ini.

Masyarakat adat sangat mematuhi hukumnya sesuai dengan corak tersebut.

Masalah kepatuhan hukum dalam hukum adat, secara analitis dapat dibedakan

menjadi tiga kategori kepatuhan dilihat dari faktor penyebabnya.25 Ketiga kategori

tersebut adalah kepatuhan pada hukum adat yang disebabkan karena pemimpin-

pemimpin masyarakat yang memerintahkannya, kepatuhan pada hukum adat yang

disebabkan karena lingkungan sosial menghendakinya, dan kepatuhan pada hukum

adat yang disebabkan karena seseorang menganggapnya sebagai sesuatu yang

sebanding atau adil.

Dalam ruang lingkup internasional, pengaturan mengenai masyarakat adat

ditemukan dalam Pasal 25 United Nation Declaration on the Rights of Indigenous

                                                            
23
Ibid., h.112
24
Carol Warren, 1993, Adat and Dinas. Balinese Communities in the Indonesian State, Oxford
University Press, New York, p. 22
25
Soerjono Soekanto, Soerjono, 2012, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h. 339
18 
 

People (UNDRIP) yaitu Deklarasi PBB tentang Masyarakat Asli/Adat, “masyarakat

adat memiliki hak mempertahankan dan untuk mengembangkan hubungan khas

mereka baik secara spiritual maupun material dengan tanah, teritori, air, dan wilayah

lepas pantai dan sumber-sumber lainnya yang meningkatkan tanggung jawab mereka

akan nasib generasi masa depan.”26

Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa krama desa pakraman pun

mengakui adanya dua sistem hukum yang berlaku yakni hukum negara dalam hal ini

konstitusi serta hukum adat berupa awig-awig yang sudah mereka sepakati bersama.

Awig-awig yang dibuat oleh desa pakraman pun sudah diatur secara yuridis dalam

Peraturan Daerah Provinsi Bali tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945,

Pancasila, dan hak asasi manusia. Ini artinya awig-awig harus tunduk kepada UUD

NRI 1945.

1.7.3. Teori Semi-Autonomus Social Field

Teori yang juga relevan adalah teori Semi-Autonomous Social Field. Teori

yang diperkenalkan Sally Falk Moore (1978) ini menjelaskan kapasitas kelompok-

kelompok sosial (social field) dalam menciptakan mekanisme-mekanisme pengaturan

sendiri (self-regulation) dengan disertai kekuatan-kekuatan pemaksa. “Bidang yang

kecil dan untuk sebagian otonomi itu dapat menghasilkan aturan-aturan dan adat

istiadat serta simbol-simbol berasal dari dalam. Di lain pihak, bidang tersebut juga

                                                            
26
Wayan P. Windia, dkk, 2013, Kompilasi Aturan tentang Desa Adat di Bali, Udayana
University Press, Denpasar, (selanjutnya disebut Wayan P. Windia I) h.10
19 
 

rentan terhadap aturan-aturan, keputusan-keputusan dan kekuatan-kekuatan lain yang

berasal dari dunia luar yang mengelilinginya.”27

Desa pakraman sebagai sebuah kelompok yang semi otonom memiliki

kewenangan untuk membuat aturannya sendiri. Aturan ini disesuaikan dengan adat

dan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakatnya. Namun, ketika

berhubungan dengan masyarakat luar, mereka memahami adanya kesadaran untuk

tunduk kepada aturan lain yang ruang lingkupnya lebih luas, dalam hal ini hukum

negara.

Walaupun masyarakat adat ini sudah memiliki awig-awig sebagai sarana

untuk menuntun mereka mencapai keharmonisan, ternyata itu hanya berlaku dalam

kelompoknya saja. Karena itu, ketika bersinggungan dengan kelompok lain perlu

adanya payung hukum yang disepakati bersama. Sebagai masyarakat, mereka wajib

tunduk terhadap hukum yang dibuat oleh negara sebagai kelompok yang lebih besar.

Van Vollenhoven menjelaskan bahwa untuk mengetahui hukum, maka yang

perlu diselidiki adalah pada waktu dan bilamana serta di daerah mana sifat dan

susunan badan-badan persekutuan hukum di mana orang-orang dikuasai oleh hukum

itu hidup sehari-hari.28 Soepomo kemudian mengemukakan penguraian tentang

badan-badan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas sesuatu yang dogmatik,

                                                            
27
Sally Falk Moore, 2001, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom
sebagai suatu Topik Studi yang Tepat”. dalam: T.O. Ihromi (Ed), Antropologi Hukum. Sebuah Bunga
Rampai, Yayasan Obor, Jakarta, h.150
28
Tolib Setiady, 2013, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan),
Alfabeta, Bandung, h.75
20 
 

melainkan harus didasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakat yang

bersangkutan.29

Dari kedua pendapat ini memperlihatkan bahwa masyarakat yang

mengembangkan hukum adat ini adalah persekutuan hukum adat (Adatrechts

Gemeenschapen). Persekutuan hukum atau masyarakat hukum ini didefinisikan

sebagai kelompok orang-orang yang terikat sebagai suatu kesatuan dalam susunan

yang teratur, yang menempati suatu wilayah tertentu, kesatuan ini bersifat abadi,

memiliki pimpinan, serta memiliki kekayaan sendiri, baik yang berwujud maupun

tidak berwujud.

Dalam mekanisme kehidupan desa pakraman, warga memiliki hak antara lain

hak untuk memilih pimpinan adat, ikut dalam rapat (sangkep/parum) adat, ikut serta

dalam pemerintahan desa pakraman bersama, dan berhak dipilih sebagai prajuru

(pengurus) adat. Kewajibannya, melaksanakan ayahan (tugas) adat dan tunduk serta

taat kepada peraturan yang berlaku bagu warga desa pakraman, yakni awig-awig baik

tertulis maupun tidak tertulis, paswara dan sima yang berlaku.30

Sebagai sebuah produk hukum adat, awig-awig sangat ditaati oleh masyarakat

setempat. Salah satu corak hukum adat adalah konkrit dan visual.31 Konkrit artinya

jelas, nyata, berwujud sedangkan visual artinya dapat terlihat, tampak, terbuka, tidak

sembunyi. Jadi hubungan hukum yang berlaku dalam hukum adat adalah terang dan

tunai, tidak samar-samar, dapat disaksikan, diketahui, dilihat dan didengar.


                                                            
29
Ibid.
30
Ibid., h.56-57
31
Ibid., h.34
21 
 

Sebelum membuat sebuah awig-awig penting bagi masyarakat untuk

memahami apa saja yang termuat dalam aturan itu. Proses pembuatan awig-awig

sangat demokratis karena dibuat dalam paruman dan semua krama desa memiliki

kesempatan sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.32 Sepanjang

yang diatur merupakan hal-hal yang menguntungkan masyarakat, mereka akan

mematuhinya.

Sebagai hukum yang tumbuh dari bawah, secara sosiologis awig-awig

memiliki legitimasi yang kuat dalam masyarakat karena fakta menunjukkan, awig-

awig diterima dan dipatuhi masyarakat. Konstruksi awig-awig sebagai hukum adat

juga serba jelas.33 Konstruksi yang serba jelas ini identik dengan visual (dapat

diinderai). Artinya tiap hubungan hukum yang dilakukan menurut hukum adat terjadi

jika telah ada tanda-tanda pengikatnya yang nyata.

Dari uraian ini nampak bahwa krama desa pakraman yang sudah memiliki

aturan sendiri dalam bentuk awig-awig tetap harus mematuhi hukum negara karena

desa pakraman sebagai kelompok kecil berada dalam lingkup negara sebagai

kelompok besar. Kewenangan desa pakraman untuk mengatur diri sendiri (otonomi)

tidak bisa diberlakukan secara penuh.

Kewenangan ini memiliki persyaratan seperti yang diatur dalam Pasal 18B

ayat (2) UUD NRI 1945. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
                                                            
32
AA Gede Oka Parwata, op.cit, h.55
33
Otje Salman Soemadiningrat, 2011, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni,
Bandung, h.118
22 
 

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Jika semua persyaratan ini sudah

dipenuhi oleh desa pakraman, maka negara pun mengakui eksistensi desa pakraman

berikut awig-awig-nya. Karena itulah desa pakraman disebut sebagai kesatuan

masyarakat yang semiotonom (semiautonomous social fields) karena tetap harus

tunduk kepada aturan dari luar desa pakraman, yakni negara.34

1.7.4. Kerangka Berpikir

Negara
Desa
Pakraman
 

Berwenang
membuat Pengukuhan Berwenang
Aturan Awig-awig mengakui
(Awig-awig) KMHA

HUKUM Awig-awig dikukuhkan HUKUM


ADAT oleh Bupati/Wali Kota NEGARA

Teori Pluralisme
Hukum

                                                            
34
AA Gede Oka Parwata, op. cit., h.53
23 
 

Dari kerangka berpikir ini dapat dijelaskan bahwa desa pakraman merupakan

bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa pakraman diakui

keberadaannya sesuai Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. Sebagai lembaga yang

memiliki otonomi, desa pakraman berwenang membuat aturan (awig-awig). Aturan

ini merupakan implementasi dari hukum adat.

Di sisi lain, negara berwenang mengakui keberadaan desa pakraman selama

memenuhi persyaratan yang dicantumkan dalam konstitusi. Pengakuan dari negara ini

merupakan implementasi dari hukum negara. Adanya dua sistem hukum yang dianut

oleh krama desa pakraman (hukum negara dan hukum adat) dinyatakan sebagai

sebuah pluralisme hukum.

Dalam hal pembuatan awig-awig yang berlaku untuk krama desa pakraman,

ada juga campur tangan negara. Hal ini dibuktikan dengan adanya tanda tangan

Bupati/Wali Kota sebagai murdaning pamikukuh. Pengukuhan awig-awig desa

pakraman ini merupakan bentuk pengakuan negara terhadap desa pakraman dan

bentuk pengakuan hukum negara terhadap hukum adat. Ini juga menunjukkan desa

pakraman tunduk terhadap negara karena desa pakraman termasuk dalam kelompok

semiautonomous social fields.

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif dengan meneliti

bahan pustaka yang mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Menurut
24 
 

Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum (legal research) bertujuan menemukan

kebenaran koherensi, adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma

yang berupa perintah dan larangan itu sesuai prinsip hukum, serta apakah tindakan itu

sesuai dengan norma hukum dan prinsip hukum.35

1.8.2. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan perundangan-undangan,

pendekatan historis, dan pendekatan konsep. Pendekatan perundang-undangan

digunakan untuk mendapatkan jawaban bagaimana kedudukan awig-awig sebagai

hukum adat dilihat dari konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) serta bagaimana

pengukuhan awig-awig desa pakraman oleh Bupati/Wali Kota diatur dalam peraturan

daerah (Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman).

Pendekatan historis digunakan untuk mendapatkan jawaban tentang sejarah penulisan

awig-awig desa pakraman. Pendekatan konsep digunakan untuk mendapatkan

jawaban tentang makna pengukuhan.

1.8.3. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang bertujuan mengambarkan sifat-

sifat suatu individu atau kelompok tertentu, untuk menentukan ada tidaknya

                                                            
35
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum. Edisi Revisi, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, h. 47
25 
 

hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya di masyarakat. Penelitian ini

menggunakan teori-teori yang sudah ada untuk diaplikasikan ke dalam permasalahan.

1.8.4. Bahan Hukum

Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif dalam arti mempunyai otoritas.36 Bahan hukum primer yang dimaksud

adalah peraturan perundang-undangan yang menurut Pasal 1 angka 2 UU No 12

Tahun 2011 didefinisikan sebagai peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang

mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau

pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan

perundang-undangan.37

Bahan hukum ini berupa UUD NRI 1945 dan Perda Provinsi Bali No 3

Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi

tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang hukum ini

meliputi buku-buku teks, kamus hukum, kamus Bahasa Bali yang digunakan untuk

menterjemahkan awig-awig yang berbahasa Bali, dan jurnal hukum.

                                                            
36
Ibid., h.181
37
Ibid., h.184
26 
 

1.8.5. Teknik Pengumpulan Bahan

Teknik pengumpulan bahan yang dipakai dalam penelitian hukum ini adalah

penelusuran literatur dengan teknik pencatatan. Bahan dari buku referensi termasuk

dari awig-awig desa pakraman yang relevan dikembangkan ke buku hukum yang

lainnya sehingga menghasilkan suatu karya ilmiah yang dapat

dipertanggungjawabkan.

1.8.6. Pengolahan dan Analisis Bahan

Pengolahan dan analisa bahan hukum dari penelitian ini menggunakan

penelitian terhadap taraf sinkronisasi dari peraturan perundang-undangan secara

vertikal dan secara horizontal.38 Secara vertikal, yang diteliti adalah taraf sinkronisasi

peraturan perundang-undangan menurut hirarkinya. Secara horizontal, yang diteliti

adalah sejauh mana suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai

bidang mempunyai hubungan fungsional konsisten.

 
                                                            
38
Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 256 

Anda mungkin juga menyukai