PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga merupakan lembaga sosial bersifat universal, terdapat di
semua lapisan dan kelompok masyarakat di dunia. Keluarga adalah
miniatur masyarakat, bangsa dan negara. Keluarga terbentuk melalui
perkawinan, ikatan antara kedua orang berlainan jenis dengan tujuan
membentuk keluarga. Ikatan suami istri yang didasari niat ibadah
diharapkan tumbuh berkembang menjadi keluarga (rumah tangga)
bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dapat menjadi
masyarakat yang beriman, bertakwa, berilmu pengetahuan, teknologi dan
berwawasan nusantara.1
Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling berat diterpa oleh
arus globalisasi dan kehidupan modern. Dalam era globalisasi, kehidupan
masyarakat cenderung materialistis, individualistis, kontrol sosial semakin
lemah, hubungan suami istri semakin merenggang, hubungan anak
dengan orang tua bergeser, kesakralan keluarga semakin menipis. 2 Untuk
memelihara dan melindungi serta meningkatkan kesejahteraan dan
kebahagiaan
keluarga
tersebut
disusunlah
undang-undang
yang
tertulis
yang
isinya
merupakan
wujud
dari
hukum-hukum
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT
1. Definisi Perkawinan Adat
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat kita. Sebab perkawinan itu tidak hanya
menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang
tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga
mereka
masing-masing.
Dengan
demikian,
perkawinan
menurut
peralihan).
Upacara-upacara
peralihan
yang
mereka
merupakan
masing-masing,
keluarga
sendiri,
setelahperkawinan
suatu
keluarga
mereka
baru
berdua
yang
berdiri
mereka
setelah
menjadi
suami
isteri
bukanlah
merupakan
sesuatu
yang
sakral,
agung,
dan
7 Paguyuban atau organisasi yang dimaksud di sini adalah organisasi kecil yang dipimpin oleh suami atau ayah
sebagai kepala keluarga.
ekonomi,
budaya
dan
sebagainya.
Ibarat
anak
sekolah,
kebahagiaan
rumah
tangga
keluarga/kerabat,
untuk
10 Ibid, hlm. 1.
11Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama,
Bandung: Mandar Maju, 1990, hlm. 23.
Dalam
masyarakat
patrilinial,
perkawinan
bertujuan
untuk
melaksanakan
bentuk
perkawinan
ambil
isteri
(dengan
keturunan
ibu,
sehingga
anak
perempuan
(tertua)
harus
hukum
adat
(terutama
Jawa),
rukun
dan
syarat
12Ibid.,
6
jodoh
atau
karena
laki-laki
tidak
mampu
untuk
perkawinan
ini,
dijumpai
di
kalangan
orang-orang
perkawinan
campuran
dan
perkawinan
lari.
Perkawinan
berbeda
agama
yang
dianut.
Undang-undang
Perkawinan
lebih
dulu
ke
dalam
keluarga
menulung
(anak
agama
yang
dianutnya,
maka
Islam
hanya
terdapat
tata-cara
menyelesaikannya.
Sesungguhnya
bentuk
perkawinan
jujur,
semenda
atau
bebas/mandiri,
yang
hendak
melangsungkan
perkawinan,
harus
pada
orang
minagkabau
membolehkan
perempuan
untuk dinikahi, asalkan perempuan tersebut tidak sesuku.
c. Pada orang jawa yang bilateral, perempuan yang boleh dinikahi
diantaranya perempuan yang bukan saudara sepupu ayahnya,
perempuan
yang
bukan
saudara
ayah
atau
ibunya,
dan
daerah
saja
yang
secara
praktis
mengenal
sistem
27Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Bandung, Sitra Aditya Bakti, 1992, hlm 38-39
28 Ibid, hlm. 131
12
memiliki
Eleutherogami
larangan-larangan
tidak
mengenal
dan
keharusan-keharusan.
larangan-larangan
maupun
kekeluargaan
yang
menyangkut
nasab
(keturunan),
31
suatu
ikatan
perkawinan.
Sedangkan
tujuan
dari
suatu
perkawinan
diperlukan
sebagai
bukti
adanya
syarat-syarat
administrasi
yang
diperlukan
untuk
perkawinan
antara
mereka
yang
bertalian
keluarga
semenda
3. Dilarang perkawinan antara mereka yang dilarang oleh hakim
karena diputuskan salah telah berzinah
8. Waktu Tunggu
Mengenai waktu tunggu, dalam KUHPerdata, dilarang perkawinan
antara mereka yang telah putus dalam ikatan suatu perkawinan.
Mereka dapat melangsungkan perkawinan kedua kalinya dengan masa
tunggu setelah 1 tahun sejak dibukukan dalam catatan sipil.
Sedangkan bagi wanita yang perkawinannya putus, waktu
tunggunya adalah 300 hari. Hal ini dilakukan untuk menjamin
kepastian akan ayah biologis dari anak apabila wanita itu tengah
mengandung.
9. Tatacara Perkawinan
16
Tata
cara
yang
harus
dilakukan
sebelum
melangsungkan
tersebut
di
pintu
utama
dimana
catatan
sipil
kehendaknya
itu
kepada
Pegawai
Pencatat
pencatat
setelah
menerima
penelitian,
setelah
semua
pemberitahuan
syarat
terpenuhi
akan
maka
kesempatan
mengajukan
kepada
keberatan-keberatan
umum
bagi
untuk
mengetahui
dilangsungkannya
dan
suatu
Pencatat
berdasarkan
ketentuan
yang
berlaku.
Akta
tersebut
ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang hadir
pada saat itu. Bagi yang beragama islam ditandatangani oleh wali
nikahnya.
Dengan
ditandatanganinya
akta
perkawinan
tersebut
maka
20
saudara
dengan
isteri
atau
sebagai
bibi
atau
kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari
seorang
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku, dilarang kawin
8. Waktu Tunggu
Dalam Pasal 11 Undangundang No 1 Tahun 1974 ditentukan
bahwa wanita yang putus perkawinannya, tidak boleh begitu saja
kawin lagi dengan lelaki lain, tetapi harus menunggu sampai waktu
tunggu itu habis.
Menurut Pasal 39 Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975, waktu
tunggu tersebut diatur sebagai berikut :
(1)Waktu tunggu bagi seorang janda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) undang-undang ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 hari;
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak berdatang
bulan ditetapkan 90 hari;
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan
(2)Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinankerena
perceraian sedang diantara janda tersebut dengan bekas suaminya
belum pernah terjadi hubungan kelamin.
(3)Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggu
dihitung
sejak
jatuhnya
putusan
pengadilan
yang
22
mempunyai
kekuatan
hukum
yang
tetap
sedangkan
bagi
hukum
agama
dan
kepercayaannya
itu,
perkawinan
23