Anda di halaman 1dari 3

TUGAS TUTORIAL 2

NAMA : GANJAR SATYA ATMAJA


NIM : 041605756
KELAS/SEMESTER : A/6
MATA PELAJARAN : HUKUM ADAT
TUTOR : M. HIDAYAT, SH., MH.

1. Jelaskan bentuk perkawinan pada masyarakat patrilineal, matrilineal dan parental serta
berikan contoh ?

Jawab :

 Bentuk perkawinan pada masyarakat patrilineal adalah perkawinan jujur.


Perkawinan jujur adalah perkawinan dengan pemberian atau pembayaran sesuatu
yang disebut jujur (dalam bentuk uang ataupun barang) dari pihak keluarga
pengantin laki-laki kepada pihak pengantin perempuan, sebagai pertanda atau
lambing diputuskannya hubungan kekeluargaan pihak perempuan dengan orang
tuanya, saudara-saudaranya dan bahkan dengan persekutuan atau masyarakat
hukumnya. Perkawinan jujur terdapat pada masyarakat hukum yang
mempertahankan garis keturunan kebapakan (patrilineal), misalnya; Gayo, Batak,
Nias, Lampung, Bali, Timor dan Maluku. Pada masyarakat Tapanuli (Batak)
pembayaran jujur disebut dengan Boli, Tuho, Parunjuk, Panggoli, Sinamot. Pada
Masyarakat Maluku disebut Belia tau Wilin. Sedangkan pada masyarakat Bali
disebut Patunkun-luh. Perkawinan jujur dapat dibedakan berdasarkan beberapa
jenis;

a. Perkawinan mengabdi. Dalam perkawinan ini pembayaran jujur ditunda. Si


suami hidup Bersama istrinya dan bekerja pada mertuannya sampai jujurnya
lunas. Sebelum jujurnya dibayar lunas, anak-anak mereka di bawah
kekuasaan mertuannya dan masuk ke suku atau marga suaminya. Perkawinan
mengabdi di masyarakat Batak disebut mangdingding, di Bali disebut
nunggonin dan di Lampung disebut erring beli.
b. Perkawinan meneruskan, adalah perkawinan seorang laki-laki dengan saudara
perempuan yang sudah meninggal. Dalam perkawinan ini tidak perlu
membayar jujur karena istri kedua seakan-akan menduduki tempat istri
pertama. Bentuk perkawinan ini di Batak dikenal dengan mangabia, dan di
Jawa disebut karang wulu.
c. Perkawinan mengganti, adalah perkawinan seorang janda yang telah ditinggal
suaminya dengan saudara laki-laki suaminya sebagai pengganti. Biasanya
tidak ada pemberian jujur. Dalam masyarakat batak disebut pareakhon, di
Palembang disebut ganti tikar dan di Jawa disebut medun ranjang.
d. Perkawinan mengambil anak, adalah seorang anak laki-laki diambil untuk
suami dari anak gadis, gadis tersebut berhukum patrilineal. Perkawinan ini
terdapat di masyarakat Sumatera Selatan.

 Bentuk perkawinan pada masyarakat matrilineal. Masyarakat matrilineal di


Indonesia adalah masyarakat Minangkabau, Sumatera Selatan. Bentuk
perkawinan pada masyarakat matrilineal disebut perkawinan semendo, yaitu
bentuk perkawinan yang bertujuan mempertahankan garis keturunan pihak ibu..
Semendo berarti laki-laki dari pihak luar. Tidak ada pembayaran jujur dalam
perwakinan semendo, suami dan istri masing-masing tetap dalam klannya,
hanyalah keturunan mereka yang akan masuk keluarga istrinya, maka bapak tidak
punya kuasa pada anak-anaknya. Bentuk variasi perkawinan semendo;
a. Semedo rajo-rajo, yaitu suami istri berkedudukan sama baik dipihak istri
maupun suami.
b. Semendo bebas, suami menetap pada kerabatnya ia hanya urang semedo.
c. Semendo menetap, artinya suami mengikuti kediaman istri.
d. Semendo menunggu, suami istri berkediaman ditempat kerabat istri selama
menunggu adik istri sampai dapat mandiri/sampai tugas pertanggung
jawabannya terhadap keluarga mertua selesai diurusnya
e. Semenda nangkit (ngangkit), suami menjadikan istri untuk menjadikan
penerus keturunan pihak suami karena ibunya tidak mempunyai anak
perempuan. Sehingga suami istri ini nantinya akan menguasai harta
kekayaan dan meneruskan keturunannya. Semenda ngangkit ini kebalikan
dari perkawinan semenda ambil anak.
f. Semenda anak gadang, suami tidak menetap ditempat istrinya melainkan
dating sewaktu-waktu lalu kemudian pergi (sementara).
g. Semenda bertandang, artinya suami tidak bertempat tinggal yang sama.
h. Semenda ambil anak, artinya mengambil anak laki-laki sebagai menantu
untuk menjadi ahli waris mertua.
i. Semenda beradat, pihak pria membayar uang kerabat kepada kerabat wanita
menurut martabat adatnya.
j. Semenda tidak beradat, artinya pihak pria tidak membayar adat karena
semua biaya ditanggung pihak wanita.

 Bentuk perkawinan dalam susunan keluarga parental. Bentuk perkawinan dalam


susunan masyarakat yang bentuk kekeluargaannya parental (bilateral). Sistem
parental berlaku ketika seseorang menjadi keturunan satu pertalian kekeluargaan
karena adanya perkawinan yang dilakukan oleh Ayah dan Ibu. kekerabatan
parental dapat ditemukan hampir di seluruh suku yang ada di Indonesia. Bagian
terkecilnya adalah satu keluarga yang terdiri dari Bapak, Ibu, dan Anak. Hasil
keturunan dari perkawinan dalam keluarga penganut sistem kekerabatan parental,
baik anak perempuan maupun laki-laki, akan memiliki posisi sederajat tanpa ada
perbedaan karena sistem kesukuan. Dalam sistem kekerabatan parental, laki-laki
ataupun perempuan dapat menikah dengan orang di luar sukunya untuk menjadi
penerus dan memberikan keturunan baru. Kekerabatan parental dapat ditemukan
pada suku-suku di Kalimantan, Madura, Sulawesi, Jawa, Aceh, dan lain
sebagainya.

2. Jelaskan perbedaan hukum waris adat dengan hukum waris perdata/barat, dan perbedaan
hukum waris adat dengan hukum waris islam

Jawab :

 Perbedaan hukum waris adat dengan hukum waris perdata/barat;

a. Dalam hukum waris adat setelah pewaris meninggal dunia, hartanya tidak
boleh dipaksakan dibagi kepada ahli waris. Sedangkan dalam hukum waris
perdata/barat setelah meninggalnya pewaris, warisan bisa dibagikan kepada
ahli waris.
b. Dalam hukum waris adat, tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian
mutlak dari ahli waris. Sedangkan dalam hukum waris perdata/barat,
mengenal asas legitieme portie atau bagian mutlak dari ahli waris berdasarkan
Pasal 913 sampai dengan Pasal 929 KUH Perdata.
c. Dalam hukum waris adat, pembagian warisan dibedakan menurut jenis
kelamin ahli warisnya. Sedangkan dalam hukum waris perdata/barat
pembagian warisan tidak berdasarkan jenis kelamin ahli waris.
d. Dalam hukum waris adat, tidak mengenal hak ahli waris sewaktu-waktu
menuntut pembagian harta. Sedangkan dalam hukum waris perdata/barat ada
hak ahli waris sewaktu-waktu menuntut pembagian harta.

 Perbedaan hukum waris adat dengan hukum waris islam;

a. Dalam hukum waris adat, ahli waris tidak mempunyai hak untuk sewaktu-
waktu menuntut harta warisan dibagikan. Sedangkan dalam hukum waris
islam, ahli waris mempunyai hak untuk sewaktu-waktu menuntut harta
warisan dibagikan.
b. Dalam hukum waris adat, pembagian warisan adalah tindakan Bersama,
dilakukan dengan prinsip kerukunan. Sedangkan dalam hukum waris islam,
bagian dari ahli waris telah ada ketentuan.
c. Dalam hukum waris adat, dikenal pemberian hak nafkah untuk anak angkat.
Sedangkat dalam hukum waris islam, tidak dikenal pemberian hak nafkah
kepada anak angkat.
d. Dalam hukum waris adat, dikenal sistem “Penggatian waris”. Sedangkan
dalam hukum waris islam, tidak dikenal sistem “penggantian waris:.
e. Dalam hukum waris adat, adat jawa apabila tidak mempunyai anak laki-laki
maka anak perempuan bisa mendapatkan bagian harta peninggalan kakek
neneknya dan saudara-saudara orang tuanya. Sedangkan dalam hukum waris
islam, anak perempuan hanya mendapatkan bagian dari harta peninggalan
orang tuanya.

Anda mungkin juga menyukai