BAB I
PENDAHULUAN
Masyarakat Bali mengenal adanya dua bentuk desa, yaitu desa dinas dan desa
desa pakraman (dulu disebut desa adat). Desa dinas didefinisikan sebagai sebuah
kelompok masyarakat yang secara struktural dan teritorial berkaitan dengan tugas-
tugas pemerintah pusat.1 Sedangkan desa adat diartikan sebagai suatu kelompok
Konsep desa adat ini berawal dari penelitian L.A.Liefrinck di Bali Utara
kecil yang memililiki hukum atau aturan adat tersendiri. Penelitian ini kemudian
diperkuat penelitian yang dilakukan V.E.Korn tentang studi hukum adat di Bali. Korn
yang menghasilkan buku Het Adatrecht van Bali (1932) menyatakan desa-desa di
Bali bersifat otonom. Dari sinilah muncul desa adat yang artinya desa yang memiliki
1
I Gede Parimartha, 2013, Silang Pandang Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Udayana
University Press, Denpasar, h.24
2
Ibid., h. 44
3
Ibid.
2
diartikan sebagai konsep bagaimana suatu daerah atau suatu kekuasaan dapat
mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri tanpa banyak dicampuri oleh pihak-
pihak luar. Otonomi sendiri berasal dari bahasa Latin, autos yang berarti sendiri dan
nomos yang berarti aturan. Jadi otonomi secara etimologis berarti mengatur sendiri.
Otonomi desa pakraman pun diartikan sebagai hak dan kewajiban untuk mengatur
dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan kebijaksanaan, prakarsa, dan
kemampuan sendiri.4
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman
yang diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 dengan
provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup
masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau
kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta
Dari definisi ini sudah sudah ditegaskan desa pakraman merupakan suatu
kesatuan masyarakat sosial religius yang bersifat otonom, berhak mengurus rumah
tangganya sendiri. Hak ini selanjutnya disebut sebagai hak tradisional masyarakat
hukum adat yang diakui dan dihormati negara seperti diatur dalam Pasal 18B ayat 2
4
AA Gede Oka Parwata, “Memahami Awig-awig Desa Pakraman”. dalam: Ketut Sudantra
dan Oka Parwata (Ed), Wicara lan Pamidanda, Udayana University Press, Denpasar, h.52
3
hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
Salah satu isi dari otonomi desa pakraman adalah menetap aturan sendiri yang
berlaku bagi mereka. Kewenangan ini secara yuridis formal diatur dalam Pasal 5
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang
diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003, “Desa
Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama desa pakraman dan atau
banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana
sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di desa pakraman/banjar pakraman
masing-masing. Definisi ini ditegaskan lagi dalam Bab VII Pasal 11 dan Pasal 12
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman yang
diubah menjadi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003. Pasal 11
mengatur (1) Setiap desa pakraman menyuratkan awig-awig-nya. (2) Awig-awig desa
pakraman tidak boleh bertentangan dengan agama, Pancasila, UUD 1945, dan hak
asasi manusia. Pasal 12 mengatur (1) Awig-awig desa pakraman dibuat dan disahkan
oleh krama desa pakraman melalui paruman desa pakraman. (2) Awig-awig desa
nya dalam bentuk dan sistematika yang seragam. Tujuannya agar prajuru adat dan
Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Pakraman sebagai Kesatuan Hukum Adat
menulis awig-awig desa pakraman bisa menjadi uwug (rusak).7 Ada empat tahapan
yang harus dilalui dalam pembuatan awig-awig, tahap persiapan, tahap penulisan
awig-awig yang diteliti, awig-awig Desa Adat Bondalem dan Desa Adat Penarukan
(Buleleng), Desa Adat Gebog Satak Tiga Buungan dan Desa Adat Bangklet (Bangli),
Desa Adat Bading Kayu dan Desa Adat Yeh Buah (Jembrana), Desa Pakraman
5
Ibid., h. 54
6
Ketut Sudantra, dkk, 2011, Penuntun Penyuratan Awig-awig. Contoh Awig-awig Tertulis
Desa Pakraman Tanah Aron Kabupaten Karangasem, Udayana University Press, Denpasar, h.18
7
Ibid., h. 25
5
Gadungan (Tabanan), Desa Adat Belega (Gianyar), Desa Adat Samu dan Desa Adat
Ungasan (Badung), Desa Adat Sengkiding dan Desa Adat Jungut Batu (Klungkung),
Desa Adat Geriyana Kangin (Karangasem), serta Desa Adat Pedungan dan Desa
Awig-awig Desa Adar Bondalem (1987), Desa Adat Sengkiding (1987), Desa
Adat Geriyana Kangin (1988), Desa Adat Badingkayu (1994), Desa Adat Belega
dan Dicatat. Awig-awig Desa Adat Jungut Batu, Desa Adat Penarukan (1985), Desa
Adat Pedungan (1986), Desa Adat Yeh Buah (1990), Desa Adat Gebog Satak Tiga
Buungan (1995), Desa Adat Bangklet (1996), Desa Pakraman Gadungan (2004),
Desa Adat Ungasan (2006), dan Desa Pakraman Samu (2011), menggunakan istilah
Bupati/Wali Kota?
masalah. Ruang lingkup masalah digunakan untuk membatasi area penelitian dan
sejak adanya penyeragaman pembuatan awig-awig di Bali tahun 1969 dimana secara
pengukuhan awig-awig oleh Bupati/Wali Kota dan makna dari pengukuhan ini.
Tujuan penelitian ini dibedakan ke dalam tujuan umum dan tujuan khusus.
science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini, ilmu tidak akan
penelitian ini akan mengkaji secara kritis makna pengukuhan dalam awig-awig.
pemikiran dalam bidang ilmu hukum khususnya konsentrasi hukum dan masyarakat
awig, landasan yuridis, dan makna pengukuhan awig-awig desa pakraman oleh
Bupati/Wali Kota. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
maupun peran Bupati/Wali Kota, ada tiga tesis yang mengangkat tema tersebut.
oleh Krama Desa di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung,
Provinsi Bali” oleh Budi Kresna Aryawan, Program Studi Magister Kenotariatan
8
wadah dari kesatuan masyarakat hukum adat di Bali berdasarkan satu kesatuan tradisi
dan tata krama pergaulan hidup yang diwariskan secara turun-temurun dan diikat oleh
falsafah Tri Hita Karana, dimana desa adat dan awig-awignya sesuai dengan fungsi
dan posisinya, akan selalu berperanan aktif dalam rangka menjaring nilai-nilai baru
Rumusan masalah yang dikemukan dalam tesis ini adalah bagaimana penerapan
sanksi awig-awig Desa Adat Mengwi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh
sanksi awig-awig Desa Adat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Krama Desa
Adat Mengwi?
Lingkungan: Sebuah Kajian tentang Tradisi dan Perubahan” yang dibuat Ida Bagus
Dharmika, Universitas Indonesia.9 Tesis ini mengupas awig-awig desa adat Tenganan
ketaatan penduduk dalam menjalankan aturan-aturan yang ada dalam awig-awig ini,
8
Budi Kresna Aryawan, “Penerapan Sanksi terhadap Pelanggaran Awig-awig Desa Adat oleh
Krama Desa di Desa Adat Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Bali” (tesis),
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro, Semarang,
http://eprints.undip.ac.id/16843/1/BUDI_KRESNA_ARYAWAN%2C_SH.pdf, diunduh 31 Mei 2014
9
Ida Bagus Dharmika, “Awig-awig Desa Adat Tenganan Pegringsingan dan Kelestarian
Lingkungan: Sebuah Kajian tentang Tradisi dan Perubahan” (tesis), Universitas Indonesia,
http://lontar.ui.ac.id/opac/ui/detail.jsp?id=81933&lokasi=lokal, diunduh 31 Mei 2014
9
adalah mengapa pranata seperti awig-awig itu masih dipertahankan dan dilaksanakan
yang terjadi baik pada tingkat peraturan-peraturan dan penafsiran maupun pada
perubahan itu?
Daerah sesuai dengan Prinsip-Prinsip Demokrasi” yang dibuat oleh I Nengah Suriata,
Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana tahun 2011.10 Tesis ini meneliti
sesuai atau belum dengan norma/kaidah berlandaskan otonomi daerah serta standar
mempunyai hak dan berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat, atas prakarsa dan inisiatif daerah telah sesuai dengan norma
atau kaidah yang berlandaskan otonomi daerah. Rumusan masalahnya, apakah fungsi
10
I Nengah Suriata, “Fungsi Kepala Daerah dalam Penyelenggaran Pemerintahan Daerah
sesuai dengan Prinsip-Prinsip Demokrasi” (tesis), Program Magister Ilmu Hukum Universitas
Udayana, http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-380-8569029-
tesis%20i%20nengah%20suriata.pdf, diunduh 8 Juni 2014
10
demokrasi ?
Dari ketiga rumusan masalah tesis sebelumnya ini, tidak ditemukan adanya
kesamaan dengan rumusan masalah dalam tesis ini. Tesis pertama membahas awig-
awig tetapi dalam hal penerapan sanksi. Tesis kedua membahas awig-awig tetapi
lebih ke kajian tradisi dan perubahan. Tesis ketiga tidak membahas awig-awig tetapi
membahas fungsi kepala daerah yang dikaitkan dengan otonomi daerah. Hal ini
memiliki kedekatan dengan tesis ini karena ada peran kepala daerah dalam era
otonomi. Karena tidak ada hal yang sama, maka bisa dijamin keaslian atau
timbal balik antara teori dengan kegiatan pengumpulan data, analisa, serta konstruksi
data. Penggunaan teori juga akan memperjelas fenomena yang dihadapi. Kerlinger
relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the
phenomena.”
hukum melalui penelusuran. Makin banyak teori, konsep, dan asas yang berhasil
diidentifikasi untuk mendukung penelitian, makin tinggi tingkat kebenaran yang bisa
names: general theory of law, theory of state and law, allgemeine Rechtslehre,
sociology of law, logical analysis of normative concepts, some comparative law and
some study of national positive law. The didactic value of legal theory is great.”11
Selain pandangan Peczenik tentang legal theory (teori hukum), perlu juga
dipahami teori sistem hukum seperti yang dikemukakan H.L.A. Hart, “in a modern
legal system where there a variety of ‘sources’ of law, the rule of recognition is
correspondingly more complex: the criteria for identifying the law are multiple and
precedents.”12
rules yang merupakan pusat dari sistem hukum. Primary rules menekankan kepada
kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Ini akan ditemukan dalam
seluruh bentuk hukum (forms of law). Primary rules eksis apabila memenuhi dua
syarat, adanya suatu keteraturan perilaku dalam masyarakat dan aturan itu harus
11
Alexander Peczenik, 2001, “A Theory of Legal Doctrine”. Ratio Juris: Vol 14 No 1, USA.
12
H.L.A.Hart, 1997, The Concept of Law, Oxford University Press, New York, p.101.
12
Secondary rules menekankan aturan tentang aturan (rules about rules) yang
menjelaskan kapan aturan itu dianggap sah (rules of recognition), bagaimana dan
oleh siapa dapat diubah (rules of change), dan bagaimana serta oleh siapa dapat
dikuatkan atau ditegakkan (rules of adjudication). Jika ditelaah lebih jauh, rules of
adjudication lebih efisien, sedangkan rules of change bersifat sedikit kaku dan rules
Hart dalam teori sistemnya menempatkan secondary rules sebagai fokus lain
penting bagi keberadaan sistem hukum. Beberapa pemikir bahkan menilai secondary
rules lebih nampak sebagai aturan sosial tentang para pejabat. Aturan sosial
memerlukan pengamatan eksternal yang konsisten, baik mengenai perilaku juga kritik
apabila ada yang melebihi otoritas itu, itu bukanlah sebuah pelanggaran. Otoritas
dalam perundingan itu hanyalah norma yang menuntut pejabat untuk membatasi diri
masyarakat dibagi dalam dua periode, primitif dan modern.13 Di periode hukum
13
I Dewa Gede Atmaja, 2013, Filsafat Hukum. Dimensi Tematis dan Historis, Setara Press,
Malang, h.27.
13
primitif, hukum lahir dari adat istiadat yang kemudian menjadi hukum kebiasaan
legislator menghasilkan statutary law atau state law yang bercirikan rasional dan
normatif.
putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan.14
Kerangka konseptual ini menjadi hal sangat penting dalam menjelaskan hukum. Mark
Kerangka konseptual ini sebagian berada di dalam hukum positif yang sedang
berlaku. Intinya adalah orang harus menyesuaikan diri dengan apa yang ditentukan.
bukan karena nilai yang dikandung dalam materi hukum itu sendiri. Karenanya,
Menurut Hans Kelsen, sumber semua itu adalah grundnorm (norma dasar).
Grundnorm diartikan sebagai tatanan yang hendak diwujudkan dalam hidup bersama,
dalam hal ini negara. Kelsen menegaskan grundnorm merupakan syarat transedental
14
Otje Salman dan Anthon Susanto, 2008, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan
Membuka Kembali), PT Refika Aditama, Bandung, h.60
15
Mark Van Hoecke, “Legal Doctrine in Crisis: Towards a European Legal Science”,
Katholieke Universiteit, Brussel
14
logis bagi berlakunya seluruh tata hukum. Tata hukum positif ini harus berpedoman
dari yang abstrak yakni grundnorm sampai yang kongkret seperti undang-undang,
keberadaan hukum negara terlihat ada interaksi sistem-sistem hukum dalam suatu
masyarakat, antara hukum negara (state law) dengan sistem hukum rakyat (folk law)
dan sistem hukum agama (religious law) dalam suatu komunitas masyarakat.
Pluralisme hukum digunakan sebagai alat analisa untuk memahami dua atau lebih
sistem hukum.17
Teori Pluralisme Hukum dari Griffiths pada dasarnya dibedakan menjadi dua
macam, yaitu pluralisme yang lemah (weak legal pluralism) dan pluralisme yang kuat
16
Bernard L. Tanya, dkk, 2013, Teori Hukum. Strategi Tertib Manusia Lintas Generasi,
Genta Publishing, Yogyakarta, h. 115
17
Andiko, “Upaya tiada Henti Mempromosikan Pluralisme dalam Hukum Agraria di
Indonesia”. Dalam: Untuk Apa Pluralisme Hukum? Regulasi, Negosiasi, dan Perlawanan dalam
Konflik Agraria di Indonesia, 2011, Myrna A. Safitri (Ed), HuMa, Jakarta, h.58
15
(strong legal pluralism).18 Pluralisme hukum yang lemah merupakan bentuk lain dari
negara (state law) mengakui adanya sistem-sistem hukum yang lain, tetapi hukum
negara tetap dipandang sebagai superior, dan sementara itu sistem-sistem hukum
Salah satu contoh penerapan pluralsime hukum lemah adalah konsep yang
diajukan Hooker yang mengakui adanya keanekaragaman sistem hukum tetapi masih
menekankan adanya pertentangan antara apa yang disebut municipal law sebagai
sistem yang dominan (hukum negara) dengan servient law yang menurutnya inferior,
hirarki yang menunjukkan sistem hukum yang satu lebih tinggi dari sistem hukum
yang lainnya. Teori living law yang dikemukakan Eugene Ehrlich merupakan salah
satu contoh dari penerapan pluralisme hukum kuat. Ehrlich menyatakan aturan
hukum yang hidup dari tatanan normatif dikontraskan dengan hukum negara.
otonomi dalam mengatur dirinya, harus tunduk kepada Pancasila dan UUD 1945.20
18
J. Griffiths, 1986, “What is Legal Pluralism?”, Journal of Legal Pluralism and Unofficial
Law, Number 24, Published by Foundation for the Journal of Legal Pluralism
19
Andiko, loc. cit.
20
I Wayan Surpha, 2012, Seputar Desa Pakraman dan Adat Bali, Pustaka Bali Post,
Denpasar,(Selanjutnya disebut I Wayan Surpha I), h. 57
16
Indonesia menurut ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945.
masyarakat hukum adat dapat bertindak sebagai subjek hukum. Kedua, terhadap
kesatuan masyarakat hukum adat dapat dilekatkan hak dan kewajiban serta dapat
melakukan tindakan hukum dalam hal kepemilikan tertentu. Ketiga, saat terdapat
pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat maka dengan sendirinya negara
mengakui sistem hukum yang membentuk dan menjadikan masyarakat itu sebagai
hukum adat juga dengan sendirinya berarti pengakuan terhadap struktur dan tata
pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma hukum tata negara adat setempat.
hukum dan masyarakat hukum adat.22 Masyarakat hukum adalah suatu masyarakat
yang menetapkan, terikat, dan tunduk pada tata hukumnya sendiri. Sedangkan
masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah
tertentu yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih
tinggi. Rasa solidaritas para anggotanya sangat besar dan memandang bukan anggota
masyarakat sebagai anggota luar, serta sumber kekayaan yang ada di wilayahnya
21
Moh. Mahfud MD, 2010, “Revitalisasi Masyarakat Hukum Adat dalam Kerangka UUD
1945 Menyongsong Globalisasi”, Makalah Disampaikan pada Seminar Awig-Awig II, “Pemberdayaan
Awig-Awig Desa Pakraman di Bali dalam Mewujudkan Masyarakat Adat yang Sejahtera”, Bali, 30
September 2010.
22
I Gede A.B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia. Perkembangannya dari Masa ke
Masa, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.111
17
hanya dapat dipakai oleh anggota. Struktur persekutuan hukum ini menurut Soepomo
(pertalian keturunan yang sama), faktor teritorial (lingkungan daerah yang sama), dan
dikategorikan persekutuan desa. Ada sesuatu yang khas di Bali karena mengenal
istilah desa dinas dan desa pakraman. Desa pakraman merujuk kepada organisasi
sosial yang berdasarkan aturan adat sedangkan desa dinas merupakan organisasi
birokrasi yang berstruktur.24 Kadangkala ada ketergantungan dari dua bentuk desa ini.
Masalah kepatuhan hukum dalam hukum adat, secara analitis dapat dibedakan
menjadi tiga kategori kepatuhan dilihat dari faktor penyebabnya.25 Ketiga kategori
tersebut adalah kepatuhan pada hukum adat yang disebabkan karena pemimpin-
23
Ibid., h.112
24
Carol Warren, 1993, Adat and Dinas. Balinese Communities in the Indonesian State, Oxford
University Press, New York, p. 22
25
Soerjono Soekanto, Soerjono, 2012, Hukum Adat Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, h. 339
18
mereka baik secara spiritual maupun material dengan tanah, teritori, air, dan wilayah
lepas pantai dan sumber-sumber lainnya yang meningkatkan tanggung jawab mereka
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa krama desa pakraman pun
mengakui adanya dua sistem hukum yang berlaku yakni hukum negara dalam hal ini
konstitusi serta hukum adat berupa awig-awig yang sudah mereka sepakati bersama.
Awig-awig yang dibuat oleh desa pakraman pun sudah diatur secara yuridis dalam
Peraturan Daerah Provinsi Bali tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI 1945,
Pancasila, dan hak asasi manusia. Ini artinya awig-awig harus tunduk kepada UUD
NRI 1945.
Teori yang juga relevan adalah teori Semi-Autonomous Social Field. Teori
yang diperkenalkan Sally Falk Moore (1978) ini menjelaskan kapasitas kelompok-
kecil dan untuk sebagian otonomi itu dapat menghasilkan aturan-aturan dan adat
istiadat serta simbol-simbol berasal dari dalam. Di lain pihak, bidang tersebut juga
26
Wayan P. Windia, dkk, 2013, Kompilasi Aturan tentang Desa Adat di Bali, Udayana
University Press, Denpasar, (selanjutnya disebut Wayan P. Windia I) h.10
19
kewenangan untuk membuat aturannya sendiri. Aturan ini disesuaikan dengan adat
tunduk kepada aturan lain yang ruang lingkupnya lebih luas, dalam hal ini hukum
negara.
untuk menuntun mereka mencapai keharmonisan, ternyata itu hanya berlaku dalam
kelompoknya saja. Karena itu, ketika bersinggungan dengan kelompok lain perlu
adanya payung hukum yang disepakati bersama. Sebagai masyarakat, mereka wajib
tunduk terhadap hukum yang dibuat oleh negara sebagai kelompok yang lebih besar.
perlu diselidiki adalah pada waktu dan bilamana serta di daerah mana sifat dan
badan-badan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas sesuatu yang dogmatik,
27
Sally Falk Moore, 2001, “Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom
sebagai suatu Topik Studi yang Tepat”. dalam: T.O. Ihromi (Ed), Antropologi Hukum. Sebuah Bunga
Rampai, Yayasan Obor, Jakarta, h.150
28
Tolib Setiady, 2013, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan),
Alfabeta, Bandung, h.75
20
melainkan harus didasarkan atas kehidupan yang nyata dari masyarakat yang
bersangkutan.29
sebagai kelompok orang-orang yang terikat sebagai suatu kesatuan dalam susunan
yang teratur, yang menempati suatu wilayah tertentu, kesatuan ini bersifat abadi,
memiliki pimpinan, serta memiliki kekayaan sendiri, baik yang berwujud maupun
tidak berwujud.
Dalam mekanisme kehidupan desa pakraman, warga memiliki hak antara lain
hak untuk memilih pimpinan adat, ikut dalam rapat (sangkep/parum) adat, ikut serta
dalam pemerintahan desa pakraman bersama, dan berhak dipilih sebagai prajuru
(pengurus) adat. Kewajibannya, melaksanakan ayahan (tugas) adat dan tunduk serta
taat kepada peraturan yang berlaku bagu warga desa pakraman, yakni awig-awig baik
Sebagai sebuah produk hukum adat, awig-awig sangat ditaati oleh masyarakat
setempat. Salah satu corak hukum adat adalah konkrit dan visual.31 Konkrit artinya
jelas, nyata, berwujud sedangkan visual artinya dapat terlihat, tampak, terbuka, tidak
sembunyi. Jadi hubungan hukum yang berlaku dalam hukum adat adalah terang dan
memahami apa saja yang termuat dalam aturan itu. Proses pembuatan awig-awig
sangat demokratis karena dibuat dalam paruman dan semua krama desa memiliki
mematuhinya.
memiliki legitimasi yang kuat dalam masyarakat karena fakta menunjukkan, awig-
awig diterima dan dipatuhi masyarakat. Konstruksi awig-awig sebagai hukum adat
juga serba jelas.33 Konstruksi yang serba jelas ini identik dengan visual (dapat
diinderai). Artinya tiap hubungan hukum yang dilakukan menurut hukum adat terjadi
Dari uraian ini nampak bahwa krama desa pakraman yang sudah memiliki
aturan sendiri dalam bentuk awig-awig tetap harus mematuhi hukum negara karena
desa pakraman sebagai kelompok kecil berada dalam lingkup negara sebagai
kelompok besar. Kewenangan desa pakraman untuk mengatur diri sendiri (otonomi)
Kewenangan ini memiliki persyaratan seperti yang diatur dalam Pasal 18B
ayat (2) UUD NRI 1945. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
32
AA Gede Oka Parwata, op.cit, h.55
33
Otje Salman Soemadiningrat, 2011, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni,
Bandung, h.118
22
Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Jika semua persyaratan ini sudah
dipenuhi oleh desa pakraman, maka negara pun mengakui eksistensi desa pakraman
Negara
Desa
Pakraman
Berwenang
membuat Pengukuhan Berwenang
Aturan Awig-awig mengakui
(Awig-awig) KMHA
Teori Pluralisme
Hukum
34
AA Gede Oka Parwata, op. cit., h.53
23
Dari kerangka berpikir ini dapat dijelaskan bahwa desa pakraman merupakan
keberadaannya sesuai Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. Sebagai lembaga yang
memenuhi persyaratan yang dicantumkan dalam konstitusi. Pengakuan dari negara ini
merupakan implementasi dari hukum negara. Adanya dua sistem hukum yang dianut
oleh krama desa pakraman (hukum negara dan hukum adat) dinyatakan sebagai
Dalam hal pembuatan awig-awig yang berlaku untuk krama desa pakraman,
ada juga campur tangan negara. Hal ini dibuktikan dengan adanya tanda tangan
pakraman ini merupakan bentuk pengakuan negara terhadap desa pakraman dan
bentuk pengakuan hukum negara terhadap hukum adat. Ini juga menunjukkan desa
pakraman tunduk terhadap negara karena desa pakraman termasuk dalam kelompok
bahan pustaka yang mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Menurut
24
kebenaran koherensi, adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma
yang berupa perintah dan larangan itu sesuai prinsip hukum, serta apakah tindakan itu
hukum adat dilihat dari konstitusi (UUD NRI Tahun 1945) serta bagaimana
pengukuhan awig-awig desa pakraman oleh Bupati/Wali Kota diatur dalam peraturan
daerah (Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman).
sifat suatu individu atau kelompok tertentu, untuk menentukan ada tidaknya
35
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum. Edisi Revisi, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, h. 47
25
hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya di masyarakat. Penelitian ini
Bahan yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif dalam arti mempunyai otoritas.36 Bahan hukum primer yang dimaksud
Tahun 2011 didefinisikan sebagai peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
perundang-undangan.37
Bahan hukum ini berupa UUD NRI 1945 dan Perda Provinsi Bali No 3
Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi
tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang hukum ini
meliputi buku-buku teks, kamus hukum, kamus Bahasa Bali yang digunakan untuk
36
Ibid., h.181
37
Ibid., h.184
26
Teknik pengumpulan bahan yang dipakai dalam penelitian hukum ini adalah
penelusuran literatur dengan teknik pencatatan. Bahan dari buku referensi termasuk
dari awig-awig desa pakraman yang relevan dikembangkan ke buku hukum yang
dipertanggungjawabkan.
vertikal dan secara horizontal.38 Secara vertikal, yang diteliti adalah taraf sinkronisasi
38
Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, h. 256