Anda di halaman 1dari 18

Desa Adat Bali

Perlu diketahui sebelum pembahasan lebih lanjut, di Bali ada 2 istilah dalam sistem
pemerintahan/kepemimpinan masyarakat (kalo boleh saya sebut demikian) dalam
tingkatan desa. pertama adalah Sistem ke-Dinas-an, yang berdasarkan peraturan
perundang-undangan Negara Republik Indonesia. ini yg dikenal dengan nama desa
dinas., yang dikepalai oleh kepala desa (kades) / lurah. sistem formal ini bertugas
untuk menjalankan administrasi pemerintahan di tingkat desa, seperti pengurusan
KTP, Surat domisili, dll. desa dinas ini adalah bentukan pemerintah dalam
memberikan pleyanan publik pada masyarakat di tingkat pemerintahan terbawah.
sedangkan sistem yang kedua adalah dikenal dengan Desa Adat, yang
berdasarkan awig-awig (aturan adat setempat). desa adat ini di kepala oleh
Bendesa Adat. desa adat ini memiliki fungsi untuk menjalankan fungsi-fungsi
kegiatan adat yang ada di suatu desa. lengkap dengan satuan pengamanan desa
adat yang dikenal dengan nama Pecalang.
desa adat ini diikat oleh aturan adat (awig-awig). wilayah dari desa adat ini belum
tentu sama dengan desa dinas nya. umumnya (sebagian besar) 1 desa adat itu
adalah 1 desa dinas dengan nama yg sama. tapi ada juga 1 desa adat yang
wilayahnya merupakan wilayah 2 desa dinas. contohnya desa adat intaran di sanur,
satu desa adat ini dibagi dalam 2 desa dinas yaitu kelurahan sanur dan desa sanur
kauh. jadi batas wilayah desa adat itu tdk wajib/selalu merupakan batas dari desa
dinas.

Desa Adat Bali Sebagai Masyarakat Hukum


Dalam kepustakaan hukum adat istilah masyarakat hukum atau lazim disebut dengan
persekutuan hukum diartikan sebagai kelompok pergaulan hidup yang bertingkah laku sebagai

satu kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin. Kelompok-kelompok ini mempunyai susunan
yang tetap dan kekal dan orang-orang yang ada di dalamnya masing-masing mengalami
kehidupannya sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut kodrat alam. Tidak ada dari seorangpun
dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran kelompok itu. Kelompok
manusia tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan mempunyai harta benda, misalnya
keduniaan dan milik gaib (lihat Soepomo, 1967 : 43 44, juga ter Har, 1974 : 27).
Persekutuan hukum adat seperti ini di jumpai di seluruh wilayah Indonesia dengan nama yang
berbeda-beda namun dengan ciri-ciri yang sama seperti misalnya Desa di Jawa, Desa Adat di
Bali, Nagari di Minangkabau, Marga di Sumatera Selatan, Kurnia di Tapanuli dan lain-lain.
Pada bagian lain, masyarakat hukum diartikan pula sebagai masyarakat yang membentuk aturan
hukumnya sendiri dan tunduk kepada aturan hukum yang dibuatnya itu (Kusumadi Pujosewoyo,
1961 : 46). Sejalan dengan ini maka persekutuan hukum adat sebagai satu masyarakat hukum
juga memiliki aturan hukum sendiri yang ditetapkan oleh kekuasaaan yang ada padanya. Aturan
hukum ini ditempatkan dalam satu tatanan lazim disebut dengan tata hukum. Jadi persekutuan
hukum adat itu memiliki tatanan hukum sendiri yakni tatanan hukum adat yang berlaku di
wilayah persekutuan hukum tersebut.
Hazairin mengemukakan bahwa masyarakat-masyarakat hukum adat sepeti desa di Jawa, Marga
di Sumatera Selatan, Nagari di Minangkabau, Jurnis di Tapanuli dan Wanau di Sulawesi Selatan,
adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk
sanggup bersiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan
lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. (Hazairin,
1970: 44).
Desa adat di Bali adalah persekutuan hukum adat dengan ciri-ciri seperti dikemukakan di atas,
namun selain itu dalam desa adat tersebut dijumpai pula ciri-ciri yang bersifat khusus yang tidak
ditemukan dalam jenis persekutuan hukum dari daerah lainnya. Ciri khusus ini berkaitan dengan
landasan filosofi Hindu yang menjiwai kehidupan masyarakat adat di Bali, yang dikenal dengan
konsep Tri Hita Karana yang artinya Tiga Sebab dari Kebahagiaan. Yang dimaksud adalah Tuhan
(Sang Hyang Widhi Wasa), alam (Bhuwana Agung) dan manusia (Bhuwana Alit). Ketiga wujud
ini terjelma dalam kehidupan desa adat dalam wujud Parahyangan (sebagai tempat memuja Sang
Hyang Widhi), Palemahan (sebagai wilayah dari desa adat) dan Pawongan (yaitu anggota dari
desa adat atau yang lazim disebut krama).
Secara lebih konkrit, penjelmaan dari unsur-unsur tersebut dalam desa adat adalah berupa:
1. Kahyangan tiga sebagai tempat pemujaan kehadapan sang Hyang Widhi Wasa dalam
manifestrasi-Nya sebagai Tri Murti.
2. Karang Desa sebagai konkrikasi proyeksi dari adanya Bhuwana yang tunduk di bawah
kekuasaan hukum teritorial Bale Agung.

3. Krama Adat sebagai suatu kesatuan hidup yang terorganisir da dalam wilayah kekuasaan
hukum teritorial Bale Agung secara selunglung sabhayantaka bersama-sama melaksanakan
seluruh aspek kehidupan adat istiadat. (Fakultas Hukum UNUD, 1970 : 10).
Penjelmaan dari konsepsi filosofi Tri Hita Karana seperti dikemukakan di atas di dalam
kenyataannya menunjukkan variasi yang beragama Unsur parahyangan, misalnya dapat dilihat
variasi berupa Kahyangan Tiga seperti dikemukakan di atas dan juga berupa KahyanganKahyangan Desa lainnya yang ada di desa itu sejak dulu dan mempunyai nilai historis. Ada juga
desa adat yang tidak memiliki Kahyangan Tiga tetapi hanya berupa satu atau dua bangunan
pemujaan saja yang memiliki fungsi untuk memuja kemahakuasaan Sang Hyang Widhi. Atas
dasar kenyataan ini maka tampaknya unsur Kahyangan Tiga tidak dapat dijadikan sebagai satusatunya bentuk penjelmaan dari parahyangan, Tepat sekali rumusan dari Perda No.6 tahun 1986
yang memberikan alternatif lain untuk Kahyangan Tiga yaitu dalam bentuk Kahyangan Desa
yang lebih fleksibel. Demikian juga dengan unsur Karang Desa sebagai penjelmaan dari
Bhuwana, tampak bervariasi sekali di lingkungan desa adat di Bali. Ada desa adat yang memiliki
karang desa seperti umumnya dijumpai di desa desa yang relatif"tua", namun banyak juga desa
adat yang tidak memilikinya seperti dijumpai di desa desa yang relatif "baru". Karenanya
"wilayah desa" lebih tepat kiranya digunakan untuk menunjukkan perwujudan dari unsur
bhuwana tersebut. Pengertian wilayah desa akan meliputi wilayah pemukiman ( tempat tinggal)
dan juga tanah-tanah pertanian yang menjadi satu kesatuan pula dengan kahyangan desa. Unsur
Krama Adat dalam lingkungan desa adat di Bali juga bervariasi dalam penentuan kriterianya.
Ada yang mendasarkan pada penguasaan tanah baik berupa karang desa atau tanah ayahan desa,
dan ada juga yang mendasarkan pada status perkawinan dari warganya. Dasar ini sekaligus juga
membawa perbedaan dalam status warga sebagai krama adat sehingga ada krama desa, ada
krama banjar, ada krama ngarep, ada krama ngele / penyade dan lain-lain. Namun ada satu
keseragaman untuk setiap desa adat yaitu bahwa mereka itu semua merniliki tanggung jawab
dalam pelaksanaan adat di wilayahnya masing-masing.
Walaupun variasi-variasi itu mewarnai desa adat di Bali, namun kesemuanya itu memberikan
gambaran mengenai adanya keanekaragaman situasi dari desa-desa adat tersebut dengan satu
dasar yang sama yaitu bahwa desa adat di Bali telah menampakkan dirinya sebagai satu kesatuan
dalam satu tatanan kehidupan yang dilandasi oleh awig-awig dengan pola keserasian antara
ketiga unsur utama dalam wujud kahyangan desa palemahan desa dan krama desa. Kesemuanya
itu tidak dapat dilepaskan dari pelaksanaan ketentuan adat yang dijiwai oleh Agama Hindu.

Ende, Desa Adat di Flores yang Luar Biasa


Putri Rizqi Hernasari - detikTravel - Kamis, 27/02/2014 19:43 WIB

SEJARAH KEBUDAYAAN ENDE LIO by


RENOL KOTA-NDONA
I.

SEJARAH KEBUDAYAAN SUKU ENDE-LIO DI FLORES

Ende merupakan Kota Kabupaten yang terletak di tengah-tengah pulau Flores, Propinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT), Indonesia. Di wilayah Kabupaten Ende terdapat dua (2) suku yang
mendiami daerah tersebut, yakni suku Ende dan Suku Lio. Pada umumnya suku Lio bermukim di
daerah pegunungan. Lokasinya sekitar wilayah utara Kabupaten Ende. Dan suku Ende bermukim
di daerah pesisir yakni bagian selatan Kabupaten Ende.
Pada dasarnya, bentuk kebudayaan kedua suku ini hampir sama, yang membedakannya adalah
hasil pencampuran kebudayaan atau akulturasi. Budaya suku Lio merupakan perpaduan suku asli
daerah Lio dengan ajaran Kristen Katolik yang dibawah oleh bangsa Belanda. Sedangkan budaya
suku Ende merupakan perpaduan budaya asli daerah Ende dengan budaya Islam yang dibawah
oleh pedagang-pedagang dari Sulawesi, yakni Makasar.

Sebab akibat masuknya ajaran Islam yang dibawah oleh kaum pedagang dari Makasar adalah
lokasi bermukim suku Ende yang terletak di daerah pesisir pantai. Mengingat jalur penghubung
menuju daerah luar pada saat itu hanya melalui transportasi laut, maka hal itu juga yang
menghubungkan jalur perdagangan, ditambah dengan sikap masyarakat suku Ende yang terbuka
pada hal-hal baru; dengan sendirinya para pedagang tersebut merasa bahwa kedatangannya
diterima.
Pada saat kapal niaga yang mengangkut para pedagang tersebut datang, mereka disambut baik
dan ramah oleh masyarakat setempat. Merasa kedatangan mereka diterima, sebagian dari
pedagang tersebut bahkan ingin menetap di daerah Ende dan menikah dengan orang-orang
masyarakat suku asli Ende. Berhubung para pedagang dari Makasar tersebut telah terlebih
dahulu memeluk Islam, maka mereka juga menyebarkan ajaran Islam pada masyarakat suku
Ende yang waktu itu masih memeluk ajaran nenek moyang (animisme).
Contoh perpaduan budaya asli Ende dengan budaya dari Makasar yakni pakaian adat wanita
yaitu Rambu (baju) yang hampir memiliki kesamaan bentuk dengan atasan baju Bodo (Baju Adat
wanita Sulawesi Selatan).
Berbeda dengan sejarah perkembangan agama Islam, Kristianitas, khususnya Katolik sudah
dikenal oleh Penduduk Lio sejak abad ke-16. Napak tilasnyanya diawali ketika tahun 1556
Pertugis tiba pertama kali di Solor dimana seperti yang kita ketahui bahwa mayoritas masyarakat
Protugis mengimani agama Katolik. Selanjutnya tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat (4)
Misonaris Dominikan untuk mendirikan misi permanen di Flores. Diikuti pembangunan benteng
di Solor tahun 1566 oleh Pastor Antonio da Cruz sehingga mempermudah penyebaran agama
Kristen di daerah Flores khususnya di daerah Lio. Tahun 1577 sudah terdapat sekitar 50.000
orang Katolik di Flores (Pinto, 2000: 33-37).
Meskipun terdapat dua agama yang hidup dalam wilayah yang masih memiliki satu rumpun
kebudayaan; kehidupan agama di wilayah Ende-Lio memiliki berbagai kekhasan. Bagaimana
pun hidup beragama di Ende-Lio sebagaimana di daerah lainnya sangat diwarnai oleh unsurunsur kultural, yaitu pola tradisi asli warisan nenek moyang. Di samping itu, unsur-unsur
historis, yakni tradisi-tradisi luar turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur
ini diberi bentuk oleh sistem kebudayaan Flores sehingga di daerah Ende-Lio terdapat semacam
pencampuran yang aneh antara kehidupan religius dan kekafiran (agama nenek moyang) (Vatter
1984:38)

II.

RIWAYAT MASYARAKAT ADAT ENDE-LIO

Penelusuran sejarah mengatakan bahwa penduduk pertama di pulau Flores adalah


manusia Wajak, yang muncul sekitar empat puluh ribu tahun lalu. Setelah zaman glatsial sekitar
empat ribu tahun yang lalu, Nusa Tenggara terpisah dari Asia daratan. Terjadilah imigran dari
Asia ke selatan. Kelompok imigran itu adalah manusia Proto Malayid yang berasal dari Yunani
dan pedalaman Indo Cina. Mereka mendiami Flores bagian barat dan tengah. Secara fisik mereka
itu memperlihatkan ciri-ciri manusia Malenesoid, Negroid, Papua dan Australoid.
Professor Yoseph Glinka (pakar Antropologi Ragawi) yang membuat studi tentang manusia NTT,
mengatakan: Ata Lio di Flores tengah merupakan penduduk tertua di Flores, Ata
Lio bertetangga dengan Ata Ende. Diantara keduanya tak terdapat hubungan geneologis.
Keduanya juga bertetangga denganAta Nagakeo di barat dan Ata Sikka di bagian timur
Sejauh mana ungkapan kebenaran penelitian ini, tentu membutuhkan pengkajian dan pembuktian
lebih mendalam. Yang jelas masyarakat adat dari dua etnis besar ini ada dalam satu kesatuan
geografis dan memiliki beberapa kesamaan budaya dan adat istiadat seperti cara berpikir dalam
membangun kampung adat serta acara atau ritual/seremonial.

III.

RIWAYAT PERKAMPUNGAN ADAT ENDE-LIO

Keberadaan kampung tradisional sebagai jawaban atas tuntutan kebutuhan akan rumah dan
kampung tempat tinggal bersama. Nenek moyang kedua etnis ini membangun rumah dan
perkampungan adat dengan menggunakan teknologi dan arsitektur tersendiri sebagai manifestasi
hasil cipta, karsa dan karya seni budaya di zamannya.
Sejarah membuktikan bahwa jauh sebelum peradaban modern, di wilayah Kabupaten Ende telah
hidup nenek moyang dari dua etnis dalam satu peradaban yang telah maju di zamannya. Mereka
memiliki kemampuan dalam mengekspresikan seni budayanya dalam bentuk karya sebuah
perkampungan tradisional yang bernilai tinggi arsitekturnya sehingga hal ini menjadi bahan
penelitian para pakar bangunan.
Perkampungan tradisional dengan bangunan-bangunan rumah adat dan bangunan pendukung
lainnya seperti Keda, Kanga, Tubu Musu merupakan warisan leluhur, walaupun di beberpa
tempat sudah mengalami perubahan dan kepunahan dari bentuk aslinya akibat proses alam,
perjalanan waktu dan ulah manusia. Namun demikian tetap mempunyai nilai sejarah dan daya
tarik bagi pencinta wisata budaya.
Rasa kebersamaan dan tanggung jawab untuk menjaga dan meneruskan warisan budaya nenek
moyang masih mewarnai kehidupan masyarakat adat sekarang seperti dalam upaya membangun
kembali kampung dan rumah adat diNggela, Wiwipemo, Jopu, Mbuli, Wologai, Ndona dan
beberapa tempat lain. Kegiatan ini berkembang menjadi atraksi wisata budaya. Beberapa tempat
yang memiliki tradisi tersebut adalah kampung-kampung tradisional yang tersebar dalam
wilayah Kabupaten Ende

seperti Ranggase, Moni, Tenda, Nuakota, Pora,Wolojita, Wolopau, Nuamulu, Sokoria, Kurulimb
u, Ndungga, Wololea, Woloare,Wolofeo, Saga, Puutuga, dll.
Salah satu perkampungan dan rumah adat tradisonal yang masih utuh bangunannya adalah di
Ngalupolo, terletak di Kecamatan Ndona. Perkampungan tua yangm menarik dan mempunyai
bentuk rumah yang unik dengan arsitektur khas Ende-Lio walaupun atapnya mirip Joglo seperti
di pulau Jawanamun berbeda latar belakang filosofisnya.
Rumah tinggal dan perkampungan tradisional yang dibangun nenek moyang tersebut,
memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya sehingga tampak unik dan memberikan
kedamaian bagi penghuninya.
Perjalanan waktu yang begitu panjang dan akulturasi budaya akibat masuknya etnis pendatang
dari luar, seperti dari Bugis, Makasar dan Bima telah mempegaruhi kehidupan budaya
masyarakat setempat. Pada awalnya nenek moyang Ata Ende membangun rumah dan
perkampung adat sama seperti Ata Lio, namun pada perkembangannya mengalami perubahan
yang kemudian disebut Sao Panggo atau Tiga Tezu (Rumah Panggung Tiga Kamar) dimana
tiang dan lantainya terbuat dari balok kayu atau kelapa gelondongan, berdinding bambu, beratap
daun kelapa atau sirap bambu dengan bentuk atap memanjang dan puncaknya dihias seperti sirip
ikan. Rumah ini memiliki kolong.

IV. STRUKTUR GEOGRAFIS WILAYAH ENDE-LIO


Batas Wilayah Kabupaten Ende:
Sebelah Utara Kabupaten Ende Berbatasan dengan Laut Flores di Nangaboa dan Ngalu
Ijukate
Sebelah Selatan Kabupaten Ende berbatasan dengan Laut Sawu juga di Nangaboa dan Ngalu
Ijukate

Sebelah Timur Kabupaten Ende berbatasan dengan Kabupaten Sikka

Sebelah Barat Kabupaten Ende berbataan dengan Kabupaten Ngada

Kabupaten Ende mempunyai Luas 2.046,60 km. dengan wilayah administratif yang terdiri dari
20 Kecamatan yang dibagi lagi menjadi 165 Desa dan 20 Kelurahan. Secara terperinci 20
wilayah Kecamatan yang ada di Kabupaten Ende, yakni,
1. Kecamatan Ngapanda

2. Kecamatan Pulau Ende


3. Kecamatan Maukaro
4. Kecamatan Wewaria
5. Kecamatan Detusoko
6. Kecamatan Wolojita
7. Kecamatan Wolowaru
8. Kecamatan Kelimutu
9. Kecamatan Maurole
10. Kecamatan Detukeli
11. Kecamatan Kota Baru
12. Kecamatan Lio Timur
13. Kecamatan Ende
14. Kecamatan Ende Selatan
15. Kecamatan Ndona
16. Kecamatan Ndona Timur
17. Kecamatan Ndori
18. Kecamatan Ende Timur
19. Kecamatan Ende Tengah
20. Kecamatan Ndona Timur.

V.

SENI SASTRA ENDE-LIO

Kabupaten Ende mempunyai dua etnik, yaitu etnik Ende dan etnik Lio. Kedua suku ini
mempunyai gaya bahasa yang berbeda baik dalam kata-kata maupun dialek/logatnya; sehingga
dari segi bahasanya suku Ende disebut ata ja dan suku Lio disebut ata ina. Selain bahasa
sehari-hari atau bahasa pasar, ada pula bahasa adat dalam ungkapan kata-kata adat maupun
berbentuk lagu mengandung seni sastra yang sangat tinggi yang dipertahankan secara turun

temurun hingga kini. Ungkapan kata-kata adat hanya digunakan pada saat berbagai acara adat
maupun acara ritual/seremonial adat dan acara-acara lainnya yang berkaitan dengan adat.
Adapun seni sastra yang ada di Ende-Lio diantaranya:
a. Sua
Yakni, ungkapan kata-kata adat yang mengandung arti dan makna pada suatu benda untuk
memperoleh kekuatan pada benda tersebut bila digunakan sebagai sarana.
b. Sua Sasa
Ungkapan kata-kata adat yang bersifat kutukan atau membalas/mengembalikan kejahatan yang
dibuat oleh orang lain baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi.
c. Soa Somba
Ungkapan kata-kata adat yang bersifat permohonan agar dalam kegiatan/usaha memperoleh
hasil yang berlimpah atau yang memuaskan.
d. Soa Sola
Ungkapan kata-kata adat yang bersifat permohonan agar dalam kegiatan/usaha memperoleh hasil
yang berlimpah atau yang memuaskan.
e. Bhea
Ungkapan kata-kata adat yang merupakan syair kebanggaan dari suku-suku/kaum keluarga
secara turun-temurun; diucapkan pada saat seremonial adat dan juga awal dari tarian woge.
f. Nijo
Ungkapan kata-kata adat/doa dengan kata kunci atau Ine yang dilakukan olehAta Bhisa
Mali/Dukun dalam proses penyembuhan orang sakit, seperti NijoRuu atau penyakit lainnya.

g. Nunga Nage
Berbagai jenis cerita rakyat seperti mite, sage, legenda, dll. Diceritakan oleh orang tua pada
saat senggang atau menjelang tidur dan juga pada saat memetik hasil panen.
h. Lota
Membaca tulisan naskah/syair pada daun lontar/wunu keli dalam bahasa dan tulisan
sansekerta. Hal ini merupakan satu keanehan karena bahasanya tidak dimengerti tetapi orang

senang mendengarnya. Membaca naskah Lota ini sebenarnya merupakan busaya Jawa yang telah
menjadi akar budaya Ende dan dipertahankan secara turun-temurun hingga kini.
i. Sodha
Ungkapan kata-kata adat dengan nada pada acara Gawi dan susunan kata-katanya disesuaikan
dengan acara pesta adat yang diperuntukan. Sodhadibawakan oleh salah satu orang yang telah
ditunjuk. Sodha Gawi tidak dibatasi dengan waktu dan yang paling unik yaitu syairnya tidak
ditulis dan bukan semua orang menjadi pe-sodha, melainkan hanya orang-orang tertentu.
j. Doja
Menyanyikan lagu yang dipersiapkan secara khusus dalam suatu acara baik dalam pesta adat
maupun lagu pernikahan atau lagu hymne dinyanyikan secara serius dengan penuh penghayatan.
Lagu-lagu yang dinyanyikan disebut juga lagu selamat.
k. Jenda
Dinyanyikan secara spontan/tanpa teks oleh seseorang atau dua orang secara bergantian
dengan syair pele nek seperti berbalas pantun pada acara seremonial adat. Jenda biasanya dalam
posisi duduk dan isinya antara lain mengisahkan perjalanan hidup; bila dinyanyikan oleh dua
orang kata-katanya merupakan sindiran.

l. Woi Nada
Ratapan yang mengisahkan perjalanan hidup pasangan muda-mudi yang menyedihkan dalam
cerita rakyat Ende-Lio dan ada pula Woi yang dilakukan para dukun/bhisa mali dalam mengobati
orang sakit dengan melagukan nadawoi dalam keadaan tanpa sadar untuk menelusuri penyebab
sakit/penyakit.
m. Peo Oro
Yaitu menyanyikan lagu-lagu tradisional oleh peo/solo dan dijawab oleh
koor/oro. Peo Oro ini sangat kaya, karena untuk mengatasi sesuatu pekerjaan yang berat menjadi
ringan, seperti:
- Mboka : Goro watu rate dan balok menggunakan rumah adat wau barang berat lainnya
dengan cara menarik bersama-sama.
-

O Lea: Lagu dalam kebersamaan meniti jagung yang dipanen.

Rongi : membuka lahan atau kebun

Dawe Dera: menanam tanaman

Debu Dera: menetas padi, dll.

n. Soka Ke Lai Lowo:


Syair lagu untuk menina-bobokan anak kecil dan lagunya hampir sama dengansodha, hanya
syairnya merupakan kata-kata jenaka dan Soka Ke ini juga dipakai dalam acara gawi yang tidak
resmi disebut Sodha Lai Lowo.
o. Ndeo
Penyanyi menyanyikan lagu secara bebas baik secara serius maupun bersifat
jenaka/menghibur dalam berbagai acara. Ndeo ini berkembang menjadi pop Ende-lio dalam
rekaman audio-visual berbentuk kase/VCD yang berkembang pesat menjadi hasil produksi para
seniman/seniwati Kabupaten Ende.

VI.

SENI TARI ENDE-LIO

Tarian Ende-Lio adalah sebua tarian daerah yang mengekspresikan rasa lewat tatanan gerak
dalam irama musik dan lagu. Dilihat dari tata gerak dan bentuknya, tarian Ende-Lio dapat
dibagikan beberapa jenis, diantaranya yaitu:

Toja

Kelompok penari menarikan sebuah tarian yang telah ditatar dalam bentuk ragam dan irama
musik/lagu untuk suatu penampilan yang resmi

Wanda

Penari dengan gayanya masin-masing, menari mengikuti irama musik/lagu dalam suatu
kelompok atau perorangan.

Wedho

Menari dengan gaya bebas dengan mengandalkan gerak kaki seakan-akan melompat; dengan
mengandalkan kelincahan kaki dengan penuh energi dan dinamis, dilengkapi dengan
sarana mbaku dan sau atau perisai dan pedang/parang.

Gawi

Gerak tari dengan menyentakan kaki pada tanah.

Untuk istilah toja dan wanda sebenarnya sama arti yaitu menari, hanya cara dan fungsinya
berbeda dan kata wanda untuk suku Lio berarti Toja. Dari generasi ke generasi para instruktur
tari/peata tari telah banyak menciptakan tarian dianataranya, yaitu:
a.

Gawi Naro

Jenis tarian ini berbentuk lingkaran mengelilingi tubu musu dengan cara berpegangan tangan dan
menyentakan kaki dalam bentuk dua macam ragam yairu Ngendo dan Rudhu atau ragam mundur
dan maju.
b. Tekka Se
Tarian ini bentuknya seperti gawi/naro, hanya berupa gerakan kaki satu ragam dan gerakan
putaran lebih cepat dari gawi/naro. Keunikan dari Tekke Se, pada bagian tengah lingkaran
dinyalakan dengan bara api atau api unggun, dan tarian ini diadakan pada setiap acara seremonial
di wilayah Nangapanda dan sekitarnya
c.

Wanda/Toja Pau

Tarian massa penampilan secara perorangan/individual dalam suatu acara, biasanya menari
diiringi dengan selendang diiringi musik nggo wani, lambaatau musik feko genda. Biasanya bila
penari wanita selesai menari, dia harus memberikan selendang tersebut kepada laki-laki, atau
lebih khususnya yaituana no, demikian sebaliknya ana no memberi selendang
kepada anaeda/bele untuk menari.
d. Neku Wenggu
Tarian ini berbentuk arak-arakan oleh sekelompok penari dalam acara penjemputan atau
mengantar sarana pa loka/sesajian atau para tamu dan lain-lain. Bentuk
tarian neku wenggu sangat banyak dengan masing-masing nama dari setiap daerah di Ende-Lio,
diantaranya yaitu: Napa Nuwa, Poto Wolo,Poto Pala, Goro Watu/Kaju, dll.
e.

Tarian Joka Sapa

Tarian ini tergolong tarian nelayan dan juga ada jenis yang sama seperti tarianManu Tai di
Ngalupolo-Ndona. Kekhasan tarian ini, para gadis/penari dengan pakaian nelayan diiringi
dengan musik/lagu gambus. Adapula tarian nelayan dibawakan oleh masyarakat di pesisir pantai
Ende Selatan/Utara dengan berbagai nama tarian seperti: terian Nelayan, tarian Irikiki,
terian Geru Gaga, Tarian Manusama, Tarian Wesa Pae, dll.

f.

Tarian Mure

Mure artinya saling mendukung, tarian ini terdiri dari para ibu/gadis dari keluarga mosalaki
di Nggela, Pora, Waga yang diadakan pada acara ritual adat memohon hujan. Tarian ini dengan
kostum tradisional, lawo tege kasa dan tidak berbaju, musik pengiringnya
yaitu nggo wani/Lamba disertai dengan lagu yang khas Wenggu untuk tarian Mure.
g. Tarian Sangga Alu/Assu
Tarian ini awalnya adalah permainan dan lambat laun berkembang menjadi sebuah tarian dan
penarinya terdiri dari 2 (dua) pasang muda-mudi disertai dengan seorang ana jara. Dalam
penampilan dibutuhkan 4 hingga 8 orang pemain bambu palang dengan cara menyentak dan
menjepit secara serentak. Para penari memasukan kaki diantara bambu dari tempo lambat hingga
tempo cepat, selanjutnya dipadukan dengan irama lagu serta ana jara menari mengelilingi
penari/pemain bambu palang.
h. Jara Angi
Tarian jara angi atau kuda siluman dan yang paling popular disebut Tari Kuda Kepang,
penarinya terdiri dari anak-anak atau para remaja pria. Penari dilengkapi dengan kuda yang
dibuat dari Mbao (selendang pinang) atau daun kelapa yang dianyam dengan bentuk seperti
kuda.
i.

Tarian Pala Tubu Musu

Penari terdiri dari para ibu/gadis dari setiap keluarga mosalaki di Wolotopo-Ndona, dengan
seorang laki-lai sebagai penari woge untuk upacara pa lokaatau memberi sesajian di tubu musu.

j.

Tarian Dowe Dara

Tarian dowe dara ditarikan pada saat menanam tanaman. Para penari terdiri dari 2 (dua)
kelompok yairu kelompok laki-laki dan kelompok perempuan, dengan upacara ritual adat di
tempat Mopo (ditengah-tengah ladang).
k. Tarian Napa Nuwa
Tarian ini sebagai luapan kegembiraan dari para pejuang yang telah menang dalam peperangan.
Penari terdiri dari beberapa pejuang atau beberapa orang laki-laki, dilengkapi dengan alat perang
yaitu mbale dan sau sambil bergerak dalam bentuk lingkaran. Tarian ini diawali
dengan neku wenggu dilanjutkan dengan bhea dan woge serta ru atau agak dengan sau sambil
bergerak dalam bentuk lingkaran. Tarian dari Desa Wolotopo ini diiringi dengan
musik NggoLamba/Wani dan lagu Da Seko.

l.

Tarian Ule Lela Nggewa

Judul tarian ini identik dengan lagunya yang sangat khas, bila orang mendengar atau
menyanyikan lagu Ule Lela Nggewa pasti akan ingat dengan tariannya. Dalam tarian ini
penarinya terdiri dari para gadis dan musik pengiringnya hanya sebuah gendang, Pada zaman
dahulu para leluhur menggunakan batu sebagai musik pengiringnya. Tarian ini telah membawa
NTT dalam tingkat Nasional di Jakarta dibawakan oleh Sanggar Seni Budaya NTT dan Festival
Seni Budaya di berbagai Negara dibawakan oleh Yayasan Budaya Bangsa.
m. Tarian Woge
Tarian woge diiringi dengan nggo lamba/wani dengan irama yang khas. Tarian ini biasanya
ditarikan oleh satu orang atau secara individual pada upacara adat didahului dengan katakata/syair atau bhea. Penari dilengkapi dengan alat-alat perang seperti mbaku dan sau atau
perisai dan pedang/parang, pada pergelangan kaki dikat dengan untaian woda atau lonceng
giring-giring. Dewasa ini dasar dari tarian woge berkembang menjadi tarian secara group/massa
dengan tata gerak atau ragamnya serta design lantai digarap dengan berik sehingga menjadi
sebuah tarian yang indah.

Di Kabupaten Ende masih sangat masih sangat banyak tarian yang sudah dikenal oleh
masyarakat luas yang belum dapat kami uraikan secara satu persatu. Kekayaan seni tari selain
tari tradisional yang menyangkut upacara adat, ada pula para instruktur tari menampilkan
karyanya dengan judul dari berbagai jenis burung, berladang, menenun, nelayan, dan tari kreasi
baru lainnya.

VII. KERAJINAN TENUN IKAT MASYARAKAT ENDE-LIO


Sebagian besar masyarakat Ende-Lio hidup dari bercocok tanam, nelayan dan beternak seperti
kerbau kuda, sapi dan kambing. Jenis-jenis hewan tersebut dipergunakan sebagai alat
pembayaran mas kawin. Dan kehidupan masa lampau juga sering memanfaatkan hewan kuda
sebagai sarana transportasi. Selain profesi tersebut hal yang sangat menonjol dari daerah suku
Ende-Lio adalah kerajinan tenun ikatnya. Meski demikian diantara kedua wilayah suku ini
sedikit memiliki perbedaan jenis kerajinan tenun ikat.

Kerajinan Tenun Ikat Ende

Seperti halnya di Sumba dan Timor, menenun dikerjakan oleh para wanita. Kepandaian menenun
ini diwariskan secara turun-temurun, dan telah dipelajari sejak mereka masih kecil. Salah satu
tradisi para wanita penenun yang menarik yaitu kebiasaan memakan sirih khususnya saat

sepanjang hari mereka bertenun. Jenis-jenis kain tenun yang dihasilkan adalah selendang lebar
yang berfungsi sebagai selimut bagi laki-laki dan sarung untuk wanita. Selimut atau selendang
juga digunakan sebagai penutup jenasah yang akan dimakamkan. Selain sebagai selimut dan
pakaian yang dijual bebas di pasaran, kain tenun juga dipergunakan sebagai perlengkapan
upacara adat, sebagai pakaian adat, pakaian upacara dan juga mass kawin.
Beragamnya fungsi dan banyaknya permintaan kain tenun ikat, membawa banyak perubahan
dalam proses pembuatannya. Selain digunakan pewarna sintesis, kini benang rayon juga
digunakan sebagai bahan baku kain tenun ikat. Meskipun demikian, kain tenun ikat dicelup
dengan pewarna alami dan menggunakan bahan baku tradisional yaitu benang dari kapas juga
masih ada.
Tenun ikat Ende dibuat dari bahan kapas yang dipilih oleh penenunnya sendiri. Benangnya kasar
dan dicelup warna biru indigo. Kain dihiasi dengan ragam hias bentuk geometris aneka warna
yang cerah dan menyolok.
Hasil tenunan di daerah Ende sedikit bergaya Eropa. Lokasinya yang terletak di daerah pesisir
pantai selatan Flores memungkinkan orang-orang Ende pada masa lalu berhubungan dengan
orang Eropa. Tenun ikat Ende lebih banyak menggunakan warna cokelat dan merah. Salah satu
ragam hias kain tenun Ende yang berbeda dengan kain tenun daerah-daerah lainnya adalah hanya
menggunakan satu motif pada bidang tengah-tengah kain. Motif tersebut diulang-ulang dan baru
berhenti pada jalur pembatas bermotif sulur di kedua ujung kain yang menyerupai tumpal dan
diberi hiasan rumbai-rumbai. Jalur pembatas kain-kain tenun Ende pada umumnya tidak hanya di
kedua ujung kain, melainkan dapat dibuat di bagian tengah, samping kedua ujung atau pinggir
kain.

Kerajinan Tenun Ikat Lio

Salah satu daerah di Flores yang cukup menonjol dalam pembuatan kain tenun ikatnya adalah
daerah Lio. Ragam hias kain tenun ikat dari daerah ini diilhami oleh kain patola India berupa
motif ceplok seperti jelamprang pada kain batik. Selain motif ceplok kain dari Lio ini juga dihias
dengan motif daun dan ranting. Kain patola diperkenalkan oleh para pedagang dari Portugis,
yang pada abad keenam belas mengadakan perdagangan dan pertukaran kain patola dengan
rempah-rempah dari Nusantara bagian timur. Bangsa Portugis dan bangsa-bangsa Eropa lain
(Belanda dan Jerman) meninggalkan pengaruh yang begitu besar, terutama karena banyaknya
misionaris.
Kain tenun ikat dengan motif patola mempunyai nilai tinggi. Oleh karena itu, daerah-daerah
tenun di wilayah Nusa Tenggara Timur memiliki motif-motif patola yang diperuntukan khusus
bagi kalangan raja-raja, pejabat dan tokoh adat yang jumlahnya terbatas. Kain tenun Lio dengan
ragam hias patola ini juga hanya dipergunakan di kalangan keluarga kepala adat atau pendiri

kampung yang disebut mosalaki. Bahkan kain dianggap sangat istimewah hingga ikut
dikuburkan bersama jenazah seorang bangsawan atau raja. Selain itu kain patola dari Lio
panjangnnya mencapai sekitar empat meter.
Ciri khas motif tenun Lio yang lain adalah ukurannya yang kecil dengan bentuk geometris,
manusia, biawak dan lain-lain yang disusun membentuk jalur-jalur kecil berwarna merah atau
biru di atas dasar warna gelap. Kain tenun Lio ini juga diberi hiasan tambahan atau aplikasi
dengan manik-manik dan kulit kerang. Pakaian dengan hiasan khusus ini hanya dipergunakan
dalam upacara-upacara adat tertentu.
Selain terkenal dengan tenunnya, Lio juga penghasil kerajinan tembikar berupa kebutuhan rumah
tangga khususnya peralatan dapur yang terbuat dari tanah liat. Ada satu kesamaan ragam hias
pada kain tenun ikat dan barang tembikar yaitu goresan garis-garis geometris seperti bentuk
maender, kait, belah ketupat, tumpal dan lainya yang sering terdapat pada ragam hias ikat pada
kain tenun dan anyaman.

VIII. ANEKA WISATA DI DAERAH ENDE-LIO

Danau Kelimutu

Ende adalah wilayah yang menyenangkan dengan panorama bukit yang mengelilingi. Pada
kawasan perbukitan yang mengelilingi Ende terdapat gunung Meja (661 m) yang berada
berdekatan dengan Bandar Udara Arubusman. Sementara gunung yang lebih besar,
gunung Iya berada di sebelah selatannya. Pada Bulan Desember 1992 sebuah gempa bumi
menghancurkan dan memporak-porandakan Ende namun saat ini telah kembali normal. Ende
memiliki cuaca panas dan berdebu khusunya pada saat akhir musim kering.
Bumi Kabupaten Ende yang berbukit-bukit ternyata menyimpan keindahan yang luar biasa.
Disinilah terdapat gunung Kelimutu , di kawasan Taman Nasional Kelimutu. Terdapat juga
Danau Kelimutu yang disebut juga Danau Tiga Warna yang begitu terkenal. Bahkan, danau ini
oleh dunia disebut sebagai salah satu dari Sembilan Keajaiban Dunia.
Keindahan danau ini dikenal luas setelah Y. Bouman melukiskan dalam tulisannya tahun 1929.
Sejak itu wisatawan asing mulai datang menikmati danau yang dikenal mistik oleh masyarakat
setempat. Mereka yang datang bukan hanya pencinta keindahan, tetapi juga para peneliti yang
ingin tahu fenomena alam yang amat langkah ini. Kawasan Kelimutu telah ditetapkan menjadi
Kawasan Konservasi Alam Nasional sejak 26 Februari 1992.
Gunung Kelimutu meletus terakhir pada 1886 dan meninggalkan tiga kawah berbentuk danau
yang airnya berwarna merah (tiwu ata polo), biru (tiwu koo fai nuwa muri) dan putih (tiwu ata
bupu). Ketiga warna ini mulai berubah sejak 1969 saat meletusnya gunung Iya di Ende, dan
perubahan warna itu pernah serupa.

Menurut kepercayaan masyarakat setempat, danau dengan air warna merah merupakan tempat
berkumpulnya para arwah orang jahat. Danau biru untuk arwah para muda-mudi, dan danau
berwarna putih untuk arwa orang tua. Para arwah diyakini akan bermukim di danau itu sesuai
status sosialnya.

Rumah Pengasingan Bung Karno Di Ende

Setelah puas menikmati keindahan panorama Danau Kelimutu, wisatawan bisa singgah di rumah
bekas pengasingan Proklamator RI Soekarno yang terletak di jantung kota Ende. Di sini
tersimpan barang-barang milik Soekarno ketika menjalani masa pengasingan selama empat tahun
di Ende. Rumah yang terletak di jalan Perwira, Kota Ende itu tampak seperti layaknya
permukiman penduduk karena kosntruksinya menyerupai permukiman di sampingnya.
Hal yang membedakannya adalah sebuah papan nama bertuliskan Situs, Bekas Rumah
Pengasingan Bung Karno di Ende yang terpampang di halaman depan. Di rumah yang
berukuran 12X9 meter ini, Presiden pertama Republik Indonesia itu menjalani masa pengasingan
oleh kolonial Belanda selama empat tahun (1934-1938).
Dalam berbagai catratan yang mengupas tentang masa pengasingan Bung Karno di Ende Pulau
Flores NTT salah satu yang paling diminati masyarakat adalah buku berjudul Bung Karno,
Ilham Dari Flores Untuk Nusantara. Buku ini menceritakan perenungan Bung Karno di
bawah sebuah pohon Sukun bercabang lima yang melahirkan gagasan lima butir Pancasila.
Kelima butir Pancasila secara resmi diumumkan Bung Karno pada 1 Juni 1945 di depan
sidang Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai.
Rumah Soekarno dan pohon sukun menjadi dua saksi sejarah yang berada di jantung kota Ende
yang tetap terpelihara dengan baik sampai sekarang. Di kalangan masyarakat Ende, rumah
pengasingan bung Karno ini dianggap sakral.

Museum Bahari Ende

Wisatawan yang berada di Ende dapat juga menikmati Museum Bahari yang dibangun dengan
koleksi antara lain biodata laut. Museum ini dapat dikunjungi setiap hari dan disebelah terdapat
Museum Rumah Adat yang berbentuk rumah adat dengan ukuran besar.
Di depannya terdapat bangunan bergaya desa adat yang dilengkapi altar persembahan. Rumah
tradisional masyarakat Ende yang berada di atas tiang dapat ditemui di Wolotopo yang terletak
sekitar 8 Km di wilayah timur kota Ende.

Perkampungan Wisata Moni

Moni adalah sebuah desa yang cantik dengan udara pegunungan yang sejuk dan tempat yang
menyenangkan untuk berjalan-jalan. Desa ini merupakan pintu gerbang bagi wisatawan yang
akan menuju ke Danau Kelimutu. Wilayah Desa Moni yang berada di jalur jalan EndeMaumere
merupakan pusat dari wilayah Lio yang meliputi kawasan mulai dari timur Ende hingga ke
Wolowaru.
Beberapa desa di sekitar Moni merupakan sentral kerajinan tenun ikat antara lain di Desa
Wolowaru yang berada di jalan raya menuju Maumere. Desa yang terletak sekitar 13 Km di
tenggara Moni ini dapat menjadi titik awal perjalanan menuju ke beberapa desa lainnya yang
juga menjadi sentral kerajinan tenun ikat seperti Jopu, Wolojita dan Nggela.
Produksi kain tenun ikat di Nggela dikerjakan dengan tangan dan menggunakan celupan pewarna
alami. Hasil kain tenun dari Nggela merupakan salah satu yang terbaik di Flores. Di Nggela,
wisatawan dapat langsung menyaksikan penduduk setempat membuat kain tenun ikat.

Anda mungkin juga menyukai