Anda di halaman 1dari 12

Universitas Pamulang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

PERTEMUAN 9
HUKUM PERKAWINAN
DALAM MASYARAKAT ADAT

A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti Pembelajaran mata kuliah ini mahasiswa mampu :
1. Mendeskripsikan pengertian perkawinan adat dengan tepat
2. Menjelaskan syarat-syarat perkawinan adat dengan benar
3. Menyebutkan bentuk-bentuk perkawinan adat dengan tepat
4. Menjelaskan macam-macam sistem perkawinan adat

B. Uraian Materi
1. Pengertian Perkawinan Adat

Secara umum definisi perkawinan adalah ikatan lahir batin antara


seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa (UU No. 1/74).
Definisi Perkawinan Menurut Hukum Adat Perkawinan adalah salah
satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat,
sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai, tetapi juga
orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga
mereka masing-masing. Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya
merupakan peristiwa penteng bagi mereka yang masih hidup saja. Tetapi
perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang

Hukum Adat 1
Universitas Pamulang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

sepenuhnya mendapat perhatina dan diikuti oleh arwah-arwah para


leluhur kedua belah pihak.
Berikut ini akan dikemukakan definisi perkawinan menurut hukum adat
yang dikemukakan oleh para ahli:
a. Hazairin
Menurut Hazairin perkawinan merupakan rentetan perbuatan-
perbuatan magis, yang bertujuan untuk menjamin ketenangan,
kebahagiaan, dan kesuburan.
b. Van Gennep
Perkawinan sebagai suatu rites de passage (upacara peralihan)
peralihan status kedua mempelai. Peralihan terdiri dari tiga tahap:
1) Rites de separation
2) Rites de merge
3) Rites de aggregation
c. Djojodegoeno
Perkawinan merupakan suatu paguyupan atau somah (jawa:
keluarga), dan bukan merupakan suatu hubungan perikatan atas
dasar perjanjian. Hubungan suami-istri sebegitu eratnya sebagai
suatu ketunggalan.

Definisi Perkawinan Menurut Hukum Islam


Menurut hukum islam perkawinan adalah perjanjian suci (sakral)
berdasarkan agama antara suami dengan istri berdasarkan hukum
agama untuk mencapai satu niat, satu tujuan, satu usaha, satu hak, satu
kewajiban, satu perasaan: sehidup semati. Perkawinan adalah
percampuran dari semua yang telah menyatu tadi. Nikah adalah akad
yang menghalalkan setiap suami istri untuk bersenag-senang satu
dengan yang lainnya. (Jaza‟iri, A.B.J, 2003;688).

2. Definisi Pertunangan, Alasan, dan Akibat Dari Pertunangan

Pertunangan adalah suatu fase sebelum perkawinan, dimana pihak


laki-laki telah mengadakan prosesi lamaran kepada pihak keluarga
perempuan dan telah tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak
untuk mengadakan perkawinan. Pertunangan baru mengikat apabila
pihak laki-laki telah memberikan kepada pihak perempuan tanda pengikat
yang kelihatan (Jawa: peningset atau panjer).
Pertunagan juga bisa diartikan sebagai suatu persetujuan antara pihak
keluarga laki-laki dengan keluarga pihak wanita sebelum dilangsungkan
suatu perkawinan dan ditandai dengan:
• Adanya lamaran/ meminag yang biasanya dilakukan oleh utusan pihak
laki-laki.
• Adanya tanda pengikat yang kelihatan, seperti peningset (Jawa),
payangcang (Sunda), biasanya dengan pertukaran cincin.
Alasan-alasan Dilakukannya Perkawinan

Hukum Adat 2
Universitas Pamulang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

- Ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki dapat berlangsung


dalam waktu dekat.
- Untuk membatasi pergaulan pihak yang telah diikat pertunangan.
- Memberi kesempatan bagi kedua belah pihak untuk saling mengenal.
Akibat Pertunangan
Akibat dari pertunagan adalah kedua belah pihak telah terikat untuk
melangsungkan perkawinan. Tetapi, walaupun sudah terikat dalam
pertunagan bukan berarti kedua mempelai harus melaksanakan
perkawinan, tetap dimungkinkan terjadi pembatalan pertunangan.
Kemungkinan pembatalan pertunangan:
- Oleh kehendak kedua belah pihak.
- Oleh salah satu pihak.
• Jika dilakukan pihak yang menerima tanda tunagan
Mengembalikan tanda tunagan sejumlah atau berlipat dari yang terima.
• Jika dilakukan pihak yang memberi tanda tunangan
Tanda tunangan tidak dikembalikan.

Dalam masyarakat adat perkawinan bukan hanya merupakan


urusan yang sifatnya pribadi tetapi juga melibatkan dan mengikat
keluarga lainnya.
Adapun Tujuan :
a. Memperoleh keturunan.
pengertian tentang anak tidak sama dalam setiap masyarakat adat.
Misalnya dalam masyarakat batak ada satu keluarga yang telah
memiliki 4 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki2, maka
yang dikatakan sebagai anak adalah hanya 1 orang yaitu anak laki2,
karena garis keturunan ditarik dari garis ayah (laki2).
b. Untuk mempertahankan sistim kekeluargaan (klan).
c. Untuk memberikan status pada anak (mis. Pada masyarakat Jawa
ada nikah darurat tambelan dimana apabila seorang wanita yang
hamil tanpa adanya suami, maka ia akan menikan dengan suami
sukarelawan).

Tahapan/prosedur sebelum adanya perkawinan :


1. Melalui peminangan atau lamaran. à dalam masyarakat
matrilineal yang melamar adalah pihak perempuan.
Sedangkan dalam masyarakat patrilineal yang meminang
adalah pihak laki2.
2. Tidak melalui peminangan :
Kawin lari : dalam hukum adat diperbolehkan. Contoh dalam
masyarakat Bugis. Biasanya pihak laki2 akan meninggalkan
surat kepada pihak keluarga perempuan yang disebut SURAT
TENGEPIK yang didalam surat itu ditulis mereka akan kawin lari
ke daerah mana dan lain-lainnya Jika keduanya setuju untuk
kawin lari.

Hukum Adat 3
Universitas Pamulang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Sifat Perkawinan menurut Hukum Adat


Perkawinan dalam hukum adat sangat dipengaruhi oleh
sifat dari pada susunan kekeluargaan. Susunan kekeluargaan
dikenal ada beberapa macam, yaitu:

Perkawinan dalam kekeluargaan Patrilinier:


• Corak perkawinan adalah “perkawinan jujur”.
• Pemberian jujur dari pihak laki-laki melambangkan diputuskan
hubungan keluarga si isteri dengan orang tuanya dan
kerabatnya.
• Isteri masuk dalam keluarga suami berikut anak-anaknya.
• Apabila suami meninggal, maka isteri tetap tinggal dirumah
suaminya dengan saudara muda dari almarhum seolah-olah
seorang isteri itu diwarisi oleh adik almarhum.
- Perkawinan dalam keluarg matrilinier:
• Dalam upacara perkawinan mempelai laki-laki dijemput.
• Suami berdiam dirumah isterinya, tetapi suaminya tetap dapat
keluarganya sendiri.
• Anak-anak masuk dalam klan isterinya dan si ayah tidak
mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.

- Perkawinan dalam keluarga parental:


• Setelah kawin keduanya menjadi satu keluarga, baik keluarga
suami maupun keluarga isteri.

Dengan demikian dalam susunan keluarga parental


suami dan isteri masing-masing mempunyai dua keluarga yaitu
keluarga suami dan keluarga isteri.

5. Syarat-Syarat Perkawinan Adat

Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum


adat di Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada
agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan. Maksudnya jika telah
dilaksanakan menurut tata tertib hukum agamanya, maka perkawinan itu
sudah sah menurut hukum adat. Kecuali bagi mereka yang belum menganut
agama yang diakui pemerintah, seperti halnya mereka yang masih
menganut kepercayaan agama lama (kuno) seperti „sipelebegu‟ (pemuja roh)
di kalangan orang Batak.

Hanya saja walaupun sudah sah menurut agama kepercayaan yang


dianut masyarakat adat belum tentu sah menjadi warga adat dari
masyarakat adat yang bersangkutan. Misalnya di Lampung, walaupun sudah

Hukum Adat 4
Universitas Pamulang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

terlaksana perkawinan yang sah menurut agama, tetapi apabila mempelai


belum diresmikan masuk menjadi warga adat (kugrug adat) Lampung, berarti
mereka belum diakui sebagai warga kekerabatan adat.

Upacara meresmikan masuk menjadi warga adat ini merupakan


upacara perkawinan adat. Misalnya di Lampung, Tulang-bawang upacara
perkawinan adat ini dilaksanakan dengan acara „mosok-majew‟ (menyuap
mempelai) dengan tindih sila. Upacara mosok ini dipimpin oleh tua adat
wanita, biasanya isteri atau penyimbang (pemuka adat) dan dibantu oleh
beberapa wanita sehingga juru bicara dan pembawa syair perkawinan.

Jelas bahwa di dalam KUHPerdata, perkawinan itu hanya dilihat dari


segi keperdataan dengan mengabaikan keagamaan dimana hal ini
bertentangan dengan falsafah Negara Indonesia, sila pertama Pancasila
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, bahkan menyangkut masalah perkawinan
yang merupakan sakramen dimana berhubungan erat dengan agama
sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/batin tetapi juga
unsur batin/rohani yang mempunyai peranan penting. Jadi terlihatlah disini
perbedaan pengertian perkawinan menurut KUHPerdata dan menurut UU
No. 1 Tahun 1974 dimana perkawinan menurut KUHPerdata hanya sebagai
“Perikatan Perdata” sedangkan perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974
tidak hanya sebagai ikatan perdata, namun juga merupakan “Perikatan
Keagamaan”. Hal ini dapat dilihat dari tujuan perkawinan yang dijelaskan
dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun1974 bahwa perkawinan bertujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Penjelasan tersebut berbeda dengan BW yang
diumumkan oleh Maklumat tanggal 30 April 1987 dan berlaku di Indonesia
sampai Tahun 1974.

6. Bentuk-Bentuk Perkawinan Adat

Hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat


yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran,
upacara perkawinan, dan putusnya perkawinan menurut masyarakat adat di
Indonesia.

Aturan-aturan hukum adat perkawinan di berbagai daerah di Indonesia berbeda-


beda, dikarenakan :

Hukum Adat 5
Universitas Pamulang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

 Sifat kemasyarakatan, adat-istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat


yang berbeda-beda.
 Banyak terjadi perkawinan campuran antara suku, adat istiadat, dan
agama yang berlainan.
 Adanya kemajuan jaman, menyebabkan pergeseran-pergeseran adat
perkawinan.

Bentuk-bentuk Perkawinan Adat


Oleh karena susunan masyarakat di Indonesia berbeda-beda, di
antaranya bersifat patrilinial, matrilinial, parental, dan campuran, maka bentuk-
bentuk perkawinan adat yang berlaku berbeda pula, yaitu dalam bentuk :
1. Perkawinan Jujur.

Perkawinan Jujur atau perkawinan dengan pemberian (pembayaran)


uang (barang) jujur adalah kewajiban adat ketika dilakukan pelamaran yang
harus dipenuhi oleh kerabat pria kepada kerabat wanita untuk dibagikan pada
tua-tua kerabat (marga atau suku) pihak wanita. Perkawinan jujur pada
umumnya berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat yang
mempertahankan garis keturunan bapak (lelaki), misalnya terjadi di daerah
Gayo, Batak, Nias, Lampung, Bali, dan Maluku. Uang atau barang jujur di
masing-masing daerah disebut dengan nama yang berlainan, misalnya di
Gayo disebut Unjuk, di Batak disebut Boli, Tuhor, Parunjuk, atau Pangoli, di
Nias disebut Beuli Niha, di Lampung disebut Segreh, Seroh, atau Daw Adat,
dan di Maluku disebut dengan Beli atau Wilin.

Uang atau barang jujur dilakukan oleh pihak kerabat (marga atau
suku) calon suami kepada pihak kerabat calon isteri sebagai tanda pengganti
pelepasan mempelai wanita keluar dari kewargaan adat persekutuan hukum
bapaknya, pindah dan masuk ke dalam persekutuan hukum suaminya.
Setelah perkawinan, maka isteri berada di bawah kekuasaan kerabat suami,
hidup matinya menjadi tanggung jawab kerabat suami, berkedudukan hukum
dan menetap diam di pihak kerabat suami. Pada umumnya dalam bentuk
perkawinan jujur berlaku adat 'pantang cerai', jadi senang atau susah selama
hidupnya isteri di bawah kekuasaan kerabat suami.

2. Perkawinan Semanda.

Perkawinan semanda pada umumnya berlaku di lingkungan


masyarakat adat yang matrilinial, dalam rangka mempertahankan garis
keturunan pihak ibu (wanita). Dalam perkawinan semanda, calon mempelai
pria dan kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur kepada pihak
wanita, malahan sebagaimana berlaku di Minangkabau berlaku adat
pelamaran dari pihak wanita kepada pihak pria. Selama perkawinan terjadi,
Hukum Adat 6
Universitas Pamulang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

maka suami berada di bawah kekuasaan kerabat isteri dan kedudukan


hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semanda yang berlaku.
Bentuk-bentuk perkawinan semanda yang berlaku di Minangkabau adalah :

 Semanda raja-raja, berarti suami isteri berkedudukan seimbang atau


sama, baik di pihak isteri maupun di pihak suami.
 Semanda lepas, berarti suami mengikuti tempat kediaman isteri atau
matrilokal.
 Semanda bebas, berarti suami tetap pada kerabat orang tuanya.
 Semanda nunggu, berarti suami isteri berkediaman di pihak kerabat isteri
selama menunggu adik isteri (ipar) sampai dapat mandiri.
 Semanda ngangkit, berarti suami mengambil isteri untuk dijadikan
penerus keturunan pihak ibu suami, yang dikarenakan ibu tidak
mempunyai keturunan anak wanita.
 Semanda anak dagang atau semanda burung, berarti suami tidak
menetap di tempat isteri, melainkan datang sewaktu-waktu, kemudian
pergi lagi.

Pada umumnya dalam bentuk perkawinan semanda kekuasaan pihak isteri


yang lebih berperan. Bentuk perkawinan semanda ini banyak yang sudah tidak
berlaku lagi di masa sekarang, terutama sejak berlakunya Undang-Undang
Nomor : 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

3. Perkawinan Bebas (Mandiri).


Bentuk perkawinan bebas atau perkawinan mandiri pada umumnya
berlaku di lingkungan masyarakat adat yag bersifat parental (keorang-tuaan),
seperti berlaku di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Kalimantan, dan
Sulawesi, serta di kalangan masyarakat Indonesia yang moderen, di mana
kaum keluarga atau kerabat tidak banyak lagi campur tangan dalam
keluarga/rumah tangga. Bentuk perkawinan ini yang dikehendaki oleh
Undang-undang Nomor : 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana
kedudukan dan hak suami dan isteri berimbang atau sama. Setelah
perkawinan suami dan isteri memisah dari kekuasaan orang tua dan keluarga
masing-masing dan membangun keluarga atau rumah tangga sendiri dan
hidup mandiri. Orang tua kedua pihak hanya memberi bekal bagi kelanjutan
hidup rumah tangga kedua mempelai dengan harta pemberian atau warisan
sebagai harta bawaan ke dalam perkawinan mereka.

4. Perkawinan Campuran.
Perkawinan campuran menurut hukum adat adalah perkawinan yang
terjadi di antara suami dan isteri yang berbeda suku bangsa, adat budaya,
dan atau berbeda agama yang dianut. Sedangkan perkawinan campuran
menurut Undang-Undang Nomor : 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah

Hukum Adat 7
Universitas Pamulang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

perkawinan yang terjadi di antara suami isteri yang berbeda


kewarganegaraan.

Terjadinya perkawinan campuran menimbulkan masalah hukum antara


tata hukum adat dan atau hukum agama, yaitu hukum mana dan hukum apa
yang akan diperlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu. Pada dasarnya
hukum adat atau hukum agama tidak membenarkan terjadinya perkawinan
campuran. Tetapi di dalam perkembangannya hukum adat setempat
memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalahnya, sehingga perkawinan
campuran itu dapat dilaksanakan.

5. Perkawinan Lari.
Perkawinan lari dapat terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat,
tetapi yang terbanyak berlaku adalah di kalangan masyarakat Batak,
Lampung, Bali, Bugis atau Makasar, dan Maluku. Di daerah tersebut,
walaupun perkawinan lari itu merupakan pelanggaran adat, namun terdapat
tata tertib cara menyelesaikannya. Sesungguhnya perkawinan lari bukanlah
bentuk perkawinan, melainkan merupakan sistem pelamaran, oleh karena dari
kejadian perkawinan lari itu dapat berlaku bentuk perkawinan jujur, semenda,
atau bebas, tergantung pada keadaan dan perundingan kedua pihak. Sistem
perkawinan lari dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

 Perkawinan lari bersama dalam bahasa Belanda disebut vluch-huwelijk


atau wegloop-huwelijk, adalah perbuatan belarian untuk melaksanakan
perkawinan atas persetujuan si gadis (wanita). Cara melakukan belarian
tersebut ialah bujang dan gadis sepakat melakukan perkawinan lari dan
pada waktu yang sudah ditentukan melakukan lari bersama. Atau si gadis
secara diam-diam diambil oleh kerabat pihak bujang dari tempat
kediamannya, atau si gadis datang sendiri ke tempat kediaman pihak
bujang. Segala sesuatunya berjalan menurut tata tertib adat belarian.
 Perkawinan lari paksa dalam bahasa Belanda disebut schaak-huwelijk,
adalah perbuatan melarikan gadis dengan akal tipu, atau dengan
paksaan, atau dengan dengan kekerasan, dan tidak atas persetuuan si
gadis dan tidak menurut tata tertib adat belarian. Sistem perkawinan lari
paksaan ini jika terjadi seringkali diteruskan oleh kerabat yang merasa
kehormatannya terganggu kepada pihak kepolisian dengan
menggunakan ketentuan pasal 332 KUH Pidana sebagai dasar
pengaduan.

7. Macam-Macam Perkawinan Adat

Hukum Adat 8
Universitas Pamulang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Sistem perkawinan menurut hukum adat ada 3 macam :

a. Sistim Endogami

Yaitu suatu sistim perkawinan yang hanya memperbolehkan seseorang


melakukan perkawinan dengan seorang dari suku keluarganya sendiri.

a. Sistim Eksogami

Yaitu suatu sistim perkawinan yang mengharuskan seseorang melakukan


perkawina dengan seorang dari luar suku keluarganya.

a. Sistim Eleutherpgami

Yatu sistim perkawinan yang tidak mengenal larangan atau keharusan


seperti halnya dalam sistim endogami ataupun exogami.

Laragan yang terdapat dalam sistim ini adalah larangan yang


bertalian dengan ikatan kekeluargaan, yaitu larangan karena :

1. Nasab ( =turunan dekat ), seperti kawin dengan ibu, nenek, anak


kandung, cucu (keturunan garis lurus keatas dan kebawah) juga
dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu.
2. Musyaharah (=per iparan) seperti kawin dengan ibu tiri, menantu,
mertua anak tiri.

Asas- asas Perkawinan Adat

Ø Asas-asas perkawinan menurut hukum adat sebagai berikut :

a. perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan


kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
b. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama
atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para
anggota kerabat.
c. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan anggota keluarga dan
anggota kerabat.Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau
istri yang tidak diakui masyarakat adat
d. Perkawinan dapat dilaksanakan oleh seseorang pria dengan beberapa
wanita, sebagai istri kedudukannya masing masing ditentukan menurut
hukum adat setempat.

Hukum Adat 9
Universitas Pamulang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

e. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur
atau masih anak anak. Begitu pula walauoun sudah cukup umur
perkawinan harus berdasarkan ijin orang tua/ keluarga dan kerabat.
f. Perceraian ada yang boleh dilakukan dan ada yang tidak boleh.
Perceraian antara suami istri dapat berakibat pecahnya kekerabatan
antara kedua belah pihak.
g. Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan ketentuan
hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudkan sebagai ibu rumah
tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah tangga.

Ø Asas- asas perkawinan menurut UU No. 1 th 1974


Asas- asas yang terkandung dalam UU perkawinan sesuai dengan
falsafah Pancasila dan UUD 1945, maka UU ini harus dapat mewujudkan
prinsip- prinsip yang terkandung dalam Pancasiladan UUD 1945, dan harus
dapat menamoung segala yang hidup dalam masyarakat. Asas- asas ini
tercantum dalam pada penjelasan umum tiga UU perkawinan.
Asas- asas yang tercantum adalah :

a. Bahwa perkawinan adalah untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal.


Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, keduanya
dapat mengembangkan kepribadian untuk mencapai kesejahteraan yang
bersifat material dan spiritual.
b. Perkawinan sah bilamana dilakukan menurut hukum masing- masing
agama dan kepercayaannya, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan
harus dicatat menurut perundangan yang berlaku.
c. Perkawinan harus memenuhi administrasi dengan jalan mencatatkan diri
pada kantor pencatatan yang telah ditentukan oleh perundang-
undangan.
d. Perkawinan menurut asas monogami, meskipun tidak bersifat mutlak
karena masih ada kemungkinan untuk beristri lebih dari seorang, bila
dikehendaki olehpihak- pihak yang bersangkutan dan ajaran agamanya
mengijinkan untuk itu ketentuan harus memenuhi ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam undang- undang.
e. Perkawinan dilakukan oleh pihak yang telah matang jiwa raganya atau
telah dewasa, kematangan ini sesuai dengan tuntutan jaman di manabaru
dilancarkan keluarga berencana dalam rangka pembangunan nasional.
f. Memperkecil dan mempersulit perceraian.
g. Kedudukan suami istri dalam kehidupan perkawinan adalah seimbang
baik kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan masyarakat.

8. Perceraian
Menurut Prof. Djojodiguno, perceraian di kalangan orang Jawa adalah
suatu hal yang tidak disukai. Cita- cita orang Jawa ialah berjodohan sekali, untuk

Hukum Adat 10
Universitas Pamulang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

seumur hidup, sampai menjadi kaken- kaken ninen-ninen (kakek- kakek nenek-
nenek).
Masyarakat adat pada umumnya memandang perceraian sebagai suatu
yang wajib dihindari. Perceraian menurut adat merupakan problema sosial dan
yuridis.

 Perceraian menurut agama Islam

Menurut ajaran agama Islam, perceraian itu merupakan perbuatan yang dibenci
Tuhan.

 Perceraian menurut UU No.1 Th 1974

Pasal 39 mengatakan :
Bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah
pengadilan yang bersangkutan tidak mendamaikan kedua pihak, danuntuk
melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa suami istritidak dapat hidup
rukun sebagai suami istri.
Alasan atau sebab- sebab perceraian di dalam penjelasan
Pasal 39 Undang- undang No. 1 Tahun 1974 :

1. Setelah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak menunggalkan yang lain selama dua tahun berturut-
turuttanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di
luar kemampuan.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hubungan
yang lebih erat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaanberat yang
membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami- istri.
6. terjadi perselisihan terus menerus antara suami istri an tidak ada harapan
akan hidup lagi dan tidak ada harapan akan hidup lagi dalam rumah
tangga.

 Perceraian menurut hukum adat :

Sebab- sebab adalah :

o Perzinahan
o Tidak memberi nafkah
o Penganiayaan
o Cacat tubuh/ kesehatan

Hukum Adat 11
Universitas Pamulang Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

o Perselisihan

G. Tata Cara perceraian

1. Menurut Hukum Adat

Perceraian dapat timbul karena kepentingan kerabat dan masyarakat maupun


yang bersifat perorangan.
Setiap perselisihan suami istri harus dicarikan jalan penyelesaian oleh kerabat
agar mereka dapat hidup rukun dan damai.
Kecuali apabila kerabat sudah tidak dapat lagi menyelesaikan perselisihan
secara damai, barulah diteruskan ke pengadilan resmi.
Menurut hukum adat diadakan pemutusn perkawinan atas permufakatan dan
kemauan kedua pihak.

1. Menurut pasal 40 UU Perkawinan No. 1 Th 1974 perceraian merupakan


gugatan kepada pengadilan.

Perceraian menurut hukum Islam antara lain :

1.
a. Talak
b. Khul/ Chul/ Kuluk
c. Taklik/ Ta‟lieq
d. Faskah/ Fasch/ Pasah

B. Latihan Soal
1. Jelaskan Macam-Macam perkawinan dalam hukum adat!
2. Sebutkan asas-asas Perkawinan adat!

C. Referensi

Hukum Adat 12

Anda mungkin juga menyukai