BATAK TOBA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagaimana yang telah kita ketahui, Indonesia merupakan salah satu negara
yang memiliki pluralitas suku/etnik yang begitu kompleks. Kebudayaan atau sering
dikatakan suku di Indonesia terdiri dari berbagai macam jenis sesuai dengan daerah yang
ditempati. Mulai dari sabang sampai merauke memiliki suku atau kebudayaan masing-
masing. Misalnya, di Sumatera Barat terkenal dengan suku minang, Kalimantan barat yaitu
suku dayak, suku bugis di Sulawesi Selatan, suku sunda di Jawa Barat, suku batak di
Sumatera Utara dan lain sebagainya. Menurut sensus BPS tahun 2010 Terdapat lebih dari
300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia atau tepatnya 1.340 suku bangsa.
Maka tidak heran, dengan moto/semboyannya yaitu Bhinneka Tunggal Ika (yang bermakna
meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu
kesatuan) keanekaragaman suku dan budaya bangsa menjadi salah satu ciri khas bangsa dan
kebanggaan tersendiri bagi Indonesia maupun dikanca dunia.
Di dalam konstitusi Negara Republik Indonesia yaitu UUD 1945, pengakuan akan
eksistensi adat/hukum adat secara yuridis tertulis dan diatur dalam pasal 18B ayat (2).Tentu
dengan kondisi demografi budaya saat ini, menjadi hal penting untuk tetap melestarikan
kemurnian budaya Indonesia dengan baik dan cermat. Juga, hal ini tidaklah disalahartikan
bagi masyarakat adat untuk mempertahankan paradigma adatnya secara eksklusif dalam
menerima hal baru di era global seperti sekarang ini. Disini, peran penting Kepala Adat,
masyarakat adat dan pemerintah sekalipun memiliki pengaruh penting untuk menjaga
kearifan adat tertentu secara bijak dan terbuka.
Yang patut kita ketahui yaitu seorang tokoh sarjana Barat, Prof. DR Van Vollen
Hovenmerupakan orang yang berjasa bagi Indonesia yang mengumpulkan, mengadakan
analisis dan menyusun sistematika tentang hukum adat, sehingga hukum adat dapat
dipelajari sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan dalam
penelitian pustakanya pernah menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat asli yang hidup di
Indonesia, sejak ratusan tahun lalu sebelum kedatangan bangsa Belanda, telah memiliki dan
hidup dalam tata hukumnya sendiri. Tata hukum masyarakat asli tersebut dikenal dengan
sebutan “hukum adat”[1]. Beliau disebut sebagai BAPAK HUKUM ADAT
Dalam perkembangan hidup manusia, terjadinya hukum itu dimulai dari pribadi
manusia itu sendiri yang diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku. Perilaku yang terus
menerus dilakukan perorangan maka menimbulkan kebiasaan pribadi. Sehingga lambat laun
diantara masyarakat tersebut melakukan kebiasaan/tingkah laku yang sama yang disebut
“adat” dari masyarakat itu.
Untuk membahas lebih dalam lagi, kita perlu tahu apa itu Adat dan Hukum Adat.
Pada intinya adat adalah kebiasaan masyarakat, sedangkan Hukum adat adalah adat yang
diterima dan harus dilaksanakan dalam masyarakat yang bersangkutan, untuk
mempertahankan pelaksanaan hukum adat itu agar tidak jadi penyimpangan atau
pelanggaran, maka diantara anggota masyarakat ada yang diserahi tugas mengawasi.
Dengan demikian lambat laun petugas-petugas adat ini menjadi, KEPALA ADAT.[2]Maka
dapat disimpulkan hukum adat jelas memiliki sanksi.
Dari uraian singkat diatas, pembahasan yang akan dipaparkan penulis adalah
mengenai salah satu suku di Indonesia yaitu suku batak. Suku Batak merupakan salah
satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk
mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Pantai Barat
dan Pantai Timur di Provinsi Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai
Batak adalah Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak-Dairi, Batak Simalungun, Batak
Angkola, dan Batak Mandailing. Suku bangsa batak di atas memiliki adat, kebiasaan agama
ataupun hal lainnya yang tidak sama. Masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah
dataran tinggi Batak bagian Utara merupakan suatu suku yang terdapat di provinsi
Sumatera Utara. Dalam masyarakat Batak Toba, dibagi lagi dalam suatu komunitas seperti
sub suku menurut dari daerah dataran tinggi yang didiami. Seperti wilayah Silindung yang
di dalamnya masuk daerah di lembah Silindung yaitu Tarutung, Sipahutar, Pangaribuan,
Garoga dan Pahae. Daerah Humbang diantaranya Dolok Sanggul, Onan Ganjang, Lintong
Ni huta, Pakkat dan sekitarnya. Sementara Toba meliputi Balige, Porsea, Samosir,
Parsoburan dan Huta Julu. Fokus kajian penulis dalam makalah ini adalah hukum adat
batak dalam hal Perkawinan, Warisan dan Sanksi Adat khususnya Batak Toba. (secara
Universal)
PEMBAHASAN
Jadi, kita dapat menarik poin penting dari pengertian perkawinan menurut UU dan
perkawinan hukum adat menurut Ahli diatas yaitu fungsi hukum adat perkawinan adalah
melengkapi Unsur dari UU Perkawinan yang merupakan unsur materilnya sedangkan hukum
adat merupakan unsur formil / tata cara menerapkan unsur materil. Yang artinya dalam
menerapkan hukum perkawinan adat, kita tidak boleh melanggar aturan dalam UU
perkawinan. Contohnya, batas usia minimal laki-laki dan wanita masing-masing harus
berusia 19 tahun dan 16 tahun (pasal 7 ayat 1).
Berikut dibawah ini adalah penjabaran mengenai Perkawinan dalam Hukum Adat Batak :
Dalam adat batak, persekutuan yang dianut adalah Persekutuan Hukum GENEOLOGIS-
PATRILINEAL. Maksudnya adalah menitikberatkan pada faktor keturunan atau pertalian
darah yang menarik keturunan dari pihak Ayah, dikenal adanya TAROMBO BATAK yaitu
silsilah garis keturunan secara patrilineal, biasanya setiap marga(clan)/keluarga mempunyai
lembaran kertas yang isinya berupa bagan yang nantinya akan diteruskan kepada anaknya
laki-laki untuk meneruskan keturunan dan dicatat ke bagan tersebut. Masyarakat ini juga
memberlakukan sistem perkawinan EXOGAMI (ASYMMETRISCH CONNIBIUM),
artinya suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, kekerabatan dalam lingkungan yang
berbeda, dalam hal ini (MARGA).
2.1.b. Arti penting filosofis “DALIHAN NA TOLU” dalam Hukum Perkawinan Batak
Pengertian Dalihan adalah tungku yang dibuat dari batu, sedangkan Dalihan na tolu
adalah tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu. Ketiga dalihan yang ditanam
berdekatan ini berfungsi sebagai tungku tempat memasak. Dalihan harus dibuat sama besar
dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama lain serta tingginya
sama dan harmonis.
Dalihan Na Tolu adalah filosofis atau wawasan sosial-kulturan yang menyangkut
masyarakat dan budaya Batak. Dalihan Natolu menjadi kerangka yang meliputi hubungan-
hubungan kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan antar
kelompok. Dalam adat batak, Dalihan Natolu ditentukan dengan adanya tiga kedudukan
fungsional sebagai suatu konstruksi sosial yang terdiri dari tiga hal yang menjadi dasar
bersama. Ketiga tungku tersebut adalah:
Bahkan, di Tapanuli telah diterbitkan Perda No. 10 tahun 1990 tentang Lembaga Adat
Dalihan Natolu, yaitu suatu lembaga adat yang dibentuk Pemda Tingkat II, sebagai lembaga
musyawarah yang mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami,
menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. (Pasal 5 dan 8 Perda No. 10
Tahun 1990).
Jadi, arti penting filosofi “DALIHAN NA TOLU” dalam konteks perkawinan adalah
mencegah terjadinya perkawinan antar pria dan wanita yang satu keturunan (satu
marga/klen).
Bagi masyarakat adat Batak, perkawinan itu adalah dimana seorang laki-laki
mengikatkan diri dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dalam satu rumah tangga
dengan melalui prosedur yang ditentukan dalam ketentuan ketentuan hukum adat batak.
Laki-laki yang mengikatkan diri ini disebut dengan Tunggane Doli ( suami ) dan wanita yang
mengikatkan diri dengan laki-laki disebut dengan Tunggane Boru ( istri ).
Dibawah ini adalah uraian tahap perkawinan dalam adat batak toba pada umumnya
artinya bisa jadi tidak semua adat batak seperti Batak Karo, Batak Pakpak-Dairi, Batak
Simalungun, Batak Angkola, maupun Batak Mandailing sama tahapannya mungkin saja
tidak berurut seperti yg dibawah ini atau ada istilah lainnya, yang dipengaruhi oleh banyak
faktor di era ini seperti keadaan budaya(dinamis), perkembangan jaman, geografis,
kemajuan teknologi maupun percampuran antar budaya (akulturasi-asimilasi)
G. Martonggo Raja
Perkawinan pada masyarakat Batak Toba, bukanlah hanya urusan ayah dan ibu si laki-
laki saja, melainkan urusan semua keluarga. Oleh karena itu orang tua si laki-laki akan
mengumpulkan semua keluarganya terutama yang menyangkut Dalihan Natolu, untuk
berkumpul di rumah orang tua si laki-laki, dan membicarakan mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan. Jadi Martonggo Raja ini adalah merupakan
suatu rapat untuk mengadakan pembagian tugas.
H. MANJALO PASU-PASU PARBAGASON (PEMBERKATAN
PERNIKAHAN)
Dalam pelaksanaan perkawinan hukum adat Batak dalam soal agama yang dianut
oleh SILEBAN di tanah batak perbedaan agama tidak menjadi persoalan[4]. Namun
menurut penulis pendapat ini kurang tepat karena sudah jelas dalam UU perkawinan
pasangan calon suami-istri harus berlandaskan Pasal 8 huruf (f) UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa
“pernikahan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya
atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
Dari ketentuan Pasal 8 huruf (f) tersebut dapat dilihat bahwa perkawinan beda agama
tergantung pada peraturan agamanya masing-masing .
Dalam prespektif umat Islam misalnya, larangan tersebut dinyatakan secara tegas dalam
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 1980 dan dipertegas kembali dalam Fatwa
Majelis Ulama Indonesia Tahun 2005 serta dalam Pasal 40 dan Pasal 44 Kompilasi Hukum
Islam.(KHI)
o Pasal40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita
karenakeadaantertentu:
a.karena wanita yang bersangkutan masih terikat satuperkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
o Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria
yang tidakberagama Islam.
Menurut Kondar K. Lumban Turuan yang berprofesi sebagai Pendeta Gereja HKBP
Kota Bengkulu, bagi umat Kristen tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar
hukum – hukum agamanya sendiri. Hukum agama Kristen yang berdasar pada Alkitab tidak
mengatur tentang pernikahan beda agama. Berdasar pada Kitab Efesus 5: 22 – 23, tertulis
bahwa “Kasih Kristus adalah dasar hidup suami istri”. Sehingga dapat ditafsirkan bahwa
iman Kristen menjadi dasar bagi kehidupan perkawinan dan perkawinan yang diharapkan
adalah perkawinan antara orang seiman.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Prof. H. Hilman Hadikusuma S.H bahwa :
“Bagi mereka yang akan melakukan perkawinan campuran dikarenakan beda agama
hendaknya salah satu mengalah dan melepaskan agama yang dianutnya sehingga
perkawinan dilakukan menurut tata cara satu agama saja. Bagi mereka Acara Pelaksanaan
Perkawinan hanya dilakukan di Kantor Catatan Sipil atau melakukan perkawinan ganda
menurut agama yang berbeda adalah tidak sah.” (dalam buku Tolib Setiady 2013:258)
Perkawinan beda agama dalam Hukum Adat Batak di ere sekarang umumnya sudah
jarang sekali terjadi dan dilarang dalam hukum Agama, baik dalam Agama Islam maupun
Kristen. Kalaupun ada mereka yang kawin beda agama dinyatakan tidak sah.
2.1.e. Perceraian dalam Hukum Adat Batak
Perceraian menurut hukum adat adalah merupakan peristiwa luar biasa, merupakan
problem sosial dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah Indonesia. Putusnya
perkawinan baik menurut Adat maupun Agama adalah perbuatan tercela. Di kalangan
masyarakat Batak, terjadinya perceraian dari suatu perkawinan berarti akan putusnya atau
renggangnya hubungan kekerabatan antara pihak kerabat yang bersangkutan.
Menurut pasal 39 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 mengatakan:
“perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan untuk
melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antar suami-isteri tidak dapat hidup
rukun sebagai suami-isteri.”
Dalam sudut pandang AGAMA KRISTEN, bagi mereka yang beragama Katholik
maka menurut hukum gerejanya perceraian adalah tidak mungkin. Sedangkan bagi yang
beragama kristen lainnya misalnya PROTESTAN, Prof. Barend TEER HAAR. BZN Di dalam
bukunya BEGINSELEN EN STELSEL VAN HET ADATRECHT menyatakan adalah
“MUNGKIN”.[5]
Bagi para kaum Kristen Protestan diakui adanya syarat – syarat untuk mengadakan
perceraian sebagai berikut.
Berizinah (baik yang melakukan suami atau isteri)
Penganiayaan berat (ernstige miS. Handeling)
Meninggalkan dengan niat jahat (kwaadwillige verlating)
Kadang-kadang juga tidak mempunyai anak.
Menurut Hukum Adat BATAK NASRANI perceraian karena tidak dapat hidup rukun
(ONHEELBARE TWEESPALT) “diperbolehkan” (Putusan Mahkamah Agung No 438
K/Sip/1959 tanggal 13 Januari 1960) (Tolib Setiady hal 271)
Di dalam hukum adat perkawinan batak dikenal bentuk perkawinan dalam susunan
kekeluargaan Patrilineal yaitu Perkawinan Jujur, dalam bahasa batak “SINAMOT” artinya
pihak laki-laki memberikan uang atau barang kepada pihak keluarga perempuan menjelang
perkawinan sebagai simbol pihak perempuan melepas hubungan keluarga dengan orang tua
maupun kerabatnya dan setelah perkawinan si isteri masuk ke clan keluarga pihak laki-laki.
Maka dalam buku Tolib setiady (2013:234) disebutkan karakteristik dari perkawinan Jujur
berlaku HUKUM ADAT PANTANG CERAI, dengan demikian baik senang maupun susah
selama hidupnya isteri berada di bawah kekuasaan kerabat suaminya.[6]
perempuan tertua.
antara seorang laki-laki dengan putri namboru (saudara perempuan ayah) atau seorang
perempuan dengan putra tulang (saudar laki-laki ibu).
SANKSI yang lumrah terjadi jika ada penyimpangan dalam perkawinan semarga
(Mardawanbegu/ Kawin Sumbang/Marsumbang) yaitu; dilarang mengikuti kegiatan adat, di
keluarkan dari adat, di keluarkan dari kampung halaman atau di haruskan menyembelih
kerbau untuk mengadakan perjamuan guna meminta maaf kepada raja adat. Atau bisa
juga keturunan atau anaknya nanti bisa mengalami cacat fisik atau mental, bisa juga
keluarga tersebut mengalami kesukaran yang merupakan kutukan dari leluhur/nenek
moyang.
Sepintas, faktor adanya pernikahan Marpadan menurut penulis cenderung banyak
terjadi di kalangan masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Mengapa demikian ?
karena pemuda/pemudi Batak di perkotaan banyak tidak paham atau bahkan tidak
tahu Tarombo(silsilah garis keturunan secara patrilineal dalam suku batak) marganya
sendiri, mereka kebanyakan tahunya hanya satu marganya tapi kalau padanan/saudara
marganya kebanayakan tidak tau. Hal ini diperlukan kerja sama antara orang tua dan
Ny. Anna (istri Ruhut) adalah benar dan Ny. Anna benar sebagai istri sah,” jelas Anna.
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari makalah di atas, penulis berkesimpulan bahwa Suku Batak merupakan salah
satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak
adalah Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak-Dairi, Batak Simalungun, Batak Angkola,
dan Batak Mandailing. Suku bangsa batak di atas memiliki adat, kebiasaan, pola hidup,
agama ataupun hal lainnya yang tidak sama(heterogen). Masyarakat Batak Toba yang
berada di wilayah dataran tinggi Batak bagian Utara merupakan suatu suku yang terdapat
di provinsi Sumatera Utara. Dalam masyarakat Batak Toba, dibagi lagi dalam suatu
komunitas seperti sub suku menurut dari daerah dataran tinggi yang didiami.
kerabat darah dan hubungan perkawinan yang mempertalikan antar kelompok. Dalam
proses dan tahapan perkawinan adat batak dikenal istilah “Marhata Sinamot” yang
merupakan simbol pihak perempuan melepas hubungan keluarga dengan orang tua maupun
kerabatnya dan setelah perkawinan si isteri masuk ke clan keluarga pihak laki-laki. Ini
dikenal sebagai PEKAWINAN JUJUR.
Persoalan mengenai warisan di Indonesia sudah ada hukum yang mengaturnya, baik
pembagian waris menurut BW (hokum barat), pembagian waris menurut hukum Islam bagi
orang islam dan pembagian waris menurut hukum adat. Ketiga hukum itu sudah mengatur
mengenai pembagian masing-masing bagian harta peninggalan si pewaris terhadap harta
yang ditinggalkan yang akan dibagikan kepada ahli waris yang ditinggalkan. Dalam konteks
Hukum Adat Batak, karena anak laki-laki merupakan penerus marga dan garis keturunan,
maka hakikatnya laki-laki mememang hak penuh untuk merima warisan dari orang tuanya.
Namun seiring perkembangan zaman tampaknya sistem itu sudah mulai berubah, sebagian
kelompok adat batak atau keluarga batak tidak lagi mendiskriminasi hak anak perempuan
untuk mendapatkan warisan meski bentuknya berupa hibah. Hal ini diperkuat dengan
Yurisprudensi dan preseden dari Mahkamah Agung yang intinya anak perempuan berhak
mendapat warisan.
Berbicara tentang sanksi, pada hakikatnya tidak ada tolak ukur yang permanen
dalam menangani/menjatuhkan sanksi penyimpangan hukum adat bagi orang yang
melanggarnya khususnya perkawinan. Mengingat hukum adat sendiri pun telah banyak
berubah (dinamis) seiring perkembangan zaman ini. Penjatuhan sanksi sangat bergantung
pada kebijakan kepala adat/penatua, kebiasaan dan nilai moral yang hidup dalam
masyarakat adat, konsensus dari masyarakat adat ataupun juga kemajuan iptek. SANKSI
yang lumrah terjadi jika ada penyimpangan dalam perkawinan semarga (Mardawanbegu/
Kawin Sumbang/Marsumbang) yaitu; dilarang mengikuti kegiatan adat, di keluarkan dari
adat, di keluarkan dari kampung halaman atau di haruskan menyembelih kerbau untuk
mengadakan perjamuan guna meminta maaf kepada raja adat. Atau bisa juga keturunan
atau anaknya nanti bisa mengalami cacat fisik atau mental, bisa juga keluarga tersebut
mengalami kesukaran yang merupakan kutukan dari leluhur/nenek moyang.
DAFTAR PUSTAKA
Setiady,Tolib.2013. Intisari Hukum Adat Indonesia.Bandung:Alfabeta
Sudayat,Iman.1981.Hukum Adat Sketsa Adat. Yogyakarta:LIBERTY
Muhammad,Bushar.2002.Pokok-Pokok Hukum Adat.Jakarta:PT.PENEBAR SWADAYA
Djaja S. Meliala, dkk. 1978. Hukum Perdata Adat Dalam Rangka Pembentukan Hukum
Nasional.Bandung:Tarsito.
[1] Mokhammad Najih, Pengantar Hukum Indonesia, (Jatim:Setara Pres,2014), hal 297
[2] Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung:Alfabeta,2013) hal 1
[3] Ibid, hal 221
[4] Ibid, hal 255
[5] Ibid, hal 271
[6] Ibid, hal 234
[7] Sudayat Iman. Hukum Adat Sketsa Adat. (Yogyakarta:Liberty, 1981)hal 151
[8] Ibid, hal 285
[9] Ibid, hal 289
[10]Djaja S. Meliala dan Aswin Perangin-angin, Hukum Perdata Adat Dalam Rangka Pembentukan
Hukum Nasional, Bandung, Tarsito,1978, hlm. 65.
[11]Bushar Muhammad.Pokok-Pokok Hukum Adat. (JAKARTA:PT.PENEBAR,2002), hal 51