Dewasa ini, dalam penegakan hukum oleh KPK muncul banyak persoalan
yang memicu terjadinya kesenjangan hukum (legal gaps). Persoalan pertama
disampaikan oleh Mudzakkir di mana sebagian aktivis dan masyarakat akademis di
beberapa perguruan tinggi merasa gerah dengan berbagai kecenderungan KPK yang
kurang menjunjung tinggi hak dasar kemanusiaan. Beberapa tersangka telah jatuh
harkat dan martabatnya karena praktik penyadapan hingga operasi tangkap tangan
(OTT) yang kewenangannya diberikan oleh KPK tanpa adanya pengawasan yang
menimbulkan indikasi terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).7
Persoalan kedua disampaikan oleh Andi Hamzah di mana KPK tidak lagi bekerja
dengan paradigma preventif untuk mencegah sebuah tindakan koruptif terjadi. Cara
kerja KPK saat ini tampak lebih pada upaya menangkap basah pelaku di saat KPK
sendiri sudah melihat adanya indikasi tindak pidana sejak awal, yang tentunya
bukanlah hal yang dapat dibenarkan secara moral dan etika.8 Persoalan-persoalan di
atas sebenarnya bermuara pada kelebihan kewenangan yang diberikan oleh Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kelebihan
kewenangan tersebut berindikasi pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)
sehingga berimbas pada tidak tercapainya due process of law yang baik dan benar,
seperti pendapat yang dikemukakan oleh John Emerich Edward Acton yang
menyatakan “Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely.
Oleh karena itu, penting halnya mengkaji bagaimana metode dan konsep
sosiologi hukum dapat mengevalusi guna meningkatkan usaha KPK dalam penegakan
hukum tindak pidana korupsi di Indonesia yang berkeadilan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka permasalahan yang menjadi fokus
kajian dalam tulisan ini adalah bagaimana metode dan konsep sosiologi hukum yang
perlu diterapkan untuk mengevaluasi penegakan hukum tindak pidana korupsi oleh
komisi pemberantasan korupsi (KPK).
Pembahasan
Menurut Satjipto Raharjo, hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya, artinya
tidak mampu untuk mewujudkan sendiri nilai-nilai serta kehendaknya yang diatur
oleh hukum. Hukum akan kehilangan maknanya apabila tidak ditegakkan. Dengan
kata lain hukum tidak mampu untuk menjalankan fungsi utamanya bila tidak
ditegakkan.
Hal-hal tersebut tentunya menjadi tidak ada artinya apabila cara kerja KPK
masih berkutat pada hukum normative positivis saja. Menurut pasal 5 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengenai KPK, dalam melaksanakan tugasnya, KPK
harus memerhatikan beberapa asas yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas,
kepentingan umum; dan proporsionalitas. Di sinilah pandangan sosiologi hukum
dapat diimplementasikan karena keadilan yang lebih objektif dapat diperoleh apabila
nilai-nilai dalam sosial yang ada di masyarakat dapat diperhatikan dalam setiap
tahapan penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK.
Kesimpulan
Pendekatan sosiologi hukum dirasa mampu memberikan pandangan yang lebih luas
dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi oleh KPK serta memberikan rambu-
rambu sebagai penegak hukum untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum
yang merendahkan harkat martabat manusia oleh karena sosiologi hukum
memberikan perhatian lebih terhadap variabel-variabel yang tidak terperhatikan oleh
hukum normatif yaitu variabel sosial, ekonomi, ras, etnis serta budaya hukum yang
berkembang di masyarakat. Dengan pendekatan sosiologi hukum KPK selaku
penegak hukum yang berstatus state auxiliary bodies dapat meningkatkan daya
fungsinya dalam melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia.