Anda di halaman 1dari 10

STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK DARI PERKAWINAN

CAMPURAN DI INDONESIA

A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu sarana untuk memenuhi
kebutuhan manusia untuk memperoleh keturunan. Keturunan merupakan
penerus bagi setiap keluarga. Dengan adanya perkawinan ini maka akan
mengikat hubungan antara pribadi suami istri untuk membentuk suatu
keluarga yang kekal dan bahagia. Dalam Undang-Undang pasal 1
menyebutkan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.1
Seiring perkembangan peradaban manusia di era globalisasi seperti
sekarang ini, Pergaulan Global telah memberikan dampak yang sangat
signifikan terhadap masyarakat Indonesia. Dengan adanya pergaulan
global maka masyarakat Indonesia menemukan suatu peradaban luar yang
mungkin sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Peradapan tersebut
kemungkinan besar dapat mengakibatkan asimilasi kebudayaan dalam
bentuk Perkawinan campuran. Menurut survey yang dilakukan oleh
Mixed Couple Club, jalur perkenalan yang membawa pasangan berbeda
kewarganegaraan menikah antara lain adalah perkenalan melalui internet,
kemudian bekas teman kerja/bisnis, berkenalan saat berlibur, bekas teman
sekolah/kuliah, dan sahabat pena. Perkawinan campur juga terjadi pada
tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja dari negara lain.2
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran
didefinisikan dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :

1
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2
Ayip Iqbal, 18 Juli 2010, Makalah KWN – Status Anak Hasil Kawin Campur, tersedia di website
http://makuliye.wordpress.com/2010/07/18/makalah-kwn-status-anak-hasil-kawin-campur,
diakses pada tanggal 22 September 2019

1
“Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini
ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.”
Perkawinan campuran biasanya akan timbul masalah baik sebelum
menikah maupun setelah menikah, apalagi setelah nantinya mempunyai
anak. Permasalahan anak biasanya terkait masalah status kewarganegaraan
Si anak. Di Indonesia, Status kewarganegaraan anak diatur dalam Undang-
Undang Nomor 62 tahun 1958. Dengan berjalannya waktu, Undang-
Undang Nomor 62 Tahun 1958 sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari
masyarakat Internasional dalam pergaulan global, karena UU Nomor 62
Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan telah menempatkan perempuan
sebagai pihak yang harus kehilangan kewarganegaraan akibat kawin
campuran (Pasal 8 Ayat 1) dan kehilangan hak atas pemberian
kewarganegaraan pada keturunannya.
Dengan banyaknya perkawinan campuran di Indonesia sudah
seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini
diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan Indonesia. Maka
seiring dengan perkembangannya, barulah pada 11 Juli 2006, DPR
mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru. Lahirnya
undang-undang ini disambut gembira oleh sekelompok kaum ibu yang
menikah dengan warga negara asing, walaupun pro dan kontra masih saja
timbul, namun secara garis besar Undang-undang baru yang
memperbolehkan dwi kewarganegaraan terbatas ini sudah memberikan
pencerahan baru dalam mengatasi persoalan-persoalan yang lahir dari
perkawinan campuran.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana status anak dan hubungan antara anak dan orang tua dalam
perkawinan campuran?

2
2. Bagaimana status hukum kewarganegaraan anak yang lahir dari
perkawinan campuran?
B. Pengaturan Status Hukum kewarganegaraan Anak Dalam
Perkawinan Campuran
Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak adalah :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status
sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi
pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi
subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan
dalam keadaan hidup.3 Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia
memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti
semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang
yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan pasal 1330 KUHP,
mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa,
wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan
demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak
cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena
belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan
perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki
kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang
berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda.
Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti
kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan
yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan.

3
Sri Susilowati Mahdi, dkk., Hukum Perdata: Suatu Pengantar, (Jakarta: Gitama Jaya Jakarta,
2005), h.21

3
Di Indonesia ada suatu peraturan yang mengatur pasangan
perkawinan campuran jika melahirkan seorang anak, maka
kewarganegaraan anak tersebut diatur oleh Undang-Undang yang berlaku.

Menurut teori hukum perdata internasional, untuk menentukan


status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu
perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan,4 apakah
perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum
dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak
dianggap sebagai anak diluar pernikahan yang hanya memiliki hubungan
hukum dengan ibunya. Masalah anak sah ini diatur di dalam Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 pada pasal 42 dan 43 :
“Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah.”
“(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. (2) Kedudukan
anak tersebut ayat 1 di atas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.”
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status
personal.5 Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili
(ius soli) sedangkan negera-negara civil law berpegang pada prinsip
nasionalitas (ius sanguinis).6 Umumnya yang dipakai ialah hukum
personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (Pater familias) pada
masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan
hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi
stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya.7
Sisem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan
dinegara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan

4
Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III, (Bandung: Alumni, 1995), h.
86.
5
Sudargo, op.cit., h. 3
6
Ibid., h. 80
7
Ibid.,

4
kelompok negara-negara sosialis.8 Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.
Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari
ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak-anak
dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua
terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama.
Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam Undang-Undang
Kewarganegaraan No. 62 Tahun 1958.9 Kecendrungan pada sistem hukum
ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan
dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah,
lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi
ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda
kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
Selanjutnya, terbentuklah Undang-Undang No.62 Tahun 1958
dikatakan bahwa anak yang lahir dari perkawinan campur hanya bisa
memiliki satu kewarganegaraan dan ditentukan hanya mengikuti
kewarganegaraan ayahnya. Undang-Undang No.62 Tahun 1958 menganut
asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak mengikuti
ayah, sesuai pasal 13 ayat (1).10 Pasal III Peraturan Penutup Undang-
Undang No.62 Tahun 1958 menentukan bahwa anak yang belum berusia
18 (delapan belas) tahun atau belum kawin dianggap bertempat tinggal
sama dengan ayah dan ibunya.11 Ketentuan dalam Undang-Undang No.62
Tahun 1958 dianggap tidak memberikan perlindungan hukum yang cukup
bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran dan diskriminasi terhadap
Warga Negara Indonesia baik perempuan maupun laki-laki. Dalam
ketentuan Undang-undang kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari
perkawinan campuran bisa menjadi Warga Negara Indonesia dan bisa
menjadi Warga Negara Asing karena:

8
Ibid., h. 81
9
Ibid., h. 91
10
Undang-Undang No.62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan.
11
Koerniatmanto Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 41.

5
1. Anak yang lahir dari perkawinan campuran antara seorang pria
Warga Negara Indonesia dengan perempuan Warga Negara
Asing, maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya (WNI).
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang
wanita WNA dengan pria WNI (pasal 1 huruf b UU No.62
Tahun 1958), maka kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya.
Kalaupun ibu dapat memberikan kewarganegaraannya, si anak
terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya.12
Bila suami meninggal dunia dan anak-anak maish dibawah
umur tidak jelas apakah istri dapat menjadi wali bagi anak-
anaknya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang
bersatus pegawai negeri) meninggal tidak jelas apakah istri
(WNA) dapat memperoleh pensiun suami.13
2. Anak yang lahir dari perkawinan campuran antara seorang
perempuan WNI dengan pria WNA,14 maka anak tersebut
dianggap sebagai Warga Negara Asing. Apabila anak tersebut
lahir dari perkawinan antara seorang wanita WNI dengan
seorang pria WNA. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap
sebagai warga negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di
kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan kartu Izin Tinggal
Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya
pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian,
akan sulit bagi ibu untuk mengasuh ankanya, walaupun pada
pasal 3 UU No.62 Tahun 1958 dimugkinkan bagi seorang ibu
WNI yang bercerai untuk memohon Kewarganegaraan
Indonesia bagi ankanya yang masih dibawah umur dan berada

12
Lihat Pasal 15 ayat (2) dan 16 ayat (1) Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 Tentang
Kewarganegaraan.
13
Mixed Couple Indonesia, Masalah yang saat ini dihadapi keluarga perkawinan campuran,
http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=%20publisher&op=view%20article&artid=
46, diakses pada tanggal 20 September 2019
14
Pasal 1 UU No.62 Tahun 1958

6
dibawah pengasuhannya, namun dalam praktik hal ini sulit
dilakukan.

Kemudian Undang-Undang No.62 Tahun 1958 direvisi menjadi


Undang-Undang No.12 Tahun 2006. Pengesahan Undang-Undang
Kewarganegaraan No.12 Tahun 2006 merupakan momentum bersejarah
bagi seluruh masyarakat Indonesia. Kelahiran undang-undang ini memiliki
nilai historis karena produk hukum yang digantikan, yakni Undang-
Undang No. 62 Tahun 1958 merupakan peninggalan rezim orde lama yang
dilestarikan orde baru. Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan No. 12
Tahun 2006 dalam Pasal 2 disebutkan bahwa yang menjadi Warga Negara
Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang disahkan dengan Undang-Undang sebagai Warga
Negara.15 Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas
kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut
dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:16

1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang


menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan
keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang
menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara
tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan
satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang
menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

15
Undang-Undang No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
16
Undang-Undang No.12 Tahun 2006

7
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal
kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan
(apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam
Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.17

Dalam Undang-Undang yang baru ini juga disebutkan, WNI yang


menikah dengan pria WNA tidak lagi dianggap otomatis mengikuti
kewarganegaraan suaminya, melainkan diberi tenggang waktu tiga tahun
untuk menentukan pilihan, apakah akan tetap menjadi WNI atau
melepaskannya. Selain itu, apabila istri memutuskan tetap menjadi WNI
atau selama masa tenggang waktu tiga tahun itu, ia bisa menjadi sponsor
izin tinggal suaminya di Indonesia.18 Sejak UU No.12 Tahun 2006
dikeluarkan maka secara otomatis Indonesia menganut kewarganegaraan
ganda. Berkewarganegaraan ganda berarti seorang anak yang lahir dari
perkawinan campuran dapat memiliki kewarganegaraan ayah dan ibunya
atau sering dikatakan dengan Dwi Kewarganegaraan sampai batas umur
18 tahun atau kawin. Dan paling lambat 3 tahun setelah berusia 18 tahun
atau telah kawin harus menyatakan memilih satu kewarganegaraannya.19
Berdasarkan Undnag-Undang kewarganegaraan No.12 Rahub 2006 ini
anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA,
maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan
pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia.20 Pemberian
kewarganegaraan ganda merupakan hal yang postif bagi anak-anak yang
terlahir dari perkawinan campuran, memang sasaran undang-undang ini
adalah untuk melindungi anak-anak hasil perkawinan wanita WNI dengan
pria WNA, juga bagi anak-anak yang lahir dan tinggal diluar negeri.
Namun disisi lain kebijakan ini akan menimbulkan masalah bagi anak

17
Ibid.,
18
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h. 125
19
Undang-Undang No.12 Tahun 2006 , Pasal 60 ayat (1)
20
Lihat Pasal 4 huruf c dan d Undang-Undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

8
dikemudian hari, karena memiliki dwi kewarganegaraan berarti tunduk
pada dua yuridiksi hukum yang berbeda.

C. Penutup
Anak adalah subjek hukum yang belum cakap melakukan
perbuatan hukum sendiri sehingga harus dibantu oleh orang tua atau
walinya yang memiliki kecakapan. Sebelum diterbitkannya Undang-
Undang No.12 Tahun 2006, Indonesia masih merujuk pada Hukum
Perdata International dan memakai Undang-undang No. 62 Tahun 1958
yang menagnut asas Kewarganegaraan Tunggal. Dimana kewarganegaraan
anak mengikuti ayahnya. Sedangkan setelah Undang-Undang No.12
Tahun 2006 di undangkan, maka Indonesia menganut sistem
Kewarganegaraan Ganda . Dimana anak-anak yang lahir dari perkawinan
campuran diberi dwi-kewarganegaraan oleh negara sampai anak tersebut
berumur 18 tahun atau sudah kawin, setelah itu anak diberi kebebasan
untuk memilih sendiri kewarganegaraan mana yang akan dia pilih.
Pemberian kewarganegaraan ganda pada anak oleh Undang-Undang
Kewarganegaran No.12 Tahun 2006 merupakan hal yang positif terutama
dalam hubungan anak dengan ibu. Dimana anak bisa memilih sendiri
kewarganegaraan pada saat dia dewasa nanti dan juga anak tidak serta
merta mengikuti kewarganegaraan ayah. Jadi jika pada suatu saat terjadi
perceraian diantara kedua orang tuanya, ibu tidak akan mendapatkan
kesulitan untuk menemui anaknya seperti yang seringkali terjadi pada saat
Undang-Undang No.12 Tahun 2006 ini belum diundangkan.

D. Daftar Pustaka
1. Buku
Gautama, Sudargo, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III,
Bandung: Alumni, 1995
Soetoprawiro, Koerniatmanto, Hukum Kewarganegaraan dan
Keimigrasian, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996

9
Starke, J.G, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Sinar Grafika,
1992
Susilowati, Sri Mahdi, dkk., Hukum Perdata: Suatu Pengantar,
Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005
2. Peraturan Perundang-Undangan
a. UU No.1 tahun 1974 Tentang Perkawian
b. UU No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
c. UU No.62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan
d. UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
3. Website
Mixed Couple Indonesia, Masalah yang saat ini dihadapi keluarga perkawinan
campuran,http://www.mixedcouple.com/articles/mod.php?mod=%20publisher&op
=view%20article&artid=46, diakses pada tanggal 20 September 2019

Ayip Iqbal, 18 Juli 2010, Makalah KWN – Status Anak Hasil Kawin Campur,
http://makuliye.wordpress.com/2010/07/18/makalah-kwn-status-anak-
hasil-kawin-campur, diakses pada tanggal 22 September 2019

10

Anda mungkin juga menyukai