Anda di halaman 1dari 7

HUKUM ADAT

PERKAWINAN DAN WARIS DALAM HUKUM ADAT


DOSEN PENGAMPU : RIFQI RIDLO PHAHLEVY, SH., MH.

KELOMPOK 2 :
Filia Amanda 222040100015
Qooimah Bilqisti 222040100023
Nola Hananda Agnesia 222040100021
Muhammad Adil ‘Azmi 222040100013
Alfito Angger Dwiyono 222040100016
Dini Octavia Ramahdani 222040100024
Anggun Jayanti Permatasari 222040100018

PROGRAM STUDI HUKUM A1


FAKULTAS BISNIS HUKUM ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2022-2023
PERTANYAAN

1. Bagaimana hukum perkawinan dalam masyarakat hukum adat?


2. Apa saja macam-macam bentuk perkawinan dalam hukum adat?
3. Siapa saja ahli waris menurut hukum adat?
4. Bagaimana jumlah harta waris yang boleh diwasiatkan menurut hukum adat?
5. Bagaimana cara penyelesaian sengketa kewarisan dalam hukum adat?

JAWABAN

1. Hukum Perkawinan Dalam Masyarakat Hukum Adat


Pernikahan dalam arti adat adalah pernikahan yang mempunyai akibat hukum
terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan, akibat hukum ini
telah ada sebelum pernikahan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran
yang merupakan hubungan anak-anak (bujang-gadis) dan hubungan antara orang tua
keluarga dari pasangan calon suami isteri. Sejauh manakah ikatan pernikahan itu
membawa akibat hukum dalam perikatan adat seperti tentang kedudukan suami dan
kedudukan isteri, begitu pula tentang kedudukan anak dan pengangkatan anak, anak
tertua, anak penerus keturunan, anak adat, anak asuh dan lain-lain, serta harta pernikahan,
yaitu harta yang timbul akibat terjadinya perkawinan tergantung pada bentuk dan sistem
pernikahan adat setempat. Menurut hukum adat pada umumnya di Negara Indonesia ini
pernikahan itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan
perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan, jadi
terjadinya suatu ikatan pernikahan bukan semata-mata membawa akibat terhadap
hubungan keperdataan, seperti adanya hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga
menyangkut hubungan adat kebiasaan seperti kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan, dan
ketetanggaan serta menyangkut dengan upacara-upara adat dari keagamaan.

2. Macam-Macam Bentuk Perkawinan Dalam Hukum Adat

a. Perkawinan Jujur
Perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran “jujur” dari pihak pria kepada
pihak wanita. Dengan diterimanya uang atau barang jujur, maka berarti setelah
perkawinan si wanita akan mengalihkan kedudukannya menjadi keanggotaan kerabat
suami. Wanita tersebut mengikatkan diri pada perjanjian untuk ikut di pihak suami,
baik pribadi maupun harta benda yang dibawa akan tunduk pada hukum adat suami,
kecuali ada ketentuan lain. Setelah isteri ada di tangan suami, maka isteri dalam
segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan persetujuan suami atau atas nama
suami atau atas persetujuan kerabat suami.
b. Perkawinan Semanda
Setelah perkawinan si pria harus menetap di pihak kekerabatan isteri atau
bertanggungjawab meneruskan keturunan wanita di pihak isteri. Adakalanya
walaupun tidak ada pembayaran jujur, namun pihak pria harus memenuhi
permintaan uang atau barang dari pihak wanita. Perkawinan semanda dalam
arti sebenarnya ialah
perkawinan di mana suami setelah perkawinan menetap dan berkedudukan
dipihak isteri dan melepaskan hak dan kedudukannya di pihak kerabatnya
sendiri.

c. Perkawinan Mentas
Bentuk perkawinan dimana kedudukan suami isteri dilepaskan dari tanggung
jawab orang tua keluarga kedua pihak, untuk dapat berdiri sendiri membangun
keluarga rumah yang bahagia dan kekal. Orang tua / keluarga dalam perkawinan
mentas ini hanya bersifat membantu, memberikan bekal hidup dengan pemberian
harta kekayaan secara pewarisan berupa rumah atau tanah pertanian sebagai barang
bawaan kedalam perkawinan mereka.
Dalam pelaksanaan perkawinan mentas yang penting adalah adanya persetujuan ke
dua orang tua atau wali dari pria dan wanita bersangkutan, begitu pula adanya
persetujuan antara pria dan wanita yang akan melakukan perkawinan itu.

d. Perkawinan Anak – Anak


Perkawinan anak-anak merupakan perbuatan terlarang, namun di banyak daerah
merupakan perbuatan yang tidak dilarang. Misalnya di Pasundan, berlaku perkawinan
anak- anak dimana gadis yang masih anak-anak dikawinkan dengan pemuda yang
sudah dewasa. Setelah perkawinan si suami menetap di tempat isteri sebagai tenaga
kerja tanpa upah, bekerja untuk kepentingan keluarga isteri sambil menunggu waktu
isteri dewasa dan dapat bercampur sebagai suami isteri. Perkawinan yang
ditangguhkan masa campur suami isteri disebut “kawin gantung.”
Latar belakang perkawinan anak-anak ini adalah sebagai berikut:
o Adanya pesan dari orang tua yang telah meninggal dunia
o Terjadi sengketa antar kerabat dan untuk memelihara kerukunan dan kedamaian antar
kerabat bersangkutan.
o Mencegah terjadinya perkawinan dengan orang lain yang tidak dapat disetujui orang
tua / kerabat yang bersangkutan.
 Dengan telah berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1974
o masyarakat adat hendaknya menyesuaikan diri dengan UUP ini. Orang tua dapat saja
membuat persetujuan pertunangan tidak usah sampai mengikat tali perkawinan.

e. Perkawinan Bermadu
Hampir di semua lingkungan masyarakat adat terdapat perkawinan bermadu, di mana
seorang suami didalam satu masa yang sama mempunyai beberapa isteri. Di kalangan
masyarakat yang beragama Islam perkawinan dengan beberapa isteri dapat dilakukan
dengan syah berdasarkan Al-Qur’an Surat An-Nusa ayat 3 yang menyatakan:
“Kamu boleh kawin dengan wanita yang kamu pandang baik, dua atau tiga atau
empat, tetapi jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, kawinilah
seorang saja.”

f. Perkawinan Campuran
Perkawinan yang terjadi antara pria dan wanita yang berbeda keanggotaan masyarakat
hukum adatnya. Perkawinan campuran menurut Hukum Adat berbeda dari pengertian
perkawinan campuran menurut Pasal 57 UU Perkawinan yang menyatakan:
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang- undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan
karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia.”
Menurut Pasal 58 UU Perkawinan tersebut, perkawinan campuran dapat berakibat
memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan. Dalam hal ini hampir sama dengan
kaidah hukum adat. Dimana warga adat dapat dan bukan warga adat dapat berakibat
memperoleh atau kehilangan kewarganegaraan adat yang bersangkutan

3. Ahli Waris Menurut Hukum Adat


Dalam hukum adat, ahli waris ditentukan berdasarkan dua garis pokok, yaitu garis
pokok keutamaan dan garis pokok penggantian. Garis pokok keutamaan berasal dari
keluarga pewaris di antaranya:
Kelompok keutamaan I: Keturunan pewaris.
Kelompok keutamaan II: Orang tua pewaris.
Kelompok keutamaan III: Saudara-saudara pewaris dan keturunannya.
Kelompok keutamaan IV: Kakek dan nenek pewaris dan seterusnya.
Garis pokok penggantian adalah garis hukum yang bertujuan menentukan siapa di
antara orang-orang di dalam kelompok keutamaan tertentu. Mereka yang dipilih harus
memiliki kriteria:
Orang yang tidak punya penghubung dengan pewaris.
Orang yang tidak ada lagi penghubungannya dengan pewaris.
Jika disederhanakan, garis pokok penggantian ini merupakan sosok yang mendapatkan
wasiat tertentu atau penunjukan langsung dari pewaris sebelum meninggal dunia.
Dalam hal ini bisa saja pewaris yang dimaksud berstatus anak angkat, anak tiri,
anak akuan (anak pungut), dan anak piara. Kelompok ini tidak memiliki garis keutamaan
(bukan kandung), tetapi termasuk dalam garis pokok penggantian.
Itulah beberapa ketentuan tentang penyebutan ahli waris berdasarkan hukum yang
berlaku di Indonesia mulai dari hukum Islam, hukum perdata dan hukum adat. Seorang
pewaris berhak menentukan untuk mengikuti aturan yang mana dalam menentukan
pembagian dan pengelompokan ahli warisnya.

4. Jumlah Harta Waris Yang Boleh Diwasiatkan Menurut Hukum Adat


Jadi pada dasar nya pembagian waris dalam hukum waris yang sudah di tetapkan
kalaupun itu ada wasiat dari pewaris maka hanya boleh paling banyak 1/3 dari harta
warisan kecuali apabilaa semua ahli waris menyetujuinya.
Pembagian ahli warisan menurut hubungan drarah golongan laki” terdiri dari ayah,
anak laki”, saudara laki”, paman, dan kakek dan golongan perempuan terdiri dari ibu,anak
perempuan, saudara perempuan dan nenek dan pembagian harta warisan menurut
perkawinan istri/janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan
anak. Dan apabila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian
dan pembagian suami/duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan
anak dan apabila pewaris meninggalkann anak maka duda mendapat seperempat bagian.
Jadi apabila semua ahli waris ada makan yang berhak mendapat warisan hanya anak,
ayah, ibu, janda, atau duda.

5. Cara Penyelesaian Sengketa Kewarisan Dalam Hukum Adat


Penyelesaian sengketa hukum waris adat pada sistem kekerabatan parental atau
bilateral, juga sama dengan penyelesaian sengketa yang ada dalam masyarakat patrilineal
dan matrilineal, dimana penyelesaian sengketa tersebut dirampungkan dengan cara
musyawarah dahulu dengan ahli warisnya.
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui beberapa cara yang pada dasarnya
keberadaan cara penyelesaian sengketa suatu keberadaan manusia itu sendiri.
Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua proses. Proses penyelesaian sengketa
tertua melalui proses litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses
penyelesaian sengketa melalui kerjasama (kooperatif) diluar pengadilan.
Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum
mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru, lambat
dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsip dan
menimbulkan permusuhan diantara pihak yang bersengketa.
Sedangkan melalui proses diluar pengadilan menghasilkan kesepakatan
kesepakatan yang bersifat win-win solution, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak,
dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, serta
menyelesaikan masalah secara komperhensip dalam kebersamaan dan tetap
menjaga hubungan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, La. (2019) Sistem Hukum Adat Terhadap Upaya Penyelesaian Perkara Pidana.
Samarinda: Jurnal Risalah Hukum.
Maulana, Syarif. (2020) 3 Hukum YangMengatur Ahli Waris. Jakarta: abisgajian
Hasbiyallah, Haji. (2007) Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai