Anda di halaman 1dari 18

HUKUM ADAT

Struktur masyarakat genealogis,


Struktur masyarakat teritorial,
Corak masyarakat hukum adat

RENA AMINWARA
FAKULTAS HUKUM UMMAT
 Soepomo, Soerjono Soekanto : Susunan masyarakat hukum
adat terbagi menjadi :
1. berdasarkan pertalian suatu keturunan (dasar Genealogi)
2. berdasarkan lingkungan daerah (Teritorial)
3. berdasarkan keturunan dan lingkungan daerah (dasar
genealogis & teritorial)

 Yang dominan dalam masyarakat hukum adat di Indonesia


adalah faktor genealogis

 Faktor Genealogis ini melahirkan masyarakat yang


1. Patrilineal, yaitu masyarakat yang bercorak “kebapakan”
atau
2. Matrilineal, yaitu masyarakat yang bercorak “keibuan”, atau
3. Parental, masyarakat yang berdasarkan garis keturunan
orang tua (bapak dan ibu).
STRUKTUR MASYARAKAT GENEALOGIS
 Masyarakat genealogis adalah bentuk kelompok masyarakat
yang para anggotanya terikat oleh garis keturunan yang sama
dari satu leluhur baik secara langsung karena hubungan darah
atau pertalian karena perkawinan.
 Pertalian karena genealogis ini, dibedakan atas 3 (tiga) pertalian
keturunan, yaitu:
1. Patrilineal, yaitu masyarakat hukum menurut garis keturunan
laki-laki, di mana susunan pertalian masyarakat tersebut
ditarik menurut garis keturunan bapak. Bentuk masyarakat ini
terdapat pada masyarakat suku Batak, Lampung, Bali, Nusa
Tenggara Timur, Maluku dan Irian.
2. Matrilineal, yaitu masyarakat hukum menurut garis
perempuan, masyarakat yang tersusun berdasarkan garis
keturunan ibu. Bentuk masyarakat seperti ini, terdapat pada
masyarakat Minangkabau, masyarakat Kerinci, Semendo di
Sumatera Selatan dan beberapa suku di Timor.
3. Parental, yaitu masyarakat yang tersusun menurut garis
keturunan orang tua, yaitu bapak dan ibu secara bersama-sama.
Disebut bilateral karena terdiri dari keturunan ibu dan bapak.
Bentuk masyarakat seperti ini, terdapat pada suku Bugis dan
umumnya masyarakat di Sulawesi, Dayak, dan Jawa.

STRUKTUR MASYARAKAT TERITORIAL


 Masyarakat teritorial adalah masyarakat hukum yang anggota-
anggotanya terikat pada hukum suatu wilayah atau hukum
daerah tempat tinggal yang sama atau kediaman tertentu.
 Pertalian ikatan di antara anggotanya karena dilahirkan, tumbuh
dan berkembang hingga dewasa di tempat yang sama.
 Landasan yang mempersatukan para anggota masyarakat
hukum adat yang strukturnya bersifat teritorial adalah ikatan
antara orang dengan tanah menjadi inti azas teritorial itu.
 Terdapat 3 (tiga) bentuk masyarakat hukum teritorial, sebagai
berikut:
1. Masyarakat hukum disebut persekutuan DESA,
 merupakan tempat tinggal bersama, di mana warga terikat
pada suatu tempat tinggal yang meliputi desa-desa atau
perkampungan di mana semua tunduk pada pimpinan
tersebut.
 Mereka hidup bersama berazaskan pandangan hidup, cara
hidup, dan sistim kepercayaan yang sama,
 Oleh karena itu, merupakan suatu kesatuan suatu tata-
susunan, yang tertentu, baik keluar maupun kedalam yang
menetap pada suatu tempat kediaman bersama
 Masyarakat hukum desa ini melingkupi pula kesatuan-
kesatuan yang kecil yang terletak diluar wilayah desa yang
sebenarnya, yang lazim disebut teratak atau dukuh, tetapi
yang juga tunduk pada penjabat kekuasaan desa dan, oleh
sebab itu, baginya juga merupakan pusat kediaman.
 Contoh desa-desa di Jawa dan Bali. Desa di Jawa mempunyai
persekutuan hukum yang mempunyai tata susunan tetap, ada
pengurus adat, ada wilayah adat, ada harta benda adat, dan
umumnya tidak mungkin untuk dibubarkan.

2. Masyarakat hukum disebut persekutuan WILAYAH/DAERAH,


 Merupakan kesatuan dari beberapa tempat
kediaman/wilayah, yang masing-masing mempunyai pimpinan
sendiri.
 Biarpun masing-masing masyarakat hukum desa yang
tergabung dalam masyarakat hukum wilayah itu mempunyai
tata susunan dan pengurus sendiri-sendiri, tetapi masyarakat
hukum desa tersebut merupakan bagian yang tak terpisah dari
keseluruhan, yaitu merupakan bagian yang tak terpisah dari
masyarakat, hukum wilayah sebagai kesatuan sosial teritorial
yang lebih tinggi.
 Dengan kata-kata lain: masyarakat hukum desa itu
merupakan masyarakat hukum bawahan yang juga memiliki
harta benda, menguasai hutan dan rimba yang terletak
diantara masing-masing kesatuan yang tergabung dalam
masyarakat hukum wilayah dan tanah, baik yang tergabung
dalam masyarakat hukum wilayah dan tanah, baik yang
ditanami maupun yang ditinggalkan atau belum dikerjakan.
 Bentuk seperti ini, misalnya nagari di Minangkabau, marga
di Sumatera Selatan, Lampung, dan kuria di Tapanuli.

3. Masyarakat hukum disebut PERSERIKATAN DESA,


 gabungan dari beberapa desa atau marga yang terletak
berdampingan, di mana masing-masing berdiri sendiri.
 Beberapa desa ini bergabung untuk melakukan kerja sama untuk
kepentingan bersama, seperti subak di Bali.
 Melulu dibentuk atas dasar kerjasama diberbagai-bagai
lapangan demi kepentingan bersama masyarakat hukum desa
yang tergabung dalam masyarakat hukum serikat desa itu.
kerjasama itu dimungkinkan karena kebetulan berdekatan
letaknya masyarakat hukum desa yang bersama-sama
membentuk masyarakat hukum serikat desa itu.

STRUKTUR MASYARAKAT GENEALOGIS-TERITORIAL


 Masyarakat genealogis-teritorial adalah kesatuan masyarakat
yang para anggotanya tidak saja terikat pada kediaman, tetapi
juga terikat pada hukum hubungan keturunan dalam ikatan
pertalian darah dan/atau kekerabatan.
Untuk manjadi anggota persekutuan hukum Genealogis –
Teritorial ini wajid dipenuhi dua syarat sekaligus yaitu:
1. Harus masuk dalam kesatuan Genealogis dan
2. Harus berdiam di dalam daerah persekutuan yang
bersangkutan
Susunan masyarakat yang demikian ini terdapat antara lain :
- Mentawai (Uma)
- Tapanuli (Kuria dan Huta)
- Minagkabau (Nagari)
- Palembang (Marga dan Dusun)
- Maluku (Negorij)

 Djamanat Samosir : Bentuk masyarakat seperti ini, terdapat


pada masyarakat kuria dengan huta-huta pada masyarakat
Tapanuli Selatan, umi di Mentawai, euri di Nias, nagari di
Minangkabau, marga dengan dusun-dusun di Sumatera Selatan,
marga dengan tiyuh-tiyuh di Lampung
CORAK MASYARAKAT HUKUM ADAT INDONESIA
 Sifat dan corak hukum adat tersebut timbul dan menyatu dalam
kehidupan masyarakatnya, karena hukum hanya akan efektif dengan
kultur dan corak masyaraktnya.
 Pola pikir dan paradigma berfikir adat sering masih mengakar dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari sekalipun ia sudah memasuki
kehidupan dan aktifitas yang disebut modern.
 Corak dari hukum adat hanya dapat diketahui dengan secara
sungguh-sungguh ajaran-ajaran hukum adat menjadi jiwanya.
 Ajaran-ajaran itu dapat disimpulkan dari :
1. pepatah-pepatah, kata-kata kias yang mendalam serta hikayat
atau riwayat-riwayat yang hidup dan diceritakan dari mulut
kemulut sepanjang generasi yang terus berganti-ganti.
2. Selain itu juga dapat diperiksa praktik ajaran itu yang dituangkan
ke dalam keputusan dan pelaksanaan dari lembaga dan prinsip-
prinsip hukum adat dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat.
Corak hukum adat menurut Soepomo:

1. Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat, artinya


manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam
ikatan kemasyarakatan yang erat , rasa kebersamaan
yang mana meliputi sebuah lapangan hukum adat;
2. Mempunyai corak magisch – religius, yang berhubungan
dengan pandangan hidup alam Indonesia;
3. Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba kongkrit,
artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya
dan berulang-ulangnya hubungan-hubungan hidup yang
kongkrit. Sistem hukum adat menggunakan hubungan-
hubungan yang kongkrit dalam pengatur pergaulan hidup.
4. Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya hubungan-
hubungan hukum dianggap hanya terjadi karena
ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat.
Corak hukum adat menurut Moch Koesnoe:

1. Segala bentuk rumusan adat yang berupa kata-kata adalah suatu


kiasan saja. Menjadi tugas kalangan yang menjalankan hukum adat
untuk banyak mempunyai pengetahuan dan pengalaman agar
mengetahui berbagai kemungkinan arti kiasan yang dimaksud;
2. Masyarakat sebagai keseluruhan selalu menjadi pokok perhatiannya.
Artinya dalam hukum adat kehidupan manusia selalu dilihat dalam
wujud kelompok, sebagai satu kesatuan yang utuh;
3. Hukum adat lebih mengutamakan bekerja dengan azas-azas pokok.
Artinya dalam lembaga-lembaga hukum adat diisi menurut tuntutan
waktu tempat dan keadaan serta segalanya diukur dengan azas
pokok, yakni: kerukunan, kepatutan, dan keselarasan dalam hidup
bersama;
4. Pemberian kepercayaan yang besar dan penuh kepada para petugas
hukum adat untuk melaksanakan hukum adat.
Corak hukum adat menurut Hilman Hadikusuma

1. Tradisional; artinya bersifat turun menurun, berlaku dan dipertahankan


oleh masyarakat bersangkutan.
2. Keagamaan (Magis-religius); artinya perilaku hukum atau kaidah-
kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang gaib
dan atau berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
3. Kebersamaan (Komunal), artinya ia lebih mengutamakan kepentingan
bersama, sehingga kepentingan pribadi diliputi kepentingan bersama.
Wujudnya rumah gadang, tanah pusaka (Minangkabau) . Dudu sanak
dudu kadang yang yen mati melu kelangan (Jawa).
4. Kongkrit/ Visual;artinya jelas, nyata dan berwujud. Visual artinya dapat
terlihat, tampak, terbuka, terang dan tunai. Ijab – kabul, , jual beli serah
terima bersamaan (samenval van momentum)
5. Terbuka dan sederhana
6. Dapat berubah dan menyesuaikan;
7. Tidak dikodifikasi;
8. Musyawarah dan mufakat.
1. Bercorak Religius- Magis :
 Bersifat kesatuan batin;
 Percaya adanya kesatuan dunia lahir dan dunia gaib
 Percaya ada hubungan dan pemujaan terhadap arwah-arwah nenek
moyang dan makhluk-makhluk gaib lainnya
 Percaya adanya kekuatan gaib
 Setiap acara/kegiatan selalu diadakan permulaan dengan upacara-
upacara religius
 Percaya adanya roh-roh halus, hantu-hantu yang menempati alam
semesta seperti terjadi gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan,
binatang, batu dan lain sebagainya
 Percaya adanya kekuatan sakti;
 percaya bahwa terdapat beberapa pantangan-pantangan yang harus
dihindari oleh masyarakat hukum adat.

2. Bercorak Tradisional.
 Bersifat turun temurun, masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh
masyarakat adat yang bersangkutan.
3. Terbuka Dan Sederhana
 Terbuka artinya dapat menerima unsur-unsur yang datangnya dari
luar asal tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri.
 Sederhana artinya hukum adat itu bersahaja, tidak rumit dan tidak
banyak administrasinya, mudah dimengerti, dilaksanakan
berdasarkan saling mempercayai bahkan kebanyakan tidak
tertulis, kecuali yang telah dilegislasi oleh undang-undang.

4. Dapat Berubah Dan Menyesuaikan.


 Dalam pertumbuhannya atau perkembangannya secara terus
menerus, mengalami proses perubahan.
 Dalam perkembangannya terdapat isi atau materi yang tidak
berlaku lagi.
5. Bercorak Komunal atau Kemasyarakatan
 Bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok,
sebagai satu kesatuan yang utuh.
 Manusia terikat pada kemasyarakatan dan tidak bebas dari segala
perbuatannya;
 kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan
perseorangan maupun golongan.
 Setiap warga mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan
kedudukannya;
 Hak subyektif berfungsi social;
 Kepentingan bersama lebih diutamakan
 Bersifat gotong royong;
 Sopan santun dan sabar;
 Berprasangka baik;
 Saling hormat menghormati.
6. Bercorak Demokrasi, Musyawarah dan Mufakat.

 Bahwa segala sesuatu permasalahan selalu diselesaikan


dengan rasa kebersamaan, mengutamakan adanya
musyawarah dan mufakat, baik di dalam keluarga, kekerabatan
dan ketetanggaan
 Perselisihan diutamakan penyelesaiannya secara rukun dan
damai dengan musyawarah dan mufakat
 Dalam penyelesaian perselisihan biasanya di dahului oleh
adanya semangat itikad baik, adil dan bijaksana dari orang yang
dipercaya sebagai penengah
 kepentingan bersama lebih diutamakan dari pada kepentingan-
kepentingan pribadi maupun golongan sesuai dengan asas
permusyawaratan dan perwakilan sebagai sistem pemerintahan.
7. Bercorak Kontan,
 Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan
pada saat yang bersamaan yaitu peristiwa penyerahan dan
penerimaan harus dilakukan secara serentak,
 dimaksudkan agar menjaga keseimbangan di dalam pergaulan
bermasyarakat.

8. Bercorak Konkrit
 Hukum adat itu konkrit, artinya jelas, nyata dan berwujud.
 hukum adat itu visual, artinya dapat dilihat, terbuka dan tidak
terselubung
 Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau
keinginan dalam setiap hubungan-hubungan hukum tertentu harus
dinyatakan dengan benda-benda yang berwujud.
 Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai
tindakan nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan yang
lainnya.

Anda mungkin juga menyukai