Anda di halaman 1dari 18

•“Hukum Adat Batak” khususnya dalam adat

BATAK TOBA

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Sebagaimana yang telah kita ketahui, Indonesia merupakan salah satu negara
yang memiliki pluralitas suku/etnik yang begitu kompleks. Kebudayaan atau sering
dikatakan suku di Indonesia terdiri dari berbagai macam jenis sesuai dengan daerah yang
ditempati. Mulai dari sabang sampai merauke memiliki suku atau kebudayaan masing-
masing. Misalnya, di Sumatera Barat terkenal dengan suku minang, Kalimantan barat yaitu
suku dayak, suku bugis di Sulawesi Selatan, suku sunda di Jawa Barat, suku batak di
Sumatera Utara dan lain sebagainya. Menurut sensus BPS tahun 2010 Terdapat lebih dari

300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia atau tepatnya 1.340 suku bangsa.
Maka tidak heran, dengan moto/semboyannya yaitu Bhinneka Tunggal Ika (yang bermakna
meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu
kesatuan) keanekaragaman suku dan budaya bangsa menjadi salah satu ciri khas bangsa dan
kebanggaan tersendiri bagi Indonesia maupun dikanca dunia.
Di dalam konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu UUD 1945, pengakuan akan
eksistensi adat/hukum adat secara yuridis tertulis dan diatur dalam pasal 18B ayat (2).Tentu
dengan kondisi demografi budaya saat ini, menjadi hal penting untuk tetap melestarikan
kemurnian budaya Indonesia dengan baik dan cermat. Juga, hal ini tidaklah disalahartikan
bagi masyarakat adat untuk mempertahankan paradigma adatnya secara eksklusif dalam
menerima hal baru di era global seperti sekarang ini. Disini, peran penting Kepala Adat,
masyarakat adat dan pemerintah sekalipun memiliki pengaruh penting untuk menjaga
kearifan adat tertentu secara bijak dan terbuka.
Yang patut kita ketahui yaitu seorang tokoh sarjana Barat, Prof. DR Van Vollen
Hovenmerupakan orang yang berjasa bagi Indonesia yang mengumpulkan, mengadakan
analisis dan menyusun sistematika tentang hukum adat, sehingga hukum adat dapat
dipelajari sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan dalam
penelitian pustakanya pernah menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat asli yang hidup di
Indonesia, sejak ratusan tahun lalu sebelum kedatangan bangsa Belanda, telah memiliki dan
hidup dalam tata hukumnya sendiri. Tata hukum masyarakat asli tersebut dikenal dengan
sebutan “hukum adat”[1]. Beliau disebut sebagai BAPAK HUKUM ADAT
Dalam perkembangan hidup manusia, terjadinya hukum itu dimulai dari pribadi
manusia itu sendiri yang diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku. Perilaku yang terus
menerus dilakukan perorangan maka menimbulkan kebiasaan pribadi. Sehingga lambat laun
diantara masyarakat tersebut melakukan kebiasaan/tingkah laku yang sama yang disebut
“adat” dari masyarakat itu.
Untuk membahas lebih dalam lagi, kita perlu tahu apa itu Adat dan Hukum Adat.
Pada intinya adat adalah kebiasaan masyarakat, sedangkan Hukum adat adalah adat yang
diterima dan harus dilaksanakan dalam masyarakat yang bersangkutan, untuk
mempertahankan pelaksanaan hukum adat itu agar tidak jadi penyimpangan atau
pelanggaran, maka diantara anggota masyarakat ada yang diserahi tugas mengawasi.
Dengan demikian lambat laun petugas-petugas adat ini menjadi, KEPALA ADAT.[2]Maka
dapat disimpulkan hukum adat jelas memiliki sanksi.
Dari uraian singkat diatas, pembahasan yang akan dipaparkan penulis adalah

mengenai salah satu suku di Indonesia yaitu suku batak. Suku Batak merupakan salah

satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk
mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Pantai Barat

dan Pantai Timur di Provinsi Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai

Batak adalah Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak-Dairi, Batak Simalungun, Batak

Angkola, dan Batak Mandailing. Suku bangsa batak di atas memiliki adat, kebiasaan agama
ataupun hal lainnya yang tidak sama. Masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah

dataran tinggi Batak bagian Utara merupakan suatu suku yang terdapat di provinsi
Sumatera Utara. Dalam masyarakat Batak Toba, dibagi lagi dalam suatu komunitas seperti
sub suku menurut dari daerah dataran tinggi yang didiami. Seperti wilayah Silindung yang
di dalamnya masuk daerah di lembah Silindung yaitu Tarutung, Sipahutar, Pangaribuan,
Garoga dan Pahae. Daerah Humbang diantaranya Dolok Sanggul, Onan Ganjang, Lintong
Ni huta, Pakkat dan sekitarnya. Sementara Toba meliputi Balige, Porsea, Samosir,
Parsoburan dan Huta Julu. Fokus kajian penulis dalam makalah ini adalah hukum adat
batak dalam hal Perkawinan, Warisan dan Sanksi Adat khususnya Batak Toba. (secara
Universal)

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagimana hukum adat perkawinan dalam suku Batak ?
2. Bagimana hukum adat waris dalam suku Batak ?
3. Bagaimana sanksi adat dalam hukum suku Batak ?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui hukum adat perkawinan dalam suku Batak.
2. Mengetahui hukum adat waris dalam suku Batak.
3. Mengetahui sanksi adat dalam hukum suku Batak.
1.4. Manfaat
1. Memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang hukum adat batak
dalam hal perkawinan, waris dan sanksi adat.
2. Melestarikan nilai luhur dan budaya adat Batak di Indonesia
1.5. Metodologi Makalah
Metode yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah metode deskriptif kualitatif dan
studi pustaka(normatif) yang bertujuan untuk membuat penjabaran secara sistematis,
faktual, dan akurat.
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Hukum Adat Perkawinan Batak


Manusia tidak akan dapat berkembang dengan baik dan beradab tanpa adanya suatu
proses atau lembaga yang disebut Perkawinan karena dengan melalui perkawinan
menyebabkan adanya keturunan yang baik dan sah, kemudian akan dapat menimbulkan
terciptanya suatu Keluarga yang akhirnya berkembang menjadi Kerabat dan Masyarakat.
Dengan demikian maka “Perkawinan merupakan unsur tali-temali yang meneruskan
kehidupan manusia dan masyarakat yang baik dan sah”.[3]
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa UU NO 1 Tahun 1974 mengatur secara nasional
mengenai perkawinan bagi setiap warga Indonesia, namun ternyata di berbagai daerah
masih memberlakukan hukum perkawinan adat, apalagi bahwa UU tersebut hanya mengatur
pokok-pokok perkawinan dalam segi yuridisnya saja dan tidak mengatur hal-hal yang
bersifat khusus. Misalnya saja, hal yang berhubungan dengan bentuk perkawinan, cara
peminangan (pelamaran) dilakukan, upacara perkawinan, dls. Jelas sekali, eksistensi hukum
adat merupakan satu kesatuan yang tak bisa dilepaskan dalam kehidupan masyarakat
Indonesia.
Untuk menilik lebih jauh bagimana bentuk, proses dan corak hukum perkawinan adat
batak, maka kita harus memahami dulu apa itu Perkawinan dan Hukum Perkawinan Adat.
Menurut UU perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 1 menyatakan bahwa:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Menurut Djaren Saragih, S.H.,(dalam Tolib Setiady 2013:225) dinyatakan bahwa:
“Hukum Perkawinan Adat adalah keseluruhan kaidah hukum yang menentukan prosedur
yang harus ditempuh oleh dua orang yang bertalian kelamin dalam menciptakan kehidupan
bersama dalam suatu rumah tangga dengan tujuan untuk meneruskan keturunan.”
Menurut Prof. Dr. Soekanto, S.H (dalam Tolib Setiady 2013:221) menegaskan bahwa:
“perkawinan itu bukan hanya suatu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan
(perempuan dan laki-laki yang menikah) saja, akan tetapi juga bai orang tuanya, saudara-
saudaranya dan keluarga- keluarganya.”
Sementara dalam PP No 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No 1 tahun
1974 pasal 10 ayat 2 hanya menyatakan bahwa :
“Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.”

Jadi, kita dapat menarik poin penting dari pengertian perkawinan menurut UU dan
perkawinan hukum adat menurut Ahli diatas yaitu fungsi hukum adat perkawinan adalah
melengkapi Unsur dari UU Perkawinan yang merupakan unsur materilnya sedangkan hukum
adat merupakan unsur formil / tata cara menerapkan unsur materil. Yang artinya dalam
menerapkan hukum perkawinan adat, kita tidak boleh melanggar aturan dalam UU
perkawinan. Contohnya, batas usia minimal laki-laki dan wanita masing-masing harus
berusia 19 tahun dan 16 tahun (pasal 7 ayat 1).

Berikut dibawah ini adalah penjabaran mengenai Perkawinan dalam Hukum Adat Batak :

2.1.a. Bentuk Persekutuan dalam Hukum Adat Batak

Dalam adat batak, persekutuan yang dianut adalah Persekutuan Hukum GENEOLOGIS-
PATRILINEAL. Maksudnya adalah menitikberatkan pada faktor keturunan atau pertalian
darah yang menarik keturunan dari pihak Ayah, dikenal adanya TAROMBO BATAK yaitu
silsilah garis keturunan secara patrilineal, biasanya setiap marga(clan)/keluarga mempunyai
lembaran kertas yang isinya berupa bagan yang nantinya akan diteruskan kepada anaknya
laki-laki untuk meneruskan keturunan dan dicatat ke bagan tersebut. Masyarakat ini juga
memberlakukan sistem perkawinan EXOGAMI (ASYMMETRISCH CONNIBIUM),
artinya suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam lingkungan yang
berbeda, dalam hal ini (MARGA).

2.1.b. Arti penting filosofis “DALIHAN NA TOLU” dalam Hukum Perkawinan Batak
Pengertian Dalihan adalah tungku yang dibuat dari batu, sedangkan Dalihan na tolu
adalah tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu. Ketiga dalihan yang ditanam
berdekatan ini berfungsi sebagai tungku tempat memasak. Dalihan harus dibuat sama besar
dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama lain serta tingginya
sama dan harmonis.
Dalihan Na Tolu adalah filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut
masyarakat dan budaya Batak. Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-
hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan antar
kelompok. Dalam adat batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan
fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar
bersama. Ketiga tungku tersebut adalah:

 Pertama, Somba Marhulahula/semba/hormat kepada keluarga pihak Istri.


 Kedua, Elek Marboru (sikap membujuk/mengayomi wanita)
 Ketiga, Manat Mardongan Tubu (bersikap hati-hati kepada teman semarga)

Bahkan, di Tapanuli telah diterbitkan Perda No. 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat
Dalihan Natolu, yaitu suatu lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II, sebagai lembaga
musyawarah yang mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami,
menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. (Pasal 5 dan 8 Perda No. 10
Tahun 1990).
Jadi, arti penting filosofi “DALIHAN NA TOLU” dalam konteks perkawinan adalah
mencegah terjadinya perkawinan antar pria dan wanita yang satu keturunan (satu
marga/klen).

2.1.c. Tahapan-tahapan Pernikahan Adat Batak

Bagi masyarakat adat Batak, perkawinan itu adalah dimana seorang laki-laki
mengikatkan diri dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga
dengan melalui prosedur yang ditentukan dalam ketentuan ketentuan hukum adat batak.
Laki-laki yang mengikatkan diri ini disebut dengan Tunggane Doli ( suami ) dan wanita yang
mengikatkan diri dengan laki-laki disebut dengan Tunggane Boru ( istri ).
Dibawah ini adalah uraian tahap perkawinan dalam adat batak toba pada umumnya

artinya bisa jadi tidak semua adat batak seperti Batak Karo, Batak Pakpak-Dairi, Batak

Simalungun, Batak Angkola, maupun Batak Mandailing sama tahapannya mungkin saja
tidak berurut seperti yg dibawah ini atau ada istilah lainnya, yang dipengaruhi oleh banyak
faktor di era ini seperti keadaan budaya(dinamis), perkembangan jaman, geografis,
kemajuan teknologi maupun percampuran antar budaya (akulturasi-asimilasi)

Berikut adalah tahap-tahapnya:


A. Martandang
Kata martandang artinya berkunjung ke rumah orang lain.Dalam martandang ini si laki-
laki ke luar dari rumahnya dan berkunjung ke rumah si gadis untuk berkenalan. Pada
martandang inilah sering disebut dengan mangaririt – boru oleh si laki-laki. Mangaririt
berasal dari kata ririt yang artinya pilih.
B. Mangalehon Tanda
Mangalehon Tanda artinya adalah memberikan tanda. Pemberian tanda ini terjadi,
apabila, si laki-laki itu sudah menemukan gadis sebagai calon istrinya, dan si gadis itu
sudah menyetujui si laki-laki itu menjadi calon suaminya. Kedua belah pihak yaitu laki-laki
maupun perempuan saling memberikan tanda. Dari pihak laki-laki biasanya menyerahkan
uang kepada wanita itu sebagai tanda, sedang dari pihak anak wanita menyerahkan kain
sarung, ataupun ulos sitoluntuho kepada si laki-laki.
C. Patuahon Hata
Tahap pertama yang termasuk urusan adat adalah patuahon hata; arti harafiahnya
”mematangkan pembicaraan”. Yaitu meningkatkan hubungan diantara si pemuda dan
sipemudi menjadi urusan serius diantara orang tua masing-masing. Tukar cincin sebagi
pengganti adat masilehon tanda burju, kalaupun diadakan, tidak lagi dianggap urusan adat
sekarang. Seorang pemuda tidak boleh langsung mengajukan lamaran kepada orang tua
kekasihnya, ia hanya boleh melamar wanita itu sendiri. Kalau mereka berdua telah sepakat
membentuk rumah tangga dan orang tua masing-masing juga telah merestuinya, maka pada
hari yang ditentukan berangkatlah suatu perutusan dari pihak orang tua sipemuda ke rumah
orang tua sipemudi. Perutusan ini terdiri dari beberapa kerabat dekat pihak pemuda,
biasanya lebih banyak boru daripada dongan sabutuha. Orang tua si pemuda serta saudara-
saudaranya lelaki yang masih kandung tidak ikut serta.
D. Marhusip
Arti harafiah marhusip adalah berbisik-bisik. Adat marhusip dilaksanakan setelah patua
hata. Sebagaimana yang telah disinggung di atas, tugas tersebut pada mulanya diperankan
oleh kelompok boru dari kedua belahpihak. Mereka dapat bertemju dimana saja secara
informal. Mereka akan membicarakan-negosiasi – segala sesuatu berdasarkan mandate yang
diterima dari hula-hulanya. Mereka tidak akan menyimpang dari pesan yang diterima
sehingga mereka dijuluki sebagai suruhan haposan (pesuruh terpercaya).
Pada acara marhusip ini yang masing-masing pihak masih diwakili oleh perantara, yang
dilakukan acara diam-diam, pihak laki-laki menanyakan pada pihak si wanita, berapa kira-
kira jumlah uang sinamot, yang harus disediakan oleh pihak keluarga si laki-laki, dan juga
memberitahukan kepada pihak si wanita kirakira kemampuan pihak si laki-laki. Hal ini
dilakukan agar kedua belah pihak mengerti bagaimana keadaan masing-masing pihak.
Marhusip ini dilakukan di rumah si wanita , dan dalam hal ini orang tua kedua belah pihak
belum ikut campur. Dalam waktu marhusip ini lah juga ditentukan kapan orang tua si laki-
laki datang ke rumah orang tua si wanita untuk membicarakan keinginan orang tua si laki-
laki itu kepada orang tua si wanita secara resmi.
E. MARTUMPOL
Martumpol bagi orang Batak Toba bisa disebut juga sebagai acara pertunangan tetapi
secara harafiah martupol merupakan acara kedua pengantin di hadapan pengurus jemaat
gereja diikat dalam janji untuk melangsungkan pernikahan. Upacara adat ini diikuti oleh
orang tua kedua calon pengantin dan keluarga mereka beserta para undangan yang
biasanya diadakan di dalam gereja, karena yang mengadakan acara martumpol ini
kebanyakan adalah masyarakat Batak Toba yang beragama Kristen.
F. Marhata Sinamot (Jujur)
adalah peristiwa adat untuk merundingkan Sinamot atau uang mahar atau mas kawin.
Setelah patua hata dan marhusip dilaksanakan maka tahap berikutnya adalah Marhata
Sinamot. Rombongan Pangoli yang terdiri dari Orang tua Pangoli dan kawan semarga. Boru
dan Tulang Pangoli, jika diperlukan mendatangi rumah pihak Oroan yang disambut dengan
komposisi yang sama, termasuk Tulang Oroan yang kehadirannya wajib.
Marhata sinamot merupakan tahap penentu dalam pernikahan. Disinilah pihak Pangoli dan
pihak Oroan menjalin kesepakatan tentang tata cara pernikahan yang akan dilaksanakan
serta wujud dari hak dan kewajiban masing-masing. Oleh karena simpul-simpul kesepakatan
telah dirumuskan ketika marhusip, maka proses marhata sinamot akan berjalan mulus
karena perbedaan-perbedaan antara pihak-pihak telah diselesaikan terlebih dahulu oleh
Boru yang bertugas sebagai medioator (domu-domu).

G. Martonggo Raja
Perkawinan pada masyarakat Batak Toba, bukanlah hanya urusan ayah dan ibu si laki-
laki saja, melainkan urusan semua keluarga. Oleh karena itu orang tua si laki-laki akan
mengumpulkan semua keluarganya terutama yang menyangkut Dalihan Natolu, untuk
berkumpul di rumah orang tua si laki-laki, dan membicarakan mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan. Jadi Martonggo Raja ini adalah merupakan
suatu rapat untuk mengadakan pembagian tugas.
H. MANJALO PASU-PASU PARBAGASON (PEMBERKATAN
PERNIKAHAN)

Pemberkatan pernikahan kedua pengantin dilaksanakan di Gereja oleh


Pendeta. Setelah pemberkatan pernikahan selesai, maka kedua
penagntin telah sah menjadi suami istri menurut gereja. Setelah
pemberkatan dari Gereja selesai, lalu kedua belah pihak pulang ke rumah
untuk mengadakan upacara adat Batak dimana acara ini dihadiri oleh
seluruh undangan dari pihak laki-laki dan perempuan.
I. Pelaksanaan Perkawinan (Pesta Adat/ Ulaon Unjuk)
Yang dimaksudkan disini pengertian upacara perkawinan adalah sejak dipertemukannya
calon pengantin pria dan calon pengantin wanita, menurut hukum adat dan sejak adanya
pemberitahuan calon mempelai kepada pegawai pencatat perkawinan sampai terlaksananya
perkawinan menurut agamanya masing-masing.
Seusai upacara menurut agama, maka semua keluarga bersama pengantin pergi ke
tempat pesta yang telah ditentukan. Bagi masyarakat adat Batak Toba peresmian perkawinan
biasanya harus dilakukan dalam suatu pesta. Besar kecilnya pesta ini dengan sendirinya
disesuaikan dengan kemampuan kedua belah pihak. Pesta peresmian perkawinan ini dapat
dilakukan di tempat pihak keluarga laki-laki dan dapat dilakukan di tempat keluarga
perempuan. Kalau pesta upacara perkawinan dilakukan di tempat keluarga laki-laki maka,
setelah upacara perkawinan di Gereja atau akad nikah di Penghulu, maka si wanita itu
dibawa ke rumah keluarga si laki-laki, pesta dilakukan disana. Upacara perkawinan seperti
ini disebut Ditaruhon Jual. Semua pembagian Jambar bagi yang berhak diserahkan pada
saat pesta tersebut. Kalau pesta perkawinan dilakukan di tempat si wanita maka, setelah
upacara perkawinan di gereja atau di kantor Urusan Agama maka kedua pengantin dibawa
dulu ke rumah orang tua si wanita atau langsung ke tempat pesta. Acara perkawinan seperti
ini dinamakan Dialap Jual.
J. Pasca Pernikahan
Acara-acara yang terjadi setelah upacara perkawinan tidak ditentukan di dalam Undang-
undang tentang perkawinan maupun peraturan pelaksanaannya. Acara-acara setelah
perkawinan pada masyarakat Batak Toba :

a. Mebat ( Paulak Une )


Artinya bahwa kira-kira setelah satu minggu, maka kedua pengantin dengan
beberapa orang keluarganya datang kerumah orang tua si wanita. Sebelum Mebat ini maka
si wanita dan suaminya belum boleh berkunjung ke rumah orang tua si wanita tersebut. Pada
acara ini biasanya adalah untuk kesempatan bagi kedua orang tua untuk memberikan
nasehat-nasehat kepada kedua suami istri yang baru itu.
b. Maningkir Tangga
Maningkir artinya melihat. Berarti dalam hal ini kedua orang tua si wanita beserta
beberapa orang keluarganya datang ke rumah orang tua si laki-laki untuk melihat rumah
tangga anaknya. Kedatangan mereka ini selalu membawa makanan adat.
c. Manjae
Setelah semua upacara selesai maka orang tua si laki-laki akan memberi peralatan
dan makanan secukupnya. Dengan demikian suami istri yang baru itu akan berdiri sendiri
sebagai rumah tangga yang mempunyai hak dan kewajiban penuh menurut adat. Hak dan
kewajiban suami isteri sebagai orang tua terhadap anak-anak mereka adalah seimbang
menurut kedudukan dan tanggung jawabnya masing-masing dalam kekeluargaan atau rumah
tangga.

2.1.d. Perkawinan Campuran(MARSILEBAN) Adat Batak


Dalam pandangan hukum adat batak, mengenai perkawinan campuran berlaku
hukum adat yaitu apabila terjadi Marsileban antara pemuda batak dengan gadis cina, maka
untuk pelaksanaan perkawinan itu oleh karena si Gadis tidak mempunyai marga maka
sebelum perkawinan ia harus dimasukkan lebih dahulu ke dalam keanggotaan marga dari
marga ibu si pria (HULA-HULA, MORA-Batak). Sebaliknya jika si pria yang bukan orang
batak akan kawin dengan wanita batak, maka sebelum perkawinan si pria harus dimasukkan
lebih dahulu ke dalam keanggotaan marga NAMBORU yaitu marga dari suami saudara
wanita dari ayah si wanita. Dengan demikian acara dan upacara perkawinan dapat
dilaksanakan karena sudah ada kerabat marga yang saling berhadapan dalam perundingan
permusyawaratan.

Dalam pelaksanaan perkawinan hukum adat Batak dalam soal agama yang dianut
oleh SILEBAN di tanah batak perbedaan agama tidak menjadi persoalan[4]. Namun
menurut penulis pendapat ini kurang tepat karena sudah jelas dalam UU perkawinan
pasangan calon suami-istri harus berlandaskan Pasal 8 huruf (f) UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa
“pernikahan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya
atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
Dari ketentuan Pasal 8 huruf (f) tersebut dapat dilihat bahwa perkawinan beda agama
tergantung pada peraturan agamanya masing-masing .

 Dalam prespektif umat Islam misalnya, larangan tersebut dinyatakan secara tegas dalam
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 1980 dan dipertegas kembali dalam Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005 serta dalam Pasal 40 dan Pasal 44 Kompilasi Hukum
Islam.(KHI)

o Pasal40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita
karenakeadaantertentu:
a.karena wanita yang bersangkutan masih terikat satuperkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
o Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria
yang tidakberagama Islam.

Menurut Kondar K. Lumban Turuan yang berprofesi sebagai Pendeta Gereja HKBP
Kota Bengkulu, bagi umat Kristen tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar
hukum – hukum agamanya sendiri. Hukum agama Kristen yang berdasar pada Alkitab tidak
mengatur tentang pernikahan beda agama. Berdasar pada Kitab Efesus 5: 22 – 23, tertulis
bahwa “Kasih Kristus adalah dasar hidup suami istri”. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa
iman Kristen menjadi dasar bagi kehidupan perkawinan dan perkawinan yang diharapkan
adalah perkawinan antara orang seiman.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Prof. H. Hilman Hadikusuma S.H bahwa :
“Bagi mereka yang akan melakukan perkawinan campuran dikarenakan beda agama
hendaknya salah satu mengalah dan melepaskan agama yang dianutnya sehingga
perkawinan dilakukan menurut tata cara satu agama saja. Bagi mereka Acara Pelaksanaan
Perkawinan hanya dilakukan di Kantor Catatan Sipil atau melakukan perkawinan ganda
menurut agama yang berbeda adalah tidak sah.” (dalam buku Tolib Setiady 2013:258)
Perkawinan beda agama dalam Hukum Adat Batak di ere sekarang umumnya sudah
jarang sekali terjadi dan dilarang dalam hukum Agama, baik dalam Agama Islam maupun

Kristen. Kalaupun ada mereka yang kawin beda agama dinyatakan tidak sah.
2.1.e. Perceraian dalam Hukum Adat Batak
Perceraian menurut hukum adat adalah merupakan peristiwa luar biasa, merupakan
problem sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah Indonesia. Putusnya
perkawinan baik menurut Adat maupun Agama adalah perbuatan tercela. Di kalangan
masyarakat Batak, terjadinya perceraian dari suatu perkawinan berarti akan putusnya atau
renggangnya hubungan kekerabatan antara pihak kerabat yang bersangkutan.
Menurut pasal 39 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 mengatakan:
“perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antar suami-isteri tidak dapat hidup
rukun sebagai suami-isteri.”
Dalam sudut pandang AGAMA KRISTEN, bagi mereka yang beragama Katholik
maka menurut hukum gerejanya perceraian adalah tidak mungkin. Sedangkan bagi yang
beragama kristen lainnya misalnya PROTESTAN, Prof. Barend TEER HAAR. BZN Di dalam
bukunya BEGINSELEN EN STELSEL VAN HET ADATRECHT menyatakan adalah
“MUNGKIN”.[5]
Bagi para kaum Kristen Protestan diakui adanya syarat – syarat untuk mengadakan
perceraian sebagai berikut.
 Berizinah (baik yang melakukan suami atau isteri)
 Penganiayaan berat (ernstige miS. Handeling)
 Meninggalkan dengan niat jahat (kwaadwillige verlating)
 Kadang-kadang juga tidak mempunyai anak.
Menurut Hukum Adat BATAK NASRANI perceraian karena tidak dapat hidup rukun
(ONHEELBARE TWEESPALT) “diperbolehkan” (Putusan Mahkamah Agung No 438
K/Sip/1959 tanggal 13 Januari 1960) (Tolib Setiady hal 271)
Di dalam hukum adat perkawinan batak dikenal bentuk perkawinan dalam susunan
kekeluargaan Patrilineal yaitu Perkawinan Jujur, dalam bahasa batak “SINAMOT” artinya
pihak laki-laki memberikan uang atau barang kepada pihak keluarga perempuan menjelang
perkawinan sebagai simbol pihak perempuan melepas hubungan keluarga dengan orang tua
maupun kerabatnya dan setelah perkawinan si isteri masuk ke clan keluarga pihak laki-laki.
Maka dalam buku Tolib setiady (2013:234) disebutkan karakteristik dari perkawinan Jujur
berlaku HUKUM ADAT PANTANG CERAI, dengan demikian baik senang maupun susah
selama hidupnya isteri berada di bawah kekuasaan kerabat suaminya.[6]

2.2. Hukum Adat Waris Suku Batak.


Jika kita mengingat pembicaraan-pembicaraan kita yang lalu tentang bagian-bagian
hukum adat, maka kita tidak boleh melupakan bahwa bagian-bagian tersebut besar
pengaruhnya terhadap hukum waris adat dan sebaliknya hukum waris pun berdiri sentral
dalam hubungan hukum-hukum adat lainnya sebab Hukum waris adat meliputi aturan-
aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses
penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan non-materiil
dari generasi ke generasi.[7]
Sedangkan dalam bukunya Prof Bushar Muhammad, S.H, (1981:39) Hukum waris
meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses yang terus-menerus dari abad
ke abad, ialah suatu penerusan dan peralihan kekayaan baik material maupun imaterial dari
suatu angkatan ke angkatan berikutnya.
Sebenarnya, sebagian besar dari hukum adat dan sebagian besar dari kepentingan-
kepentingan yang diperjuangkan dalam hukum waris adat yang berdiri di tengah-tengah
ilmu pengetahuan hukum, dalam artian siapa ingin memahami hukum waris, harus
mempelajari dahulu hukum perkawinan, hukum keluarga dan susunan sistem keturunannya,
pendeknya seluruh sistem sosialnya harus diketahui terlebih dahulu. Jadi hukum waris
adalah serangkaian peraturan yang mengatur penerusan dan pengoperan harta
peninggalan atau harta warisan dari sesuatu generasi ke generasi lain, baik mengenai
benda materil maupun immateril, demikian bunyi definisi dari ter Haar maupun Supomo,
sekaligus menunjukkan bahwa sesuatu pewarisan tidak harus berlangsung dalam suasana
kematian. Ini berarti bahwa hukum waris mencakup pula persoalan, tindakan-tindakan
mengenai pelimpahan harta benda semasa seseorang masih hidup, lembaga yang dipakai
dalam hal ini ialah: Hibah dengan catatan bagian itu tidak boleh melebihi sepertiga dari
seluruh harta kekayaannya.

2.2.a. Hal- hal yang penting dalam HUKUM ADAT WARIS


Hal yang penting dalam masalah warisan ini adalah bahwa pengertian warisan itu
memperlihatkan adanya tiga unsur yang masing-masing merupakan unsur esensial, yaitu:
a. Seseorang peninggal warisan yang pada waktu wafatnya meninggalkan warisan
b. Seseorang atau beberapa orang para akhli waris yang berhak menerima kekayaan yang
ditinggalkan
c. Harta warisan atau harta peniggalan yaitu “kekayaan in concerto” yang ditinggalkan dan

sekali beralih kepada akhli waris.

2.2.b. SISTEM KEWARISAN ADAT


Di Indonesia kita menjummpai tiga macam sistem kewarisan dalam hukum adat sebagai
berikut.[8]
a. Sistem kewarisan Individual
Cirinya adalah bahwa harta peninggalan dapat dibagi-bagikan diantara para akhli waris
seperti halnya pada masyarakat Patrilineal di Jawa, Batak, Sulawesi dan lainnya.
b. Sistem kewarisan Kolektif
Cirinya adalah bahwa harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang
bersama-sama merupakan semacam Badan Hukum, dimana harta tersebut sebagai harta
Pusaka tidak boleh dibagi-bagikan pemiliknya diantara para ahli waris dimaksud dan hanya
boleh dibagi-bagikan pemakaiannya saja kepada mereka itu ( hanya mempunyai hak pakai
saja) seperti di dalam masyarakat Matrilineal (Minangkabau)
c. Sistem kewarisan Mayorat
Ciri lain dari kewarisan mayorat adalah bahwa harta peninggalan diwariskan
keseluruhannya atau sebagian besar ( sejumlah harta pokok dari suatu keluarga) oleh
seorang anak raja, seperti halnya di Bali dimana terdapat hak mayorat anak laki-laki yang
tertua dan di tanah semendo (sumatera selatan/ lampung) dimana terdapat hak mayorat anak

perempuan tertua.

2.2.c. HUKUM WARIS ADAT BATAK


Dalam pembagian warisan adat Batak yang mendapatkan warisan adalah anak laki –
laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya atau dengan
kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah.
Sehubungan dengan masalah HIBAH ini, ada Yurisprudensi yang berupa putusan
MAHKAMAH AGUNG RI tanggal 23 Agustus 1960 No. 225/K/Sip/1960 yang menetapkan
sebagai berikut.[9]
a. Hibah tidak memerlukan persetujuan ahli waris
b. Hibah tidak mengakibatkan ahli waris dari si penghibah tidak berhak lagi atas harta
peninggalan dari si penghibah.
Ada beberapa alasan atau argumenasi yang melandasi sistem hukum adat waris
masyarakat patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewaris harta
peninggalan orang tuanya yang meninggal, sedangkan anak perempuan sama sekali
tidak mewaris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang “memandang rendah
kedudukan wanita dalam masyarakat Karo khususnya, dan dalam masyarakat Batak pada
umumnya”.[10] Titik tolak anggapan tersebut adalah:

 Emas kawin, yang membuktikan bahwa perempuan dijual;


 Adat Levirat, yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari suaminya yang
meninggal;
 Perempuan tidak mendapat warisan
Sistem kekerabatan patrilineal seperti pada suku Batak, tidak memasukan anak
perempuan sebagai ahli waris dan tidak termasuk penerus keturunan. Pelaksanaan hukum
waris yang termasuk bidang hukum keluarga menurut hukum adat Batak khususnya di
perantauan, masih menggunakan hukum adat Batak. Sejak tahun 1961Mahkamah Agung
mengeluarkan Putusan yaitu Yurisprudensi No. 179/K/Sip/1961 tentang warisan yang
memperhitungkan anak perempuan sebagai ahli waris dan mendapatkan bagian yang
sama dengan anak laki-laki terhadap harta kekayaan bapaknya (orang tuanya). Dari
Yurisprudensi tersebut terlihat bahwa secara yuridis anak perempuan adalah ahli waris,
“hak waris anak laki-laki dan anak perempuan tidak dibedakan”, namun kenyataan dalam
masyarakat Batak, anak perempuan bukan ahli waris apalagi mempunyai hak untuk
mendapatkan harta warisan bapaknya.Walaupun secara normatif anak perempuan tidak
termasuk dalam kelompok ahli waris, namun dalam perkembangannya, keluarga yang
berasal dari warga masyarakat Batak yang bertempat tinggal di kota-kota besar sudah
memasukan anak perempuan mereka sebagai ahli waris, sedangkan bagian yang diterima
anak perempuan, bagian anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan, bagian anak
perempuan tergantung dari saudara laki-lakinya atau bagian anak laki-laki sama dengan
anak perempuan. Hal yang utama dapat dilihat pada bidang pendidikan, dimana anak laki-
laki dan perempuan mendapat prioritas utama dengan tidak ada perbedaan.
 Kedudukan anak angkat adalam hukum waris adat Batak
Mengenai pengangkatan anak di Negara Indonesia sampai sekarang belum
mempunyai Undang-undang pengangkatan anak secara nasional. Hanya ada suatu
ketentuan-ketentuan yaitu Surat Edaran dari Mahkamah Agung yang berisi pedoman dan
petunjuk bagi para hakim untuk mengambil keputusan atau membuat ketetapan bila ada
permohonan pengangkatan anak yaitu SEMA No. 2 Tahun 1979 yang telah disempurnakan
oleh SEMA No. 6 Tahun 1983, serta Undang-undang Republik Indonesia No. 4 Tahun
1979 tentang kesejahteraan anak dan Undang undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Dengan adanya penyempurnaan tersebut maka dimungkinkan adanya
suatu kepastian hukum terhadap adanya proses pengangkatan anak dan biasanya
pengangkatan anak hanya dilakukan secara adat saja dan hanya beberapa orang tua angkat
saja yang mau datang ke Pengadilan Negeri untuk meminta pengesahan pengangkatan anak
yang telah mereka lakukan agar mempunyai kepastian hukum.

 Berikut beberapa yurisprudensi perihal pengangkatan anak:


- Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 15 Juli 1959 Reg No. 182-
K/SIP/1959, bahwa anak angkat berhak mewarisi harta peningggalan orang tua Angkatnya
yang tidak merupakan harta yang tidak merupakan harta yang diwarisi oleh orang tua
angkat tersebut.
- Yurisprudensi Mahakamah Agung No. 1361K/SIP/1975 tanggal 25 April 1977 yaitu
bahwa seorang anak angkat berhak mewaris harta peninggalan orang tua angkatnya.
Akibatnya anak itu tetap berhak mewaris dari orang tuanya sendiri,
- Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor 73/PDT.G/1995/PN.KLATEN. Bahwa anak
angkat berhak mewaris harta peninggalan orang tua angkatnya (Yurisprudensi MA No. 1361
K/Sip/1975 tanggal 25-04-1977).
Dari tinjauan yuridis di atas maka mengenai pengakuan anak angkat dalam Hukum
adat Batak juga berlaku bahwa anak angkat berhak mendapatkan warisan dari orangtuanya.
Biasanya alasan masyarakat batak mengadopsi anak lantaran tidak mempunyai keturunan,
jadi mereka mengambil keputusan untuk adopsi anak dengan tujuan bisa melanjutkan garis
keturunan yang hakikatnya adat batak lebih memprioritaskan anak laki-laki baik sebagai
penerus marga/clan maupun sebagai ahli waris tunggal.(GENEOLOGIS-PATRILINEAL)
 Kedudukan Janda dalam Pewarisan
Selanjutnya menurut Hukum Adat didaerah TAPANULI pada waktu sekarang ternyata
terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Si istri dapat mewarisi harta pencaharian sang suami yang meninggal dunia.
2. Anak yang belum dewasa dipelihara dan berada dalam pengampuan ibu
3. Karena anak dibawah pengampuan ibu maka harta kekayaan anak dikuasai dan diurus oleh
ibu.
Maka sepanjang perkawinan dengan jujur itu masih dianggap sebagai suatu peristiwa
memutuskan pertalian hubungan si istri dari familinya sendiri serta kemudian dimasukkan ke
dalam pertalian hubungan famili sang suami yang meninggal dan dengan demikian nasib si
janda tidak akan terlantar serta akan tetap menikmati barang-barang peninggalan suaminya.
Dalam hubungan dengan putusan MAHKAMAH AGUNG RI yang terkenal yaitu
No.359/SIP/1960, yang menunjukkan suatu pandangan yang tajam dan tepat mengenai
kedudukan sosial dan pertimbangan Mahkamah untuk memberikan suatu garis Hukum baru,
sebagai kelanjutan dari putusan-putusannya yang terdahulu, mengenai hak-hak janda atas
barang gono-gini termuat dalam perkara nomor 387/1958 yang berbunyi “selama sorang
janda belum kawin lagi, bagian-bagian gono-gini yang dipegang olehnya tidak dapat
dibagi-bagikan, guna menjamin hidupnya.”[11]
Menurut Teer haar menyatakan bahwa “pangkal pikiran hokum adat ialah bahwa istri
sebagai “orang luar” tidak mempunyai hak sebagai waris, akan tetetapi sebagai istri, ia

berhak mendapat nafkah dari harta peninggalan, selama ia memerlukannya.”


Kedudukan janda menurut Al-Quran terdapat pada surah An-Nisa ayat 12 yang artinya
sebagai berikut :
“Bagi isteri-isterimu sebagai janda peninggalanmu seperempat dari harta peninggalanmu,
jika bagimu tidak ada anak, Bagi isteri-isterimu sebagai janda peninggalanmu seperdelapan
dari harta peninggalanmu, jika bagimu ada anak”.
Dari ayat ini memberi penjelasan bahwa janda (isteri) terhadap harta peninggalan
almarhum suaminya akan memperoleh seperempat bagian, bila suami yang diwarisinya tidak
mempunyai far’u waris yakni anak turun si mati yang berhak waris baik secara fardh mapun
secara ushubah. Dan janda (isteri) almarhum suaminya akan memperoleh seperdelapan
bagian, bila suami yang diwarisinya mempunyai far’u waris, baik yang lahir dari isteri
pewaris ini maupun isterinya yang lain.
Jadi, janda tidak menerima bagian dari harta yang diwariskan oleh suaminya selaku
ahli-waris; namun bila perlu dapat tetap menikmati hasil harta tersebut (sebagai harta tak
terbagi) seumur hidupnya, atau menerima sebagian dari harta tersebut sebagai nafkahnya
sekaligus. Kalau ia memisahkan diri dari kerabat suaminya (kawin lagi) ia tidak pernah

membawa suatu benda milik suaminya, seakan-akan ia mewarisinya.


 Pewarisan tanpa anak
Pewarisan harta-benda dalam hal tiada anak – terlepas dari tuntutan hak jodoh yang
hidup terlama dan anak angkat – adalah mudah:
1. Harta benda itu kembali satu langkah (ke atas) di dalam silsilah si meninggal dan diwaris
oleh keturunan dari warga silsilah yang terdapat di situ
2. Bila keturunan yang demikian tidak ada, maka harta tersebut kembali satu langkah lagi, dan
begitu seterusnya.
“silsilah” disini dipakai dalam artian : silsilah garis laki-laki atau garis perempuan,
bergantung kepada sifat tata-sanak yang bersangkutan.[12]

2.3. Sanksi Hukum ADAT

2.3.a. Sanksi Hukum Adat Batak dalam Perkawinan


1. Satu Marga (Clan) / Marpadan
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa hukum adat BATAK menganut
sistem perkawinan “Eksogamie” yaitu dalam sistem ini seseorang diharuskan kawin dengan
seseorang di luar suku keluarganya (keluar clan). Namun dewasa ini, tidak menutup
kemungkinan kasus perkawinan semarga bisa terjadi dalam skala kecil. Meski pada
hakikatnya sudah ada aturan atau falsafah adat batak yang melarang hal itu.
Berbicara tentang sanksi, pada hakikatnya tidak ada tolak ukur yang permanen
dalam menangani/menjatuhkan sanksi penyimpangan hukum adat bagi orang yang
melanggarnya khususnya perkawinan. Mengingat hukum adat sendiri pun telah banyak
berubah (dinamis) seiring perkembangan zaman ini. Penjatuhan sanksi sangat bergantung
pada kebijakan kepala adat/penatua, kebiasaan dan nilai moral yang hidup dalam
masyarakat adat, konsensus dari masyarakat adat ataupun juga kemajuan iptek.
Tidak hanya perkawinan dalam satu marga, seseorang juga dilarang
kawin dengan marga yang sepadan (MARPADAN dan Namarito atau Namariboto ).
Pengertian Marpadan adalah ikhar janji yang telah diikat oleh leluhur suku batak zaman
dahulu dengan mengaramkan pernikahan. Diantara kedua belah pihak marga yang
menajalin ikatan padan, dengan tujuan saling menjaga hubungan yang baik diantara kedua
belah pihak. Itulah nasihat yang btelah diwariskan oleh nenk moyang batak kepada
generasinya yang wajib dipatuhi. Pepatah yangs ering kita dengar tentang Marpadan ini
“TOGU URAT NI BULU TOGUAN URAT NI PADA, TOGU NI DOK NI UHUM TOGUAN
NI DOKNI PADAN” Artinya Parpadanan jauh lebih kuat dari hukum apapun. Misalnya
marga SIHOTANG dengan MARBUN, mereka dilarang kawin karena menurut silsilah
MARGA SIHOTANG DAN MARBUN kedua marga tersebut MARPADAN.
Contoh pernikahan yang dilarang karena Namarito atau Namariboto:

 antara seorang laki-laki dengan putri namboru (saudara perempuan ayah) atau seorang
perempuan dengan putra tulang (saudar laki-laki ibu).

 anak bapatua/bapauda atau anak inangtua/inanguda (parallel cross cousin). Pernikahan


dengan anak bapatua/bapauda atau anak inangtua/inanguda dilarang karena juga

dianggap marsumbang alias incest.


 Misalnya marga-marga berikut ini:
1. .Hutabarat & Silaban Sitio
2.Manullang & Panjaitan
3.Sinambela & Panjaitan,
 4. Manalu & Simamora dan lain sebagainya.

SANKSI yang lumrah terjadi jika ada penyimpangan dalam perkawinan semarga
(Mardawanbegu/ Kawin Sumbang/Marsumbang) yaitu; dilarang mengikuti kegiatan adat, di
keluarkan dari adat, di keluarkan dari kampung halaman atau di haruskan menyembelih
kerbau untuk mengadakan perjamuan guna meminta maaf kepada raja adat. Atau bisa
juga keturunan atau anaknya nanti bisa mengalami cacat fisik atau mental, bisa juga
keluarga tersebut mengalami kesukaran yang merupakan kutukan dari leluhur/nenek
moyang.
Sepintas, faktor adanya pernikahan Marpadan menurut penulis cenderung banyak
terjadi di kalangan masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Mengapa demikian ?
karena pemuda/pemudi Batak di perkotaan banyak tidak paham atau bahkan tidak
tahu Tarombo(silsilah garis keturunan secara patrilineal dalam suku batak) marganya
sendiri, mereka kebanyakan tahunya hanya satu marganya tapi kalau padanan/saudara
marganya kebanayakan tidak tau. Hal ini diperlukan kerja sama antara orang tua dan

anaknya untuk memberi arahan dan ajaran tentang adat Batak.

2. Sanksi Perkawinan Beda Agama


Pandangan Hukum Adat Batak, jika ada satu pasangan yang menikah berlainan
agama/kepercayaan pada hakikatnya tidak menjadi persoalan, karena tendensi masyarakat
batak mengutamakan norma-norma/aturan adat batak bukan soal agama/kepercayaan. Jadi
dalam adat batak secara umum tidak ada sanksi bagi yang kawin beda agama. Tapi
kembali lagi, bahwa pernikahan dipandang sah oleh Negara ketika pernikahan itu sesuai
dengan UU yang berlaku (ius constitutum). Umumnya masyarakat adat Batak sudah jarang
menikah beda agama.
 Dibawah ini contoh KASUS sanksi Adat BATAK:
Ruhut telah mendapatkan sanksi adat dari Marga Tobing setelah bertemu dengan Marga
Sitompul yang sanksi adatnya adalah: 1. Ruhut harus meminta maaf kepada keluarga besar
marga Tobing; 2. Ruhut tak boleh hadir dalam acara adat keluarga Tobing; 3. Pengaduan

Ny. Anna (istri Ruhut) adalah benar dan Ny. Anna benar sebagai istri sah,” jelas Anna.

3. Sanksi adat waris


Umumnya sanksi mengenai waris tidak ada, karena masalah pewarisan hanya menyangkut
pihak intern keluarga antara anak dan orang tua. Biasanya jika ada perselisihan maka
diselesaikan secara musyawarah.
BAB 3

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dari makalah di atas, penulis berkesimpulan bahwa Suku Batak merupakan salah

satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak

adalah Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak-Dairi, Batak Simalungun, Batak Angkola,

dan Batak Mandailing. Suku bangsa batak di atas memiliki adat, kebiasaan, pola hidup,
agama ataupun hal lainnya yang tidak sama(heterogen). Masyarakat Batak Toba yang

berada di wilayah dataran tinggi Batak bagian Utara merupakan suatu suku yang terdapat
di provinsi Sumatera Utara. Dalam masyarakat Batak Toba, dibagi lagi dalam suatu
komunitas seperti sub suku menurut dari daerah dataran tinggi yang didiami.

Dalam hal perkawinan Hukum Adat Batak, menerapkan sistem perkawinan


EKSOGAMIE. Arti penting filosofi “DALIHAN NA TOLU” dalam konteks perkawinan
adalah mencegah terjadinya perkawinan antar pria dan wanita yang satu keturunan (satu

marga/klen). Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-hubungan

kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan antar kelompok. Dalam
proses dan tahapan perkawinan adat batak dikenal istilah “Marhata Sinamot” yang
merupakan simbol pihak perempuan melepas hubungan keluarga dengan orang tua maupun
kerabatnya dan setelah perkawinan si isteri masuk ke clan keluarga pihak laki-laki. Ini
dikenal sebagai PEKAWINAN JUJUR.

Persoalan mengenai warisan di Indonesia sudah ada hukum yang mengaturnya, baik
pembagian waris menurut BW (hokum barat), pembagian waris menurut hukum Islam bagi
orang islam dan pembagian waris menurut hukum adat. Ketiga hukum itu sudah mengatur
mengenai pembagian masing-masing bagian harta peninggalan si pewaris terhadap harta
yang ditinggalkan yang akan dibagikan kepada ahli waris yang ditinggalkan. Dalam konteks
Hukum Adat Batak, karena anak laki-laki merupakan penerus marga dan garis keturunan,
maka hakikatnya laki-laki mememang hak penuh untuk merima warisan dari orang tuanya.
Namun seiring perkembangan zaman tampaknya sistem itu sudah mulai berubah, sebagian
kelompok adat batak atau keluarga batak tidak lagi mendiskriminasi hak anak perempuan
untuk mendapatkan warisan meski bentuknya berupa hibah. Hal ini diperkuat dengan
Yurisprudensi dan preseden dari Mahkamah Agung yang intinya anak perempuan berhak
mendapat warisan.
Berbicara tentang sanksi, pada hakikatnya tidak ada tolak ukur yang permanen
dalam menangani/menjatuhkan sanksi penyimpangan hukum adat bagi orang yang
melanggarnya khususnya perkawinan. Mengingat hukum adat sendiri pun telah banyak
berubah (dinamis) seiring perkembangan zaman ini. Penjatuhan sanksi sangat bergantung
pada kebijakan kepala adat/penatua, kebiasaan dan nilai moral yang hidup dalam
masyarakat adat, konsensus dari masyarakat adat ataupun juga kemajuan iptek. SANKSI
yang lumrah terjadi jika ada penyimpangan dalam perkawinan semarga (Mardawanbegu/
Kawin Sumbang/Marsumbang) yaitu; dilarang mengikuti kegiatan adat, di keluarkan dari
adat, di keluarkan dari kampung halaman atau di haruskan menyembelih kerbau untuk
mengadakan perjamuan guna meminta maaf kepada raja adat. Atau bisa juga keturunan
atau anaknya nanti bisa mengalami cacat fisik atau mental, bisa juga keluarga tersebut
mengalami kesukaran yang merupakan kutukan dari leluhur/nenek moyang.
DAFTAR PUSTAKA
Setiady,Tolib.2013. Intisari Hukum Adat Indonesia.Bandung:Alfabeta
Sudayat,Iman.1981.Hukum Adat Sketsa Adat. Yogyakarta:LIBERTY
Muhammad,Bushar.2002.Pokok-Pokok Hukum Adat.Jakarta:PT.PENEBAR SWADAYA
Djaja S. Meliala, dkk. 1978. Hukum Perdata Adat Dalam Rangka Pembentukan Hukum
Nasional.Bandung:Tarsito.

Najih, Mokhammad.2014. Pengantar Hukum Indonesia.Jatim: Setara Press

Ishaq.2015. Pengantar Hukum Indonesia (PHI). Jakarta: Rajawali Pers

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). 2014. Penerbit: Buana Pers

Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Peraturan Pemerintah RI No 9 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak. Diakses tanggal 22 Februari 2017

https://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_adat_Batak_Toba. Diakses tanggal 27 Februari 2017

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/36870/5/Chapter%20II.pdf. Diakses tanggal 6 Maret


2017
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/36870. Diakses tanggal 5 Maret 2017
http://madeincopas.blogspot.co.id/2012/04/tata-cara-dan-jenis-jenis-pernikahan.html.
https://www.google.com/webhp?sourceid=chrome-instant&ion=1&espv=2&ie=UTF-
8#q=sanksi+hukum+adat+batak+dalam+perkawinan&*.
https://www.mahkamahagung.go.id/id Diakses tanggal 9 Maret 2017
www.hukumonline.com Diakses tanggal 12 Maret 2017
http://hukum.unsrat.ac.id/ma/kompilasi.pdf. Diakses tanggal 13 Maret 2017

[1] Mokhammad Najih, Pengantar Hukum Indonesia, (Jatim:Setara Pres,2014), hal 297
[2] Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung:Alfabeta,2013) hal 1
[3] Ibid, hal 221
[4] Ibid, hal 255
[5] Ibid, hal 271
[6] Ibid, hal 234
[7] Sudayat Iman. Hukum Adat Sketsa Adat. (Yogyakarta:Liberty, 1981)hal 151
[8] Ibid, hal 285
[9] Ibid, hal 289
[10]Djaja S. Meliala dan Aswin Perangin-angin, Hukum Perdata Adat Dalam Rangka Pembentukan
Hukum Nasional, Bandung, Tarsito,1978, hlm. 65.
[11]Bushar Muhammad.Pokok-Pokok Hukum Adat. (JAKARTA:PT.PENEBAR,2002), hal 51

[12]Iman Sudayat . HUKUM ADAT SKETSA ADAT. (YOGYAKARTA:.Liberty,1981) hal 168

Anda mungkin juga menyukai