Anda di halaman 1dari 6

Bab 4

Tata Susunan Rakyat di Indonesia

Penyelidikan hukum adat, yang hingga sekarang telah berlangsung kira-kira 50 tahun, sungguh
membenarkan pernyataan Van Vollenhoven dalam orasinya pada tangga! 2 Oktober 1901: bahwa untuk
mengetahui hukum, maka terutama perlu diselid iki buat waktu apabila pun dan di daerah mana pun juga
sifat dar susunan badan-badan persekutuan hukum, tempat orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu,
hidup sehari-hari.
Apabila hukum adat hingga sekarang masih terus hidup. Meskipun berpuluh-puluh tahun yang lalu,
terutama pada zaman colonial sebelum tahun 19282. mendapat rintangan dan ancaman pelbagai rupa. dan
apabila hukum adat itu maju menuju kepada kehidupan sendiri. maka segala sesuatu itu disebabkan oleh
kekuatan mempertahankan serta kekuatan hidup dari badan-badan persekutuan hukum Indonesia sendiri.

A. Persekutuan Hukum

Bahwa di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di
dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia luar, lahir dan batin,
Golongan-golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal, dan orang-orang segolongan itu
masing-masing mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang sewajarnya, hal menurut
kodrat alam. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran
golongan itu. Golongan manusia tersebut mempunyai pula pengurus sendiri dan mempunyai harta benda,
milik keduniaan dan milik gaib. Golongan-golongan demikianlah yang bersifat persekutuan hukum,
Misalnya famili di Minangkabau adalah suatu persekutuan hukum. Famili Minangkabau diketuai oleh
seorang penghulu andiko, dan terdiri dari beberapa bagian yang disebut rumah atau jurai dan dikepalai oleh
seorang fungganai atau mamak kepala waris.
Tidak ada seorang pun yang mempunyai pikiran akan kemungkinan pembubaran persekutuan famili
Minangkabau. Persekutuan mungkin berakhir, yaitu menjadi punah, oleh karena semua anggotanya
meninggal dunia. Mungkin pula famili Minangkabau terpecah menjadi beberapa famili yang kecil-kecil,
jika jumlah anggotanya menjadi terlalu besar, akan tetapi membubarkan kesatuan famili adalah tidak
mungkin.
Keluarga Jawa, tidak bersifat persekutuan hukum. Sesuatu keluarga Jawa mempunyai harta benda rumah
tangga yang tetap ada, meskipun kepala rumah tangga meninggal dunia. Desa di Jawa adalah suatu
persekutuan hukum, sebab terdiri dari suatu golongan manusia yang mempunyai tata susunan tetap,
mcmpunyai pengurus. mempunyai wilayah dan harta benda, bertindak sebagai kesatuan terhadap dunia
Juar dan tidak mungkin desa itu dibubarkan.

1. Faktor Genealogi dan Fakter Teritorial


Persekutuan-persekutuan hukum Indonesia dapat dibagi atas dua golongan menurut dasar susunannya:
I. Yang berdasar pertalian suatu keturunan (genealogi).
II. Yang berdasar lingkungan daerah (teritorial).

Persekutuan hukum yang berdasar lingkungan daerah dapat dibagi dalam tiga jenis:
a. persekutuan desa (dorp)
b. persekutuan daerah (streek)
c. perserikatan dari beberapa desa.

Tata susunan rakyat demikian kita dapati di pulau Mentawai (Uma), di pula Nias (Euri), di Tapanuli (kuria
dan huta), di-Minangkabau (nagari), di Palembang (marga dan dusun), pada golongan suku Dayak di
Kalimantan, pada persekutuan kampung dan persekutuan daerah di daerah Toraja (Sulawesi Tengah), di
Maluku dan di Timor.

Ada lima jenis susunan rakyat yang bersifat persatuan keturunan serta bersifat persatuan lingkungan
daerah. Tiap-tiap jenis tersebut mempunyai corak sendiri-sendiri.
a. Suatu daerah atau kampung yang dipakai sebagai tempat kediaman oleh hanya satu bagian
polongan (clandeel), Tidak ada golongan lain yang tinggal di dalam daerah itu. Daerah atau
kampung-kampung yang berdekatan juga dipakai sebagai tempat tinggal oleh hanya satu bagian
clan. Ter Haar menulis bahwa susunan rakyat semacam ini barangkali terdapat di daerah pedalaman
di pulau-pulau Enggano, Buru, Seram, dan Flores.
b. Di Tapanuli terdapat tata susunan rakyat sebagai berikut: Bagian-bagian clan (marga) masing-
masing mempunyai daerah sendiri, akan tetapi di dalam daerah tertentu dari suatu marga, di dalam
huta-huta yang didirikan oleh marga itu, ada juga terdapat satu atau beberapa marga lain yang
masuk menjadi anggota badan persekutuan huta di daerah itu. Marga yang semula mendiami daerah
itu, yang mendirikan huta-huta di daerah tersebut, disebut marga asal, marga raja, atau marga tanah,
yaitu marga yang menguasai tanah-tanah di dalam daerah itu, sedang marga-marga yang kemudian
masuk daerah itu, disebut marga rakyat.
c. Jenis ketiga dari susunan rakyat yang bersifat geneulogis teritorial, ialah yang kita dapati di Sumba
Tengah dan Sumba Timur. Di situ terdapat suatu clan yang mula-mula mendiami suatu daerah yang
tertentu dan berkuasa di daerah itu, akan tetapi kekuasaan itu kemudian berpindah kepada clan lain,
yang masuk ke daerah tersebut dan merebut kekuasaan pemerintah dan clan yang asli itu.
d. Jenis keempat dari susunan rakyat yang bersifat genealogis territorial kita dapati di beberapa nagari
di Minangkabau dan di beberapa. marga (dorp) di Bengkulu. Di situ tidak ada golongan yang
berkuasa memerintah dan golongan yang menyimpang ataupun golongan yang menguasai tanah,
melainkan segala golongan suku yang bertempat tinggal di dalam daerah nagari berkedudukan
sama (setingkat) dan bersama-sama merupakan suatu badan pcrsckutuan teritorial (nagari) sedang
daerah nagari itu terbagi dalam daerah-daerah golongan (daerah suku), dan tiap-tiap golongan
mempunyai daerah sendiri-sendiri.
e. Jenis yang kelima dari susunan rakyat yang bersifat genealogis teritorial adalah terdapat di nagari-
nagari lain di Minangkabau dan pada dusun di daerah Rejang (Bengkulu), yang dalam satu nagari
atau dusun berdiam beberapa bagian-clan, yang satu sama lain tidak bertalian famili.

Sebagai telah dikatakan di atas, badan persekutuan hukum di dalam lima jenis susunan rakyat tersebut,
adalah bersifat genealogis teritorial. Di Minangkabau golongan-golongan geneaologi adalah bercorak
matrilincal, dan di daerah-daerah lainnya yang tersebut di atas, para clan itu bersifat patrilineal.

2. Susunan Persekutuan-persekutuan Hukum


Dari apa yang diuraikan di atas jelas, bahwa ada perbedaan Antara susunan persekutuan-persekutuan
hukum di berbagai daerah kepulauan Indonesia. Berhubung dengan perbedaan tata susunan itu, maka
ada perbedaan pula antara peraturan-peraturan hukum adat yang berlaku di berbagai daerah tersebut.
Suatu daerah yang garis-garis besar, corak dan sifatnya hukum adat adalah seragam, oleh Van
Vollenhoven disebut Rechtskring, dalam bahasa Indonesia: lingkaran hukum.
Dalam bukunya: Adarrecht J, Van Vollenhoven membagi-bagi seluruh daerah Indonesia di dalam 19
lingkaran hukum, yaitu:
I. Aceh
II. Tanah Gayo - Alas dan Batak beserta Nias
III. Daerah Minangkabau beserta Mentawai
IV. Sumatera Selatan
V. Daerah Melayu
VI. Bangka dan Belitung
VII. Kalimantan (Tanah Dayak)
VIII. Minahasa
IX. Gorontalo
X. Daerah Toraja
XI. Sulawesi Selatan
XII. Kepulauan Ternate
XIII. Maluku, Ambon
XIV. Irian
XV. Kepulauan Timor
XVI. Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Barat)
XVII. Jawa Tengah dan Timur (beserta Madura)
XVIII. Daerah-daerah Swapraja (Surakarta dan Yogyakarta)
XIX. Jawa Barat
Pada badan-badan persekutuan hukum yang berdasar keturunan (genealogis) serta lingkungan daerah
(teritorial) pimpinan persekutuan terletak dalam tangan kepala-kepala golongan genealogis yang bersama-
sama terikat dalam kesatuan badan persekutuan itu. Misalnya di Tapanuli, persekutuan dacrah, yang
bernama: negeri dan di sebelah Selatan disebut: kuria, di Padanglawas discbut: Juhas, sedang di dalam tiap-
tiap persekutuan daerah tersebut terdapat persekutuan kampung, yang bernama huta, maka yang menjadi
kepala negeri atau kuria yang menjadi kepala huta, ialah seorang dari marga asal (marga tanah, marga raja),
yaitu seorang keturunan pembuka tanah dan pembuka hutan di dalam daerah yang bersangkutan, sebab
memang marga tersebut yang menguasai daerah itu.

B. Sifat Pimpinan Kepala-kepala Rakyat


Kehidupan sehari-hari dari berjuta-juta orang Indonesia berlaku di dalam lingkungan badan-badan
persekutuan hukum sebagai yang diuraikan di atas, segala sesuatu di bawah pimpinan kepala-kepala rakyat
yang bertugas memelihara jalannya hukum adat dengan semestinya. Penghulu yang memegang adat, kata
orang Minangkabau. Kepala rakyat adalah “ompu ni saksi" kata orang Batak (artinya: ia menegakkan
hukum), ia "harambir namuba sabiet, bahiat na muba bolang" (artinya: ia harus memperhatikan seyala
perubahan pada sabut kelapa dan segala perbedaan pada belang kulit harimau, yang berarti bahwa ia harus
mengikuti segala perkembangan hukum adat). Sifat pimpinan kepala rakyat erat hubungannya dengan sifat
dan corak serta suasana masyarakat di dalam badan-badan persekutuan hukum tersebut.

Kepala rakyat adalah bapak masyarakat, dia mengctuai persekutuan sebagai ketua suatu keluarga besar, dia
adalah pemimpin pergaulan hidup di dalam persekutuan. Sifat tradisional pimpinan kepala rakyat dapat
dikenal dari bunyi pepatah Minangkabau bahwa penghulu itu:
Kayu gadang di tanah padang,
bakeh batuduah ari ujan,
bakeh bulauang dari paneh,
ure nyo bulieh bakeh basando,
batang nyo bulieh bakeh basando.

Artinya:
Sebatang kayu yang besar di tengah lapang,
tempat berlindung di waktu hujan,
tempat bernaung di waktu panas,
urat-uratnya tempat duduk dan
batangnya tempat bersandar. '
Aktivitas kepala rakyat dapat dibagi dalam tiga pasal:
I. Tindakan mengenai urusan tanah berhubung dengan adanya pertalian erat antara tanah dan
persekutuan (golongan manusia) yang menguasai tanah itu.
II. Penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya pelanggaran hukum
(preventieve rechiszorg), supaya hukum dapat berjalan semestinya.
III. Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum, setelah hukum itu dilanggar
(repressieve rechiszurg).
Pemeliharaan hukum yang dimaksudkan ini meliputi seluruh lapangan hukum adat, misalnya:
I. Di Jawa, tata susunan desa mengenal pembagian warga desa dalam golongan kuli kenceng,
(sikep, gogol), yaitu: golongan yang berkewajiban penuh terhadap segala gawe desa, golongan
kuli gandok atau indung, yang hanya memikul separuh dari gawe desa, orangorang tua serta
anak-anak yang belum cukup umur yang dibebaskan dari segala gawe desa. Seringkali desa
menghadapi soal apakah seseorang harus dimasukkan dalam golongan kesatu atau kedua, atau
apakah seseorang telah boleh dianggap demikian tua, sehingga dia dapat dibebaskan dari beban
gawe desa. Dalam hal-hal itu kepala rakyat bermusyawarah dalam kumpulan desa dan memberi
putusan berdasar hokum adat yang berlaku.
II. Di daerah-daerah Bodi-Caniago di Minangkabau dan Kerinci. Kcdudukan penghulu andiko (di
Kerinci kedudukan depati dusun) serta gelarnya berpindah berganti-ganti kepada jurai (bagian
famili) menurut adat bergilir (balegar). Pemindahan ini hanya dapat baik berlakunya apabila
segala penghulu (kepala-kepala rakyat) memperhatikan akan baik jalannya penyelenggaraan
pemindahan itu.
III. Di seluruh kepulauan Indonesia kepala-kepala rakyat bercampur tangan dalam perkawinan, baik
pada golongan Islam, maupun golongan Kristen atau Hindu. Kepala-kepala rakyat tidak
bertindak sebagai pegawai pendaftaran perkawinan, seperti pegawai Burgerlijke Stand pada
golongan Eropa, melainkan mereka ikut mencari jalan ke luar setiap ada kemungkinan bahwa
hukum adat akan dilanggar. Misalnya raja huta di Tapanuli menjaga dilakukannya peraturan
adat kawin di luar marganya sendiri (eksogami). Jikalau akan terjadi suatu perkawinan yang
akan bertentangan dengan adat kawin di Juar marga, maka famili dari anak laki-laki dan famili
dari anak gadis itu mengundang makan bersama para kepala rakyat dan orang-orang tua dari
para marga yang bersangkutan.
Untuk keperluan itu disembelih seekor kerbau dan kemudian diperbincangkan apa mungkin
perkawinan itu dilangsungkan scbarai perkawinan pertama yang melanggar hukum adat yang
telah ada dan yang nanti akan diturut sebagai hukum adat baru. Dalam perkawinan jujur di
Tapanuli, Sumatera Selatan, kepulauan Sangihe dan Talaud dan di kepulauan Maluku, upacara
pemberian wang jujur harus dilakukan di muka kepala rakyat. Kepala kampong (dusun) atau
pegawai desa yang mengurus soal-soal keagamaan mengantar kedua pihak kepada naib untuk
menerangkan. Apabila ada soal cerai, maka kepala rakyat bercampur tangan. Famili-famili yang
bersangkutan bermusyawarah dengan kepala rakyat tentang kemungkinan-kemungkinan untuk
menghindarkan perceraian, untuk mendamaikan kedua pihak, dan sebagainya. Juga di
Kalimantan, Tanah Toraja, Ternate dan Buru, ada dilaporkan, bahwa kepala rakyat selalu
memberi perantaraan dalam soal-soal memutuskan pertalian perkawinan.
IV. Apabila ada anak yatim piatu yang harus dipelihara, apabila ada harta warisan yang telantar
maka kepala rakyat bertindak untuk mengurus anak atau harta warisan itu. Apabila seorang
perempuan hamil di luar perkawinan, maka kepala rakyat membantu keluarga perempuan itu
untuk mencari lelaki yang menyebabkan hamil itu dan kepala rakyat ikut berikhtiar, agar lelaki
itu mengawini perempuan tadi, ataupun mencari lelaki lain yang suka menikah tambahan
dengan perempuan tersebut supaya si anak menurut hukum mempunyai bapak.
V. Membagi harta warisan di desa-desa biasanya berlaku di bawah pimpinan kepala desa.
VI. Dalam hal urusan tanah, campur tangan kepala-kepala rakyat ada-lah sejalan dengan wewenang
mereka untuk mengatur soal tanah berdasar hak pertuanan desa. Di beberapa daerah, bantuan
kepala rakyat dalam hal menjual lepas, menjual sende atau menyewa tanah adalah syarat mutlak
dan di seluruh kepulauan Indonesia bantuan kepala rakyat dalam perjanjian-perjanjian
mengenai tanah itu, merupakan jaminan, bahwa perjanjian itu terang, tidak menentang hukum
adat.
VII. Juga dalam bal utang piutang, perjanjian-perjanjian tentang benda (yang bergerak), perjanjian
kerja, perjanjian maro atau mertelu sawah, yang semua itu biasanya dijalankan di luar
pengetahuan kepala rakyat, kadang-kadang juga meminta bantuan kepala rakyat supaya
perjanjian itu terang terutama apabila perjanjian itu diadakan Antara warga desa dengan orang
luar, Orang luar itu menghendaki adanya jaminan bahwa anak buah kepala rakyat itu boleh
dipercaya, boleh diberi kredit.

Jalannya kehidupan hukum adat dapat digambarkan sebagai lukisan empat macam, kata orang di daerah
Jambi, ialah:
a. Adat yang telah lama dilupakan, yang telah hilang ke dalam kubur.
b. Adat yang tidak terpakai lagi, sebagai umbut yang telah menjadi hutan rin.ya raya.
c. Adat yang semerbak berkembang, yaitu yang selalu dijadikan umpama, dan
d. Adat yang baru tumbuh, serupa dengan tunas baru dari pohon kayu yang sudah ditebang.

1. Keputusan-keputusan Kepala Rakyat

Tiap-tiap tindakan atau tiap-tiap bukan tindakan (penolakan untuk bertindak) kepala rakyat terhadap
sesuatu hal, baik dalam hal menceyah adanya pelanggaran hukum (preventieve rechtszorg) maupun dalam
hal memulihkan bukum (rechtsherstel) bersifat suatu keputusan, suatu ketetapan dari mana kita dapat
menarik kesimpulan tentang berlakunya sesuatu peraturan hukum adat. Dengan keputusan itu kepala rakyat
melakukan secara konkret, memberi bentuk konkret (Gestaltung) kepada apa yang hidup di dalam
masyarakat desanya sebagai rasa keadilan (rechtsbese/) rakyat.

2. Demokrasi di Suasana Desa

Sebagai telahi ternyata dari uraian di atas, kepala rakyat dalam menjalankan tugasnya tidak bertindak
sendiri, dia selalu bermusyawarah dengan teman-temannya yang ikut duduk dalam pcmerintahan desa,
bahkan dalam banyak hal dia bermusyawarah di rapat desa dengan para warga desa yang berhak ikut
bermusyawarah dalam soal-soal yang tertentu.

Dengan cara demikian pimpinan persekutuan selalu berjalan di bawah pengawasan dan dengan pengaruh
langsung dari rakyat. Di Minangkabau ada pepatah yang berbunyi:

“Kemenakan berajo ke mamak"


' Mamak berajo ka penghulu"
“Penghulu berajo ka mupakat"
Ada pula pepatah yang berbunyi:
“Bule daie de pambulual"
“Bule kato de mupakat"

Artinya:
“Air memancar dengan bulat oleh karena pembuluh,
dan putusan menjadi bulat oleh karena mupakat.

Di Solok (Minangkabau) orang mengatakan. bahwa dalam hal harta pusaka, pendapat kaum wanita lebih
berharga daripada pendapat kaum lelaki menurut pribahasa:

“wanita bersusu penuh"


“lelaki bersusu kosong"

maknanya:
wanita lebih banyak pengetahuannya daripada lelaki.
Demikianlah pada mulanya diadakan musyawarah di dalam lingkungan famili, sedang dalam hal-hal yang
mengenai seluruli nagari, permufakatan ini diteruskan di dalam rapat-rapat yang lebih besar oleh para
kepala famili.

C. Suasana Tradisional Masyarakat Desa

Di atas telah diuraikan, bahwa persekutuan desa merupakan suatu kesatuan hidup bersama
(levensgemeenschap). Hidup bersama ini bercorak:

1. Keagamaan

Keagamaan (religius), bersifat kesatuan batin, orang segolongan merasa satu dengan golongan
seluruhnya dan tugas persekutuan ada- . lah memelihara keseimbangan lahir dan batin antara
golongan dan . lingkungan alam hidupnya (levensmilieu). Kebahagiaan sosial di dalam persekutuan
akan tetap terjamin apabila keseimbangan itu dipelihara dengan semestinya.

2. Kemasyarakatan

Hidup bersama di dalam masyarakat tradisional Indonesia bercorak kemasyarakatan, bercorak


komunal. Manusia di dalam hukum adat adalah orang yang terikat kepada masyarakat. la bukan
orang-orang (individu) yang pada asasnya bebas dalam segala laku perbuatannya asal saja tidak
melanggar batas-batas hukum yang telah ditetapkan baginya.
Kepentingan golongan menguasai hubungan-hubungan hokum antara teman segolongan dengan
barang-harang milik golongan. Misalnya sebuah warisan tidak boleh dibagi-bagi antara para ahli
waris, jika janda dan anak-anak yang belum cukup umur dari orang yang meninggal dunia masih
memerlukan warisan itu untuk nafkah hidupnya.
Antara teman sekeluarga, antara teman sedesa adalah keharusan saling bantu-membantu. Memang
suasana tradisional di masyarakat desa bersifat gotong royong atau tolong menolong. Bantuan yang
diberikan itu dengan sendirinya mengikat, artinya barangsiapa telah menerima sesuatu bantuan dari
seseorang, maka terhadap orang itu, Jika tiba waktunya, dia harus memberikan bantuan serupa itu
pula.

3. Kewibawaan

Kewibawaan kepala rakyat di dalam persekutuan adalah berdasar pertama atas peristiwa, bahwa di
dalam persekutuan-persekutuan yang bersifat genealogis dan teritorial, ia adalah anggota yang
tertua dari famili yang tertua atau yang berkuasa di dalam daerah persekutuan, dan di dalam
persekutuan-persekutuan yang hanya bersifat territorial belaka, kepala rakyat di desa-desa tempat
tradisi masih besar pengaruhnya, kepala rakyat biasanya dipilih dari keturunan pembuka desa,
Kewibawaan kepala rakyat berdasar pula atas kepercayaan tradisional, bahwa kekuatan gaib
masyarakat terutama menjelma pada diri kepala itu. Berdasar atas kedua faktor tersebut, kepala
rakyat adalah pemimpin rakyat yang sewajarnya.

4. Pengangkatan Kepala Rakyat

Apabila ada lowongan jabatan kepala, maka di seluruh daerah Indonesia dapat dikatakan bahwa
menurut hukum adat tradisional, pengganti kepala diangkat (diakui atau dipilih) atas dasar hukum
waris dengan pilihan di dalam permusyawaratan di rapat desa. Permusyawaratan dilakukan atas
dasar sekato (suara bulat) antara para warga . desa yang berhak ikut serta dalam rapat (kumpulan)
desa (di Jawa dan Bali) atau antara seluruh kepala rakyat dari persekutuan. Yang dipilih atau diakui
sebagai kepala baru, ialah ahli waris pertama dari kepala lama, asal saja tidak ada hal-hal yang
menurut rapat tersebut menyebabkan bahwa ia tidak akan cakap atau patut untuk menjabat kepala
rakyat. Jikalau ada hal demikian, maka ahli waris yang berikut akan dipertimbangkan oleh rapat
desa untuk diangkat
sebagai kepala baru.

D. Perubahan-perubahan di Dalam Suasana Desa


Tata susunan rakyat di desa-desa pada zaman yang lampau mengalami perubahan-perubahan
berhubung dengan pengaruh tata susun-an administrasi. Kerajaan-kerajaan di berbagai daerah di
Indonesia dan kemudian berhubung dengan campur tangan administrasi Hindia Belanda dahulu.
Administrasi kerajaan tidak bercampur tangan dengan kehiduyan masyarakat desa, bahkan membiarkan
desa untuk mengurus kehidupannya sendiri menurut hukum adat (Nagoro mowo toto, desa. Mowo
coro). Desa sebagai persekutuan hukum wajib membayar pajak dan mengerahkan tenaga kerja (krigaji,
rojokario) untuk keperluan kerajaan. Kepala desa bertanggung jawab atas masuknya pembayaran pajak
dan atas penyerahan tenaga itu. Pengaruh administrasi kerajaan di berbagai daerah di Indonesia atas
kehidupan desa sebagai persekutuan hukum adalah:
a. Yang merusakkan tata susunan asli persekutuan desa, yaitu di sekeliling ibukota kerajaan, sebab:
I. kepala adat diganti dengan seorang pegawai negeri,
II. tanah desa diambil dan diurus oleh pegawai negeri,
III. dalam pemberian pilungguh (apanage) kepada famili Raja atau pegawai negeri, batas-batas
tanah lungguh itu tidak mempedulikan batas desa-desa yang tersangkut.

b. Pengaruh yang kedua dari kerajaan pada tata susunan asli masya rakat desa, talah yang berupa
menyejahterakan persekutuan desa, yang terdapat pada desa-desa yang jauh letaknya dari pusat
kerajaan. Desa-desa itu sebagai badan kesatuan wajib membayar pajak dan menyorahkan tenaga
kerja kepada negara (kerajaan). Pada zaman Kerajaan Palembang, Mataram, dan Pagarruyung
(Minang - kabau) penduduk desa diwajibkan menyerahkan tenaga pekerja ketika Raja mengadakan
perjalanan, misalnya para warga desa harus melakukan dinas penjagaan, harus membantu
mendirikan atau memperbaiki bangunan-bangunan pada waktu diadakan kcramaian, dan
sebagainya.

1. Suasana Pemerintahan Hindia Belanda

Administrasi kerajaan-kerajaan di berbagai kepulauan Indonesia lambat laun diganti oleh administrasi
kolonial Belanda. Pengaruh administrasi Hindia Belanda dahulu atas kehidupan desa sebagai persekutuan
hukum ialah
a. Yang merusakkan pula, yaitu di kota-kota besar seperti Jakarta. Surabaya, Medan, dan sebagainya,
desa sebagai persekutuan hokum lenyap. Kota-kota itu dibagi-bagi dalam beberapa daerah
administratif, sedang penduduk kota berdiam di kampung (wijk) yang hanya bersifat tempat pusat
kediaman belaka.
b. Yang menekankan penduduk desa untuk mempererat kehidupannya dalam persekutuan hukum,
oleh karena pemerintah Hindia Bclanda yang menganggap dirinya sebagai pengganti Raja-raja
dahulu, melanjutkan sistem pajak dan sistem pengerahan tenaga kerja dari zaman kerajaan bagi
desa-desa di luar kota-kota, bahkan Heerendienst dan dinas kepada kebun-kebun ( cultuur-dienst )
serta pembayaran pajak untuk pemerintah kolonial itu adalah jauh lebih berat daripada waktu
zaman kerajaan. Pemerintah kolonial mencampuri juga dalam cara memberikan penghasilan kepada
desa. Kehidupan desa sebagai persekutuan hukum diperkuat dengan diakuinya peradilan desa
(dorpsjustitie) oleh pemerintah Hindia Belanda dalam Staatsblad 1935 no. 102

2. Suasana Republik Indonesia

Dengan berakhirnya zaman Hindia Belanda, maka di dalam suasana Republik Indonesia berlaku Undang-
Undang Pokok tentang pemerintahan Daerah No. 22 tahun 1948, yang menyatakan bahwa daerah negara
Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah: Propinsi, Kabupaten (kota besar) dan desa (kota
kecil) atau negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
(pasal).
Peradilan desa yang telah diakui sejak tahun 1935 oleh pemerintah kolonial dahulu, tetap dihormati oleh
pemerintah Republik Indonesia. Undang-undang Darurat no. | tahun 1951 menyatakan, bahwa ketentuan-
ketentuan tentang penghapusan beberapa jenis pengadilan, tidak sedikit pun juga mengurangi hak
kekuasaan yang telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian desa sebagaimana dimaksud dalam pasal
3.1. R.O.

Anda mungkin juga menyukai