Anda di halaman 1dari 13

BUDAYA HUKUM MASYARAKAT SUKU TERNATE

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Taufik dan
Hidayah-Nya kepada kita sehingga Tugas Antropologi dapat diselesaikan dengan baik.
Meskipun terdapat beberapa hambatan yang dialami dalam menyusun makalah ini, namun
akhirnya penulis berhasil menyelesaikannya dengan baik dan tepat waktu.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen mata kuliah Antropologi
yang terlibat menuntun penulis dalam mewujudkan ide ke dalam makalah ini. Penulis juga
menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis secara
langsung maupun tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini disusun agar penyusun dan pembaca mengetahui tentang budaya suku
osing, dan kebijakan pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut. Penulis menyadari
bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna sempurnanya makalah ini.
Penyusun berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca.

Malang, Desember 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN

2.1 Cara Memilih Pemimpin di Suku Osing

2.2 Tugas Pemimpin

2.3 Sistem Hukum Adat Suku Osing dalam Menyelesaikan Waris di Luar Pengadilan

2.3.1 Pengaturan Pembagian Warisan dalam Masyarakat Adat Osing

2.3.2 Harta Asal

2.3.3 Harta Gono-gini

2.3.4 Harta Pemberian

2.4 Hukum Nikah pada Suku Osing

2.5 Jual Beli dalam Suku Osing

2.6 Penyelesaian Pencurian pada Suku Osing

2.7 Pembunuhan pada Suku Osing

2.8 Perang Bangkit pada Masyarakat Suku Osing Banyuwangi

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

PENUTUP
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pulau Ternate merupakan salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate. Wilayah
kesultanan itu kini menjadi bagian dari Kotamadya Ternate yang merupakan kesatuan
pemerintahan otonomi dalam Provinsi Maluku Utara. Secara etimologi, kata Ternate berasal
dari tiga suku kata, yaitu tara no ate, yang berarti turun ke bawah dan pikat dia. Maksudnya,
turun dari tempat yang tinggi (dataran tinggi) untuk mengikat para pendatang supaya mau
menetap di wilayah ini (Ternate) (Andi Atjo.2008).

Suku Ternate, sebuah kelompok etnis yang mendiami pulau Ternate di Kepulauan
Maluku, menampilkan latar belakang budaya hukum yang kaya dan bervariasi.
Keanekaragaman etnik dan kebudayaan di wilayah ini menciptakan landasan yang kuat untuk
norma-norma hukum dan adat istiadat yang unik. Dengan mayoritas masyarakat yang
menganut agama Islam, pengaruh Islam menjadi pilar penting dalam kehidupan sehari-hari,
mencerminkan nilai-nilai dan etika dalam aspek-aspek seperti hukum waris dan perkawinan.
Tradisi dan adat istiadat di Suku Ternate menduduki posisi sentral, tercermin dalam upacara
adat, ritual, dan kebijakan hukum yang diwariskan secara turun-temurun. Hukum waris diatur
oleh garis keturunan dan sistem keluarga, di mana hak waris dan pembagian harta
dipengaruhi oleh hubungan darah.

Penduduk asli Ternate terbagi empat kelompok kekerabatan yang bersifat otonom
(marga), yaitu Marga Soa-Sio, Sangaji, Heku, dan Cim. Salah satu cirinya adalah
melestarikan sistem marga. Oleh sebab itu, mereka lebih mudah dikenal dengan nama
belakang atau (family name) yang melekat di belakang namanya. Marga inilah yang ikut
membedakan mereka dengan etnis lainnya di Ternate. Keempat marga tersebut, menurut
Adnan Amal, berasal dari empat kelompok utama pembentukan Kerajaan Ternate, yakni
Tubo, Tobana, Tabanga, dan Toboleu yang merupakan penduduk awal Pulau Ternate.
Menurut berbagai sumber hingga kini keempat marga utama tersebut, secara turun-temurun
memegang jabatan-jabatan politik di lingkungan Kesultanan Ternate (Adnan Amal, 2007).

Pemimpin adat atau tokoh masyarakat memainkan peran penting dalam menjaga
ketertiban dan memutuskan masalah hukum. Selain itu, nilai-nilai kearifan lokal dan spiritual
tercermin dalam pentingnya tanah adat, yang dianggap sebagai warisan berharga yang
memiliki nilai simbolis yang tinggi. Meskipun tradisi tetap dihormati, masyarakat Ternate
juga mengalami penyesuaian dengan modernitas, menciptakan dinamika kompleks antara
hukum adat dan hukum formal negara. Latar belakang budaya hukum ini menciptakan suatu
keseimbangan antara warisan tradisional dan penyesuaian dengan perubahan zaman.

Basis kebudayaan maupun kearifan lokal Ternate terdapat pada simbol kesultanan
Ternate, dan masyarakat Ternate yang berpegang pada nilai-nilai filosofis yang hidup dan
berkembang di tengah masyarakat Ternate. Nilai-nilai filosofis masyarakat Ternate tidak
serta merta berdiri sendiri, tetapi ia diikat oleh sandara nilai dasarnya yang bersumber pada
“Adat Matoto Agama (adat bersumber dari agama), Agama Matoto Kitabullah (agama
bersumber dari kitab – al qur’an), dan Kitabullah Matoto Jou Allah Taala (kitab bersumber
dari Allah SWT)”. Sedikitnya terdapat 7 (tujuh) nilai filosofis masyarakat Ternate yang
terdiri dari : 1) Adat se Atorang (adat dan segala aturannya); 2) Istiadat se Kabasaran
(lembaga adat dan kekuasaannya); 3) Galib se Lukudi (kelaziman dengan sendi-sendinya); 4)
Ngale se Cara (kebiasaan dengan tatacaranya); 5) Sere se Duniru (budaya dengan
keseniannya); 6) Cing se Cingari (tatacara pergaulan perempuan dan laki-laki); 7) Bobaso se
Rasai (tenggang rasa dan saling menghormati antar sesama) (Irsyadi & Marcidar,2022)
Adapun 7 unsur kebudayaan suku Ternate yaitu :

1. Bahasa suku Ternate


Untuk bahasa Suku Ternate termasuk dalam kelompok bahasa non-Austronesia dan lebih
sering digolongkan kedalam kelompok bahasa-bahasa Papua. Penduduk Ternate
berinteraksi kontak dagang dengan suku bangsa lainnya menggunakan Bahasa Melayu
2. Sistem Kepercayaan Yang Dianut Suku Ternate
Sebelum agama Islam masuk ke Ternate, suku ini terbagi dalm kelompok-kelompok
masyarakat. Masing-masing kelompok kerabat suku Ternate dipimpin oleh Momole
(Kepala Marga)
3. Sistem Teknologi Suku Ternate
Suku Ternate menangkap ikan diperairan menggunakan alat-alat seperti jaring, jala, sero,
rorehe, bubu, kali. Untuk dapat menyebrangi lautan menggunakan arumbai, motor tempel,
jarang giop, rumpon
4. Mata Pencaharian Suku Ternate
Mata pencaharian suku ternate adalah bertani dan nelayan
5. Sistem Pengetahuan Suku Ternate
Sistem pengetahuan suku ternate adalah perkawinan adat dan upacara kematian. Bila ada
warga yang meninggal dunia, biasanya dikabarkan dari mulut ke mulut kepada saudara,
keluarga dan kerabat
6. Sistem Kekerabatan Suku Ternate
Pada zaman dulu kala, tepatnya zaman kerajaan atau kesultanan Ternate dan Tidore terdiri
atas beberapa strata sosial yang terbagi berdasarkan keturutan tapi tidak menentukan kasta
seseorang sehingga tidak bersifat fungsional
7. Kesenian Suku Ternate
Kesenian suku ternate hampir sama dengan suku-suku di daerah Maluku pada umumnya
yaitu berupa tarian dan musik. Tarian mereka yakni, tarian Sakalele, tarian Saureka-reka,
tarian Katreji dll sedangkan alat musik yang terkenal adalah Tifa (sejenis gendang) dan
Totobuang.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimana hukum tata negara dalam suku Ternate ?
2. Bagaimana hukum tata perdata dalam suku Ternate ?
3. Bagaimana hukum pidana dalam suku Ternate ?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hukum Tata Negara Suku Ternate


Hukum tata negara, juga dikenal sebagai hukum konstitusional, adalah cabang hukum
yang berkaitan dengan pembentukan, struktur, kekuasaan, dan fungsi lembaga-lembaga
pemerintahan suatu negara. Tujuannya adalah untuk mengatur hubungan antara pemerintah
dan warganegara, serta antara lembaga-lembaga pemerintahan itu sendiri. Hukum Tata
Negara menetapkan dasar-dasar hukum yang mengatur pembentukan dan pengorganisasian
negara.
Pemimpin suku Ternate dapat memiliki berbagai istilah, termasuk Tua Gana, Raja atau
Sultan, Pemangku Adat, Tetua Adat, Kepala Suku, Raja Muda, Termanu, atau Tumenggung.
Istilah-istilah ini mencerminkan peran dan tanggung jawab pemimpin dalam menjaga adat,
tradisi, dan kearifan lokal di masyarakat suku Ternate. Setiap istilah dapat menunjukkan
status dan fungsi pemimpin dalam struktur kepemimpinan suku yang unik. Namun, istilah
yang digunakan dapat bervariasi antar suku dan wilayah, sehingga interaksi langsung dengan
masyarakat setempat diperlukan untuk memahami istilah dan konteksnya secara lebih
mendalam.
Proses pemilihan pemimpin di suku Ternate sangat dipengaruhi oleh adat istiadat, tradisi
lokal, dan struktur sosial masyarakat. Pemilihan pemimpin adat umumnya melibatkan
musyawarah, konsensus, dan pertimbangan kualifikasi serta pengalaman calon pemimpin.
Legitimasi pemimpin dapat diperoleh melalui pengakuan tradisional dan upacara adat.
Partisipasi aktif masyarakat, proses ritual, dan nilai-nilai seperti karisma dan kebersamaan
juga menjadi faktor penting. Setiap suku Ternate mungkin memiliki cara unik dalam
pemilihan pemimpin, dan pemahaman yang lebih mendalam dapat diperoleh melalui interaksi
langsung dengan masyarakat setempat.
Pemimpin suku Ternate memiliki beragam tugas, termasuk pemeliharaan adat dan
tradisi, penyelesaian konflik, pemberian nasihat, pemeliharaan kesejahteraan masyarakat,
pewarisan budaya, pemberdayaan masyarakat, dan hubungan dengan pemerintah dan pihak
eksternal. Peran dan tanggung jawab mereka dapat bervariasi sesuai adat, tradisi, dan
kebutuhan masyarakat setempat. Pemimpin suku juga dihormati sebagai pewaris budaya dan
penjaga nilai-nilai tradisional.
2.2 Hukum Perdata Suku Ternate
Konstitusi Republik Indonesia, yang disebut sebagai Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), tidak secara rinci mengatur hukum perdata.
Hukum perdata lebih didefinisikan dan diatur dalam perundang-undangan yang merupakan
turunan dari UUD 1945. Beberapa dasar hukum perdata di Indonesia tercantum dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berlaku di Indonesia.
Hukum perdata mengenai waris di suku Ternate dipengaruhi oleh adat istiadat dan tradisi
lokal. Proses pewarisan dapat mengikuti garis keturunan, memperhatikan peranan gender,
dan melibatkan keluarga sebagai penentu utama. Adat, ritual, dan nilai-nilai lokal memiliki
peran penting dalam pembagian warisan, dan keputusan dapat dipengaruhi oleh aspek
spiritual dan kultural. Penting untuk diingat bahwa sistem pewarisan di suku Ternate
mungkin tidak selalu sejalan dengan hukum perdata formal yang berlaku secara nasional di
Indonesia. Untuk pemahaman lebih lanjut, interaksi langsung dengan masyarakat setempat
atau pemimpin adat direkomendasikan.
Perkawinan di suku Ternate melibatkan pemilihan pasangan dengan mempertimbangkan
garis keturunan, status sosial, dan nilai-nilai keluarga. Proses perkawinan diwarnai oleh
berbagai ritual dan upacara adat, termasuk tahapan seperti lamaran, akad nikah, dan pesta
pernikahan. Hukum adat dan norma-norma lokal turut mengatur perkawinan, termasuk
pembagian harta dan kewajiban keluarga. Keluarga dan tokoh adat memiliki peran penting
dalam mendukung dan memfasilitasi proses pernikahan. Hak waris dan keturunan juga dapat
dipengaruhi oleh perkawinan. Setiap suku Ternate mungkin memiliki adat dan tradisi khusus
yang memengaruhi perkawinan, sehingga penting untuk berinteraksi langsung dengan
masyarakat setempat guna memahami nuansa dan detailnya.
Hukum perdata mengenai sistem jual beli di suku Ternate dipengaruhi oleh adat istiadat
dan tradisi lokal. Transaksi dapat melibatkan barter, tukar menukar barang, atau perdagangan
di pasar tradisional. Pemimpin adat mungkin memiliki peran dalam mengatur atau
memfasilitasi transaksi. Penggunaan mata uang lokal atau sistem nilai tradisional dapat
terjadi, dan sistem kredit dan utang juga dapat diterapkan. Hukum adat dan norma-norma
ekonomi lokal memengaruhi cara masyarakat suku Ternate melakukan jual beli, dengan
memperhatikan nilai-nilai budaya dan tradisi setempat.
2.3 Hukum Pidana Suku Ternate
Hukum pidana adalah cabang hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dianggap
sebagai tindak pidana, yang dapat merugikan masyarakat dan negara. Hukum pidana
menetapkan norma-norma perilaku yang dilarang oleh negara, menentukan sanksi atau
hukuman bagi pelanggaran tersebut, dan mengatur proses peradilan pidana.
Hukum pidana mengenai pencurian di suku Ternate cenderung dipengaruhi oleh adat
istiadat dan nilai-nilai lokal. Penyelesaian perkara pencurian dapat melibatkan pemimpin adat
atau tokoh masyarakat sebagai penengah. Sanksi pidana mungkin disertai dengan konsep
restitusi kepada korban dan upaya perdamaian, sejalan dengan nilai-nilai tradisional. Proses
hukum pidana di tingkat suku Ternate dapat mencakup hakim adat atau penilaian oleh tokoh
masyarakat dengan keterlibatan langsung dari masyarakat setempat. Sistem ini
mencerminkan pendekatan lokal dalam menangani pelanggaran hukum pidana, khususnya
dalam konteks pencurian.
Hukum pidana tentang pembunuhan di suku Ternate mencerminkan nilai-nilai dan
norma-norma adat yang melandasi kehidupan masyarakat setempat. Dalam konteks ini,
pembunuhan dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap keamanan dan ketertiban
masyarakat, dan penyelesaiannya dapat melibatkan proses hukum pidana yang berakar pada
tradisi adat. Pemimpin adat atau tokoh masyarakat mungkin memiliki peran sentral dalam
menilai kasus pembunuhan, bertindak sebagai hakim adat, atau berperan sebagai penengah
antara pihak yang terlibat. Pendekatan ini berpotensi mencakup elemen-elemen restoratif,
seperti perdamaian, rekonsiliasi, atau pembayaran ganti rugi kepada keluarga korban, sejalan
dengan prinsip-prinsip kearifan lokal.
Hukum pidana mengenai perkelahian di suku Ternate tercermin dari adat istiadat dan
norma-norma lokal. Dalam konteks ini, perkelahian dianggap sebagai pelanggaran terhadap
ketertiban sosial, dan penyelesaiannya dapat melibatkan pemimpin adat atau tokoh
masyarakat sebagai penengah. Sanksi pidana mungkin diterapkan, namun, pendekatan
restoratif yang mencakup perdamaian, rekonsiliasi, atau kompensasi kepada pihak terkena
dapat menjadi bagian integral dari penyelesaian hukum pidana di suku Ternate. Proses
hukum pidana perkelahian di tingkat suku Ternate mungkin turut melibatkan partisipasi dan
konsultasi masyarakat, mencerminkan prinsip demokrasi adat dan aspirasi keadilan dalam
konteks lokal.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Hukum Tata Negara Suku Ternate mencakup aspek-aspek yang berkaitan dengan
pembentukan, struktur, dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan di dalam suku
tersebut. Hukum ini bertujuan untuk mengatur hubungan antara pemerintah dan
warganegara, serta antara lembaga-lembaga pemerintahan di suku Ternate. Pemimpin
suku Ternate, yang dapat memiliki berbagai istilah, memainkan peran penting dalam
menjaga adat, tradisi, dan kearifan lokal masyarakat suku tersebut. Proses pemilihan
pemimpin di suku Ternate dipengaruhi oleh adat istiadat, tradisi lokal, dan struktur
sosial masyarakat, melibatkan musyawarah, konsensus, dan pertimbangan kualifikasi
calon pemimpin. Tugas pemimpin suku Ternate mencakup pemeliharaan adat dan
tradisi, penyelesaian konflik, pemberian nasihat, pemeliharaan kesejahteraan
masyarakat, pewarisan budaya, pemberdayaan masyarakat, dan hubungan dengan
pemerintah dan pihak eksternal. Peran mereka juga dihormati sebagai pewaris budaya
dan penjaga nilai-nilai tradisional. Pemahaman yang lebih mendalam tentang hukum
tata negara dan kepemimpinan di suku Ternate dapat diperoleh melalui interaksi
langsung dengan masyarakat setempat.
2. Hukum perdata di suku Ternate mencerminkan pengaruh adat istiadat dan tradisi lokal
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti waris, perkawinan, dan sistem
jual beli. Sistem pewarisan di suku Ternate tercermin dalam norma-norma adat yang
memperhatikan garis keturunan, gender, dan nilai-nilai lokal, seringkali melibatkan
proses spiritual dan kultural. Dalam konteks perkawinan, adat dan ritual memiliki
peran sentral, sementara hak waris dan keturunan dapat dipengaruhi oleh ikatan
perkawinan. Proses pernikahan diatur oleh hukum adat dan norma-norma lokal,
dengan keterlibatan keluarga dan tokoh adat. Sementara itu, sistem jual beli di suku
Ternate mencakup praktik barter, tukar menukar, dan perdagangan di pasar
tradisional, dengan pemimpin adat memainkan peran dalam mengatur transaksi.
Penggunaan mata uang lokal, sistem nilai tradisional, dan regulasi ekonomi lokal turut
memengaruhi dinamika jual beli di masyarakat suku Ternate. Kesemua ini
menunjukkan kompleksitas dan kekhasan sistem hukum perdata di suku Ternate yang
perlu dipahami melalui interaksi langsung dengan masyarakat setempat.
3. Hukum pidana di suku Ternate mencerminkan kompleksitas interaksi antara adat
istiadat, nilai-nilai lokal, dan norma-norma hukum pidana formal. Dalam konteks
pencurian, penyelesaian perkara melibatkan pemimpin adat atau tokoh masyarakat
sebagai penengah, dengan penerapan sanksi pidana yang dapat disertai konsep
restitusi dan perdamaian. Dalam kasus pembunuhan, hukum pidana di suku Ternate
menekankan peran pemimpin adat atau tokoh masyarakat sebagai hakim adat dan
penengah, dengan fokus pada pendekatan restoratif dan nilai-nilai lokal. Adanya
partisipasi masyarakat setempat juga menjadi penting dalam menyelesaikan kasus
pembunuhan, mencerminkan semangat demokrasi adat dan keadilan komunitas. Di
area perkelahian, hukum pidana suku Ternate juga menggabungkan sanksi pidana
dengan pendekatan restoratif, memperhatikan keterlibatan pemimpin adat atau tokoh
masyarakat serta partisipasi aktif dari masyarakat setempat. Kesemuanya
menunjukkan bahwa hukum pidana di suku Ternate tidak hanya berfungsi sebagai alat
penegakan aturan, tetapi juga sebagai sarana untuk memulihkan keseimbangan sosial
dan menjaga harmoni dalam komunitas adat mereka.
3.2 Saran
1. Saran yang dapat diusulkan untuk mendukung hukum tata negara di Suku Ternate
adalah melibatkan lebih aktif masyarakat dalam proses pembentukan dan
pengembangan hukum lokal. Upaya ini dapat mencakup penyelenggaraan forum
musyawarah dan diskusi terbuka yang melibatkan warga suku secara luas,
memungkinkan mereka memberikan masukan dan aspirasi terkait kebijakan
pemerintahan dan kepemimpinan suku. Selain itu, adanya program pendidikan dan
sosialisasi mengenai hukum tata negara dan proses pemilihan pemimpin kepada
masyarakat dapat meningkatkan pemahaman mereka, memperkuat dasar partisipatif,
dan menciptakan keterlibatan yang lebih baik dalam kehidupan politik dan
pemerintahan suku. Ini akan memastikan bahwa hukum tata negara di Suku Ternate
benar-benar mencerminkan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat setempat secara
lebih baik.
2. Saran untuk mendukung sistem hukum perdata di suku Ternate adalah
mengintensifkan upaya pendidikan dan pemahaman masyarakat terkait hukum
perdata lokal. Inisiatif ini dapat melibatkan penyelenggaraan lokakarya, pelatihan,
atau program sosialisasi yang fokus pada norma-norma adat dalam pewarisan,
perkawinan, dan sistem jual beli. Pemimpin adat dapat berperan sebagai fasilitator
dalam penyampaian informasi dan menjelaskan proses hukum perdata kepada
masyarakat. Dukungan eksternal dari pemerintah atau lembaga non-pemerintah juga
dapat membantu dalam memfasilitasi pendidikan hukum lokal dan memastikan agar
masyarakat dapat mengakses informasi dengan lebih baik. Pemahaman yang lebih
dalam akan membantu masyarakat berpartisipasi aktif dan menjaga keberlanjutan
praktik hukum perdata tradisional di suku Ternate.
3. Saran untuk meningkatkan efektivitas hukum pidana di suku Ternate adalah melalui
penguatan mekanisme partisipasi masyarakat dalam proses penegakan hukum. Ini
melibatkan penyelenggaraan dialog dan konsultasi terbuka antara pemimpin adat,
tokoh masyarakat, dan warga setempat untuk meningkatkan pemahaman tentang
nilai-nilai hukum pidana tradisional. Fokus juga diberikan pada peningkatan
kapasitas pemimpin adat dalam menerapkan pendekatan restoratif, sambil
memberikan pendidikan kepada masyarakat mengenai peran mereka dalam
mendukung proses hukum. Kerjasama yang kuat antara pemimpin adat, masyarakat,
dan pemerintah setempat diharapkan dapat memperkuat pelaksanaan hukum pidana,
menjaga harmoni komunitas, dan menciptakan lingkungan yang mendukung
pemulihan sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Atjo, Rusli Andi. (2008). Peninggalan Sejarah di Pulau Ternate. Jakarta: Cikoro Printing.

Amal, M. Adnan. (2007). Kepulauan Rempah-Rempah : Perjalanan Sejarah Maluku Utara


1250-1950 . Makassar: Adnan Amal.

Irsyadi. H., Maricar. F. (2022). Kearifan Lokal Masyarakat Ternate Dalam Kebijakan
Pemerintah Kota Ternate. Jurnal Ilmiah Kebudayaan dan Kesejarahan. Vol. 9 (1):
21-28.

Anda mungkin juga menyukai