Anda di halaman 1dari 7

Nama : Ni Luh Eva Pradnyaningsih

No : 22
KLS : XII MIPA 4

HUKUM PERKAWINAN ADAT BALI


I. Hukum Adat Bali

Hukum adat Bali adalah hukum yang yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat
Bali yang berlandaskan pada ajaran Agama Hindu dan berkembang mengikuti
kebiasaan serta rasa kepatutan dalam masyarakat Bali itu sendiri. Oleh karenanya
dalam masyarakat hukum adat Bali, antara adat dan agama tidak dapat dipisahkan
satu sama lainnya.

II. Perkawinan Menurut Adat Bali

Perkawinan di Bali dikenal dengan nama Pawiwahan yang dapat berarti


"Patemining purusa pradana, malarapan patunggalan kayun suka-cita, kadulurin
upasaksi sekala-niskala" Tujuan perkawinan menurut Pasal 1 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) adalah terbentuknya
keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu (Pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan). Syarat
perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU Perkawinan yaitu :

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat
1);
2. Perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus
mendapat izin kedua orang tua (Pasal 6 ayat 2).
III. Bentuk Bentuk Perkawinan Menurut Adat Bali
Hukum adat Bali mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wanita
menjadi keluarga suami) dan perkawinan nyentana/nyeburin (suami berstatus
pradana dan menjadi keluarga istri). Dalam perkembangan selanjutnya, ada kalanya
pasangan calon pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih salah satu di antara
bentuk perkawinan tersebut, karena masing-masing merupakan anak tunggal,
sehingga muncul bentuk perkawinan baru yang disebut perkawinan pada gelahang.
Hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali sehingga perlu segera
disikapi.
Secara singkat, ketiga bentuk perkawinan tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut :

 Perkawinan biasa

Dalam perkawinan biasa, suami berstatus sebagai purusa, sedangkan istri


sebagai pradana. Dalam bentuk perkawinan ini, istri dilepaskan hubungan
hukumnya dengan keluarga asalnya (orang tua kandungnya) selanjutnya masuk
ke dalam lingkungan keluarga suaminya. Dengan demikian, hubungan hukum
kekeluargaan antara istri dengan keluarga asalnya tidak ada lagi, selanjutnya ia
menunaikan hak (swadikara) dan kewajibannya (swadharma) dalam keluarga
suami. Demikian juga dengan keturunan yang kemudian lahir dari bentuk
perkawinan ini akan berkedudukan hukum dalam keluarga bapaknya, sehingga
hak (swadikara) dan kewajiban (swadharma) anak didapatkan dari hubungan
hukum keluarga dari garis bapak sebagai purusa. Bentuk perkawinan biasa ini
dalam perkembangan prakteknya di masyarakat melahirkan jenis-jenis
perkawinan, seperti :

1. Perkawinan Ngerorod atau Merangkat.
2. Perkawinan Mepadik
3. Perkawinan Jejangkepan
4. Perkawinan Nyangkring
5. Perkawinan Ngodalin
6. Perkawinan Tetagon
7. Perkawinan Ngunggahin
8. Perkawinan Melegandang
9. Perkawinan Nunggonin
10. Perkawinan Paselang

 Perkawinan Nyeburin

Bentuk perkawinan nyeburin di beberapa tempat lebih dikenal dengan


sebutan nyentana atau nyaluk sentana (Korn,1978). Perkawinan nyeburin adalah
kebalikan dari bentuk perkawinan biasa. Suatu perkawinan baru dapat dikatakan
”nyeburin” bukanlah semata-mata karena suami (umumnya) tinggal di rumah
keluarga istri, akan tetapi didasarkan pada fakta bahwa upacara pengesahan
perkawinan (pasakapari) dilaksanakan di rumah keluarga mempelai perempuan.
Artinya keluarga mempelai perempuan-lah yang mengantarkan sajen-sajen
pemelepehan (jauman) ke rumah keluarga mempelai laki-laki sebagai sarana
untuk melepaskan hubungan hukum mempelai laki-laki terhadap keluarga
asalnya (Panetja,1986:74).
Dalam kawin nyeburin atau nyentana, dapat disebutkan kemudian bahwa suami-
lah yang berstatus sebagai pradana, sedangkan istri diangkat sebagai sentana
rajeg dan ditetapkan sebagai purusa. Kedudukan suami sebagai pradana ini
berarti bahwa suami telah lepas hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya.
Selanjutnya suami masuk dalam keluarga kepurusa istrinya. Sedangkan,
mengenai keturunan yang kemudian lahir dari bentuk perkawinan ini yakni akan
berkedudukan hukum dalam keluarga ibunya, sehingga hak (swadikara) dan
kewajiban (swadharma) anak didapatkan dari hubungan hukum keluarga dari
garis si ibu sebagai purusa.

 Perkawinan Pada Gelahang

Pada gelahang merupakan bentuk perkawinan yang dapat dikatakan baru dalam
topik hukum perkawinan menurut hukum adat Bali. Perkawinan pada gelahang
ini diambil sebagai solusi tatkala terdapat keadaan di mana sang suami
merupakan anak tunggal, kemudian istri juga merupakan anak perempuan
tunggal. Keadaan seperti ini membuat tidak dimungkinkannya oleh kedua belah
pihak untuk memilih bentuk perkawinan biasa maupun bentuk perkawinan
nyeburin. Hal ini karena diantara kedua bentuk perkawinan yang disebut
belakangan, mensyaratkan salah seorang (istri atau suami) harus putus dari
hubungan hukum keluarga asalnya. Padahal baik istri dan suami sma-sama
adalah anak tunggal, sehingga ditakutkan kewajiban-kewajiban kepurusa salah
satu keluarga menjadi terbengkalai. Maka sebagai konklusinya, diperkenalkan
bentuk perkawinan pada gelahang.
Perkawinan pada gelahang secara upacara hampir sama dengan perkawinan
biasa maupun perkawinan nyeburin. Perbedaan perkawinan pada gelahang
dengan dua bentuk perkawinan lainya hanyalah terletak pada adanya
kesepakatan antara kedua mempelai dan keluarganya. Kesepakatan tersebut
dibuat sebelum terjadinya perkawinan, yang memuat bahwa kedua pihak sepakat
melaksanakan perkawinan pada gelahang, dengan intinya ialah menegaskan
bahwa perkawinan dilangsungkan dengan maksud agar keluarga kedua belah
pihak sama-sama memiliki keturunan.
Keturunan yang lahir dari bentuk perkawinan pada gelahang, sesuai kesepakatan
nantinya diharapkan dapat mengurus dan meneruskan warisan yang
ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka. Dimana ibu dan bapaknya dalam hal
ini, masih sama-sama tidak putus dari hubungan hukum keluarga asalnya,
sehingga keduanya masih ada dalam garis kepurusa keluarga asalnya masing-
masing. Sehingga anak yang lahir dari bentuk perkawinan ini menjadi ahli waris
atas kewajiban (swadharma) maupun yang berupa hak (swadikara) dari keluarga
ibu dan keluarga bapak.
IV. Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali
Syarat-syarat perkawinan menurut ajaran agama Hindu, yaitu:

1. Kedua mempelai telah menganut agama Hindu, jika salah seorang mempelai tidak
beragama Hindu, maka perkawinannya belum dapat disahkan menurut hukum
Hindu, terlebih dahulu harus mengubah status keagamaannya melalui upacara
sudhi wadani dan selanjutnya baru diajarkan secara bertahap tentang ajaran agama
Hindu.
2. Adanya unsur pesaksian baik kepada manusia (manusa saksi), leluhur (pitra saksi),
dan kehadapan Tuhan (dewa/dewi saksi).
3. Dalam perkawinan dinyalakan api yang juga dimaksud sebagai saksi (api dalam
upacara perkawinan disebut Grhaspati).
4. Adanya unsure penyucian, terutama penyucian terhadap sukla-swanita (sel sperma
dan sel telur) yang merupakan cikal bakal keturunan, agar memperoleh keturunan
yang baik (suputra).
5. Yang mengesahkan perkawinan tersebut adalah Pendeta/Sulinggih atau petugas
khusus untuk itu, yang dilakukan dihadapan para saksi.

Mengenai larangan atau pantangan dalam perkawinan, maka dalam Undang-undang


Perwakinan Nomor 1 tahun 1974 dalam pasal 8 ada dimuat seperti berikut:

 Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas – ke bawah


(vertikal), seperti kawin dengan ayah/ibu, kakek/nenek, anak, dan
sebagainya.
 Berhubungan darah dalam garis keturunan yang menyamping (horizontal),
seperti: kawin dengan saudara ayah/ibu, saudara kakek/nenek, saudara
kandung, dan lain-lain.
 Berhubungan samenda, misalnya dengan mertua, menantu, anak tiri,
ibu/ayah tiri, dan sebagainya.
 Berhubungan susuan, seperti dengan orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan, paman/bibi susuan, dan sebagainya.
 Berhubungan saudara dengan istri, atau sebagai bibi ataukah kemenakan
dari istri. Ketentuan terakhir ini ditujukan bagi mereka yang memiliki istri
lebih dari satu.

Sahnya suatu perkawinan menurut adat-istiadat Hindu di Bali dari segi ritualnya
menjadi beberapa tahapan. Tatacara upacara perkawinan yang dima

a. Tata Urutan Upacara.


Pelaksanaan ritual upacara perkawinan menurut adat Hindu di Bali sesuai ajaram
agama yang dianutnya oleh masing-masing umat adalah;
1) Penyambutan kedua mempelai;
Penyambutan kedua mempelai sebelum memasuki pintu halaman rumah
adalah simbol untuk melenyapkan unsur-unsur negative yang mungkin
melekat pada kedua mempelai sepanjang perjalan menuju rumah pihak
purusa, agar tidak mengganggu jalannya upacara.
2) Mabyakala;
Upacara ini dimaksudkan untuk membersihkan dan menyucikan lahir bari
kedua mempelai terutama sukla dan swanita, yaitu sel benih pria benih
wanita agar menjadi janin yang suci dan dapat melahirkan anak yang suputra
3) Mepejati atau Pesaksian;
Mepejati merupakan upacara pesaksian tentang pengesahan perkawinan
kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, juga kepada
masyarakat, bahwa kedua mempelai telah meningkatkan diri sebagai suami
atau istri yang sah dengan membangun grehastha atau rumah tangga baru.
b. Sarana/Upakara.

Jenis upakara yang dipergunakan pada upacara ini secara sederhana dapat

dirinci, sebagai berikut:

1) Banten Pemagpag, segehan, dan tumpeng dadanan.

2) Banten Pesaksi, prasdaksina, dan ajuman.

3) Banten untuk mempelai terdiri dari : byakala, banten kurenan, dan pengulap

pengambean.

Adapun kelengkapan upakara yang lainnya patut juga dipersiapkan dan

dipersembahkan antara lain, sebagai berikut:

1) Tikeh dadakan;

Tikeh dadakan adalah sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan yang

masih hijau. Ini merupakan simbol kesucian si gadis.

2) Papegatan;

Pepegat yaitu berupa dua buah cabang pohon kayu dapdap yang ditancapkan di

tempat upacara, jarak yang satu dengan yang lainnya agak berjauhan dan

uanya dihubungkan dengan benang putih dalam keadaan te

Tetimpug;
Tetimpug yaitu beberapa potongan pohon yang bambu kecil yang masih muda

dan ada ruasnya dengan jumlah sebanyak lima atau tujuh batang.

4) Sok Dagangan;

Sok dagangan yaitu sebuah bakul berisi buah-buahan, rempah-rempah, dan

keladi, yang semuanya ini sebagai simbulis isi dagangan.

5) Kala Sepetan

Kala sepetan yaitu disimbolkan dengan sebuah bakul berisi serabut kelapa

dibelah tiga yang diikat dengan benang tri datu, diselipi lidi tiga buah, dan tiga

mbar daun dapdap. Kala Sepetan adalah nama salah satu bhuta kala

menerima pakalan-kalaan.

6) Tegen-tegenan

Tegen-tegenan yaitu batang tebu atau cabang dapdap yang kedua ujungnya diisi

gantungan bingkisan nasi dan uang.

c. Jalannya Upacara
1. Upacara penyambutan dua mempelai
Begitu calon mempelai mempelai memasuki pintu halaman pekarangan
rumah, disambut dengan upacara masegehan dan tumpeng dandanan.
2. Upacara Membyekala
Membakar tetimpug sampai berbunyi sebagai symbol pemberitahuan kepada
bhuta kala yang akan menerima pekala kalaan. Kemudian natab pebyakalaan.
Upacara selanjutnya berjalan mengelilingi banten pesaksi dan kala sepetan
yg disebut murwa daksina. Saat berjelan mempelai wanita dipukuli dengan
tiga buah lidi oleh si pria sebagai symbol kesepakatan untuk sehidup semati.
Yang terakhir kedua mempelai bersama sama memeutuskan benang
pepegatan sebagai tanda telah memasuki kehidupan Grehastha.
3. Upacara Mepajati atau Persaksian
Kedua mempelai melaksanakan puja bakti sebanyak lima kali kepada Ida
Sang Hyang Widhi. Setelah itu diperciki tirtha pembersihan oleh pemimpin
upacara. Kemudian natab banten widhi widhana dan mejaya jaya.
V. Sistem Perkawinan Menurut Adat Bali
 Sistim Mapadik/Meminang/Meminta
Pihak calon suami meminta datang kerumah calon istri untuk mengadakan
perkawinan;

 Sistim Ngerorod/Rangkat (kawin lari):

Bentuk perkawinan cinta sama cinta berjalan berdua/beserta keluarga laki secara
resmi tak diketahui keluarga perempuan.

 Sistim Nyentana/Nyeburin (selarian):

Bentuk perkawinan berdasarkan perubahan status sebagai purusa dari pihak


wanita dan sebagai pradana dari pihak laki.

 Sistim Melegandang/secara paksa tanpa rasa cinta:

Bentuk perkawinan secara paksa tidak didasarkan cinta sama cinta

Anda mungkin juga menyukai