No : 22
KLS : XII MIPA 4
Hukum adat Bali adalah hukum yang yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat
Bali yang berlandaskan pada ajaran Agama Hindu dan berkembang mengikuti
kebiasaan serta rasa kepatutan dalam masyarakat Bali itu sendiri. Oleh karenanya
dalam masyarakat hukum adat Bali, antara adat dan agama tidak dapat dipisahkan
satu sama lainnya.
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat
1);
2. Perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus
mendapat izin kedua orang tua (Pasal 6 ayat 2).
III. Bentuk Bentuk Perkawinan Menurut Adat Bali
Hukum adat Bali mengenal dua bentuk perkawinan, yaitu perkawinan biasa (wanita
menjadi keluarga suami) dan perkawinan nyentana/nyeburin (suami berstatus
pradana dan menjadi keluarga istri). Dalam perkembangan selanjutnya, ada kalanya
pasangan calon pengantin dan keluarganya tidak dapat memilih salah satu di antara
bentuk perkawinan tersebut, karena masing-masing merupakan anak tunggal,
sehingga muncul bentuk perkawinan baru yang disebut perkawinan pada gelahang.
Hal ini menjadi persoalan tersendiri dalam masyarakat Bali sehingga perlu segera
disikapi.
Secara singkat, ketiga bentuk perkawinan tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Perkawinan biasa
1. Perkawinan Ngerorod atau Merangkat.
2. Perkawinan Mepadik
3. Perkawinan Jejangkepan
4. Perkawinan Nyangkring
5. Perkawinan Ngodalin
6. Perkawinan Tetagon
7. Perkawinan Ngunggahin
8. Perkawinan Melegandang
9. Perkawinan Nunggonin
10. Perkawinan Paselang
Perkawinan Nyeburin
Perkawinan Pada Gelahang
Pada gelahang merupakan bentuk perkawinan yang dapat dikatakan baru dalam
topik hukum perkawinan menurut hukum adat Bali. Perkawinan pada gelahang
ini diambil sebagai solusi tatkala terdapat keadaan di mana sang suami
merupakan anak tunggal, kemudian istri juga merupakan anak perempuan
tunggal. Keadaan seperti ini membuat tidak dimungkinkannya oleh kedua belah
pihak untuk memilih bentuk perkawinan biasa maupun bentuk perkawinan
nyeburin. Hal ini karena diantara kedua bentuk perkawinan yang disebut
belakangan, mensyaratkan salah seorang (istri atau suami) harus putus dari
hubungan hukum keluarga asalnya. Padahal baik istri dan suami sma-sama
adalah anak tunggal, sehingga ditakutkan kewajiban-kewajiban kepurusa salah
satu keluarga menjadi terbengkalai. Maka sebagai konklusinya, diperkenalkan
bentuk perkawinan pada gelahang.
Perkawinan pada gelahang secara upacara hampir sama dengan perkawinan
biasa maupun perkawinan nyeburin. Perbedaan perkawinan pada gelahang
dengan dua bentuk perkawinan lainya hanyalah terletak pada adanya
kesepakatan antara kedua mempelai dan keluarganya. Kesepakatan tersebut
dibuat sebelum terjadinya perkawinan, yang memuat bahwa kedua pihak sepakat
melaksanakan perkawinan pada gelahang, dengan intinya ialah menegaskan
bahwa perkawinan dilangsungkan dengan maksud agar keluarga kedua belah
pihak sama-sama memiliki keturunan.
Keturunan yang lahir dari bentuk perkawinan pada gelahang, sesuai kesepakatan
nantinya diharapkan dapat mengurus dan meneruskan warisan yang
ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka. Dimana ibu dan bapaknya dalam hal
ini, masih sama-sama tidak putus dari hubungan hukum keluarga asalnya,
sehingga keduanya masih ada dalam garis kepurusa keluarga asalnya masing-
masing. Sehingga anak yang lahir dari bentuk perkawinan ini menjadi ahli waris
atas kewajiban (swadharma) maupun yang berupa hak (swadikara) dari keluarga
ibu dan keluarga bapak.
IV. Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali
Syarat-syarat perkawinan menurut ajaran agama Hindu, yaitu:
1. Kedua mempelai telah menganut agama Hindu, jika salah seorang mempelai tidak
beragama Hindu, maka perkawinannya belum dapat disahkan menurut hukum
Hindu, terlebih dahulu harus mengubah status keagamaannya melalui upacara
sudhi wadani dan selanjutnya baru diajarkan secara bertahap tentang ajaran agama
Hindu.
2. Adanya unsur pesaksian baik kepada manusia (manusa saksi), leluhur (pitra saksi),
dan kehadapan Tuhan (dewa/dewi saksi).
3. Dalam perkawinan dinyalakan api yang juga dimaksud sebagai saksi (api dalam
upacara perkawinan disebut Grhaspati).
4. Adanya unsure penyucian, terutama penyucian terhadap sukla-swanita (sel sperma
dan sel telur) yang merupakan cikal bakal keturunan, agar memperoleh keturunan
yang baik (suputra).
5. Yang mengesahkan perkawinan tersebut adalah Pendeta/Sulinggih atau petugas
khusus untuk itu, yang dilakukan dihadapan para saksi.
Sahnya suatu perkawinan menurut adat-istiadat Hindu di Bali dari segi ritualnya
menjadi beberapa tahapan. Tatacara upacara perkawinan yang dima
Jenis upakara yang dipergunakan pada upacara ini secara sederhana dapat
3) Banten untuk mempelai terdiri dari : byakala, banten kurenan, dan pengulap
pengambean.
1) Tikeh dadakan;
Tikeh dadakan adalah sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan yang
2) Papegatan;
Pepegat yaitu berupa dua buah cabang pohon kayu dapdap yang ditancapkan di
tempat upacara, jarak yang satu dengan yang lainnya agak berjauhan dan
Tetimpug;
Tetimpug yaitu beberapa potongan pohon yang bambu kecil yang masih muda
dan ada ruasnya dengan jumlah sebanyak lima atau tujuh batang.
4) Sok Dagangan;
5) Kala Sepetan
Kala sepetan yaitu disimbolkan dengan sebuah bakul berisi serabut kelapa
dibelah tiga yang diikat dengan benang tri datu, diselipi lidi tiga buah, dan tiga
mbar daun dapdap. Kala Sepetan adalah nama salah satu bhuta kala
menerima pakalan-kalaan.
6) Tegen-tegenan
Tegen-tegenan yaitu batang tebu atau cabang dapdap yang kedua ujungnya diisi
c. Jalannya Upacara
1. Upacara penyambutan dua mempelai
Begitu calon mempelai mempelai memasuki pintu halaman pekarangan
rumah, disambut dengan upacara masegehan dan tumpeng dandanan.
2. Upacara Membyekala
Membakar tetimpug sampai berbunyi sebagai symbol pemberitahuan kepada
bhuta kala yang akan menerima pekala kalaan. Kemudian natab pebyakalaan.
Upacara selanjutnya berjalan mengelilingi banten pesaksi dan kala sepetan
yg disebut murwa daksina. Saat berjelan mempelai wanita dipukuli dengan
tiga buah lidi oleh si pria sebagai symbol kesepakatan untuk sehidup semati.
Yang terakhir kedua mempelai bersama sama memeutuskan benang
pepegatan sebagai tanda telah memasuki kehidupan Grehastha.
3. Upacara Mepajati atau Persaksian
Kedua mempelai melaksanakan puja bakti sebanyak lima kali kepada Ida
Sang Hyang Widhi. Setelah itu diperciki tirtha pembersihan oleh pemimpin
upacara. Kemudian natab banten widhi widhana dan mejaya jaya.
V. Sistem Perkawinan Menurut Adat Bali
Sistim Mapadik/Meminang/Meminta
Pihak calon suami meminta datang kerumah calon istri untuk mengadakan
perkawinan;
Bentuk perkawinan cinta sama cinta berjalan berdua/beserta keluarga laki secara
resmi tak diketahui keluarga perempuan.