Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

“PERKAWINAN ADAT”

OLEH :

TIARA PUTRI SALSABILLA


19103080033

HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2020
A. PENGERTIAN PERKAWINAN ADAT
Perkawinan adalah ikatan hidup bersama antara seorang pria dan wanita,
yang bersifat komunal dengan tujuan mendapatkan generasi penerus agar supaya
kehidupan persekutuan atau clannya tidak punah, yang didahului dengan
rangkaian upacara adat dan juga menjadi salah satu peristiwa penting dalam
kehidupan manusia. Perkawinan adat adalah suatu sistem perkawinan yang
dilakukan sesuai dengan peraturan adat, baik sistemnya maupun upacara
pernikahannya. Terdapat acara perkawinan yang di lakukan dengan upacara adat
yang lengkap dan ada yang hanya sebagian saja, menurut kemampuan finansial
masing-masing.
Menurut hukum adat perkawinan merupakan urusan kerabat, keluarga,
persekutuan, martabat, dan pribadi. Hukum perkawinan adat selain, selain
mengatur pengertian, fungsi, bentuk, sistem perkawinan, juga mengatur akibat
perkawinan dan putusnya perkawinan
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, perkawinan tidak hanya menyangkut
tentang hubungan antara perempuan dan laki-laki, tetapi juga menyangkut antara
orangtua kedua belah pihak, saudaranya dan keluarganya.
Menurut Undang-undang nomor I tahun 1974, perkawina adalah ikatan
lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, perkawinan menurut hukum adat bukan semata-mata
berarti ikatan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri untuk
mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga
rumah tangga, tetapi juga hubungan hukum yang menyangkut para anggota
kerabat dan pihak istri dan pihak suami. Tentang keabsahan perkawinan, hukum
adat menggantungkannya pada sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat
hukum tempat para calon tinggal.
B. PERTUNANGAN DALAM HUKUM ADAT
Pertunangan adalah hubungan hukum yang dilakukan antara orang tua
pihak pria dan wanita untuk mengikat tali perkawinan antara anak-anak mereka
dengan jalan peminganan. Dengan kata lain, Pertunangan dalam hukum adat
adalah keadaan yang bersifat khusus, biasanya mendahului perkawinan. Keadaan
pertunangan timbul setelah adanya persetujuan antara kedua belah pihak untuk
mengadakan perkawinan. Persetujuan tersebut akan dicapai oleh kedua belah
pihak setelah didahului seuatu lamaran, yaitu permintaan atau pertimbangan yang
dikemukakan pihak laki-laki kepada pihak perempuan melalui peminangan.
Peminangan adalah permohonan dari pihak perempuan atau laki-laki kepada pihak
lain untuk menjodohkan anaknya dengan anak dari keluarga yang dipinang. Jika
lamaran diterima, maka langkah selanjutnya melakukan pertunangan.
Hubungan antara laki-laki dan perempuan terikat apabila si perempuan
menerima pertunangan, dan hukumnya menjadi mengikat sejak diterimanya
lamaran dari pihak laki-laki. Tanda pengikat dapat berupa uang, barang,
perhiasan, dan lain-lain. Jika tanda pengikat telah diterima pihak perempuan maka
pertunangan tidak dapat dibatalkan kecuali sebab-sebab berikut :
a. salah satu pihak yang dtunangkan meninggal dunia
b. diputuskan berdasarkan musyawarah
c. salah satu pihak ingkar janji
Adapun akibat dari putusnya pertunangan, jika yang memutuskan si
pihak pemberi tanda pengikat, maka barang akan hilang. Jika yang memutuskan
pihak penerima, maka pihak penerima wajib mengganti dua sampai tiga kali lipat.
Salah satu suku yang menerapakan sistem pertunangan adat ini adalah
suku kerinci. Di Kerinci peminangan dalam adat disebut dengan Meletak Tando
adalah acara menukar tanda, calon pengantin pria dan calon pengantin wanita
saling bertukar barang yang biasa digunakan seperti cincin, peralatan pernikahan
atau lain-lain. Dan pertunangan dalam adat disebut Tak pelatak. Pertunangan di
Kerinci merupakan tahapan persetujuan antara kedua belah pihak. Jika salah satu
melanggar tak pelatak atau membatalkan pernikahan setelah pertunangan ini,
maka pihak yang membatalkan pertunangan akan dikenai denda oleh adat Kerinci
dengan membayarkan denda satu ekor sapi atau uang seharga sapi kepada pihak
yang terkenda dampak pembatalan sesuai dengan peraturan hukum adat
perkawinan Kerinci.

C. BENTUK PERKAWINAN DALAM BERBAGAI SIFAT


KEKELUARGAAN
1. BENTUK PERKAWINAN PADA MASYARAKAT PATRILINEAL
Patrilineal adalah suatu masyarakat yang menarik garis keturunan dari
pihak ayah atau laki-laki. Pada sistem kekerabatan ini kedudukan laki-laki tertua
yang lebih tinggi yang disebut dengan penyeimbang. Suku di Indonesia yang
menganut sistem patrilineal adalah adat batak, lampung dan Jambi. Sebagian
besar masyarakat Jambi dalam perkawinan menganut sistem Perkawinan Jujur
(ngakuk muli) artinya perkawinan ini pihak laki-laki membayar mahal untuk
mempersunting perempuan dari keluarganya dan untuk harta waris laki-laki tertua
berhak atas sebagian besar harta waris. Setelah perkawinan, pengantin perempuan
melepaskan hak dan kedudukannya di pihak kerabat dan keluarganya dan masuk
pada kekerabatan suami. Dengan demikian perempuan memiliki hak dan
kewajiban yang sepadan dengan anggota keluarga laki-laki lain. Penarikan
perempuan disertai ke dalam kekerabatan suami harus disertai dengan pemberian
uang jujur, berupa barang-barang yang memiliki nilai bagi keluarga pihak
perempuan. Hal ini dilakukan karena sebagian besar masyarakat Jambi
berpendapat bahwa pemberian uang jujur termasuk sebagai pengganti kedudukan
perempuan dalam kekerabatan.

2. BENTUK PERKAWINAN PADA MASYARAKAT MATRILINEAL


Masyarakat matrilineal adalah suatu masyarakat yang menarik garis
keturunan berdasarkan garis keturunan ibu. Dalam masyarakat matrilineal,
perempuan memiliki peran penting dalam rumah tangga. Salah satu suku yang
menganut masyarakat matrilineal adalah suku minang dan sebagian suku melayu
di jambi. Sebagian suku minagn menganut sistem semanda bebas artinya bahwa
setelah terjadi perkawinan, maka suami melepaskan hak dan kedudukannya di
pihak kerabatnya dan masuk kepada kekerabatan istri. Disini suami tidak
mempunyai kekuasaan karena seluruh kekuasaan kekerabatan dipegang oleh
pihak istri karena pihak laki-laki tidak memberikan uang jujur. Di sebagian suku
minang, pihak perempuan yang memberikan uang jujur atau mahar kepada pihak
laki-laki. Dalam perkawinan semanda ini, kedudukan suami lebih rendah pada
kehidupan keluarga dan masyarakat, namun kedudukannya dalam kehidupan
sehari-hari baik pada rumah tangga dan masyarakat suami bertanggung jawab
besar atas kehidupan di dalam keluarga pihak istri. Begitu juga keluarganya,
suami berhak menjalin hubungan baik dengan keluarga asalnya.
Namun seiring perkembangan zaman maka terjadi perubahan yang
menuntut persamaan hak dan kewajiban, yang mana perkawinan semanda ini
kedudukan istri lebih tinggi dari suami, sehingga dalam masyarakat semanda
sekarang menempatkan suami dan istri kedudukannya menjadi seimbang.

3. BENTUK PERKAWINAN PADA MASYARAKAT MATRILINEAL


Dalam masyarakat parental, bentuk perkawinan yang dilaksanakan
adalah perkawinan bebas. Setiap orang boleh menikah dengan siapa saja
sepanjang tidak dilarang oleh hokum adat setempat atau alasan agama. Artinya
syarat sah perkawinan tidak ditentukan oleh faktor-faktor yang berhubungan
dengan kekerabatan seseorang, baik diluar maupun didalam satu kekerabatan

D. HUKUM HARTA PERKAWINAN


Perkawinan merupakan perbuatan hokum sehingga mempunyai akibat
hokum dalam bidang kekerabatan dan harta perkawinan. Akibat hokum
perkawinan terhadap perkawinan keluarga diatur dalam hokum harta perkawinan,
maka harta perkawinan diperlukan untuk membiayai biaya kehidupan keluarga
bersama anaknya.

1. MACAM-MACAM HARTA PERKAWINAN


Harta perkawinan dalam hokum dapat dibedakan menjadi empat bagian
yaitu :

a. harta warisan adalah harta yang dibagikan semasa hidup atau setelah pewaris
meninggal untuk salah seorang diantara suami/istri.

b. harta yang diperoleh atas usaha dan untuk diri sendiri oelh suami/istri masung-
masing sebelum perkawinan

c. harta yang diperoleh suami istri selama perkawinan atas usaha sendiri dan
sebagai usaha milik bersama

d. harta yang dihadiahkan pada saat pernikahan kepada suami istri.

Dalam hokum adat harta perkawinan dibedakan menjadi dua yaitu harta
bawaan dan harta bersama. Harta bawaan mencakup harta warisan dan harta
pencarian sebelum perkawinan. Adapun harta bersama, harta pencarian selama
perkawinan dan hadian pada saat perkawinan.

Menurut hokum adat, keduduakn harta perkawinan dipengaruhi oleh


bentuk perkawinan masyarakat adat. Pada masyarakat patrilineal yang system
kekerabatan berdasarkan garis keturunan laki-laki dengan bentuk perkawinan
dengan pembayaran jujur atau barang, maka harta perkawinan dikuasai oleh suami
sebagai kepala keluarga dibantu istri sebagai ibu keluarga. Dalam bentuk
perkawinan masyarakat patrilineal tidak ada pemisahan antara harta bawaan dan
harta bersama. Hal ini dikarenakan istri masuk ke kerabat suami dan tidak
kembali kepada keluarga semula. Jika terjadi perceraian, tidak berhak menuntut
harta bersama ataupun harta bawaan.

Pada masyarakat matrilineal dengan bentu perkawinan tanpa pembayaran


juur atau barang, ada pemisahan antara harta bawaan dan ahrta bersama. Harta
warisan dipegang oleh seorang yang dituakan di pihak ahli waris, sedangkan ahli
waris hanya mempunyai ahk untuk menikmati hasil. Adapun harta pencarian
bersama, suami dan istri berhak menguasai secara bersama. Sedangkan harta
bawaan, masing-masing pihak tetap berhak menguasai harta bawaan masing-
masing

Pada masyarakat parental dengan bentuk perkawinan bebas, kedudukan


suami dan istri sejajar sehingga harta bersama dikuasai bersama oleh suami dan
istri. Adapun harta bawaan dikuasai oleh masing-masing pihak.

2. KAITAN DENGAN UU NO.1 TAHUN 1974


Harta perkawinan suatu keluarga diatur dalam balam bab VII Pasal 35
sampai dengan 37. Pasal 35 mengatur bahwa harta benda diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dibawah penguasaan masing-
masing suami/istri sepanjang tidak ditentukan lain. Pasal 36 mengatur mengenai
harta bersama, suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
Harta bawaan masing-masing suami istri mempunyai hak sepenuhnya. Pasal 37
berbunyi bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diarut menurut
hukumnya masing-masing.

E. SEBAB PUTUSNYA PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA


1. SEBAB PUTUSNYA PERKAWINAN
Menurut hokum adat, perceraian adalah peristiwa luar biasa, problem
social dan yuridis yang penting dalam kebanyakan daerah di Indonesia. Pada
masyarakat minang terjadinya perceraian tidak membuat putusnya atau
renggangnya hubungan keakraban antara kedua belah pihak. Namun berbeda
dengan masyarakat adat lampung, perceraian mengakibatkan putusnya hubungan
keakraban kedua belah pihak. Menurut agama islam, perceraian merupakan suatu
perbuatan yang dibenci oleh Tuhan.
Menurut hokum adat, sebab terjadinya perceraian adalah sebagai
berikut :1. Perzinaan
2. Kemandulan istri
3. Suami meninggalkan istri sangat lama
4. Istri berkelakuan tidak sopan
5. Adanya keinginan bersama dari kedua belah pihak untuk bercerai
6. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 tahun lebih.

2. AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN


Menurut hokum adat, putusnya perkawinan tergantung pada bentuk
masyarakatnya. Pada lingkungan masyarakat patrilineal, putusnya perkawinan
tidak akan mengubah pertanggungjawaban suami kepada anak dan istri, anak tetap
pada keakraban ayah. Pada masyarakat matrilineal, putusnya perkawinan karena
perceraian, tidak akan mengubah tanggung jawab mamak terhadap keponakan di
suku minang dan kerinci. Jadi, anak-anak tetap ikut kerabat ibunya.adapun tentang
harta, jika terjadi perceraian, harta pencaharian dibagi antara suami dan istri.
Adapun pada lingkungan parental, kaedudukan anak bergantung kepada
keadaan. Jika perkawinan putus karena perceraian, anak akan ikut ibu. Jika dapat
menentukan pilihan, maka anak bisa ikut ibu atau bapak. Namun kewajiban ayah
dan ibu tidak berubah, wajib memberikan nafkah dan pendidikan kepada anak.
DAFTAR PUSTAKA

Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan,


Hukum Adat dan Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju.
Subekti. 1994. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasas.
Sudiyat, Iman. 1981. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty.
Sulastri, Dewi. 2015. Pengantar Hukum Adat. Bandung : Pustaka Setia.
Tasman, Aulia. 2009.  Silsilah dan Adat Kerinci. Kerinci: Pusat Studi Kebudaayaan
Kerinci.

Anda mungkin juga menyukai