Anda di halaman 1dari 12

Tugas Hukum Adat Lanjutan

“Sistem Hukum Perkawinan Berdasarkan Hukum Adat di Indonesia”

Disusun oleh :

Nama : Siska Eva Nora

NIM : 190200412

Dosen Pengampu : Siti Nurahmi Nasution SH., M.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2021
BAB I

A. Pendahuluan

Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria akan merawat
saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga
mereka masing-masing. Bahkan dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan
peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga merupakan
peristiwa yang sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah
arwah para leluhur kedua belah pihak.1 Dan dari arwah-arwah inilah kedua belah pihak beserta
seluruh keluarganya mengharapkan juga restunya bagi mempelai berdua, hingga mereka ini
setelah menikah selanjutnya dapat hidup rukun bahagia sebagai suami istri.

Perkawinan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,


yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang
secara keseluruhan aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwīj dan merupakan ucapan
seremonial yang sakral. 2

Suatu perkawinan sebagai akibat tidak saja terhadap hubungan perdata tapi juga meliputi
hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan anak, serta hubungan antara orang tua
dan anak, tetapi juga menyangkut hubungan adat istiadat, warisan, kekeluargaan, kekerabatan
dan tetangga serta menyangkut pula upacara -upacara adat dan keagama Ter Haar menjelaskan
bahwa perkawinan itu adalah urusan masyarakat, urusan keluarga, urusan keluarga. urusan
martabat, urusan pribadi, serta urusan urusan keagamaan. 3

Tujuan masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahanan
dan menjaga keturunan menurut garis kebapakan, keibuan atau keibu-bapakan, untuk

1
Wignjodipoero Soerojo, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1984), 122
2
M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap), PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2014. Hlm. 8
3
Te. Her. Asas – Asas dan susunan Hukum Adat, terjemahan Soebakti poesponoto (Jakarta : Pradnya
Paramitha) Hal. 158
kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat untuk memperoleh kewarisan oleh karena sistem
keturunan dari kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dan lain berbeda-beda
termasuk lingkungan hidup dan agama yang dianut juga berbeda-beda maka tujuan perkawinan
adat bagi masyarakat hukum adat berbeda-beda di antara suku bangsa yang satu dengan suku
bangsa lain, daerah yang satu juga berbeda dengan daerah lainnya, serta akibat hukum dan
upacara perkawinannya juga berbeda.4

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Perkawinan Menurut Hukum Adat di Indonesia?

2. Bagaimana Bentuk dan Tata Cara Perkawinan Menurut Hukum Adat di Indonesia?

4
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (Menurut: Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Agama), Masdar Maju, Bandung, 2007. Hlm. 23.
BAB II

A. Perkawinan Menurut Hukum Adat di Indonesia

Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat
adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai, tetapi juga orang tua kedua
belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing. Dalam hukum adat
perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja.
Tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang sepenuhnya
mendapat perhatina dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Ada beberapa
defenisi perkawinan menurut hukum adat yang dikemukakan oleh para ahli :

1. Hazairin

Menurut Hazairin perkawinan merupakan rentetan perbuatan-perbuatan magis, yang


bertujuan untuk menjamin ketenangan, kebahagiaan, dan kesuburan.

2. A. Van Gennep

Perkawinan sebagai suatu rites de passage (upacara peralihan) peralihan status kedua
mempelai. Peralihan terdiri dari tiga tahap:

• Rites de separation

• Rites de merge

• Rites de aggregation

3. Djojodegoeno

Perkawinan merupakan suatu paguyupan atau somah (jawa: keluarga), dan bukan
merupakan suatu hubungan perikatan atas dasar perjanjian. Hubungan suami-istri sebegitu
eratnya sebagai suatu ketunggalan.

Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti
sebagai “perikatan perdata, tetapi juga merupakan “perikatan adat” dan sekaligus merupakan
“perikatan kekerabatan ketetanggaan”. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-
mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban
suami istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga
menyangkut hubungan-nubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan
ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut
kewajiban mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan
tuhannya (ibadah) maupun hubungan manusia sesama manusia (muamalah) dalam pergaulan
hidup agar selamat di dunia dan selamat di akhirat. 5

Menurut hukum adat di Indonesia perkawinan itu dapat berbentuk dan bersistem
“perkawinan jujur” di mana pelamaran dilakukan oleh pihak pria kepada pihak wanita dan
setelah perkawinan istri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami, (Batak, Lampung,
Bali) “perkawinan semanda” di mana pelamaran dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak pria
dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman istri, (Minangkabau,
Sumendo Sumatera Selatan) dan “perkawinan bebas” (Jawa; mencar, mentas) di mana pelamaran
dilakukan oleh pihak pria dan setelah perkawinan kedua suami istri bebas menentukan tempat
kedudukan dan kediaman mereka, menurut kehendak mereka. Yang terakhir ini banyak berlaku
di kalangan masyarakat keluarga yang telah maju (modern).

Bagaimana tata tertib adat yang harus dilakukan oleh mereka yang akan melangsungkan
perkawinan menurut bentuk dan system perkawinan yang berlaku dalam masyarakat, Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 tidak mengaturnya. Hal ini Berarti terserah kepada selera dan nilai-
nilai budaya dari masyarakat bersangkutan, asal saja segala sesuatunya tidak bertentangan
dengan kepentingan umum, Pancasila dan UUD 1945. Apabila kembani menengok pasal 131
ayat (2) b ISR, yang masih dapat dipakai sebagai referensi dalam praktek, menyatakan,
„sedangkan untuk hal-hal lain yang belum diatur di situ, bagi mereka berlaku peraturan hukum
yang bertalian dengan agama dan adat kebiasaan mereka, yang hanya dapat menyimpang dari
itu, apabila ternyata kepentingan umum atau kebutuhan masyarakat menghendakinya.

Perkawinan dalam hukum adat sangat dipengaruhi oleh sifat dari pada susunan
kekeluargaan. Susunan kekeluargaan dikenal ada beberapa macam, yaitu:

1. Perkawinan dalam kekeluargaan Patrilinier:

5
Ibid.. Hlm. 8.
• Corak perkawinan adalah “perkawinan jujur”.

• Pemberian jujur dari pihak laki-laki melambangkan diputuskan hubungan keluarga si isteri
dengan orang tuanya dan kerabatnya.

• Isteri masuk dalam keluarga suami berikut anak-anaknya.

• Apabila suami meninggal, maka isteri tetap tinggal dirumah suaminya dengan saudara muda
dari almarhum seolah-olah seorang isteri itu diwarisi oleh adik almarhum.

2. Perkawinan dalam keluarg matrilinier:

• Dalam upacara perkawinan mempelai laki-laki dijemput.

• Suami berdiam dirumah isterinya, tetapi suaminya tetap dapat keluarganya sendiri.

• Anak-anak masuk dalam klan isterinya dan si ayah tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-
anaknya.

3. Perkawinan dalam keluarga parental:

• Setelah kawin keduanya menjadi satu keluarga, baik keluarga suami maupun keluarga isteri.

Dengan demikian dalam susunan keluarga parental suami dan isteri masing-masing
mempunyai dua keluarga yaitu keluarga suami dan keluarga isteri.

B. Bentuk dan Tata Cara Perkawinan Menurut Hukum Adat Di Indonesia

Menurut hukum adat cara terjadinya perkawinan pada umumnya di Indonesia adalah
sebagai berikut:

1. Perkawinan Pinang (Meminang, Melamar)

Perkawinan pinang dimaksud bahwa pihak ke satu (laki-laki) mengajak pihak lainnya
(perempuan) untuk menjalin ikatan perkawinan. Peminangan ini dilakukan oleh seorang utusan
atau seorang wakil, biasanya diungkapkan dengan bahasa yang indah dan berkias. Utusan yang
meminang biasanya seorang kerabat atau orang tuanya dengan persetujuan kelompok kerabat
dan orang tua.
2. Perkawinan Bawa Lari6

Perkawinan bawa lari adalah bentuk perkawinan dimana seorang laki- laki melarikan
seorang wanita yang sudah tunangan atau sudah dikawinkan dengan laki-laki lain. Dan juga
melarikan seorang wanita secara paksa. Maksud dari pada perkawinan bawa lari atau sama-sama
melarikan diri adalah untuk menghindarkan diri dari berbagai keharusan sebagai akibat dari
perkawinan pinang, pihak orang tua dan saudara-saudara atau keluarga.

3. Kawin Lari (Berlarian untuk kawin)

Kawin lari adalah perkawinan yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi tidak atas
persetujuan keluarga yang terpaksa dilakukan dikarenakan untuk menghidari persyaratan adat.
Pada umumnya perbuatan kawin lari adalah perbuatan yang melanggar hukum adat, melanggar
kekuasaaan orang tua dan kerabat pihak gadis. Namun demikian dikarenakan masyarakat adat itu
berpegang teguh pada azas kerukunan dan kedamaian, maka perbuatan berlarian itu dapat
dimaafkan dengan penyelesaian perundingan kerabat kedua belah pihak.

4. Perkawinan Mengabdi

Perkawinan jenis ini mengandung maksud bahwa suatu perkawinan yang pembayarannya
ditunda, atau suatu perkawinan dimana suami dan istri sudah mulai hidup bekumpul tetapi
pembayaran mas kawinnya belum lunas maka si suami bekerja mengabdi kepada kerabat
mertuannya sampai mas kawinnya terbayar lunas.

Sahnya menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia tergantung pada
agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan. Maksudnya jika telah dilaksanakan menurut
tata-tertib hukum agamanya, maka perkawinan itu sudah sah menurut hukum adat, kecuali bagi
mereka yang masih menganut agama lama (kuno) seperti “Marapu” (memuja roh nenek
moyang), maka perkawinan yang dilakukan menurut tata-tertib adat atau agama mereka itu
adalah sah menurut hukum adat setempat.7

Persyaratan Perkawinan Menurut Hukum Adat adalah :

6
Op. Cit, Hal. 188-199
7
Hilman Hadikusuma. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama.
Mancar Maju: Bandung. 1990
1) Ada Persetujuan

Menurut hukum adat setiap pribadi walaupun sudah dewasa tidak bebas menyatakan
kehendaknya untuk melakukan perkawinan tanpa persetujuan orang tua atau kerabatnya. Lebih-
lebih pada masyarakat kekerabatan adat yang sistim kliennya masih kuat seperti di Nusa
Tenggara Timur, dimana klien yang mengetahui dan memilihkan calon istri bagi para anggota
lelakinya. Bagi setiap yang melaksanakan perkawinan tanpa pengetahuan orang tua atau
kerabatnya maka ia tersingkir dari kerabatnya. Dalam rasan sanak persetujuan untuk kawin
diputuskan oleh mereka sendiri, lalu disampaikan kepada orang tua untuk melakukan
peminangan (pelamaran) dalam rasan tua. Dalam rasan tua ada kemungkinan bujang gadis tidak
setuju melainkan berdasrkan perundingan dan persetujuan pihak kedua orang tua atau kerabat
sendiri.

2) Batas Umur

Hukum adat pada umumnya tidak mengatur tentang batas umur untuk melangsungkan
perkawinan. Hal ini berarti hukum adat memperbolehkan perkawinan semua umur. Kedewasaan
seseorang didalam hukum adat diukur dengan tanda-tanda bangun tubuh, apabila anak
perempuan sudah haid (datang bulan), buah dada sudah menonjol, berarti dia sudah dewasa. Bagi
anak laki-laki ukurannya dapat dilihat pada perubahan suara, sudah mengeluarkan air mania tau
sudah mempunyai nafsu sex. Jadi bukan diukur dengan umur karena orang tua dimasa lampau
kebanyakan tidak mencatat tanggal lahir anak-anaknya sebab kebanyakan mereka masih buta
huruf. 8

Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan Menurut Hukum Adat adalah :

Tata cara perkawinan adat pada suatu perkawinan berakar pada adat istiadat serta
kepercyaan yang sudah ada sejak dahulu kala, sebelum agama-agama (Hindu, Budha, Islam dan
Kristen) masuk di Indonesia telah di turuti dan senantiasa dilakukan. Tata cara tersebut sudah
mulai dilakukan pada hari-hari sebelum pernikahan serta berlangsung sampai hari-hari sesudah
upacara nikah. Tata cara diberbagai daerah di Indonesia adalah tidak sama sebab dilangsungkan
menurut adat kebiasaan di tempat masing-masing.

8
Batas Umur Perkawinan (Diakses di http://binsarps.blogspot.co.id/2013/05/batas-umur-perkawinan.html
didownload pada 6 Oktober 2021 pukul 14.00)
Tentang upacara perkawinan tidak diatur dalam perundangan, kesemuanya diserahkan
kepada para pihak yang bersangkutan menurut adat atau agamanya masing-masing. Jadinya
perkawinan tanpa upacara adat kebiasaan dalam masyarakat dapat saja dilakukan, asal saja
dilakukan tata cara perkawinan yang ditelah ditentukan dalam perundangan.

Dengan demikian upacara perkawinan itu pelaksanaanya menyangkut hukum adat dan
hukum agama. Pada umumnya pelaksanaan upacara perkawinana adat di Indonesia dipengaruhi
oleh bentuk dan sistem perkawinan adat setempat dalam kaitannya dengan susunan masyarakat
atau kekerabatan yang dipertahankan masyarakat bersangkutan. Bentuk perkawinan itu “istri ikut
suami” (kawin jujur), suami ikut istri (kawin semanda), atau suami istri bebas menentukan
sendiri (kawin bebas) atau juga dalam bentuk campuran dalam perkawinan antara adat/suku
bangsa dalam masyarakat yang kian bertambah maju.

Upacara perkawinan adat dalam segala bentuk dan cara tersebut, pada umumnya
dilaksanakan sejak masa pertunangan (pacaran), atau tahap penyelesain tahap berlarian,
penyampaian lamaran, upacara adat perkawinan, upacara adat perkawinan, upacara keagamaan
dan terakhir akhir acara kunjungan mempelai ke tempat orang tua atau mertuanya.
BAB III

A. Kesimpulan

Perkawinan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,


yang dimaksud perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang
secara keseluruhan aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwīj dan merupakan ucapan
seremonial yang sakral.

Menurut hukum adat di Indonesia perkawinan itu dapat berbentuk dan bersistem
“perkawinan jujur” di mana pelamaran dilakukan oleh pihak pria kepada pihak wanita dan
setelah perkawinan istri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami, (Batak, Lampung,
Bali) “perkawinan semanda” di mana pelamaran dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak pria
dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman istri, (Minangkabau,
Sumendo Sumatera Selatan) dan “perkawinan bebas” (Jawa; mencar, mentas) di mana pelamaran
dilakukan oleh pihak pria dan setelah perkawinan kedua suami istri bebas menentukan tempat
kedudukan dan kediaman mereka, menurut kehendak mereka. Yang terakhir ini banyak berlaku
di kalangan masyarakat keluarga yang telah maju (modern).

Perkawinan dalam hukum adat sangat dipengaruhi oleh sifat dari pada susunan
kekeluargaan. Susunan kekeluargaan dikenal ada beberapa macam, yaitu:

1. Perkawinan Pinang (Meminang, Melamar)

2. Perkawinan Bawa Lari

3. Kawin Lari (Berlarian untuk kawin)

4. Perkawinan Mengabdi

Persyaratan Perkawinan Menurut Hukum Adat adalah :

1) Ada Persetujuan

2) Batas Umur
Tata cara diberbagai daerah di Indonesia adalah tidak sama sebab dilangsungkan menurut
adat kebiasaan di tempat masing-masing. Pada umumnya pelaksanaan upacara perkawinana adat
di Indonesia dipengaruhi oleh bentuk dan sistem perkawinan adat setempat dalam kaitannya
dengan susunan masyarakat atau kekerabatan yang dipertahankan masyarakat bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA

Soerojo, Wignjodipoero. 1984. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: PT Gunung
Agung.
Tihami, M.A dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat. 2014. Kajian Fikih Nikah Lengkap. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Her, Te. Asas – Asas dan susunan Hukum Adat. Jakarta : Pradnya Paramitha.
Hadikusuma, Hilman. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia (Menurut: Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama). Bandung: Masdar Maju.
Hadikusuma, Hilman. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia (Menurut: Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama). Bandung: Masdar Maju.
Batas Umur Perkawinan. diakses di http://binsarps.blogspot.co.id/2013/05/batas-umur-
perkawinan.html.

Anda mungkin juga menyukai