Anda di halaman 1dari 11

Nama : Vivin istidamah

NIM : 201910110311300
Kelas : F
Sifat dan bentuk perkawinan hukum adat

A. Sifat perkawinan hukum adat

Antara perkawinan dan sifat susunan kekeluargaan terdapat hubungan yang erat sekali. Bahkan
dapat dikatakan bahwa suatu peraturan hukum perkawinan sukar dipaham tanpa peninjauan hukum
kekeluargaan yang bersangkutan. Seperti yang telah diketahui, di Indonesia terdapat 3 macam sifat
kekeluargaan , yaitu patrilineal, matrilineal, dan parental. Hal ini juga mempengaruhi corak
petkawinan dalam masing-masing sifat kekeluargaan, berikut penjelasannya.
 Kekerabatan Patrilineal
Bentuk perkawinan yang umum pada sifat kekerabatan ini adalah perkawinan jujur.
Dimana pihak laki-laki meberikan jujur kepada pihak perempuan. Dan setelah perkawinan
sang istri akan masuk ke dalam garis keturunan suaminya begitu pula dengan anak-anaknya
nanti.
Suku yang menganut sistem kekerabatan Patrilineal di Indonesia adalah adalah suku
Batak, suku Rejang dan suku Gayo.

 Kekerabatan Matrilineal
Dalam sifat kekerabatan ini, tidak ada pemberian jujur. Pada saat perkawinan, suami
dijemput dari rumahnya kemudian dibawa ke rumah istrinya. Suami disini tidak masuk
kedalam keluarga si istri, melainkan tetap pada keluarganya sendiri. Namun anak-anaknya
masuk kedalam keluarga si istri, dan si suami pada hakikatnya tidak memiliki kekuasaan
terhadap anak-anaknya.
Daerah yang menganut sistem kekerabatan matrilineal adalah Sumatera Barat (Suku
Minangkabau).
 Kekerabatan Parental
Setelah kawin keduanya menjadi satu keluarga, baik keluarga suami maupun keluarga
isteri. Dengan demikian dalam susunan keluarga parental suami dan isteri masing-masing
mempunyai dua keluarga yaitu keluarga suami dan keluarga isteri.

Dalam susunan kekerabata Parental terdapat juga kebiasaan pemberian-pemberian oleh


pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Namun pemberian disini tidak mempunyai arti
seperti Jujur tetapi lebih mempunyai arti hadiah perkawinan.

Suku yang menganut sistem kekerabatan Parental adalah suku Dayak Kanayat.

B. Bentuk perkawinan adat


1. Perkawinan Jujur
Perkawinan jujur adalah perkawinan dengan pemberian (pembayaran) uang (barang). Pada
umumnya berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat yang mempertahankan keturunan garis
bapak. Yakni perkawinan yang terdapat dalam masyarakat adat Gayo (unjuk), Batak (boli,
tuhor, parunjuk, pangoli), Nias (beuli niha), Lampung (segreh, seroh, dawadat), Bali, Timor
(belis, welie). Bentuk perkawinan ini dilakukan oleh pihak kerabat (marga, suku) calon suami
kepada pihak kerabat calon istri sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari
kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk ke dalam persekutuan hukum
suaminya. Setelah perkawinan, maka istri berada di bawah kekuasaan kerabat suami, hidup
matinya menjadi tanggungjawab kerabat suami, berkedudukan hukum dan menetap diam di
pihak kerabat suaminya.begitu pula anak-anaknya dan keturunannya. melanjutkan keturunan
suami dan harta kekayaan yang di bawa si istri semuanya dikuasai oleh suami, kecuali
ditentukan oleh pihak istri.
2. Perkawinan Semenda
Perkawinan semenda pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat adat matrilinial, dalam
rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu. Perkawinan ini merupakan kebalikan dari
perkawinan jujur. Dalam perkawinan semenda, calon mempelai pria dan kerabatnya tidak
melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita, tetapi sebaliknya dari pihak wanita
kepada pihak pria. Setelah perkawinan terjadi, maka suami berada di bawah kekuasaan istri dan
kedudukan hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semenda yang berlaku. Adapun
bentuk perkawinan semenda yakni ada 6 jenis yaitu :
 Semanda raja-raja, artinya suami dan istri berkedudukan sama.
 Semanda lepas, artinya Suami mengikuti tempat kediaman istri (matrilokal).
 Semanda bebas, artinya suami tetap pada kerabat orang tuanya.
 Semanda nunggu, artinya suami dan istri berkediaman di pihak kerabat istri selama menunggu
adik ipar (istri) sampai dapat mandiri.
 Semanda ngangkit, artinya suami mengambil istri untuk dijadikan penerus keturunan pihak
ibu suami dikarenakan ibu tidak mempunyai keturunan anak wanita.
 Semanda anak daging, artinya suami tidak menetap di tempat si istri melainkan datang
sewaktu-waktu, kemudian pergi lagi seperti burung yang hinggap sementara, maka disebut juga
semanda burung.

3. Perkawinan Bebas (mandiri)


Bentuk perkawinan bebas atau perkawinan mandiri pada umumnya berlaku di lingkungan
masyarakat adat yang bersifat parental seperti berlaku di kalangan masyarakat Jawa, Sunda,
Aceh, Melayu, Kalimantan, Sulawesi. Bentuk perkawinan ini sesuai dengan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974, kedudukan dan hak suami dan istri berimbang, suami adalah kepala
keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga. Setelah perkawinan suami dan istri pisah dari orang
tua dan keluarga masing-masing. Orang tua kedua pihak hanya memberi bekal (saku) bagi
kelanjutan hidup rumah tangga kedua mempelai dengan harta pemberian atau warisan sebaga
harta bawaan ke dalam perkawinan. Sebelum perkawinan orang tua hanya memberi nasihat,
petunjuk memilih jodoh dan setelah perkawinan hanya mengawasi kehidupan rumah tangga
anaknya yang sudah menikah.
Di dalam masyarakat parental bisa saja terjadi perkawinan ganti suami apabila suami wafat, di
mana istri kawin lagi dengan saudara suami atau terjadi perkawinan ganti istri apabila istri
wafat, di mana suami kawin lagi dengan saudara istri. Tapi hal ini bukan merupakan suatu
keharusan sebagaimana dalam masyarakat patrilinial ataupun masyarakat matrilinial.

4. Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan yang terjadi antara suami dan
istri yang berbeda bangsa, adat, budaya. Undang-undang tentang perkawinan tidak mengatur hal
demikian, yang diatur hanya perkawinan antara suami dan istri yang berbeda kewarganegaraan
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 57 UU Nomor 1 Tahun 1974. Terjadinya perkawinan
menimbulkan masalah hukum antara tata hukum adat dan hukum agama, yaitu hukum mana dan
apa yang diperlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu. Pada dasarnya hukum adat atau
hukum agama tidak membenarkan terjadinya perkawinan campuran. Tapi dalam
perkembangannya hukum adat setempat memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalahnya,
sehingga perkawinan campuran itu dapat dilaksanakan.

5. Perkawinan Lari
Perkawinan lari terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat yang terjadi dalam masyarakat adat
Batak (mangaluwa), Lampung (sebambungan, metudau, nakat, cakak lakei), Bali (ngerorod,
merangkat), Bugis (silariang), Maluku. Sebenarnya perkawinan lari bukanlah bentuk
perkawinan melainkan merupakan sistem pelamaran. Sistem perkawinan lari dapat dibedakan
antara perkawinan lari bersama dan perkawinan lari paksaan. Perkawinan lari bersama adalah
perbuatan berlarian untuk melaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis. Cara melakukan
berlarian tersebut ialah bujang gadis sepakat melakukan kawin lari pada waktu yang sudah
ditentukan melakukan lari bersama atau si gadis secara diam-diam diambil kerabat pihak bujang
dari tempat kediamannya, atau si gadis datang sendiri ke tempat kediaman pihak bujang. Segala
sesuatunya berjalan menurut tata tertib adat berlarian.

Anda mungkin juga menyukai