Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terbentuknya suatu keluarga itu karena adanya perkawinan.
Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk sebuah
keluarga yang bahagia. Sehingga keluarga dalam arti sempit artinya yaitu
sepasang suami istri dan anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan itu,
tetapi tidak mempunyai anak juga bisa dikatakan bahwa suamii istri
merupakan suatu keluarga.
Selain itu definisi hukum keluarga secara garis besar adalah hukum
yang bersumber pada pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini
dapat terjadi karena pertalian darah, ataupun terjadi karena adanya sebuah
perkawinan. Hukum keluarga merupakan aturan-aturan atau peraturan
hukum yang timbul dan mengatur pergaulan hidup orang atau perorangan
dalam keluarga.
Di dalam hukum keluarga mencakup hubungan hukum antar orang
(perorang) dalam keluarga. Dalam hukum keluarga antara orang
(perorang) mengatur hak dan kewajibannya di dalam hukum keluarga
mulai dari orang itu dilahirkan sampai meninggal dunia.  Di dalam hukum
keluarga pun mengatur hubungan antara orang tua dan anak-anaknya,
hubungan mencakup harta kekayaan dan lainnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hukum keluarga?
2. .
3. ,

C. Tujuan

1|HUKUM PERDATA I
BAB II

PEMBAHASAN

HUKUM KELUARGA

A. Kekuasaan Orang Tua


Sebagai suatu hubungan hukum, perkawinan menimbulkan hak dan
kewajiban suami istri (keluarga). Yang dimaksud “hak” ialah sesuatu
yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau istri yang
timbul karena perkawinannya. Sedangkan “kewajiban” ialah sesuatu yang
harus dilakukan atau diadakan oleh suami atau istri untuk memenuhi hak
dan dari pihak yang lain.1
Hak dan kewajiban dalam hukum keluarga dapat dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu:
a. Hak dan kewajiban antara suami istri.
b. Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anaknya.
c. Hak dan kewajiban antara anak dengan orang tuanya manakala orang
tuanya telah mengalami proses penuaan.
Hak dan kewajiban antara suami istri adalah hak dan kewajiban yang
timbul karena adanya perkawinan antara mereka. Hak dan kewajiban
suami istri diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan
kewajiban antara suami istri adalah sebagai berikut:
a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
b. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam
masyarakat.
c. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(Pasal 31 ayat 2).

1
Munir Fruady, Konsep Hukum Perdata, cit ke 3, Jakarta: PT Radjaragfindo Persada, 2016, hlm.
23.

2|HUKUM PERDATA I
d. Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. (Pasal 31
ayat 3).
e. Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap,yang
ditentukan bersama. (Pasal 31 ayat 4 dan Pasal 32 ayat 1).
f. Suami istri wajib saling mencintai , hormat-menghormati, setia dan
member bantuan lahir batin yang satu dengan yang lain. (Pasal 33).
g. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(Pasal 34 ayat 1).
h. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. (Pasal 31
ayat 2).
i. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan kepada Pengadilan. ( Pasal 31 ayat 3).
Adapun Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak diatur dalam
Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 UU No. 1 Tahun 1974.
Hak dan kewajiban orang tua dan anak, sebagai berikut:
1. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai anak
sudah menikah atau dapat berdiri sendiri.
2. Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak
mereka yang baik.
3. Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala
sudah tua.
4. Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan
perkawinan, ada di bawah kekuasaan orang tua. (Pasal 47 ayat 1
UU No. 1 Tahun 1974). Orang tua mewakili anak dibawah umur
dan belum dan belum pernah kawin mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar pengadilan.
5. Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang

3|HUKUM PERDATA I
belum 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan,
kecuali kepentingan si anak menghendakinya.
Hak dan kewajiban yang ke tiga dalam keluarga yakni Alimentasi.
Antara orang tua dengan anak terdapat kewajiban alimentasi yaitu
kewajiban timbal balik antara orang tua dengan anak seperti yang
ditentukan dalam pasal 45 dan 46 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal KUH
Perdata. Orang tua dibebani kewajiban untuk memelihara dan mendidik
anak-anaknya yang belum dewasa sesuai dengan kemampuan masing-
masing, demikian sebaliknya anak yang telah dewasa wajib memelihara
menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas
bila mereka memerlukan bantuannya.

B. Perwalian
Perwalian adalah keadaan dimana karena orang tuanya berhalangan,
maka seseorang ditunjuk untuk mengurus anak di bawah umur untuk
menggantikan pengurusan yang dilakukan oleh orang tuanya tersebut baik
terhadap pribadi maupun terhadap harta benda dari anak tersebut.2
Menurut Undang-undang perkawinan, maka yang dimaksud dengan anak
di bawah umur dalam hal ini adalah anak yang belum berumur 18 tahun
dan belum pernah melangsungkan perkawinan.
Adalah lebih baik jika sedapat-dapatnya wali ditunjuk dari keluarga
dekatdari si anak, tetapi jika sesuai dengan kepantasan, dapat juga ditunjuk
wali dari luar keluarga si anak asal saja memenuhi syarat-syarat antaralain
sebagai berikut :
a. Dewasa.
b. Sehat.
c. Adil.
d. Jujur.
e. Berkelakuan baik.

2
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata,cet ke-3, Jakarta: PT RajagrafindoPersada, 2016, hlm. 19-
20

4|HUKUM PERDATA I
Namun demikian, karena kedudukan wali sangat penting bagi si anak,
maka hukum membebankan tanggung jawab hukum kepada wali jika ia
salah dalam menjalankan kekuasaan perwaliannya. Karena itu, jika
misalnya walitersebut bersalah sehingga merugikan harta benda si anak
yang di bawah perwaliannya, maka kepada wali tersebut dapat dikenakan
hukuman ganti rugi atas permintaan dari anak atau keluarga anak tersebut.

C. Pengampuan
Pengampuan dalam bahasa Indonesia merupakan kata yang berbentuk
dari kata dasar ampu yang mendapat tambahan (pe) dan akhiran (an). Kata
ampu berarti orang yang menjaga keselamatan orang lain, wali, orang tua,
pembimbing.3 Sedangkan pengampuan adalah perwalian terhadap
seseorang yang telah dewasa yang disebabkan karena gila, terlalu boros,
lemah akal budinya. Jadi Pengampuan adalah keadaan dimana seseorang
karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam
segala hal cakap untuk bertindak didalam lalu lintas hukum, karena
dianggap tidak cakap maka guna menjamin dan melindungi hak-hak nya,
hukum memperkenalkan seseorang untuk dapat bertindak sebagai wakil
dari orang yang berada di bawah pengampuan.
Anak-anak yang belum dewasa tidak boleh dimintakan pengampuan
karena ia tetap dalam kekuasaan atau tanggung jawab walinya yang masih
hidup. Orang yang ditaruh didalam pengampuan karena boros ia tetap
berhak untuk melakukan perbuatan hukum seperti : membuat surat wasiat
dan mengadakan perkawinan. Dalam hal kedudukan dan peranan Balai
Harta Peninggalan sebagai pengampu pengawas adalah sama dengan
perwalian pengawas.
Siapa saja yang berhak meminta dan dapat di tetapkan sebagai
pemegang hak pengampuan, Pasal 434 KUHPerdata menjelaskan secara
tegas bahwa :

3
Tim Redaksi Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke 3, Jakarta: Balai
Pustaka, ed.ke-3, 2005, hlm. 40.

5|HUKUM PERDATA I
434.” Setiap keluarga sedarah berhak meminta pengampuan seorang
keluarga sedarahnya, berdasar atas keadaannya dungu, sakit otak, atau
mata gelap. Berdasar atas keborosannya, pengampuan hanya boleh diminta
oleh para keluarga sedarahnya dalam garis lurus dan oleh para keluarga
semendanya dalam garis menyimpang sampai dengan derajat ke empat.
Dalam hal yang satu dan hal yang lain, seorang suami atau istri boleh
meminta pengampuan akan istri atau suami. Barang siapa karena
kelemahan kekuatan akalnya, merasa tak cakap mengurus kepentingan-
kepentingan diri sendiri sebaik-baiknya, diperbolehkan meminta
pengampuan bagi diri sendiri.”4
Jadi tidak semua orang dapat ditunjuk sebagai pemegang hak
pengampuan. Hukum mensyaratkan hanya orang yang memiliki hubungan
darah saja yang dapat mengajukan dan ditetapkan sebagai pemegang hak
pengampuan. Bahkan terhadap saudara semenda pun hukum tetap
mengutamakan orang yang memiliki hubungan darah sebagai pemegang
hak pengampuan.
Apabila tidak ada keluarga sedarah maupun yang lainnya, maka
pengampuan dimintakan oleh aparat pemerintahan, yaitu jawatan
kejaksaan, sebagaimana dalam pasal berikut :
435” apabila seseorang dalam keadaan mata gelap tidak di mintakan
pengampuan oleh oleh orang-orang tersebut dalam pasal yang lalu, maka
jawatan kejaksaan wajib memintanya. Dalam hal dungu atau gila,
pengampuan dapat diminta oleh jawatan Kejaksaan bagi seseorang tidak
mempunyai suami atau istri. Juga tidak mempunyai keluarga sedarah yang
di kenal di Indonesia.”

4
R. Subekti dan R. Tjitrosudibiyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Pramita,
cet ke-29, 1999, hlm. 136-137.

6|HUKUM PERDATA I

Anda mungkin juga menyukai