KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Taufik dan
Hidayah-Nya kepada kita sehingga Tugas Antropologi dapat diselesaikan dengan baik.
Meskipun terdapat beberapa hambatan yang dialami dalam menyusun makalah ini, namun
akhirnya penulis berhasil menyelesaikannya dengan baik dan tepat waktu.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dosen mata kuliah Antropologi
yang terlibat menuntun penulis dalam mewujudkan ide ke dalam makalah ini. Penulis juga
menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis secara
langsung maupun tidak langsung sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun agar penyusun dan pembaca mengetahui tentang budaya suku
osing, dan kebijakan pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut. Penulis menyadari
bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna sempurnanya makalah ini.
Penyusun berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
BAB I PENDAHULUAN
2.3 Sistem Hukum Adat Suku Osing dalam Menyelesaikan Waris di Luar Pengadilan
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN
Suku Ternate, sebuah kelompok etnis yang mendiami pulau Ternate di Kepulauan
Maluku, menampilkan latar belakang budaya hukum yang kaya dan bervariasi.
Keanekaragaman etnik dan kebudayaan di wilayah ini menciptakan landasan yang kuat untuk
norma-norma hukum dan adat istiadat yang unik. Dengan mayoritas masyarakat yang
menganut agama Islam, pengaruh Islam menjadi pilar penting dalam kehidupan sehari-hari,
mencerminkan nilai-nilai dan etika dalam aspek-aspek seperti hukum waris dan perkawinan.
Tradisi dan adat istiadat di Suku Ternate menduduki posisi sentral, tercermin dalam upacara
adat, ritual, dan kebijakan hukum yang diwariskan secara turun-temurun. Hukum waris diatur
oleh garis keturunan dan sistem keluarga, di mana hak waris dan pembagian harta
dipengaruhi oleh hubungan darah.
Penduduk asli Ternate terbagi empat kelompok kekerabatan yang bersifat otonom
(marga), yaitu Marga Soa-Sio, Sangaji, Heku, dan Cim. Salah satu cirinya adalah
melestarikan sistem marga. Oleh sebab itu, mereka lebih mudah dikenal dengan nama
belakang atau (family name) yang melekat di belakang namanya. Marga inilah yang ikut
membedakan mereka dengan etnis lainnya di Ternate. Keempat marga tersebut, menurut
Adnan Amal, berasal dari empat kelompok utama pembentukan Kerajaan Ternate, yakni
Tubo, Tobana, Tabanga, dan Toboleu yang merupakan penduduk awal Pulau Ternate.
Menurut berbagai sumber hingga kini keempat marga utama tersebut, secara turun-temurun
memegang jabatan-jabatan politik di lingkungan Kesultanan Ternate (Adnan Amal, 2007).
Pemimpin adat atau tokoh masyarakat memainkan peran penting dalam menjaga
ketertiban dan memutuskan masalah hukum. Selain itu, nilai-nilai kearifan lokal dan spiritual
tercermin dalam pentingnya tanah adat, yang dianggap sebagai warisan berharga yang
memiliki nilai simbolis yang tinggi. Meskipun tradisi tetap dihormati, masyarakat Ternate
juga mengalami penyesuaian dengan modernitas, menciptakan dinamika kompleks antara
hukum adat dan hukum formal negara. Latar belakang budaya hukum ini menciptakan suatu
keseimbangan antara warisan tradisional dan penyesuaian dengan perubahan zaman.
Basis kebudayaan maupun kearifan lokal Ternate terdapat pada simbol kesultanan
Ternate, dan masyarakat Ternate yang berpegang pada nilai-nilai filosofis yang hidup dan
berkembang di tengah masyarakat Ternate. Nilai-nilai filosofis masyarakat Ternate tidak
serta merta berdiri sendiri, tetapi ia diikat oleh sandara nilai dasarnya yang bersumber pada
“Adat Matoto Agama (adat bersumber dari agama), Agama Matoto Kitabullah (agama
bersumber dari kitab – al qur’an), dan Kitabullah Matoto Jou Allah Taala (kitab bersumber
dari Allah SWT)”. Sedikitnya terdapat 7 (tujuh) nilai filosofis masyarakat Ternate yang
terdiri dari : 1) Adat se Atorang (adat dan segala aturannya); 2) Istiadat se Kabasaran
(lembaga adat dan kekuasaannya); 3) Galib se Lukudi (kelaziman dengan sendi-sendinya); 4)
Ngale se Cara (kebiasaan dengan tatacaranya); 5) Sere se Duniru (budaya dengan
keseniannya); 6) Cing se Cingari (tatacara pergaulan perempuan dan laki-laki); 7) Bobaso se
Rasai (tenggang rasa dan saling menghormati antar sesama) (Irsyadi & Marcidar,2022)
Adapun 7 unsur kebudayaan suku Ternate yaitu :
PEMBAHASAN
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Hukum Tata Negara Suku Ternate mencakup aspek-aspek yang berkaitan dengan
pembentukan, struktur, dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan di dalam suku
tersebut. Hukum ini bertujuan untuk mengatur hubungan antara pemerintah dan
warganegara, serta antara lembaga-lembaga pemerintahan di suku Ternate. Pemimpin
suku Ternate, yang dapat memiliki berbagai istilah, memainkan peran penting dalam
menjaga adat, tradisi, dan kearifan lokal masyarakat suku tersebut. Proses pemilihan
pemimpin di suku Ternate dipengaruhi oleh adat istiadat, tradisi lokal, dan struktur
sosial masyarakat, melibatkan musyawarah, konsensus, dan pertimbangan kualifikasi
calon pemimpin. Tugas pemimpin suku Ternate mencakup pemeliharaan adat dan
tradisi, penyelesaian konflik, pemberian nasihat, pemeliharaan kesejahteraan
masyarakat, pewarisan budaya, pemberdayaan masyarakat, dan hubungan dengan
pemerintah dan pihak eksternal. Peran mereka juga dihormati sebagai pewaris budaya
dan penjaga nilai-nilai tradisional. Pemahaman yang lebih mendalam tentang hukum
tata negara dan kepemimpinan di suku Ternate dapat diperoleh melalui interaksi
langsung dengan masyarakat setempat.
2. Hukum perdata di suku Ternate mencerminkan pengaruh adat istiadat dan tradisi lokal
dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, seperti waris, perkawinan, dan sistem
jual beli. Sistem pewarisan di suku Ternate tercermin dalam norma-norma adat yang
memperhatikan garis keturunan, gender, dan nilai-nilai lokal, seringkali melibatkan
proses spiritual dan kultural. Dalam konteks perkawinan, adat dan ritual memiliki
peran sentral, sementara hak waris dan keturunan dapat dipengaruhi oleh ikatan
perkawinan. Proses pernikahan diatur oleh hukum adat dan norma-norma lokal,
dengan keterlibatan keluarga dan tokoh adat. Sementara itu, sistem jual beli di suku
Ternate mencakup praktik barter, tukar menukar, dan perdagangan di pasar
tradisional, dengan pemimpin adat memainkan peran dalam mengatur transaksi.
Penggunaan mata uang lokal, sistem nilai tradisional, dan regulasi ekonomi lokal turut
memengaruhi dinamika jual beli di masyarakat suku Ternate. Kesemua ini
menunjukkan kompleksitas dan kekhasan sistem hukum perdata di suku Ternate yang
perlu dipahami melalui interaksi langsung dengan masyarakat setempat.
3. Hukum pidana di suku Ternate mencerminkan kompleksitas interaksi antara adat
istiadat, nilai-nilai lokal, dan norma-norma hukum pidana formal. Dalam konteks
pencurian, penyelesaian perkara melibatkan pemimpin adat atau tokoh masyarakat
sebagai penengah, dengan penerapan sanksi pidana yang dapat disertai konsep
restitusi dan perdamaian. Dalam kasus pembunuhan, hukum pidana di suku Ternate
menekankan peran pemimpin adat atau tokoh masyarakat sebagai hakim adat dan
penengah, dengan fokus pada pendekatan restoratif dan nilai-nilai lokal. Adanya
partisipasi masyarakat setempat juga menjadi penting dalam menyelesaikan kasus
pembunuhan, mencerminkan semangat demokrasi adat dan keadilan komunitas. Di
area perkelahian, hukum pidana suku Ternate juga menggabungkan sanksi pidana
dengan pendekatan restoratif, memperhatikan keterlibatan pemimpin adat atau tokoh
masyarakat serta partisipasi aktif dari masyarakat setempat. Kesemuanya
menunjukkan bahwa hukum pidana di suku Ternate tidak hanya berfungsi sebagai alat
penegakan aturan, tetapi juga sebagai sarana untuk memulihkan keseimbangan sosial
dan menjaga harmoni dalam komunitas adat mereka.
3.2 Saran
1. Saran yang dapat diusulkan untuk mendukung hukum tata negara di Suku Ternate
adalah melibatkan lebih aktif masyarakat dalam proses pembentukan dan
pengembangan hukum lokal. Upaya ini dapat mencakup penyelenggaraan forum
musyawarah dan diskusi terbuka yang melibatkan warga suku secara luas,
memungkinkan mereka memberikan masukan dan aspirasi terkait kebijakan
pemerintahan dan kepemimpinan suku. Selain itu, adanya program pendidikan dan
sosialisasi mengenai hukum tata negara dan proses pemilihan pemimpin kepada
masyarakat dapat meningkatkan pemahaman mereka, memperkuat dasar partisipatif,
dan menciptakan keterlibatan yang lebih baik dalam kehidupan politik dan
pemerintahan suku. Ini akan memastikan bahwa hukum tata negara di Suku Ternate
benar-benar mencerminkan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat setempat secara
lebih baik.
2. Saran untuk mendukung sistem hukum perdata di suku Ternate adalah
mengintensifkan upaya pendidikan dan pemahaman masyarakat terkait hukum
perdata lokal. Inisiatif ini dapat melibatkan penyelenggaraan lokakarya, pelatihan,
atau program sosialisasi yang fokus pada norma-norma adat dalam pewarisan,
perkawinan, dan sistem jual beli. Pemimpin adat dapat berperan sebagai fasilitator
dalam penyampaian informasi dan menjelaskan proses hukum perdata kepada
masyarakat. Dukungan eksternal dari pemerintah atau lembaga non-pemerintah juga
dapat membantu dalam memfasilitasi pendidikan hukum lokal dan memastikan agar
masyarakat dapat mengakses informasi dengan lebih baik. Pemahaman yang lebih
dalam akan membantu masyarakat berpartisipasi aktif dan menjaga keberlanjutan
praktik hukum perdata tradisional di suku Ternate.
3. Saran untuk meningkatkan efektivitas hukum pidana di suku Ternate adalah melalui
penguatan mekanisme partisipasi masyarakat dalam proses penegakan hukum. Ini
melibatkan penyelenggaraan dialog dan konsultasi terbuka antara pemimpin adat,
tokoh masyarakat, dan warga setempat untuk meningkatkan pemahaman tentang
nilai-nilai hukum pidana tradisional. Fokus juga diberikan pada peningkatan
kapasitas pemimpin adat dalam menerapkan pendekatan restoratif, sambil
memberikan pendidikan kepada masyarakat mengenai peran mereka dalam
mendukung proses hukum. Kerjasama yang kuat antara pemimpin adat, masyarakat,
dan pemerintah setempat diharapkan dapat memperkuat pelaksanaan hukum pidana,
menjaga harmoni komunitas, dan menciptakan lingkungan yang mendukung
pemulihan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Atjo, Rusli Andi. (2008). Peninggalan Sejarah di Pulau Ternate. Jakarta: Cikoro Printing.
Irsyadi. H., Maricar. F. (2022). Kearifan Lokal Masyarakat Ternate Dalam Kebijakan
Pemerintah Kota Ternate. Jurnal Ilmiah Kebudayaan dan Kesejarahan. Vol. 9 (1):
21-28.