Anda di halaman 1dari 13

HUKUM ADAT PERKAWINAN

adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur


tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara
pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya
perkawinan
BENTUK-BENTUK PERKAWINAN

a. Perkawinan Jujur
perkawinana dengan pemberian (pembayaran) uang (barang) jujur,
pada umumnya berlaku pada masyarakat hukum adat yang
mempertahankan garis keturunan bapak yang dilakukan oleh pihak
kerabat (marga, suku) calon suami kepada kerabat pihak calon istri
sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari
kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya pindah dan masuk
kedalam persekutuan suami.
LANJUTAN

b. Perkawinan Semenda
perkawinan semenda biasanya berlaku pada masyarakat adat
matrilinial dalam rangka mempertahankan garis keturunan ibu,
calon mempelai pria dan kerabatnya tidak melakukan pemberian
uang jujur kepada pihak wanita melainkan pihak wanita melakukan
adat pelamaran kepihak pria. Setelah perkawinan suami berada
dibawah kekuasaan kerabat istri
LANJUTAN
C. Perkawinan Bebas
bentuk perkawinan ini yang dikehendaki oleh UU No. 1 1974 dimana
kedudukan dan hak suami dan istri berimbang sama.

d. Perkawinan Campuran
perkawinan yang terjadi antara suami istri yang berbeda suku bangsa,
adat budaya dan berbeda agama. UUno 1 1974 tidak mengatur
tentang perkawinan beda agama tetapi tentang beda
kewarganegaraan.
LANJUTAN

e. Perkawinan Lari
sesungguhnya perkawinan lari bukanlah bentuk perkawinan
melainkan merupakan sistem pelamaran, karena darikejadian
perkawinan lari dapat berlaku untuk perkawinan jujur, semenda dll
tergantung pada keadaan dan perundingan kedua pihak
LANJUTAN
F. Kawin darurat
Untuk menjaga jangan sampai mendapat malu/agar anak dalam
kandungan dari seorang wanita yang tidak bersuami ada laki2 yang
mau mengaku sebagai ayahnya, maka dikawinkanlah mereka.
Laki2 tadi dipergunakan untuk menjaga nama baik keluarga yang
bersangkutan dan tidak mempunyai hubungan gelap dengan calon
istrinya yang telah hamil itu
Ex  :  di jawa disebut nikah tambel atau tambelan
LANJUTAN

G. Kawin Gantung
Perkawinan dengan upacara peresmiannya tidak serentak,
ditunggu suatu masa yang telah ditentukan terlebih dahulu.
Setelah perkawinan dilaksanakan secara agama islam, kedua suami
istri belum tinggal serumah, baru mereka tinggal serumah setelah
perkawinan diresmikan menurut adat.
LANJUTAN

h. Kawin Paksa

Perkawinan berlangsung dengan memaksa calon suami yang telah


melakukan perbuatan yang tidak senonoh yang melakukan anak
keluarga.
Perkawinan ini dilangsungkan dengan memberikan tekanan pada
pihak pemuda.
LANJUTAN

i. Kawin Ganti tikar

Jika salah seorang dari suami istri meninggal dunia, yang masih hidup
mencari penggantinya di kalangan keluarga yang meninggal, biasanya
saudara dari yang meninggal.
Adat pelamaran
• Pertemuan muda-mudi
• Cara melamar
• Acara Perkawinan
Sesuai dengan agama yang dianuut
• Upacara perkawinan
Disesuaikan dengan adat daerah masing-masing
Menurut hukum adat
• Kedudukan harta perkawinan dipengaruhi oleh susunan masyarakat
adatnya, bentuk perkawinan yang berlaku dan jenis hartanya.

• Pada masyarakat patrilinial tidak ada pemisahan kekuasaan terhadap


harta bersama dan harta bawaan dalam rumah tangga. Setelah
perkawinan istri mengikuti tempat kediaman suami dan tidak akan
kembali kepada orang tua dan kerabatnya sampai akhir hayatnya. Jika
terjadi perceraian dan istri meninggalkan tempat kedudukan
suaminya berarti istri melanggar adat dan tidak berhak atas harta
bersama ataupun harta bawaan atau membawa anaknya pergi.
LANJUTAN

• Pada bentuk perkawinan semenda, maka terdapat pemisahan kekuasaan


terhadap harta pekawinan. Kekuasaan terhadap harta pusaka milik bersama
kerabat dipegang oleh mamak kepalan waris, istri dan suami hanya mempunyai
hak menguasahakan dan menikmati hasil panen terhadap bidang tanah, hak
mendiami rumah gadang. Tetapi terhadap harta pencarian mereka,suami istri
secara bersama menguasainya, harta bawaan dibawa masing-masing
Pada masyarakat PARENTAL kedudukan suami istri sejajar, maka harta bersama
dikuasai bersama untuk kepentingan bersama, harta bawaan dikuasai oleh
suami istri masing-masing.
Apabila kedudukan suami istri tidak sejajar, maka harta akan dikuasai oleh si
istri atau suaminya.
Akibat putusnya perkawinan
• Pada masyarakat patrilinial, putusnya perkawinan karena kematian atau
perceraian tidak mengubah petanggungjawaban kerabat pihak suami
terhadap anak dan istri dari anggota keluarga seketurunan ayah, kakek dan
seterusnya keatas.
• Pada masyarakat matrilinial, tanggung jawab dari pihak ibu seperti
“mamak” terhadap kemenakan (diminangkabau), payung jurai terhadap
kemenakan (disemendo) atau para kelama (dilampung pesisir).
• Pada masyarakat parental, pertanggung jawaban pengurusan dan
pemeliharaan anak kemenakan, janda yang kekurangan hidupnya adalah
pihak suami (ayah) atau pihak isteri (ibu),tergantung pada keadaan dan
kemampuan serta kesediaan dari kerabat bersangkutan.

Anda mungkin juga menyukai