Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga merupakan lembaga sosial bersifat universal, terdapat di
semua lapisan dan kelompok masyarakat di dunia. Keluarga adalah
miniatur masyarakat, bangsa dan negara. Keluarga terbentuk melalui
perkawinan, ikatan antara kedua orang berlainan jenis dengan tujuan
membentuk keluarga. Ikatan suami istri yang didasari niat ibadah
diharapkan tumbuh berkembang menjadi keluarga (rumah tangga)
bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dapat menjadi
masyarakat yang beriman, bertakwa, berilmu pengetahuan, teknologi dan
berwawasan nusantara.1
Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling berat diterpa oleh
arus globalisasi dan kehidupan modern. Dalam era globalisasi, kehidupan
masyarakat cenderung materialistis, individualistis, kontrol sosial semakin
lemah, hubungan suami istri semakin merenggang, hubungan anak
dengan orang tua bergeser, kesakralan keluarga semakin menipis. 2 Untuk
memelihara dan melindungi serta meningkatkan kesejahteraan dan
kebahagiaan

keluarga

tersebut

disusunlah

undang-undang

yang

mengatur perkawinan dan keluarga.3


Keinginan masyarakat Indonesia untuk memiliki hukum perkawinan
secara

tertulis

yang

isinya

merupakan

wujud

dari

hukum-hukum

1 Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan


Anak, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal. 22-23.
2 T.O.Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: yayasan Obor Indonesia,
1999, hal. 284-301.
3 Sajtipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1979, hal. 146147.
1

perkawinan yang telah berlaku di dalam masyarakat tersebut, baik itu


hukum perkawinan adat maupun hukum perkawinan menurut ketentuan
agama yang ada. Keinginan

ini sudah muncul pada masa penjajahan

Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa


kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru
dapat terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya UndangUndang No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam makalah ini, penulis akan mencoba untuk memaparkan
sekilas tentang perspektif perkawinan menurut hukum adat, undang
undang nomor 1 tahun 1974 dan kitab undang-undang hokum perdata.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana perspektif perkawinan menurut hukum adat, Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
perkawinan menurut hukum adat, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

BAB II
PEMBAHASAN
A. PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT
1. Definisi Perkawinan Adat
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting
dalam kehidupan masyarakat kita. Sebab perkawinan itu tidak hanya
menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang
tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga
mereka

masing-masing.

Dengan

demikian,

perkawinan

menurut

hukum Adat merupakan suatu hubungan kelamin antara laki-laki


dengan perempuan, yang membawa hubungan lebih luas, yaitu antara
kelompok kerabat laki-laki dan perempuan, bahkan antara masyarakat
yang satu dengan masyarakat yang lain. Hubungan yang terjadi ini
ditentukan dan diawasi oleh sistem norma-norma yang berlaku di
dalam masyarakat itu.4
Perkawinan ideal ialah suatu bentuk perkawinan yang terjadi dan
dikehendaki oleh masyarakat. Suatu bentuk perkawinan yang terjadi
berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tidak menyimpang dari
ketentuan aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku dalam
masyarakat setempat.5
A. Van Gennep, seorang ahli sosiologi Perancis menamakan
semua upacara-upacara perkawinan itu sebagai rites de passage
(upacara-upacara

peralihan).

Upacara-upacara

peralihan

yang

melambangkan peralihan atau perubahan status dari mempelai


berdua; yang asalnya hidup terpisah, setelah melaksanakan upacara
perkawinan menjadi hidup bersatu dalam suatu kehidupan bersama
4Purwadi, Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm.
154

5Ibid, hlm. 155


3

sebagai suami isteri. Semula mereka merupakan warga keluarga orang


tua

mereka

merupakan

masing-masing,
keluarga

sendiri,

setelahperkawinan
suatu

keluarga

mereka

baru

berdua

yang

berdiri

sendiridan mereka pimpin sendiri.6


Hubungan

mereka

setelah

menjadi

suami

isteri

bukanlah

merupakan suatu hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian


7

atau kontrak, tetapi merupakan suatu paguyuban atau organisasi.

Paguyuban hidup yang menjadi pokok ajang hidup suami-isteri


selanjutnya beserta anak-anaknya. Paguyuban hidup tersebut lazimnya
disebut somah (istilah Jawa yang artinya keluarga) dan dalam somah
itu hubungan antara suami dan isteri itu adalah sedemikian rupa
rapatnya, sehingga dalam pandangan orang Jawa mereka berdua itu
merupakan ketunggalan.8
Perkawinan

merupakan

sesuatu

yang

sakral,

agung,

dan

monumental bagi setiap pasangan hidup. Karena itu, perkawinan


bukan hanya sekedar mengikuti agama dan meneruskan naluri para
leluhur untuk membentuk sebuah keluarga. Ikatan hubungan yang sah
antara pria dan wanita, namun juga memiliki arti yang sangat
mendalam dan luas bagi kehidupan manusia dalam menuju bahtera
kehidupan seperti yang dicita-citakannya.
Perkawinan biasanya diartikan sebagai ikatan lahir batin antara
pria dan wanita sebagai suami isteri, dengan tujuan membentuk suatu
keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari pasangan demi pasangan itulah selanjutnya terlahir bayi-bayi
pelanjut keturunan yang pada akhirnya mengisi dan mengubah warna
6Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta: Gunung Agung, cetakan. VII, 1984, hlm.
123.

7 Paguyuban atau organisasi yang dimaksud di sini adalah organisasi kecil yang dipimpin oleh suami atau ayah
sebagai kepala keluarga.

8Soerojo Wignjodipoero, op. cit., hlm. 124.


4

kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu, bagi masyarakat Jawa


khususnya, makna sebuah perkawinan menjadi sangat penting. Selain
harus jelas bibit, bebet, dan bobot bagi si calon pasangan, berbagai
perhitungan ritual lain harus pula diperhitungkan agar perkawinan itu
bisa lestari, bahagia dan dimurahkan rejekinya oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa, dan pada akhirnya melahirkan anak-anak yang cerdas, patuh
kepada kedua orangtuanya, serta taat beribadah.9
Bagi masyarakat Jawa perkawinan bukan hanya merupakan
pembentukan rumah tangga yang baru, tetapi juga membentuk ikatan
dua keluarga besar yang bisa jadi berbeda dalam segala hal, baik
sosial,

ekonomi,

budaya

dan

sebagainya.

Ibarat

anak

sekolah,

perkawinan merupakan sebuah wisuda bagi pasangan muda-mudi


untuk nantinya menggapai ujian pendidikan kehidupan yang lebih
tinggi dan berat.10
Adapun tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang
bersifat kekerabatan, adalah untuk mempertahankan dan meneruskan
keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan,
untuk

kebahagiaan

rumah

tangga

keluarga/kerabat,

untuk

memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk


mempertahankan kewarasan. Oleh karena sistem keturunan dan
kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dan lain
berbeda-beda, termasuk lingkungan hidup dan agama yang dianut
berbeda-beda, maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat
juga berbeda antara suku bangsa yang satu dan daerah yang lain,
begitu juga dengan akibat hukum dan upacara perkawinannya.11
9Artati Agoes, Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat Jawa (Gaya Surakarta dan
Yogyakarta),Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. X.

10 Ibid, hlm. 1.
11Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama,
Bandung: Mandar Maju, 1990, hlm. 23.

Dalam

masyarakat

patrilinial,

perkawinan

bertujuan

untuk

mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak lelaki (tertua)


harus

melaksanakan

bentuk

perkawinan

ambil

isteri

(dengan

pembayaran uang jujur), di mana setelah terjadinya perkawinan isteri


ikut (masuk dalam kekerabatan suami dan melepaskan kedudukan
adatnya dalam susunan kekerabatan bapaknya. Sebaliknya dalam
masyarakat matrilineal, perkawinan bertujuan untuk mempertahankan
garis

keturunan

ibu,

sehingga

anak

perempuan

(tertua)

harus

melaksanakan bentuk perkawinan ambil suami (semanda) di mana


setelah terjadinya perkawinan suami ikut (masuk) dalam kekerabatan
isteri dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan
orang tuanya.12
2. Syarat-syarat Perkawinan Adat
Dalam

hukum

adat

(terutama

Jawa),

rukun

dan

syarat

perkawinan sama dengan yang terdapat dalam hukum Islam, yaitu


adanya calon mempelai laki-laki, calon mempelai wanita, wali nikah,
adanya saksi dan dilaksanakan melalui ijab qabul.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat-syarat perkawinan di
sini, adalah syarat-syarat demi kelangsungan perkawinan tersebut.
Menurut hukum adat, pada dasarnya syarat-syarat perkawinan dapat
diklasifikasikan ke dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Mas kawin (bride-price)
Mas kawin sebenarnya merupakan pemberian sejumlah harta
benda dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, dengan
variasi sebagai berikut:

harta benda tersebut diberikan kepada kerabat wanita, dengan

selanjutnya menyerahkan pembagiannya kepada mereka.


secara tegas menyerahkannya kepada perempuan yang
bersangkutan.

12Ibid.,
6

menyerahkan sebagian kepada perempuan dan sebagian

kepada kaum kerabatnya. 13


b. Pembalasan jasa berupa tenaga kerja (bride-service)
Bride-service biasanya merupakan syarat di dalam keadaan darurat,
misalnya, apabila suatu keluarga yang berpegang pada prinsip
patrilineal tidak mempunyai putra, akan tetapi hanya mempunyai
anak perempuan saja. Mungkin saja dalam keadaan demikian, akan
diambil seorang menantu yang kurang mampu untuk memenuhi
persyaratan mas kawin, dengan syarat bahwa pemuda tersebut
harus bekerja pada orang tua istrinya (mertua).14
c. Pertukaran gadis (bride-exchange)
Pada bride-exchange, biasanya laki-laki yang melamar seorang
gadis untuk dinikahi, maka baginya diharuskan mengusahakan
seorang perempuan lain atau gadis lain dari kerabat gadis yang
dilamarnya agar bersedia menikah dengan laki-laki kerabat calon
isterinya.15
3. Bentuk-bentuk Perkawinan Adat
Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa di Indonesia dapat
dijumpai tiga bentuk perkawinan, antara lain:
a. Bentuk perkawinan jujur (bridge-gift marriage)
b. Bentuk perkawinan semendo (suitor service marriage)
c. Bentuk perkawinan bebas (exchange marriage).16
Kawin jujur merupakan bentuk perkawinan di mana pihak lakilaki memberikan jujur kepada pihak perempuan. Benda yang dapat
dijadikan sebagai jujur biasanya benda-benda yang memiliki kekuatan
13Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992, hlm. 34
14Ibid ., hlm. 35.
15Ibid.,
16Ibid, hlm. 23.
7

magis. Pemberian jujur diwajibkan, adalah untuk mengembalikan


keseimbangan magis yang semula menjadi goyah, oleh karena
terjadinya kekosongan pada keluarga perempuan yang telah pergi
karena menikah tersebut. Perkawinan jujur dapat dijumpai pada
masyarakat patrilineal, baik yang murni maupun yang beralih-alih. Ciriciri umum perkawinan jujuradalah patrilokal, artinya, isteri wajib
bertempat tinggal di kediaman suami atau keluarga suami.17
Akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa semua perkawinan yang
patrilokal adalah kawin jujur, oleh karena adakalanya pada perkawinan
lainnya isteri juga wajib tinggal di tempat kediaman suami. Di samping
itu, perkawinan jenis ini bersifat exogam, yaitu suatu larangan menikah
dengan warga yang se clan atau se marga. Masyarakat yang masih
konsekwen menjalankan perkawinan jujur adalah kalangan Tapanuli,
dengan menambah ciri lagi yaitu a simetri konubium yang merupakan
larangan perkawinan timbal balik antara dua keluarga walaupun
berlainan marga, apabila antara kedua keluarga tersebut telah ada
perkawinan.18
Perkawinan semendo pada hakekatnya bersifat matrilokal dan
exogami; matrilokal berarti bahwa isteri tidak berkewajiban untuk
bertempat tinggal di kediaman suami. Dalam perkawinan ini, biasanya
juga dijumpai dalam keadaan darurat, di mana perempuan sulit untuk
mendapatkan

jodoh

atau

karena

laki-laki

tidak

mampu

untuk

memberikan jujur. Kedudukan suami dan isteri juga tidak sederajat.19


Bentuk

perkawinan

ini,

dijumpai

di

kalangan

orang-orang

Minangkabau dan merupakan bentuk perkawinan yang umum di

17 Soerojo Wignjodipoero, op. cit., hlm. 128.


18Ibid., hlm. 24.
19 Ibid., hlm. 28.
8

Indonesia, oleh karena itu dapat dijumpai pada setiap bentuk


masyarakat.
Sedangkan bentuk kawin bebas tidak menentukan secara tegas
di mana suami atau isteri harus tinggal, hal ini tergantung pada
keinginan masing-masing pihak, yang pada akhirnya ditentukan oleh
konsensus antara pihak-pihak tersebut. Pada umumnya bentuk kawin
bebas bersifat endogamy, artinya suatu anjuran untuk kawin dengan
warga kelompok kerabat sendiri, bentuk ini banyak dijumpai di Jawa,
Kalimantan, dan sebagainya.20
Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang perkawinan,
bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercayaannya dan bahwa setiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya,
bentuk-bentuk perkawinan tersebut di atas, sebanyak mungkin harus
disesuaikan dengan aturan hukum positif tertulis tersebut (pasal 2
Undang undang No. 1 Tahun 1974).
Baik perkawinan jujur maupun perkawinan semendo, keduanya
memiliki akibat-akibat yang harus dijalani oleh suami dan isteri. Akibat
dari perkawinan jujur adalah:
1. Isteri keluar dari hak dan kewajiban serta tanggung jawab dari
keluarganya dan masuk pada hak dan kewajiban serta tanggung
jawab pada keluarga suami yang telah menjujurnya.
2. Anak-anak yang dilahirkan menarik garis keturunan ke atas melalui
ayahnya dan mewaris dari ayahnya.
3. Kedudukan suami dan isteri sederajat.
4. Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan masuk clan ayahnya.
Sementara perkawinan semendo berakibat pada:
1. Anak-anak tetap menarik garis keturunan ke atas melalui ayahnya
dan masuk clan ayahnya,
2. Kedudukan suami dan isteri tidak sederajat.

20 Ibid., hlm. 25.


9

3. Pada kawin semendo sederajat, anak-anak tetap menarik garis


keturunan ke atas melalui ayahnya, akan tetapi mereka dapat
mewaris dari ayah maupun ibunya. Anak laki-laki dan anak
perempuan yang tidak kawin jujur dapat menjadi ahli waris.21
Berbeda dengan perkawinan jujur dan semendo, perkawinan
bebas dapat dijumpai dalam masyarakat parental. Setelah terjadi
perkawinan bebas, suami dan isteri tidak lagi memiliki satu keluarga
tetapi dua keluarga sekaligus, yaitu kerabat suami di satu pihak dan
kerabat isteri di pihak lain. Dan begitu seterusnya sampai anak-anak
keturunananya.22
Selain tiga perkawinan di atas, ada bentuk perkawinan adat lain
yaitu

perkawinan

campuran

dan

perkawinan

lari.

Perkawinan

campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan yang terjadi di


antara suami dan isteri yang berbeda suku bangsa, adat budaya dan
atau

berbeda

agama

yang

dianut.

Undang-undang

Perkawinan

Nasional tidak mengatur hal demikian, yang hanya diatur adalah


perkawinan antara suami dan isteri yang berbeda kewarganegaraan
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 57 Undang-undang Perkawinan
No. 1 Tahun 1974.23
Dalam perkawinan campuran terjadi perpaduan adat yang
berbeda. Di Lampung, sebelum perkawinan dilangsungkan jika laki-laki
berasal dari luar daerah, maka ia terlebih dahulu dijadikan warga adat
dari pihak keluarga kelama (kerabat pria saudara-saudara ibu) atau
boleh juga dimasukkan ke dalam warga adat kenubi (bersaudara
ibu). Jadi perempuan yang berasal dari luar, maka harus diangkat dan
dimasukkan

lebih

dulu

ke

dalam

keluarga

menulung

(anak

21Ibid, hlm. 29.


22 Soerojo Wignjodipoero, op. cit., hlm. 130.
23 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Bandung: Mandar Maju, 1992, hlm. 188.
10

kemenakan dari saudara bapak yang perempuan) atau diangkat dan


dimasukkan ke dalam keluarga kenubi. Sehingga perkawinan yang
berlaku itu disebut ngakuk menulung(mengambil keluarga menulung)
atau kawin kenubi(perkawinan dengan keluarga kenubi, bersaudara
ibu).24
Dalam hal perbedaan agama antara calon suami dan calon isteri,
agar perkawinan itu sah maka salah satu harus mengalah memasuki
agama suami atau agama isteri. Menurut agama Islam perkawinan
campuran antar agama di mana calon suami isteri tidak bersedia
meninggalkan

agama

yang

dianutnya,

maka

Islam

hanya

membolehkan laki-laki Islam kawin dengan perempuan beragama lain.


Jika sebaliknya suami beragama lain dari Islam sedangkan isteri
beragama Islam dilarang.25
Sedangkan perkawinan lari dapat terjadi di suatu lingkungan
masyarakat adat, tetapi yang terbanyak berlaku adalah di kalangan
masyarakat Batak, Lampung Bali, Bugis/Makassar, Maluku. Di daerahdaerah tersebut walaupun kawin lari itu merupakan pelanggaran adat,
namun

terdapat

tata-cara

menyelesaikannya.

Sesungguhnya

perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan melainkan merupakan


sistem pelamaran, oleh karena dari kejadian perkawinan lari itu dapat
berlaku

bentuk

perkawinan

jujur,

semenda

atau

bebas/mandiri,

tergantung pada keadaan dan perundangan kedua pihak.26


4. Perempuan Yang Boleh Dinikahi Menurut Adat
Dari rukun dan syarat perkawinan menurut hukum adat, bagi
masyarakat

yang

hendak

melangsungkan

perkawinan,

harus

mengetahui lebih dahulu siapa pasangan yang akan dinikahinya. Hal


24Ibid, hlm. 189.
25Ibid.,
26Ibid.,
11

ini dimaksudkan agar nantinya setelah menjalani kehidupan rumah


tangga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan mengetahui
siapa pasangan kita, maka akan terjaga dan terpelihara status
perkawinannya.
Adapun perempuan yang boleh dinikahi menurut hukum adat :
a. Dalam sistem patrilineal, yang ada dikalangan orang batak,
perempuan yang boleh dinikahi adalah perempuan yang bukan
senarga, perempuan yang tidak melakukan perkawinan dengan
laki-laki dari tulang, perempuan yang tidak menikah dengan lakilaki tulang dari ibu si wanita, perempuan yang tidak melakukan
perkawinan dengan laki-laki dari saudara perempuan wanita
tersebut, dan perempuan yang tidak mempunyai penyakit turun
temurun.
b. Prinsip matrilineal

pada

orang

minagkabau

membolehkan

perempuan
untuk dinikahi, asalkan perempuan tersebut tidak sesuku.
c. Pada orang jawa yang bilateral, perempuan yang boleh dinikahi
diantaranya perempuan yang bukan saudara sepupu ayahnya,
perempuan

yang

bukan

saudara

ayah

atau

ibunya,

dan

perempuan yang bukan kakak dari isteri kakak kandungnya


(yang lebih tua).27
5. Macam-macam Sistem Perkawinan Adat
Menurut hukum adat, sistem perkawinan ada 3 macam yaitu:28
a. Sistem Endogami
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan
seorang dari suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini
jarang terjadi di Indonesia. Menurut Van Vollenhoven hanya ada
satu

daerah

saja

yang

secara

praktis

mengenal

sistem

27Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, Bandung, Sitra Aditya Bakti, 1992, hlm 38-39
28 Ibid, hlm. 131
12

endogamy ini, yaitu daerah Toraja. Tetapi sekarang, di daerah ini


pun sistem ini kan lenyap dengan sendirinya kalau hubungan
daerah itu dengan daerah lainnya akan menjadi lebih mudah,
erat dan meluas. Sebab sistem tersebut di daerah ini hanya
terdapat secara praktis saja; lagi pula endogamy sebetulnya
tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di
daerah itu, yaitu parental.29
b. Sistem Exogami
Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain.
Menikah dengan suku sendiri merupakan larangan. Namun
demikian, seiring berjalannya waktu, dan berputarnya zaman
lambat laun mengalami proses perlunakan sedemikian rupa,
sehingga larangan perkawinan itu diperlakukan hanya pada
lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. Sistem ini dapat
dijumpai di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera
Selatan, Buru dan Seram.30
c. Sistem Eleutherogami
Sistem eleutherogami berbeda dengan kedua sistem di atas,
yang

memiliki

Eleutherogami

larangan-larangan
tidak

mengenal

dan

keharusan-keharusan.

larangan-larangan

maupun

keharusan-keharusan tersebut. Larangan-laranganyang terdapat


dalam sistem ini adalah larangan yang berhubungan dengan
ikatan

kekeluargaan

yang

menyangkut

nasab

(keturunan),

seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu, juga


dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu. Atau larangan
kawin dengan musyahrah(per-iparan), seperti kawin dengan ibu
tiri, mertua, menantu, anak tiri.

31

Sistem ini dapat dijumpai

hampir di seluruh masyarakat Indonesia, termasuk Jawa.


29Ibid, hlm. 132
30 Ibid.,
13

B. PERKAWINAN MENURUT KUHPERDATA


1. Arti dan Tujuan Perkawinan
Pasal 26 KUHPerdata :
Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam
hubungan-hubungan perdata.
Artinya, bahwa suatu perkawinan yang ditegaskan dalam pasal
diatas hanya memandang hubungan perdata saja, yaitu hubungan
pribadi antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri
dalam

suatu

ikatan

perkawinan.

Sedangkan

tujuan

dari

suatu

perkawinan tidak disebutkan disini.


2. Syarat sahnya Perkawinan
Syarat sahnya suatu perkawinan dalam KUHPerdata, ialah :
a. Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan dalam
undang-undang, yaitu bagi laki-laki 18 tahun dan bagi perempuan
15 tahun.
b. Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak
c. Untuk seorang perempuan yang telah kawin harus lewat 300 hari
dahulu setelah putusnya perkawinan pertama
d. Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua belah pihak
e. Untuk pihak yang masih dibawah umur harus ada izin dari orangtua
atau walinya
3. Pencatatan Perkawinan
Pencatatan

perkawinan

diperlukan

sebagai

bukti

adanya

perkawinan. Bukti adanya perkawinan ini diperlukan kelak untuk


melengkapi

syarat-syarat

administrasi

yang

membuat akta kelahiran, kartu keluarga

diperlukan

untuk

dan lain-lain. Dalam

KUHPerdata, pencatatan perkawinan ini diatur dalam bagian ke tujuh


Pasal 100 dan Pasal 101.

31Ibid., hlm. 133.


14

Dalam Pasal 100, bukti adanya perkawinan adalah melalui akta


perkawinan yang telah dibukukan dalam catatan sipil. Pengecualian
terhadap pasal ini yaitu Pasal 101, apabila tidak terdaftar dalam buku
di catatan sipil, atau hilang maka bukti tentang adanya suatu
perkawinan dapat diperoleh dengan meminta pada pengadilan. Di
pengadilan akan diperoleh suatu keterangan apakah ada atau tidaknya
suatu perkawinan berdasarkan pertimbangan hakim.
4. Asas Monogami
Dalam Pasal 27 KUHPerdata disebutkan bahwa :
Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan
mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang
perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya.
Artinya, KUHPerdata menganut asas monogami, yaitu melarang
seorang pria atau seorang wanita mempunyai lebih dari satu pasangan
sebagai istri atau suaminya. KUHPerdata mengesampingkan peraturan
agama. Asas Monogami ini termasuk ketertiban umum, artinya apabila
dialanggar selalu diancam dengan pembatalan perkawinan yang
dilangsungkan itu.
5. Persetujuan
Salah satu syarat sah suatu perkawinan adalah harus ada
persetujuan bebas dari kedua belah pihak. Hal ini berarti bahwa tidak
ada paksaan baik bagi pihak pria maupun pihak wanita dalam
melangsungkan suatu perkawinan. Asas perkawinan menghendaki
kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami-istri, sesuai dengan
Pasal 28 KUHPerdata.
Persetujuan dalam melangsungkan perkawinan juga tidak hanya
untuk kedua calon suami istri namun juga untuk keluarga kedua calon
mempelai khususnya kedua orangtua calon mempelai. Persetujuan
kedua orangtua atau wali dari calon mempelai diperlukan apabila
kedua caolon mempelai yang ingin mengikatkan diri dalam suatu
perkawinan belum dewasa (pria 18 tahun dan wanita 15 tahun). Untuk
15

anak-anak yang telah dewasa namun belum mencapai umur 30 tahun,


jika ingin melakukan perkawinan harus meminta izin dari orangtuanya
juga berdasarkan Pasal 42 KUHPerdata.
6. Batas Umur
Batas umur yang ditetapkan dalam KUHPerdata bagi seseorang
yang ingin melangsungkan pernikahan adalah usia 18 tahun untuk lakilaki dan 15 tahun untuk perempuan. Hal ini berarti usia 18 tahun
adalah usia dewasa bagi laki-laki dan usia dewasa perempuan adalah
15 tahun
7. Larangan Perkawinan
Larangan perkawinan yang disebutkan dalam KUHPerdata adalah :
1. Dilarang perkawinan antara mereka yang satu sama lain bertalian
keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah, baik karena
kelahiran yang sah dan tidak sah atau karena perkawinan; dan
dalam garis menyimpang, antara saudara laki-laki dan saudara
perempuan, sah atau tidak sah
2. Dilarang

perkawinan

antara

mereka

yang

bertalian

keluarga

semenda
3. Dilarang perkawinan antara mereka yang dilarang oleh hakim
karena diputuskan salah telah berzinah
8. Waktu Tunggu
Mengenai waktu tunggu, dalam KUHPerdata, dilarang perkawinan
antara mereka yang telah putus dalam ikatan suatu perkawinan.
Mereka dapat melangsungkan perkawinan kedua kalinya dengan masa
tunggu setelah 1 tahun sejak dibukukan dalam catatan sipil.
Sedangkan bagi wanita yang perkawinannya putus, waktu
tunggunya adalah 300 hari. Hal ini dilakukan untuk menjamin
kepastian akan ayah biologis dari anak apabila wanita itu tengah
mengandung.
9. Tatacara Perkawinan

16

Tata

cara

yang

harus

dilakukan

sebelum

melangsungkan

perkawinan dalam KUHPerdata diatur dalam bagian ke dua, yaitu :


1. Memberitahukan kepada pegawai catatan sipil tempat tinggal salah
satu dari kedua pihak
2. Pemberitahuan tersebut dapat dilakukan sendiri atau dengan
perwakilan dengan menyertakan surat yang menerangkan bahwa
ada kehendak untuk melangsungkan pernikahan. Pemberitahuan ini
akan dibuatkan akta oleh pegawai catatan sipil.
3. Pegawai Catatan Sipil akan menempelkan pengumuman mengenai
perkawinan

tersebut

di

pintu

utama

dimana

catatan

sipil

diselenggarakan. Pengumuman tersebut akan tetap tertempel


selama 10 hari
4. Apabila dalam jangka waktu 1 bulan perkawinan tersebut tidak
dilaksanakan, maka perkawinan tersebut tidak boleh dilangsungkan
sebelum memberitahukan kepada kantor catatan sipil
C. PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974
1. Arti dan Tujuan Perkawinan
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Rumusan perkawinan di atas ini merupakan rumusan Undangundang No 1 Tahun 1974 yang dituangkan dalam Pasal 1. Dalam
penjelasannya disebutkan bahwa Indonesia sebagai negara yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur
bathin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.
Arti perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974
adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri. Sedangkan tujuan dari perkawinan menurut
17

Undang-undang No 1 Tahun 1974 adalah membentuk keluarga (rumah


tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Ikatan lahir mempunyai arti bahwa suatu perkawinan merupakan
suatu hubungan hukum antara seorang wanita dan seorang pria untuk
hidup bersama sebagai suami istri. Ikatan bathin berarti bahwa suatu
perkawinan merupakan suatu pertalian jiwa yang terjalin karena
adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.
Tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal maksudnya adalah bahwa suatu perkawinan
dilangsungkan bukan untuk sementara melainkan untuk seumur hidup
atau selama-lamanya.
2. Syarat Sahnya Perkawinan
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan
perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 s.d 12 adalah sebagai berikut :
1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai
2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum
berusia 21 tahun
3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 21 tahun dan usia calon
mempelai wanita sudah mencapai 16 tahun
4. antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam
hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin
5. tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain
6. bagi suami istri yang telah bercerai, lalu kawin lagi satu sama lain
dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan
mereka tidak melarang mereka kawin lagi untuk ketiga kalinya
7. tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang
janda.
3. Pencatatan Perkawinan
18

Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus


memberitahukan

kehendaknya

itu

kepada

Pegawai

Pencatat

Perkawinan. Bagi yang beragama islam kepada Pegawai Pencatat


Nikah, Talak dan Rujuk, sedangkan bagi yang bukan beragama islam
ialah Kantor Catatan Sipil atau Instansi yang membantunya.
Pemberitahuan dapat dilakukan sendiri secara lisan atau oleh
orangtuanya atau walinya dan apabila tidak dimungkinkan dapat
dilakukan secara tertulis dengan memperlihatkan surat kuasa khusus.
Pemberitahuan memuat :
a. nama;
b. umur;
c. agama/kepercayaan;
d. pekerjaan;
e. tempat kediaman calon mempelai
f. bila salah seorang atau keduanya pernah kawin, maka disebutkan
nama pasangan terdahulu;
g. wali nikah (bagi yang beragama islam) dll
Pemberitahuan disampaikan selambat-lambatnya 10 hari kerja
sebelum perkawinan tersebut dilangsungkan, kecuali dengan alasan
yang penting dengan mengajukan surat dispensasi kepada Bupati
Kepala Daerah cq Camat setempat
Pegawai
mengadakan

pencatat

setelah

menerima

penelitian,

setelah

semua

pemberitahuan

syarat

terpenuhi

akan
maka

pegawai pencatat akan melakukan pengumuman. Maksudnya untuk


memberi

kesempatan

mengajukan

kepada

keberatan-keberatan

umum
bagi

untuk

mengetahui

dilangsungkannya

dan
suatu

perkawinan apabila yang demikian itu diketahuinya bertentangan


dengan hukum agama dan kepercayaan yang bersangkutan atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sesaat setelah perkawinan dilangsungkan, kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai
19

Pencatat

berdasarkan

ketentuan

yang

berlaku.

Akta

tersebut

ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang hadir
pada saat itu. Bagi yang beragama islam ditandatangani oleh wali
nikahnya.
Dengan

ditandatanganinya

akta

perkawinan

tersebut

maka

perkawinan itu telah tercatat secara resmi.


4. Asas Monogami
Asas monogami tercantum dalam pasal 9 UU No 1 Tahun 1974
yang menyatakan seorang yang masih terikat tali perkawinan
dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang
tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undangundang ini.
Poligami menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 hanya
diperuntukkan bagi mereka yang hukum dan agamanya mengizinkan
seorang suami beristri lebih dari seorang.
Pengadilan hanya dapat memberikan izin kepada seorang suami
untuk melakukan poligami apabila ada alasan yang dapat dibenarkan
dan telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, yaitu :
Syarat limitatif
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Syarat yang harus dipenuhi seluruhnya
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anak mereka
5. Persetujuan
Pasal 6 ayat (1) Undang-unadng No 1 Tahun 1974 menyatakan :

20

Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon


mempelai
Maksudnya agar perkawinan yang dilangsungkan dapat mencapai
tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang kekal dan bahagia
dan sesuai dengan hak asasi manusia tanpa paksaan dari pihak
manapun.
Persetujuan dari orang tua pun diperlukan, hal ini sesuai dengan
tatakrama masyarakat kita sebagai orang timur. Masyarakat kita
mempunyai rasa kekeluargaan yang sangat kuat sehingga suatu
perkawinan bukanlah menyatukan seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri, namun juga menyatukan kedua keluarga dari
kedua belah pihak.
6. Batas Umur
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyatakan :
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun.
Ketentuan ini untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-anak
yang masih dibawah umur atau kawin gantung.
Ketentuan ini juga dimaksudkan dengan adanya pembatasan
umur calon mempelai ini, jiwa dan raganya sudah matang sehingga
dapat membina rumah tangga sesuai dengan tujuan perkawinan.
Penyimpangan terhadap ketentuan ini dapat dimintakan ke pengadilan.
7. Larangan Perkawinan
Hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin menurut
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pada Pasal 8 adalah sebagai berikut
di bawah ini :
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke
atas
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antara saudara, antara seorang dengan saudara orangtua dan
antara seorang dengan saudara nenek
21

c. Berhubungan dengan semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu,


dan bapak/ibu tiri
d. Berhubungan susuan yaitu orangtua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan
e. Berhubungan

saudara

dengan

isteri

atau

sebagai

bibi

atau

kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari
seorang
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku, dilarang kawin
8. Waktu Tunggu
Dalam Pasal 11 Undangundang No 1 Tahun 1974 ditentukan
bahwa wanita yang putus perkawinannya, tidak boleh begitu saja
kawin lagi dengan lelaki lain, tetapi harus menunggu sampai waktu
tunggu itu habis.
Menurut Pasal 39 Peraturan Pemerintah No 9 tahun 1975, waktu
tunggu tersebut diatur sebagai berikut :
(1)Waktu tunggu bagi seorang janda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (2) undang-undang ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 hari;
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak berdatang
bulan ditetapkan 90 hari;
c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan
(2)Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinankerena
perceraian sedang diantara janda tersebut dengan bekas suaminya
belum pernah terjadi hubungan kelamin.
(3)Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggu

dihitung

sejak

jatuhnya

putusan

pengadilan

yang
22

mempunyai

kekuatan

hukum

yang

tetap

sedangkan

bagi

perkawinan yang putus karena kematian tenggang waktu tunggu


dihitung sejak kematian suami
Ratio dari peraturan ini adalah untuk menentukan dengan pasti
siapa ayah dari anak yang lahir selama tenggang waktu tunggu itu.
9. Tatacara Perkawinan
Tata cara perkawinan tidak diatur dalam Undang-undang ini.
Tatacara perkawinan dilakukan menurut masing-masing hukum agama
dan kepercayaan orang yang melangsungkan perkawinan itu.
Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masingmasing

hukum

agama

dan

kepercayaannya

itu,

perkawinan

dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang


saksi.

23

Anda mungkin juga menyukai