Anda di halaman 1dari 66

Perang Salib[2][3][4] adalah gerakan umat Kristen di Eropa yang memerangi umat Muslim[5][6] di

Palestina secara berulang-ulang mulai abad ke-11 sampai abad ke-13, dengan tujuan untuk
merebut Tanah Suci dari kekuasaan kaum Muslim dan mendirikan gereja dan kerajaan Latin di
Timur.[7] Dinamakan Perang Salib, karena setiap orang Eropa yang ikut bertempur dalam
peperangan memakai tanda salib pada bahu, lencana dan panji-panji mereka.[8]

Istilah ini juga digunakan untuk ekspedisi-ekspedisi kecil yang terjadi selama abad ke-16 di
wilayah di luar Benua Eropa, biasanya terhadap kaum pagan dan kaum non-Kristiani untuk
alasan campuran; antara agama, ekonomi, dan politik. Skema penomoran tradisional atas Perang
Salib memasukkan 9 ekspedisi besar ke Tanah Suci selama Abad ke-11 sampai dengan Abad ke-
13. “Perang Salib” lainnya yang tidak bernomor berlanjut hingga Abad ke-16 dan berakhir ketika
iklim politik dan agama di Eropa berubah secara signifikan selama masa Renaissance.

Perang Salib pada hakikatnya bukan perang agama, melainkan perang merebut kekuasaan
daerah. Hal ini dibuktikan bahwa tentara Salib dan tentara Muslim saling bertukar ilmu
pengetahuan.

Perang Salib berpengaruh sangat luas terhadap aspek-aspek politik, ekonomi dan sosial, yang
mana beberapa bahkan masih berpengaruh sampai masa kini. Karena konfilk internal antara
kerajaan-kerajaan Kristen dan kekuatan-kekuatan politik, beberapa ekspedisi Perang Salib
(seperti Perang Salib Keempat) bergeser dari tujuan semulanya dan berakhir dengan dijarahnya
kota-kota Kristen, termasuk ibukota Byzantium, Konstantinopel-kota yang paling maju dan kaya
di benua Eropa saat itu. Perang Salib Keenam adalah perang salib pertama yang bertolak tanpa
restu resmi dari gereja Katolik, dan menjadi contoh preseden yang memperbolehkan penguasa
lain untuk secara individu menyerukan perang salib dalam ekspedisi berikutnya ke Tanah Suci.
Konflik internal antara kerajaan-kerajaan Muslim dan kekuatan-kekuatan politik pun
mengakibatkan persekutuan antara satu faksi melawan faksi lainnya seperti persekutuan antara
kekuatan Tentara Salib dengan Kesultanan Rum yang Muslim dalam Perang Salib Kelima.

Situasi dan latar belakang


Situasi di Eropa

Asal mula ide perang salib adalah perkembangan yang terjadi di Eropa Barat sebelumnya pada
Abad Pertengahan, selain itu juga menurunnya pengaruh Kekaisaran Byzantium di timur yang
disebabkan oleh gelombang baru serangan Muslim Turki. Pecahnya Kekaisaran Carolingian
pada akhir Abad Ke-9, dikombinasikan dengan stabilnya perbatasan Eropa sesudah peng-
Kristen-an bangsa-bangsa Viking, Slavia, dan Magyar, telah membuat kelas petarung bersenjata
yang energinya digunakan secara salah untuk bertengkar satu sama lain dan meneror penduduk
setempat. Gereja berusaha untuk menekan kekerasan yang terjadi melalui gerakan-gerakan Pax
Dei dan Treuga Dei. Usaha ini dinilai berhasil, akan tetapi para ksatria yang berpengalaman
selalu mencari tempat untuk menyalurkan kekuatan mereka dan kesempatan untuk memperluas
daerah kekuasaan pun menjadi semakin tidak menarik. Pengecualiannya adalah saat terjadi
Reconquista di Spanyol dan Portugal, dimana pada saat itu ksatria-ksatria dari Iberia dan
pasukan lain dari beberapa tempat di Eropa bertempur melawan pasukan Moor Islam, yang
sebelumnya berhasil menyerang dan menaklukan sebagian besar Semenanjung Iberia dalam
kurun waktu 2 abad dan menguasainya selama kurang lebih 7 abad.

Pada tahun 1063, Paus Alexander II memberikan restu kepausan bagi kaum Kristen Iberia untuk
memerangi kaum Muslim. Paus memberikan baik restu kepausan standar maupun pengampunan
bagi siapa saja yang terbunuh dalam pertempuran tersebut. Maka, permintaan yang datang dari
Kekaisaran Byzantium yang sedang terancam oleh ekspansi kaum Muslim Seljuk, menjadi
perhatian semua orang di Eropa. Hal ini terjadi pada tahun 1074, dari Kaisar Michael VII kepada
Paus Gregorius VII dan sekali lagi pada tahun 1095, dari Kaisar Alexius I Comnenus kepada
Paus Urbanus II.

Perang Salib adalah sebuah gambaran dari dorongan keagamaan yang intens yang merebak pada
akhir abad ke-11 di masyarakat. Seorang tentara Salib, sesudah memberikan sumpah sucinya,
akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu akan dianggap sebagai
“tentara gereja”. Hal ini sebagian adalah karena adanya Kontroversi Investiture, yang
berlangsung mulai tahun 1075 dan masih berlangsung selama Perang Salib Pertama. Karena
kedua belah pihak yang terlibat dalam Kontroversi Investiture berusaha untuk menarik pendapat
publik, maka masyarakat menjadi terlibat secara pribadi dalam pertentangan keagamaan yang
dramatis. Hasilnya adalah kebangkitan semangat Kristen dan ketertarikan publik pada masalah-
masalah keagamaan. Hal ini kemudian diperkuat oleh propaganda keagamaan tentang Perang
untuk Keadilan untuk mengambil kembali Tanah Suci – yang termasuk Yerusalem (dimana
kematian, kebangkitan dan pengangkatan Yesus ke Surga terjadi menurut ajaran Kristen) dan
Antiokhia (kota Kristen yang pertama) - dari orang Muslim. Selanjutnya, “Penebusan Dosa”
adalah faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang merasa pernah
berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di Neraka. Persoalan ini
diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan
dosa” itu. Kebanyakan mereka percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan
dijamin masuk surga pada saat mereka meninggal dunia. Akan tetapi, kontroversi yang terjadi
adalah apa sebenarnya yang dijanjikan oleh paus yang berkuasa pada saat itu. Suatu teori
menyatakan bahwa jika seseorang gugur ketika bertempur untuk Yerusalemlah “penebusan
dosa” itu berlaku. Teori ini mendekati kepada apa yang diucapkan oleh Paus Urbanus II dalam
pidato-pidatonya. Ini berarti bahwa jika para tentara salib berhasil merebut Yerusalem, maka
orang-orang yang selamat dalam pertempuran tidak akan diberikan “penebusan”. Teori yang lain
menyebutkan bahwa jika seseorang telah sampai ke Yerusalem, orang tersebut akan dibebaskan
dari dosa-dosanya sebelum Perang Salib. Oleh karena itu, orang tersebut akan tetap bisa masuk
Neraka jika melakukan dosa sesudah Perang Salib. Seluruh faktor inilah yang memberikan
dukungan masyarakat kepada Perang Salib Pertama dan kebangkitan keagamaan pada abad ke-
12.

Situasi Timur Tengah

Keberadaan Muslim di Tanah Suci harus dilihat sejak penaklukan bangsa Arab terhadap
Palestina dari tangan Kekaisaran Bizantium pada abad ke-7. Hal ini sebenarnya tidak terlalu
memengaruhi penziarahan ke tempat-tempat suci kaum Kristiani atau keamanan dari biara-biara
dan masyarakat Kristen di Tanah Suci Kristen ini. Sementara itu, bangsa-bangsa di Eropa Barat
tidak terlalu perduli atas dikuasainya Yerusalem–yang berada jauh di Timur–sampai ketika
mereka sendiri mulai menghadapi invasi dari orang-orang Islam dan bangsa-bangsa non-Kristen
lainnya seperti bangsa Viking dan Magyar. Akan tetapi, kekuatan bersenjata kaum Muslim Turki
Saljuk yang berhasil memberikan tekanan yang kuat kepada kekuasaan Kekaisaran Byzantium
yang beragama Kristen Ortodoks Timur.[9]

Titik balik lain yang berpengaruh terhadap pandangan Barat kepada Timur adalah ketika pada
tahun 1009, kalifah Bani Fatimiyah, Al-Hakim bi-Amr Allah memerintahkan penghancuran
Gereja Makam Kudus (Church of the Holy Sepulchre).[10] Penerusnya memperbolehkan
Kekaisaran Byzantium untuk membangun gereja itu kembali dan memperbolehkan para peziarah
untuk berziarah di tempat itu lagi. Akan tetapi, banyak laporan yang beredar di Barat tentang
kekejaman kaum Muslim terhadap para peziarah Kristen. Laporan yang didapat dari para
peziarah yang pulang ini kemudian memainkan peranan penting dalam perkembangan Perang
Salib pada akhir abad itu.

Penyebab langsung
Penyebab langsung dari Perang Salib Pertama adalah permohonan Kaisar Alexius I kepada Paus
Urbanus II untuk menolong Kekaisaran Byzantium dan menahan laju invasi tentara Muslim ke
dalam wilayah kekaisaran tersebut.[11][12] Hal ini dilakukan karena sebelumnya pada tahun 1071,
Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh pasukan Seljuk yang dipimpin oleh Sulthan Alp
Arselan di Pertempuran Manzikert, yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini
berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 40.000 orang, terdiri dari tentara Romawi,
Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Dan kekalahan ini berujung kepada dikuasainya
hampir seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern). Meskipun Pertentangan Timur-Barat sedang
berlangsung antara gereja Katolik Barat dengan gereja Ortodoks Timur, Alexius I mengharapkan
respon yang positif atas permohonannya. Bagaimanapun, respon yang didapat amat besar dan
hanya sedikit bermanfaat bagi Alexius I. Paus menyeru bagi kekuatan invasi yang besar bukan
saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium, akan tetapi untuk merebut kembali
Yerusalem, setelah Dinasti Seljuk dapat merebut Baitul Maqdis pada tahun 1078 dari kekuasaan
dinasti Fatimiyah yang berkedudukan di Mesir. Umat Kristen merasa tidak lagi bebas beribadah
sejak Dinasti Seljuk menguasai Baitul Maqdis.

Ketika Perang Salib Pertama didengungkan pada 27 November 1095[13], para pangeran Kristen
dari Iberia sedang bertempur untuk keluar dari pegunungan Galicia dan Asturia, wilayah Basque
dan Navarre, dengan tingkat keberhasilan yang tinggi, selama seratus tahun. Kejatuhan bangsa
Moor Toledo kepada Kerajaan León pada tahun 1085 adalah kemenangan yang besar.
Ketidakbersatuan penguasa-penguasa Muslim merupakan faktor yang penting dan kaum Kristen
yang meninggalkan para wanitanya di garis belakang amat sulit untuk dikalahkan. Mereka tidak
mengenal hal lain selain bertempur. Mereka tidak memiliki taman-taman atau perpustakaan
untuk dipertahankan. Para ksatria Kristen ini merasa bahwa mereka bertempur di lingkungan
asing yang dipenuhi oleh orang kafir sehingga mereka dapat berbuat dan merusak sekehendak
hatinya. Seluruh faktor ini kemudian akan dimainkan kembali di lapangan pertempuran di Timur.
Ahli sejarah Spanyol melihat bahwa Reconquista adalah kekuatan besar dari karakter Castilia,
dengan perasaan bahwa kebaikan yang tertinggi adalah mati dalam pertempuran
mempertahankan ke-Kristen-an suatu Negara.
Perang
Perang Salib I

Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan
Norman[14], berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang
dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada
tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha
(Edessa). Di sini mereka mendirikan County Edessa dengan Baldwin sebagai raja. Pada tahun
yang sama mereka dapat menguasai Antiokhia dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia di
Timur, Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Baitul Maqdis
(Yerusalem) pada 15 Juli 1099 M[15] dan mendirikan Kerajaan Yerusalem dengan rajanya,
Godfrey. Setelah penaklukan Baitul Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka
menguasai kota Akka (1104 M), Tripoli (1109 M) dan kota Tyre (1124 M). Di Tripoli mereka
mendirikan County Tripoli, rajanya adalah Raymond.

Selanjutnya, Syeikh Imaduddin Zengi pada tahun 1144 M, penguasa Mosul dan Irak, berhasil
menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa. Namun ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya
dilanjutkan oleh puteranya, Syeikh Nuruddin Zengi. Syeikh Nuruddin berhasil merebut kembali
Antiokhia pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M, seluruh Edessa dapat direbut kembali.

Perang Salib II

Kejatuhan County Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib
kedua.[16][17] Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja
Perancis Louis VII dan raja Jerman Conrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk
merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Syeikh
Nuruddin Zengi. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Conrad II sendiri
melarikan diri pulang ke negerinya. Syeikh Nuruddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang
kemudian dipegang oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti
Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M, setelah berhasil mencegah pasukan salib untuk menguasai
Mesir. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerusalem pada
tahun 1187 M, setelah beberapa bulan sebelumnya dalam Pertempuran Hittin, Shalahuddin
berhasil mengalahkan pasukan gabungan County Tripoli dan Kerajaan Yerusalaem melalui taktik
penguasaan daerah. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Latin di Yerussalem yang
berlangsung selama 88 tahun berakhir. Sehabis Yerusalem, tinggal Tirus merupakan kota besar
Kerajaan Yerusalem yang tersisa. Tirus yang saat itu dipimpin oleh Conrad dari Montferrat
berhasil sukses dari pengepungan yang dilakukan Shalahuddin sebanyak dua kali. Shalahuddin
kemudian mundur dan menaklukan kota lain, seperti Arsuf dan Jaffa.

Perang Salib III

Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum Muslim sangat memukul perasaan Tentara Salib. Mereka
pun menyusun rencana balasan. Selanjutnya, Tentara Salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa
raja Jerman, Richard si Hati Singa raja Inggris, dan Philip Augustus raja Perancis memunculkan
Perang Salib III.[18] Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M dengan dua jalur berbeda. Pasukan
Richard dan Philip melalui jalur laut dan pasukan Barbarossa - saat itu merupakan yang
terbanyak di Eropa - melalui jalur darat, melewati Konstantinopel. Namun, Barbarossa
meninggal di daerah Cilicia karena tenggelam di sungai, sehingga menyisakan Richard dan
Philip. Sebelum menuju Tanah Suci, Richard dan Philip sempat menguasai Siprus dan
mendirikan Kerajaan Siprus. Meskipun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, namun
mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota kerajaan Latin. Philip
kemudian balik ke Perancis untuk "menyelesaikan" masalah kekuasaan di Perancis dan hanya
tinggal Richard yang melanjutkan Perang Salib III. Richard tidak mampu memasuki Palestina
lebih jauh, meski bisa beberapa kali mengalahkan Shalahuddin. Pada tanggal 2 Nopember 1192
M, dibuat perjanjian antara Tentara Salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-
Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke
Baitul Maqdis tidak akan diganggu.[19]

Perang Salib IV

Pada tahun 1219 M, meletus kembali peperangan yang dikenal dengan Perang Salib periode
keenam, dimana tentara Kristen dipimpin oleh raja Jerman, Frederik II, mereka berusaha
merebut Mesir lebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-
orang Kristen Koptik. Dalam serangan tersebut, mereka berhasil menduduki Dimyath, raja Mesir
dari Dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick.
Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyath, sementara al-Malik al-Kamil
melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick
tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina
dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M, pada masa pemerintahan al-Malik al-
Shalih, penguasa Mesir selanjutnya.

Ketika Mesir dikuasai oleh Dinasti Mamalik yang menggantikan posisi Dinasti Ayyubiyyah,
pimpinan perang dipegang oleh Baibars, Qalawun, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Pada
masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum Muslim tahun 1291 M. Demikianlah
Perang Salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai
umat Islam terusir dari sana.

Kondisi sesudah Perang Salib


Perang Salib Pertama melepaskan gelombang semangat perasaan paling suci sendiri yang
diekspresikan dengan pembantaian terhadap orang-orang Yahudi yang menyertai pergerakan
tentara Salib melintasi Eropa dan juga perlakuan kasar terhadap pemeluk Kristen Ortodoks
Timur. Kekerasan terhadap Kristen Ortodoks ini berpuncak pada penjarahan kota Konstantinopel
pada tahun 1024, dimana seluruh kekuatan tentara Salib ikut serta. Selama terjadinya serangan-
serangan terhadap orang Yahudi, pendeta lokal dan orang Kristen berupaya melindungi orang
Yahudi dari pasukan Salib yang melintas. Orang Yahudi seringkali diberikan perlindungan di
dalam gereja atau bangunan Kristen lainnya, akan tetapi, massa yang beringas selalu menerobos
masuk dan membunuh mereka tanpa pandang bulu.
Pada abad ke-13, perang salib tidak pernah mencapai tingkat kepopuleran yang tinggi di
masyarakat. Sesudah kota Akka jatuh untuk terakhir kalinya pada tahun 1291 dan sesudah
penghancuran bangsa Ositania (Perancis Selatan) yang berpaham Katarisme pada Perang Salib
Albigensian, ide perang salib mengalami kemerosotan nilai yang diakibatkan oleh pembenaran
lembaga Kepausan terhadap agresi politik dan wilayah yang terjadi di Katolik Eropa.

Orde Ksatria Salib mempertahankan wilayah adalah orde Ksatria Hospitaller. Sesudah kejatuhan
Akka yang terakhir, orde ini menguasai Pulau Rhodes dan pada abad ke-16 dibuang ke Malta.
Tentara-tentara Salib yang terakhir ini akhirnya dibubarkan oleh Napoleon Bonaparte pada tahun
1798.

Sebelum terjadi Perang Salib, pertemuan pertama bangsa Eropa dengan Islam terjadi akibat
kebijakan-kebijakan ekspansi negara muslim baru, yang terbentuk setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW pada 632. Satu abad kemudian, orang-orang Islam telah menyebarangi
barisan pegunungan di antara Prancis dan Spanyol dan menaklukkan wilayah-wilayah yang
membentang dari India Utara dan Prancis selatan. Dua ratus tahun berikutnya perkembangan
kekuasaan Eropa dunia Islam secara meyakinkan masih berada di tangan kaum muslim, yang
menikmati pertumbuhan ekonomi besar-besaran dan mengalami perkembangan kebudayaan
yang luar biasa. Dari tahun 750 dan seterusnnya, wilayah Dinasti Abbasiyah dibentuk oleh
pemerintahan dan kebudayaan Persia Islam dan semakin bertambah dari dukungan militer dari
budak-budak Turki yang menjadi tentara.

Selama berabad-abad pertama kekuasaan kaum muslimin, para peziarah Kristen dari Eropa
biasanya bisa mengunjungi tempat-tempat suci agama mereka di Yerussalem dan tanah suci.
Mereka mengadakan jalan darat Balkan, Anatoli, dan Suriah atau lewat jalur menuju Mesir atau
Palestina. Dengan demikian berita tentang gaya hidup yang luar biasa dan tingginya peradaban
kemajuan dunia Islam sampai ke Eropa.
Di tahun-tahun belakangan yakni abad kesembilan sampai awal abad sebelas orang-orang
Kristen Eropa ini bebas berziarah, dengan bebasnya para peziarah Kristen Eropa ini keluar
masuk, maka mereka dapat meliahat secara langsung kemajuan peradaban Islam yang tinggi.
Namun pada abad kesebelas akhir berita tentang kemunduran dan desentralisasi politik Umat
Islam sampai ke Eropa. Ditambah dengan adanya penguasa Umat Islam yang mempunyai
reputasi yang amat buruk yaitu Khalifah keenam Dinasti Fatimiyah Al-Hakim yaitu:
mengadakan penyiksaan penyiksaan terhadap Kristen yang tinggal di wilayah kerajaannya, yang
membentang hingga Suriyah dan Palestina, mencapai puncaknya dengan penghancuran Gereja
Makam Suci di Yerussalem pada 1009-1010. Tindakan-tindakan al-Hakim tersebut biasanya
dianggap sebagai faktor pendorong meningkatnya keinginan kaum Kristen Eropa untuk
melancarkan Perang Salib pertama dan menyelamatkan apa yang mereka anggap sebagai tempat-
tempat suci umat Kristen yang sedang dalam keadaan bahaya.
Perang keagamaan (Perang Salib) yang terjadi hampir dua abad antara ummat Kristen di
Eropa dengan ummat Islam di Asia menjadi sebuah sejarah panjang yang memberikan kontribusi
berharga bagi kemajuan bangsa Eropa sekaligus sebuah peristiwa yang sangat memprihatinkan
dan banyak memakan korban. Selain itu sejarah Perang Salib akan menjadi pelajaran yang
berharga bagi ummat manusia baik Barat maupun Timur.
Disebut dengan Perang Salib karena ekspedisi militer Kristen mempergunakan salib sebagai
pemersatu untuk menunjukkan bahwa peperangan yang mereka lakukan adalah perang suci dan
bertujuan untuk membebaskan kota suci Baitul Makdis dari tangan orang-orang Islam.
Sejarah manusia menunjukkan betapa agama kerapkali dijadikan alat untuk kepentingan
tertentu. Ini juga halnya yang terjadi pada Perang Salib (Crusade). Karena perang ini
merupakan reaksi dunia Eropa terhadap dunia Islam di Asia. Bagi orang Eropa sendiri perang ini
dianggap sebagai kebangkitan agama, bahkan merupakan gerakan kerohanian yang tinggi yang
mana dunia Kristen Barat menyadari dan menemukan identitas baru.
Kebencian Kristen terhadap ummat Islam dimulai sejak disebarkannya Islam ke daerah-daerah
kekuasaan Bizantium, terutama pada abad ke-8 Masehi, yakni ketika ummat Islam melakukan
ekspansi ke wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Kristen di Eropa. Mereka melihat bahwa
kekuasaan Islam dapat mengancam, bahkan menghancurkan Konstantinopel sebagai ibukota
kerajaan Bizantium. Dendam dan kebencian yang disimpan ummat Kristen mencetuskan Perang
Salib yang tujuannya adalah merebut kembali wilayah-wilayah yang sudah dikuasai ummat
Islam.
Dalam pengkajian makalah ini penulis bertujuan untuk menjadikan fenomena sejarah masa
lalu menjadi iktibar penting dengan menganalisis keberadaan Perang Salib itu sendiri, agar
kiranya tidak terulang di masa yang akan datang. Karena itu dalam makalah ini akan dikaji latar
belakang Perang Salib serta dampaknya bagi duia Islam dan Eropa.

B. Latar Belakang Perang Salib


Sejak berdirinya kekuasaan Islam, orang-orang Kristen diberi kebebasan beragama dan
kekuasaan dalam berbagai jabatan dalam pemerintahan. Ketika Yerussalem dan Syiria di bawah
kekuasaan Dinasti Fatimiyah dari Mesir. Penguasa Mesir mendorong perniagaan dan
perdagangan Kristen.
Menurut Amir K. Ali ada beberapa faktor penyebab terjadinya Perang Salib.
1. Perang Salib itu terjadi karena adanya konflik lama antara Timur dengan Barat, dalam hal ini
antara orang Islam dengan orang-orang Kristen untuk saling menguasai. Munculnya Islam yang
cepat menimbulkan suatu goncangan bagi seluruh Eropa Kristen sehingga pada abad kesebelas
pasukan orang Kristen Barat diarahkan untuk melawan Islam.
2. Pada masa itu Eropa Kristen di Yerussalem semakin bergairah dibandingkan dengan waktu-
waktu sebelumnya. Karena Palestina dibawah kekuasaan Turki.
3. Pada masa itu, Eropa Kristen ditandai oleh kekacauan feodalisme. Raja dan Pengeran
terlibat perang satu sama lain.
Pendapat lain menyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya Perang Salib adalah karena faktor
agama, hal ini dapat dilihat dari tanda salib yang dipergunakan para tentara Kristen. Selain itu
terdapat motif lain seperti perdagangan, pengembaraan atau keinginan membebaskan diri dari
kesulitan hidup di Eropa.
Ummat Islam sudah memandang lebih baik hidup berdampingan dengan negara dan agama lain
dengan tidak memaksa atau menguasai / menaklukkan negara lain. Tetapi tetap saja tokoh
Kristen tetap menganggap Islam sebagai ideologi yang mengancam kejayaan Kristen di masa
depan. Jihad tetap dianggap sesosok hantu yang menakutkan bagi ummat Kristen.
Sejumlah ekspedisi militer yang dilancarkan oleh pihak Kristen terhadap kekuatan muslim pada
periode 1096 – 1107 dikenal sebagai Perang Salib.
Adapun penyebab terjadinya Perang Salib dilatar belakangi oleh beberapa hal, antara lain:
• Faktor Agama
Sejak Dinasti Saljuk merebut Baitul Makdis dari tangan Dinasti Fatimiyah pada tahun 1070.
Pihak Kristen merasa tidak bebas lagi menunaikan ibadah kesana. Hal ini disebabkan para
penguasa Saljuk menetapkan sejumlah peraturan-peraturan yang dianggap mempersulit mereka
yang pulang berziarah dan sering mengeluh karena mendapat perlakuan yang fanatik. Ummat
Kristen merasa perlakuan penguasa Islam telah menghalangi ummat Kristen yang ingin beribadat
ke Baitul Makdis.
• Faktor Politik / Kekuasaan
Kekalahan Bizantium sejak direbutnya Costantinopel pada tahun 1071 dan jatuhnya Asia kecil
di bawah kekuasaan Saljuk telah mendorong Kaisar Alexius I Commerus untuk meminta bantuan
kepada Paus Urbanus II dalam usahanya untuk megembalikan kekuasaannya di daerah penduduk
Dinasti Saljuk.
• Faktor Sosial Ekonomi
Pedagang-pedagang besar yang berada di pantai Timur Laut Tengah terutama yang berada di
Kota Venezia Genoa, dan Pisa berambisi untuk menguasai sejumlah kota-kota dagang di
sepanjang Pantai Timur dan Selatan Laut Tengah untuk memperluas jaringan dagangan mereka.
Perang Salib dengan maksud menjadikan kawasan tersebut menjadi pusat perdagangan dan
adanya propoganda. Jalannya Perang Salib selain stratifikasi sosial masyarakat Eropa yang
memberlakukan diskriminasi terhadap rakyat jelata dengan dijalankannya hukum waris yang
menyebabkan populasi kemiskinan meningkat.

C. Proses Berlangsungnya Perang Salib


Sebagaimana telah diungkapkan pada pendahuluan bahwa meletusnya perang Salib memakan
waktu yang lama, yakni hampir dua abad. Berikut ini akan diuraikan bagaimana terjadinya
Perang salib dari berbagai periode:
1. Perang Salib yang Pertama (1096 – 1144 M)
Perang Salib ini semula digerakkan oleh seorang Pendeta Prancis yang bernama Peter dan
kemudian di back up oleh Paus di Patikan, Raja Kristen di Eropa dan oleh Kepala Kristen di
Konstantinopel.
Ini merupakan serbuan pertama dalam sejarah Perang Salib yang telah memakan waktu dua
abad. Serangan ini sebagai konsekuensi dari seruan Paus yang telah menggema dan
mengguncang Prancis ketika itu. Pada tanggal 26 November 1095 M. Para Salibis berhasil
menguasai Palestina dan mendirikan empat kerajaan besar, yakni di Baitul Makdis, di Antiochia,
di Tripolisia dan di Edessa. Pembunuhan massal terjadi sehingga tidak kurang dari 70.000 mayat
bergelimpangan disepanjang kota suci ini. Tangan, kepala dan kaki manusia berserakan dimana-
mana. Bahkan ketika menaklukkan Tripoli, selain membantai masyarakatnya mereka juga
membakar perpustakaan, perguruan tinggi dan sarana industri hingga menjadi abu. Perselisihan
antara sultan-sultan Saljuk memudahkan pasukan Salib merebut kekuasaan-kekuasaan Islam.
Peristiwa yang sangat memilukan ini menjadi dendam sejarah khususnya bagi kaum muslimin
ketika itu, hingga pada tahun 1127 , muncul seorang pahlawan Islam yang tekenal Imaduddin
Zanki, seorang Gubernur dari Moshul yang dapat mengalahkan pasukan Salib di Aleppo dan
Hummah. Inilah kemengan pertama bagi kaum muslimin, sehingga tentara Salib harus
merasakan bagaimana tidak enaknya kalah sampai memakan banyak korban.
2. Perang Salib kedua (1144 – 1192)
Lalu Paus II selaku pemegang otoritas tertinggi di Barat mengumpulkan tokoh-tokoh Kristen,
para Pendeta, para Kesatria dan orang-orang miskin di Clermont (Prancis sebelah Tenggara).
Dalam pertemuan tersebut ia berpidato dan menyerukan kepada ummat kristen untuk bersatu
padu dalam perang suci melawan ummat Islam. Dalam seruannya ia mengatakan bahwa orang-
orang Turki Saljuk adalah kaum Barbar yang baru masuk Islam dan telah menghancurkan
Anatolia di Asia Kecil (Turki Modern) serta mencaplok negeri-negeri Bizantium Kristen. Paus
berteriak ras yang terkutuk, ras yang sungguh-sungguh jauh dari Tuhan, orang yang hatinya tidak
mendapat petunjuk dan tidak diurus Tuhan, maka membunuh para monster yag tidak bertuhan
adalah tindakan suci, maka orang kristen wajib memusnahkan ras keji dari negeri kita. Para
Ksatria Eropa diseru untuk merebut Yerussalem dan membebaskannya dari kaum muslimin
karena sangat memalukan bila kristus berada dalam genggaman kaum muslimin (persi Paus). Ia
juga berjanji memberikan ampunan atas segala dosa-dosa bagi mereka yang turun ke medan
juang. Mungkin inilah pidato paling berpengaruh yang pernah disampaikan oleh Paus sepanjang
catatan sejarah. Orang-orang meneriakkan slogan Deus Vult (Tuhan menghendaki) sambil
mengacung-acungkan tangan.
Dalam waktu yang sangat singkat seruan Paus berhasil mempengaruhi dan mengumpulkan
pasukan Kristen yang dikumpulkan di Kostantinopel. Pasukan tersebut berasal dari Bangsa
Prancis (Franks) dan Bangsa Normandia (Normans). Maka meletuslah perang besar yang
dikenal dengan Perang salib ( The Crussade).
Proses kekalahan ini, tentara Salib meminta tambahan pasukan kepada Paus. Dengan dipimpin
langsung oleh Raja Louis VII dari Prancis, Kaisar Kourad dari Jerman dan Putra Roger dari
Silsilia mereka melakukan penyerbuan kembali tepatnya pada tahun 1147 – 1179 M. Serangan
ini disambut hangat oleh Nuruddin Zanki (Putra Imaduddin Zanki) yang kehebatannya sama
seperti ayahnya sehingga tentara Salib II tidak berkutik dan dapat dikalahkan.
Melihat ketangguhan kepemimpinan Nuruddin Zanki di Pantai Laut Timur Tengah, tentara
Salib merubah arah penyerbuan dan menjadikan Mesir sebagai daerah target operasi.
Penyerangan mereka disambut oleh Salahuddin al-Ayyubi. Tentara Islam dapat merebut kembali
Baitul Makdis yang tadinya sudah dikuasai oleh Kristen. Shalahuddin segera memulihkan
otoritas Khalifah Abbasiyah di Mesir dan seelh Dinasti Abbasiyah hancur Shalahuddin menjadi
penguasa Mesir ( 1174 – 1193 M) dan berhasil mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun
1175 M.

3. Perang Salib Ketiga (1193 – 1291)


Tentara Salib bertahan dan memperkuat diri di Pelabuhan Shour di sebelah Barat dan mereka
mengirim utusan (Pendeta) untuk mengirimkan Tentara Salib tambahan. Maka datanglah
pasukan tambahan di bawah pimpinan Frederick Raja Austria dan Jerman dengan membawa
200.000 pasukan. Kemudian ditambah lagi tentara Eropa di bawah pimpinan Richard Hati Singa
(the Lion Heart) semakin menyempurnakan kekuatan tentara Salib sehingga mereka dapat
merebut kota Okka. Peristiwa ini sangat memilukan hati kaum muslimin. Richard si hati singa
adalah monster pembunuh yang telah membantai 30.000 nyawa tawanan Islam.
Sebenarnya Salahuddin al-Ayyubi telah menyadari akan bahayanya membiarkan musuh
memperkuat diri di Pelabuhan Shour dan telah meminta bantuan kepada Sultan Ya’kub Raja
terbesar Muwahiddin yang menguasai daerah Marokko dan Andalusia Selatan untuk
menghalangi datangnya bantuan. Sultan takut malah mereka yang akan menjadi sasaran serangan
sehingga tidak mengirim bantuan. Tentara Salib dengan enaknya melewati selat Gibraltar.
Namun demikian Shalahuddin berhasil mempertahankan dan merebut kembali Yerussalem dan
ini merupakan hasil peperangan terbesar Shalahuddin al-Ayyubi.
Gagal untuk kembali merebut Yerussalem tentara Salib bergerak untuk menguasai Mesir
dengan meninggalkan daerah yang telah mereka kuasai, yakni Kaisaria, Yaffa dan Asqalan.
Kesempatan ini digunakan oleh Salahuddin dengan menyerang mereka dari belakang, sehingga
dapat merebut kota Yaffa. Richard jatuh sakit dan menawarkan damai.
Secara diam-diam Salahuddin al-Ayyubi menyamar menjadi dokter dan datang ke kemah
Richard untuk merawat dan mengobatinya. Dengan kasih sayang dan keluhuran budi ia merawat
Richard sehingga sembuh. Setelah itu barulah ia memberitahukan siapa dirinya sebenarnya
sehingga membuat Richard terkagum-kagum dan amat berterima kasih kepada Salahuddin.
Keduanya pun sepakat berdamai pada tahun 1192 . setahun kemudian wafatlah sang pahlawan
Islam dalam usia 75 tahun pada tahun 1193 .
Sebenarnya nuansa persaudaraan sudah terbina sehingga adek perempuan Richard dinikahkan
dengan al-Malikul Adil untuk melanjutkan dan membina perdamaian, tetapi setelah mendengar
berita wafatnya Salahuddin Paus selalu menghasut raja-raja Eropa untuk melanjutkan perang.
Pasukan Salib sudah pecah, karena persaingan tidak satu visi lagi maka pada tahun 1291 Sultan
Asyyuraf Khalil dari Mesir berhasil mengusir tentara Salib dan bentengnya yang terakhir.
4. Perang salib keempat (1292)
Sebagaimana penulis uraikan di atas, berita kematian Salahuddin al-Ayyubi membangkitkan
ambisi Paus Cylinsius III untuk mengirim tentara Salib IV. Namun tentara Salib IV ini tidak
sedahsyat serbuan tentara Salib sebelumnya, sehingga sampai tentara Salib VIII dapat
ditaklukkan oleh para Mujahidin Islam. Tahun 1292 , resmilah tentara Salib penyerbu terusir dari
Timur.

D. Dampak Perang Salib Bagi Dunia Islam dan Eropa


Perang Salib yang berlangsung selama hampir dua abad (1095 – 1291) membawa dampak
yang sangat berarti terutama bagi Eropa yang beradabtasi dengan peradaban Islam yang jauh
lebih maju dari berbagai sisi. Perang Salib menghasilkan hubungan antara dua dunia yang sangat
berlainan. Masyarakat Eropa yang lamban dan enggan terhadap perdagangan dan pendapatnya
yang naïf terhadap dunia usaha. Masyarakat Eropa terkesan ortodok dan tradisional. Di sisi lain
terdapat masyarakat Bizantium yang gemerlapan dengan vitalitas perkotaan, kebebasan
berekonomi secara luas dengan tidak ada pencelaan dari ideologi tertentu dan dengan
perdagangan yang maju.
Prajurit perang Salib datang dari benteng-benteng yang sangat gersang dan mengira bahwa
mereka akan berhadapan dengan Bangsa yang biadab dan Barbar yang lebih dari mereka,
ternyata terperangah ketika sudah berhadapan langsung dengan dunia Timur yang lebih beradab,
maju dengan peredaran uang yang cukup banyak sebagai pondasi perekonomian.
Mereka sangat tertarik dengan peradaban serta budaya Islam yang jauh lebih maju. Bahasa
Arab mulai mereka gunakan sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Tidak sedikit pula diantara
mereka yag memeluk agama Islam dan kawin dengan penduduk asli. Hal inilah yang terjadi pada
Richard the Lion Heart.
Secara sederhana dampak Perang Salib dapat dijelaskan sebagaimana berikut: Pertama :
Perang salib yang berlangsung antara Bangsa Timur dengan Barat menjadi penghubung bagi
Bangsa Eropa khususnya untuk mengenali dunia Islam secara lebih dekat lagi. Ini memiliki arti
yang cukup penting dalam kontak peradaban antara Bangsa Barat dengan peradaban Timur yang
lebih maju dan terbuka. Kontak peradaban ini berdampak kepada pertukaran ide dan pemikiran
kedua wilayah tersebut. Bangsa Barat melihat kemajuan ilmu pengetahuan dan tata kehidupan di
Timur dan hal ini menjadi daya dorong yang cukup kuat bagi Bangsa Barat dalam pertumbuhan
intelektual dan tata kehidupan Bangsa Barat di Eropa. Interaksi ini sangat besar andilnya dalam
gerakan renaisance di Eropa. Sehingga dapat dikatakan kemajuan Eropa adalah hasil
transformasi peradaban dari Timur.
Kedua : Pra Perang Salib masyarakat Eropa belum melakukan perdagangan ke Bangsa Timur,
namun setelah Perang Salib interaksi perdaganganpun dilakukan. Sehingga pembauran
peradaban pun tidak dapat dihindarkan terlebih lagi setelah Bangsa Barat mengenal tabiat serta
kemajuan Bangsa Timur. Perang Salib membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap
perkembangan ekonomi Bangsa Eropa. Kehidupan lama Bangsa Eropa yang berdasarkan
ekonomi semata sudah berkembang dengan berdasarkan mata uang yang cukup kuat. Dengan
kata lain Perang Salib mempercepat proses transformasi perekonomian Eropa.
Ketiga : Perang Salib sebagai sarana mengalirnya ilmu pengetahuan dari Timur ke Barat.
Pasca penyerbuan yang berlangsung lebih dari 2 abad, para tentara Barat mulai menyesuaikan
diri dengan kehidupan Bangsa Timur. Mereka melihat ketinggian peradaban dan budaya Islam
dalam berbagai aspek kehidupan, yakni, makanan, pakaian, alat-alat rumah tangga, musik, alat-
alat perang, obat-obatan, ilmu pengetahuan, perekonomian, irigasi, tanam-tanaman, sastra, ilmu
militer, pertambangan, pemerintahan, pelayaran (navigasi) dan lain-lain. Tentara Salib
(crusaders) membawa berbagai keilmuan ke negara mereka dengan kata lain terjadi transformasi
budaya (culture) dan peradaban (civilazation) dari Timur ke Barat.
Keempat : Bangsa Barat melakukan penyelidikan terhadap seni dan budaya (art and culture)
serta pengetahuan (knowledge) dan berbagai penemuan ilmiyah yang ada di Timur. Hal ini
meliputi sistem pertanian, sistem industri Timur yang sudah berkembang dan maju serta alat-alat
teknologi yang dihasilkan Bangsa Timur seperti kompas kelautan, kincir angin dan lain-lain.
Setelah kembali ke negerinya Bangsa Eropa menyadari betapa pentingnya memasarkan produk-
produk Timur yang lebih maju, mereka mendirikan sistem-sistem pemasaran produk Timur.
Maka semakin pesatlah perkembangan perdagangan antara Timur dengan Barat.
Kelima : Perang Salib yang meluluh-lantakkan infra dan suprastruktur terutama di negara-
negara Timur berakibat tertanamnya rasa kebencian antara Timur dan Barat. Di benak Kristen
Eropa diyakini sangat membenci warga Negara Timur baik yang beragama Kristen, Yahudi
terutama terhadap muslim. Tentunya hal ini jika tidak disikapi dengan bijaksana akan menjadi
bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Keenam pada awal kedatangan tentara Salib kondisi Umat Islam tidak bersatu, terbukti adanya
tiga kerajaan besar yang bertikai yaitu: Dinasti Fatimiyah di Mesir, Daulah Abbasiyah di
Baghdad yang dikendalikan orang-orang Saljuk dan Dinasti Muwahidun di Afrika, ditambah lagi
dari tiga dinasti ini masing-masing internnyapun selalu bertikai, tentu hal ini memudahkan para
tentara Salib menyerang Umat Islam yang tidak bersatu. Untuk itu hikmah yang perlu diambil
adalah perlunya persatuan dan yang yang dibangun dengan akidah benar berdasarkan Alquran.

E. Penutup
Tragedi Perang Salib yang berlangsung selama hampir 2 abad mempengaruhi banyak hal, baik
itu persepsi masyarakat Islam terhadap dunia Barat (Kristiani) dan cara pandang Kristen terhadap
agama Islam. Saling menyerang dan membunuh yang terjadi pada Perang Salib tersebut secara
kodrati memang hal yang wajar terjadi sesuai dengan kehendak zaman. Namun yang perlu
diantisipasi oleh siapapun adalah menjadikan simbol-simbol sebagai pelegitimasi dan
mengakumulasi kekuatan ummat untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang pada akhirnya
dapat merugikan bagi kehidupan ummat manusia itu sendiri. Hal ini terjadi sebagaimana
peristiwa Perang Salib yang pada awalnya bukan hanya diawali oleh faktor agama tetapi sudah
berbagai kepentingan yang bercampur aduk.
Perang Salib sekalipun dimenangkan oleh pihak Islam, tetapi jka dilihat dari perspektif
peradaban (civilization) Islam sangat dirugikan dan sebaliknya Barat sekalipun kalah tetapi
banyak belajar dan berhasil membangun peradaban yang lebih maju setelah melihat dasar-dasar
sainsnya dari peradaban Islam. Dengan kata lain Barat berhutang jasa kepada Islam, sebab tanpa
transformasi peradaban melalui tragedi Perang Salib ini, Barat tidak bisa berdiri tegak seperti
sekarang ini.
Ummat Islam haruslah mencari dan dapat menemukan kembali mutiara yang hilang di masa
lalu sehingga di masa mendatang Islam kembali mampu memimpin dunia dengan kejayaan
peradabannya sebagaimana yang pernah dicapai pada masa dinasti-dinasti yang lalu.
Hal yang paling utama perlunya umat Islam bersatu padu dalam membina umat, yakni
persatuan yang dibangun dengan akidah yang benar berdasarkan Alquran dan Sunnah Nabi
Muhammad SAW.

DAFTAR PUSTAKA
Ali, K. Sejarah Islam (Tarikh Pramodern). Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003.

_________. Studies in Islamic History. Delhi : Jayyed Press, 1980.

Amstrong, Karen. Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk (terj) Hikmat Darmawan.
Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2003.

Al-Faruqi, Ismail R. The Culture Atlas of Islam. New York : Macmillan, 1986.

Carole Hillenbrand. Perang Salib Sudut Pandang Islam. Jakarta: PT. Ikrar Mandiri, Jakarta ,
2006.

Harun, M. Yahya. Perang Salib dan Pengaruh Islam di Eropa. Yogyakarta : Bina Usaha, 1987.

Hassan, Ibrahim Hassan. Tarikh al-Islam jilid IV. Kairo : Maktabah al-Nadhah al-Mishriyah,
1967.

Hitti, Philip K. History of The Arabs. London : The Macmillan Press Ltd., 1974 (terj) Sejarah
Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid I. Jakarta : UI Press, 1985.

Sunanto, Musrifah, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Rawamangun
: Prenada Media, 2003.

Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Ummat Islam. Tk : Tp, 2004.


Watt, W. Montgomery. Kejayaan Islam :Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Yogyakarta : Tiara
wacana, 1990.

Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang memiliki sumber daya
alam yang melimpah ruah. Sumber daya alam tersebut banyak memberikan manfaat
bagi masyarakat Indonesia, antara lain dalam bidang ekonomi, bidang kesehatan,
bidang tekhnologi dan lain-lain. Sumber daya alam dibagi menjadi dua macam,
yaitu sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan sumber daya alam yang tidak
dapat diperbaharui.
Namun, sungguh sangat disayangkan apabila masyarakat
Indonesia kurang menyadari akan pentingnya manfaat dari sumber daya alam tersebut.
Kebanyakan dari mereka menggunakannya secara ilegal tanpa memperdulikan akibat
yang akan ditimbulkan bagi kehidupan yang akan datang. Mereka menggunakannya
untuk kepentingan pribadi tanpa memperdulikan kepentingan umum. Akibatnya,
banyak sumber daya alam yang berkurang dan hampir mengalami kepunahan. Untuk
mengantisipasi (mencegah) agar hal tersebut tidak terjadi, maka kita sebagai
generasi penerus harus berusaha menjaga, merawat dan melestarikan sumber daya
alam tersebut agar tidak mengalami kepunahan.
Salah satu sumber daya alam yang bermanfaat di
bidang kesehatan adalah sirsak. Sirsak memiliki bagian-bagian, seperti daun,
buah, bunga dan biji sirsak untuk kesehatan terutama untuk pengobatan kanker,
ambeien, sakit liver, bisul, eksim, rematik, sakit pinggang dan lain-lain.
1.2. Perumusan Masalah
Atas dasar penentuan latar belakang di atas, maka
saya dapat mengambil pembatasan masalah sebagai berikut :
1.
Asal-usul buah sirsak?
2.
Apakah kandungan serta kegunaan atau manfaat dari sirsak?
3.
Bagaimana cara untuk membuat sirsak menjadi bahan obat?
4. Apa
keunggulan sirsak dibandingkan dengan buah lain?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut
:
1. Untuk
mengetahui dan memaparkan secara jelas dan rinci asal-usul buah sirsak.
2. Untuk
mengetahui beberapa kandungan beserta manfaat buah sirsak untuk kesehatan.
3. Untuk
mengetahui cara membuat sirsak untuk bahan obat.
4. Untuk
mengetahui cara membudidayakan sirsak dengan baik dan benar sesuai dengan
prosedur pertanian agar menghasilkan kwalitas sirsak yang bagus.
5. Untuk
mengetahui keunggulan sirsak dibandingkan dengan buah lain.
1.4. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan karya tulis ilmiah ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk
menyelesaikan tugas pelajaran Tekhnologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
2. Sebagai
bahan dalam memberikan sumbangan pemikiran pada masyarakat dalam meningkatan
kesehatan pada masing-masing anggota keluarga mereka.
3. Untuk
mengetahui apakah kesehatan masyarakat telah terpenuhi dengan baik atau
sebaliknya.
4. Untuk
mengetahui kandungan serta manfaat dari sirsak.
5. Karya
ini akan membantu dalam pelaksanaan program selanjutnya terlebih jika siswa
lanjut dibidang kedokteran atau keperawatan.
1.5. Batasan Masalah
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka saya
dapat mengambil batasan masalah sebagai berikut : Penelitian ini hanya meneliti
dan membahas tentang kandungan dan manfaat sirsak di bidang kesehatan, tidak
meluas ke bidang-bidang yang lain.
1.6. Metodologi Penulisan
Tersusunnya makalah ini didahului dengan kegiatan
penelitian, kemudian berdasarkan data-data yang diperoleh, diolah dan dianalisa
sehingga diperoleh suatu keadaan tertentu, dan kemudian hasil dari penelitian
dan pengolahan atau analisa data tersebut disajikan dalam bentuk makalah ini.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1.1
Pengertian Sirsak
Sirsak, nangka belanda, atau durian belanda (Annona
muricataL.) adalah tumbuhan yang tingginya mencapai 8 m, kulit buahnya
berduri-duri pendek dan lunak, isinya berwarna putih serta berbiji banyak,
berwarna hitam, rasanya masam-masam dan manis serta berguna yang berasal dari
Karibia, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Di berbagai daerah Indonesia
dikenal sebagai nangka sebrang, nangka landa (Jawa), nangka walanda, sirsak
(Sunda), nangka buris (Madura), srikaya jawa (Bali), deureuyan belanda (Aceh),
durio ulondro (Nias), durian betawi (Minangkabau), serta jambu landa (di
Lampung). Penyebutan “belanda” dan variasinya menunjukkan bahwa
sirsak (dari bahasa Belanda: zuurzak, berarti “kantung asam”)
didatangkan oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda ke Nusantara, yaitu pada
abad ke-19, meskipun bukan berasal dari Eropa.
Tumbuhan ini berbentuk pohon, berwarna coklat tua,
batang berkayu (lignosus), silindris, permukaan kasar, percabangan simpodial.
Arah tumbuh batang tegak lurus, arah tumbuh cabang ada yang condong ke atas dan
ada yang mendatar.
Memiliki daun berbentuk jorong (ovalis atau
ellipticus). Permukaan daun licin (laevis) dan mengkilat (nitidus), tepi daun
rata (integer), daging daun tebal dan kaku seperti kulit/belulang (coriaceus).
Pangkal daun runcing dan ujung daun tumpul (obtusus).
Tanaman ini ditanam secara komersial untuk diambil
daging buahnya. Tumbuhan ini dapat tumbuh di sembarang tempat, paling baik
ditanam di daerah yang cukup berair. Nama sirsak sendiri berasal dari bahasa
Belanda Zuurzak yang berarti kantung yang asam.
Tanaman ini ditanam secara komersial atau sambilan
untuk diambil buahnya. Pohon sirsak bisa mencapai tinggi 9 meter. Di Indonesia
sirsak dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 1000 m dari permukaan laut.
Buah sirsak bukan buah sejati, yang ukurannya cukup
besar hingga 20-30 cm dengan berat mencapai 2,5 kg. Yang dinamakan
“buah” sebenarnya adalah kumpulan buah-buah (buah agregat) dengan
biji tunggal yang saling berhimpitan dan kehilangan batas antar buah. Daging
buah sirsak berwarna putih dan memiliki biji berwarna hitam. Buah ini sering
digunakan untuk bahan baku jus minuman serta es krim. Buah sirsak mengandung banyak
karbohidrat, terutama fruktosa. Kandungan gizi lainnya adalah vitamin C,
vitamin B1 dan vitamin B2 yang cukup banyak. Bijinya beracun, dan dapat
digunakan sebagai insektisida alami, sebagaimana biji srikaya.
2.1.2. Kandungan Sirsak
Kandungan Gizi dalam buah sirsak adalah sebagai
berikut:
Buah sirsak terdiri atas 67,5 persen daging buah, 20
persen kulit buah, 8,5 persen biji buah, dan 4 persen inti buah.
Setelah air, kandungan zat gizi yang terbanyak dalam
sirsak adalah karbohidrat. Salah satu jenis karbohidrat pada buah sirsak adalah
gula pereduksi (glukosa dan fruktosa) dengan kadar 81,9 – 93,6 persen dari
kandungan gula total.
Buah sirsak mengandung sangat sedikit lemak (0,3
g/100 g), sehingga sangat baik untuk kesehatan. Rasa asam pada sirsak berasal dari
asam organik non volatil, terutama asam malat, asam sitrat, dan asam isositrat.
Vitamin yang paling dominan dalam buah sirsak adalah
vitamin C, yaitu sekitar 20 mg per 100 gram daging buah. Kebutuhan vitamin C
per orang per hari (yaitu 60 mg), telah dapat dipenuhi hanya dengan
mengkonsumsi 300 gram daging buah sirsak. Kandungan vitamin C yang cukup tinggi
pada sirsak merupakan zat antioksidan yang sangat baik untuk meningkatkan daya
tahan tubuh serta memperlambat proses penuaan (tetap awet muda).
Mineral yang cukup dominan adalah fosfor dan
kalsium, masing-masing sebesar 27 dan 14 mg/100 g. Kedua mineral tersebut
penting untuk pembentukan massa tulang, sehingga berguna untuk membentuk tulang
yang kuat serta menghambat osteoporosis.
Selain komponen gizi, dalam buah sirsak juga sangat
kaya akan komponen non gizi. Salah satu diantaranya adalah mengandung banyak
serat pangan (dietary fiber), yaitu mencapai 3,3 g/ 100 g daging buah.
Konsumsi 100 g daging buah dapat memenuhi 13 persen
kebutuhan serat pangan sehari. Buah sirsak merupakan buah yang kaya akan
senyawa fitokimia, sehingga dapat dipastikan bahwa buah tersebut sangat banyak
manfaatnya bagi kesehatan. Senyawa fitokimia tersebut dipastikan memiliki
khasiat bagi kesehatan, walaupun belum semuanya terbukti secara ilmiah.
Berbagai manfaat sirsak untuk terapi antara lain pengobatan batu empedu,
antisembelit, asam urat, dan meningkatkan selera makan. Selain itu, kandungan
seratnya juga berfungsi untuk memperlancar pencernaan, terutama untuk
pengobatan sembelit (susah buang air besar).
2.1.3. Manfaat Sirsak
Manfaat sirsak bagi kesehatan tidak hanya terletak
pada daging buahnya. Namun manfaat sirsak tersebar ke bagian daun, biji, kulit
batang, akar dan bunga. Setiap bagian pohon sirsak memiliki khasiat yang
berbeda-beda dan berpotensi sebagian zat sitotoksik (zat racun).
Manfaat sirsak ditinjau dari bagian-bagiannya yaitu sebagai berikut :
a) Buah
Daging buah merupakan bagian buah yang dapat
dimakan. Senyawa-senyawa fitokimia yang terkandung dalam buah sirsak
diantaranya, annonain, acetaldehyde, muricine, muricinine, tannin, ananol,
anomurine juga mengandung senyawa sitotoksik yang cukup kuat, yaitu
acetogennis. Senyawa acetogennis adalah senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai
sitotoksik di dalam tubuh manusia.
Buah sirsak mengandung serat yang tinggi. Serat
sangat baik untuk membantu proses pencernaan. Serat ini mampu menghambat
timbulnya penyakit-penyakit dalam usus atau saluran pencernaan. Dengan berbagai
kandungan yang dimilikinya buah sirsak diyakini dapat mengobati penyakit,
disentri, osteoporosis, asam urat, demam, diabetes dan batu empedu.
Manfaat sirsak untuk pengobatan adalah sebagai berikut :
Sirsak mempunyai manfaat yang sangat besar dalam
pencegahan dan penyembuhan penyakit kanker. Untuk pencegahan, disarankan makan
atau minum jus buah sirsak. Untuk penyembuhan, bisa dengan merebus 10 lembar
daun sirsak yang sudah tua (warna hijau tua) ke dalam 3 gelas air dan direbus
terus hingga menguap dan air tinggal 1 gelas saja. Air yang tinggal 1 gelas
diminumkan ke penderita setiap hari 2 kali.
Untuk mengobati ambeien . Caranya peras buah sirsak
yang sudah masak untuk diambil airnya sebanyak 1 gelas, diminum 2 kali sehari,
pagi dan sore.
Untuk obat sakit kandung air seni. Caranya
adalah dari buah sirsak setengah masak,
gula dan garam secukupnya. Semua bahan tersebut dimasak dibuat kolak. Dimakan
biasa, kemudian lakukan terus secara rutin setiap hari selama 1 minggu
berturut-turut.
Untuk bayi manfaat yang terkandung dari sirsak juga
ada. Terutama untuk obat tradisonal mencret. Untuk mendapatkan khasiat semacam
ini caranya adalah buah sirsak yang sudah masak. Buah sirsak diperas dan
disaring untuk diambil airnya, diminumkan pada bayi yang mencret sebanyak 2-3
sendok makan.
Untuk sakit pinggang, caranya pakai 20 lembar daun
sirsak, direbus dengan 5 gelas air sampai mendidih hingga tinggal 3 gelas,
diminum 1 kali sehari 3/4 gelas. Tapi kalau sakit pinggangnya terlalu parah
obat tradisonal ini mungkin nggak sanggup.
Untuk obat bisul. Gunakan daun sirsak yang masih
muda secukupnya, ditumbuk halus dan ditambah 1/2 sendok air, diaduk sampai
merata, ditempelkan pada bagian bisul.
BAB
III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Buah sirsak merupakan tanaman yang berasal dari
Karibia, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Tanaman ini ditanam secara
komersial untuk diambil daging buahnya. Tumbuhan ini dapat tumbuh disembarang
tempat, paling banyak ditanam di daerah yang cukup berair. Ternyata buah ini
juga memiliki banyak maanfaat yang sangat baik untuk kesehatan kita. Namun
sayangnya masih sedikit kalangan yang membudidayakan buah tersebut.
Padahal cara pembudidayaannya tidaklah
sulit, hanya membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Jika kita menelusuri lebih
nutrisi yang terkandung dalam buah ini maka kita dapat mengetahui banyaknya
manfaat pada buah ini. Selain itu buah ini juga memiliki potensi yang cukup
besar untuk diolah menjadi makanan alternatif yang memiliki nilai jual yang
tinggi.
3.2. Saran
Dengan lebih mengetahui banyaknya manfaat yang
terdapat dalam kandungan buah ini sudah selayaknya kita dapat mengolahnya menjadi
makanan bernutrisi yang dapat bernilai ekonomis tinggi. Sebagai aktivitas
akademika kita juga dapat melakukan penelitian agar buah ini juga bisa
dijadikan salah satu produk pertanian unggulan dalam negeri untuk bisa bersaing
dalam perdagangan global saat ini.

Contoh Karya Ilmiah Tentang Pendidikan


1.1 Latar Belakang

Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah. Globalisasi
pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh
bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi
bangsa-bangsa di seluruh dunia (Edison A. Jamli, 2005). Proses globalisasi berlangsung melalui dua dimensi, yaitu
dimensi ruang dan waktu. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik,
ekonomi, dan terutama pada bidang pendidikan. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung
utama dalam globalisasi. Dewasa ini, teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat dengan berbagai
bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Oleh karena itu globalisasi tidak dapat dihindari
kehadirannya, terutama dalam bidang pendidikan.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai dengan semakin kencangnya arus globalisasi dunia
membawa dampak tersendiri bagi dunia pendidikan. Banyak sekolah di indonesia dalam beberapa tahun
belakangan ini mulai melakukan globalisasi dalam sistem pendidikan internal sekolah. Hal ini terlihat pada sekolah
– sekolah yang dikenal dengan billingual school, dengan diterapkannya bahasa asing seperti bahasa Inggris dan
bahasa Mandarin sebagai mata ajar wajib sekolah. Selain itu berbagai jenjang pendidikan mulai dari sekolah
menengah hingga perguruan tinggi baik negeri maupun swasta yang membuka program kelas internasional.
Globalisasi pendidikan dilakukan untuk menjawab kebutuhan pasar akan tenaga kerja berkualitas yang semakin
ketat. Dengan globalisasi pendidikan diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat bersaing di pasar dunia. Apalagi
dengan akan diterapkannya perdagangan bebas, misalnya dalam lingkup negara-negara ASEAN, mau tidak mau
dunia pendidikan di Indonesia harus menghasilkan lulusan yang siap kerja agar tidak menjadi “budak” di negeri
sendiri.

` Persaingan untuk menciptakan negara yang kuat terutama di bidang ekonomi, sehingga dapat
masuk dalam jajaran raksasa ekonomi dunia tentu saja sangat membutuhkan kombinasi antara
kemampuan otak yang mumpuni disertai dengan keterampilan daya cipta yang tinggi. Salah satu
kuncinya adalah globalisasi pendidikan yang dipadukan dengan kekayaan budaya bangsa Indonesia.
Selain itu hendaknya peningkatan kualitas pendidikan hendaknya selaras dengan kondisi masyarakat
Indonesia saat ini. Tidak dapat kita pungkiri bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang berada di
bawah garis kemiskinan. Dalam hal ini, untuk dapat menikmati pendidikan dengan kualitas yang baik
tadi tentu saja memerlukan biaya yang cukup besar. Tentu saja hal ini menjadi salah satu penyebab
globalisasi pendidikan belum dirasakan oleh semua kalangan masyarakat. Sebagai contoh untuk dapat
menikmati program kelas Internasional di perguruan tinggi terkemuka di tanah air diperlukan dana lebih
dari 50 juta. Alhasil hal tersebut hanya dapat dinikmati golongan kelas atas yang mapan. Dengan kata
lain yang maju semakin maju, dan golongan yang terpinggirkan akan semakin terpinggirkan dan
tenggelam dalam arus globalisasi yang semakin kencang yang dapat menyeret mereka dalam jurang
kemiskinan. Masyarakat kelas atas menyekolahkan anaknya di sekolah – sekolah mewah di saat
masyarakat golongan ekonomi lemah harus bersusah payah bahkan untuk sekedar menyekolahkan anak
mereka di sekolah biasa. Ketimpangan ini dapat memicu kecemburuan yang berpotensi menjadi konflik
sosial. Peningkatan kualitas pendidikan yang sudah tercapai akan sia-sia jika gejolak sosial dalam
masyarakat akibat ketimpangan karena kemiskinan dan ketidakadilan tidak diredam dari sekarang.

1.2 Rumusan Masalah


Secara umum, rumusan masalah pada makalah “Dampak Globalisasi Terhadap Pendidikan” ini dapat
dirumuskan seperti pada pertanyaan berikut.

a. Apa dampak dari globalisasi untuk dunia pendidikan?

b. Penyebab buruknya pendidikan di era globalisasi?

c. Cara penyesuan pendidikan di Indonesia pada era globalisasi?

1.3 Tujuan

1. Bagi Penulis

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen dalam mata kuliah pengantar
pendidikan. Selain itu, bagi diri kami pribadi makalah ini juga diharapkan bisa digunakan untuk
menambah pengetahuan yang lebih bagi mahasiswa, baik dalam lingkup universitas negeri malang
maupun di civitas akademika yang lain.
2. Bagi Pembaca

Makalah ini dimaksudkan untuk membahas dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan dan
menambah ilmu pengetahuan mengenai globalisasi. Para pembaca yang dominan dari kaula mahasiswa
bisa digunakan untuk langkah menuju ke pengetahuan yang lebih luas, sehingga kedepannya tercipta
sdm-sdm yang unggul.
3. Bagi Masyarakat

Diharapkan masyarakat bisa lebih memahami tentang arti penting globalisasi sehingga dampak negatif yang
berimbas bisa leih diperkecil. Dan juga diharapkan agar realisasi kegiatan positif terhadap adanya pendidikan
semakin lebih baik.

BAB II

PEMBAHASAN

Contoh Karya Ilmiah Tentang Pendidikan

2.1 Pengaruh Globalisasi terhadap dunia Pendidikan

Perkembangan dunia pendidikan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perkembangan
globalisasi, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Era pasar bebas juga
merupakan tantangan bagi dunia pendidikan Indonesia, karena terbuka peluang lembaga pendidikan
dan tenaga pendidik dari mancanegara masuk ke Indonesia. Untuk menghadapi pasar global maka
kebijakan pendidikan nasional harus dapat meningkatkan mutu pendidikan, baik akademik maupun non-
akademik, dan memperbaiki manajemen pendidikan agar lebih produktif dan efisien serta memberikan
akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan.

Ketidaksiapan bangsa kita dalam mencetak SDM yang berkualitas dan bermoral yang dipersiapkan
untuk terlibat dan berkiprah dalam kancah globalisasi, menimbulkan
Dampak positif dan negatif dari dari pengaruh globalisasi dalam pendidikan dijelaskan dalam poin-poin berikut:

1. Dampak Positif Globalisasi Terhadap Dunia Pendidikan Indonesia

Pengajaran Interaktif Multimedia

Kemajuan teknologi akibat pesatnya arus globalisasi, merubah pola pengajaran pada dunia pendidikan.
Pengajaran yang bersifat klasikal berubah menjadi pengajaran yang berbasis teknologi baru seperti internet dan
computer. Apabila dulu, guru menulis dengan sebatang kapur, sesekali membuat gambar sederhana atau
menggunakan suara-suara dan sarana sederhana lainnya untuk mengkomunikasikan pengetahuan dan informasi.
Sekarang sudah ada computer. Sehingga tulisan, film, suara, music, gambar hidup, dapat digabungkan menjadi
suatu proses komunikasi.

Dalam fenomena balon atau pegas, dapat terlihat bahwa daya itu dapat mengubah bentuk
sebuah objek. Dulu, ketika seorang guru berbicara tentang bagaimana daya dapat mengubah bentuk
sebuah objek tanpa bantuan multimedia, para siswa mungkin tidak langsung menangkapnya. Sang guru
tentu akan menjelaskan dengan contoh-contoh, tetapi mendengar tak seefektif melihat. Levie dan Levie
(1975) dalam Arsyad (2005) yang membaca kembali hasil-hasil penelitian tentang belajar melalui
stimulus kata, visual dan verbal menyimpulkan bahwa stimulus visual membuahkan hasil belajar yang
lebih baik untuk tugas-tugas seperti mengingat, mengenali, mengingat kembali, dan menghubung-
hubungkan fakta dengan konsep.
Perubahan Corak Pendidikan

Mulai longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara. Tuntutan untuk berkompetisi dan tekanan
institusi global, seperti IMF dan World Bank, mau atau tidak, membuat dunia politik dan pembuat kebijakan harus
berkompromi untuk melakukan perubahan. Lahirnya UUD 1945 yang telah diamandemen, UU Sisdiknas, dan PP 19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) setidaknya telah membawa perubahan paradigma
pendidikan dari corak sentralistis menjadi desentralistis. Sekolah-sekolah atau satuan pendidikan berhak mengatur
kurikulumnya sendiri yang dianggap sesuai dengan karakteristik sekolahnya. Kemudahan Dalam Mengakses
Informasi Dalam dunia pendidikan, teknologi hasil dari melambungnya globalisasi seperti internet dapat
membantu siswa untuk mengakses berbagai informasi dan ilmu pengetahuan serta sharing riset antarsiswa
terutama dengan mereka yang berjuauhan tempat tinggalnya.

Pembelajaran Berorientasikan Kepada Siswa Dulu, kurikulum terutama didasarkan pada tingkat kemajuan
sang guru. Tetapi sekarang, kurikulum didasarkan pada tingkat kemajuan siswa. KBK yang dicanangkan pemerintah
tahun 2004 merupakan langkah awal pemerintah dalam mengikutsertakan secara aktif siswa terhadap pelajaran di
kelas yang kemudian disusul dengan KTSP yang didasarkan pada tingkat satuan pendidikan. Di dalam kelas, siswa
dituntut untuk aktif dalam proses belajar-mengajar. Dulu, hanya guru yang memegang otoritas kelas. Berpidato di
depan kelas. Sedangkan siswa hanya mendngarkan dan mencatat. Tetapi sekarang siswa berhak mengungkapkan
ide-idenya melalui presentasi. Disamping itu, siswa tidak hanya bisa menghafal tetapi juga mampu menemukan
konsep-konsep, dan fakta sendiri.
2. Dampak Negatif Globalisasi Terhadap Dunia Pendidikan Indonesia

Komersialisasi Pendidikan

Era globalisasi mengancam kemurnian dalam pendidikan. Banyak didirikan sekolah-sekolah dengan tujuan
utama sebagai media bisnis. John Micklethwait menggambarkan sebuah kisah tentang pesaingan bisnis yang mulai
merambah dunia pendidikan dalam bukunya “Masa Depan Sempurna” bahwa tibanya perusahaan pendidikan
menandai pendekatan kembali ke masa depan. Salah satu ciri utamanya ialah semangat menguji murid ala Victoria
yang bisa menyenangkan Mr. Gradgrind dalam karya Dickens. Perusahaan-perusahaan ini harus membuktikan
bahwa mereka memberikan hasil, bukan hanya bagi murid, tapi juga pemegang saham.(John Micklethwait,
2007:166). .

Bahaya Dunia Maya

Dunia maya selain sebagai sarana untuk mengakses informasi dengan mudah juga dapat memberikan dampak
negative bagi siswa. Terdapat pula, Aneka macam materi yang berpengaruh negative bertebaran di internet.
Misalnya: pornografi, kebencian, rasisme, kejahatan, kekerasan, dan sejenisnya. Berita yang bersifat pelecehan
seperti pedafolia, dan pelecehan seksual pun mudah diakses oleh siapa pun, termasuk siswa. Barang-barang
seperti viagra, alkhol, narkoba banyak ditawarkan melalui internet. Contohnya, 6 Oktober 2009 lalu diberitakan
salah seorang siswi SMA di Jawa Timur pergi meninggalkan sekolah demi menemui seorang lelaki yang dia kenal
melalui situs pertemanan “facebook”. Hal ini sangat berbahaya pada proses belajar mengajar.

Ketergantungan

Mesin-mesin penggerak globalisasi seperti computer dan internet dapat menyebabkan kecanduan pada diri
siswa ataupun guru. Sehingga guru ataupun siswa terkesan tak bersemangat dalam proses belajar mengajar tanpa
bantuan alat-alat tersebut.

2.2 Keadaan Buruk Pendidikan di Indonesia

2.2.1 Paradigma Pendidikan Nasional yang Sekular-Materialistik

Diakui atau tidak, sistem pendidikan yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan
yang sekular-materialstik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI
tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15 yang berbunyi : Jenis
pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, kagamaan, dan khusus
dari pasal ini tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum.
Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan manusia yang sholeh yang
berkepribadian sekaligus mampu menjawab tantangan perkembangan melalui penguasaan sains dan
teknologi. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui
madrasah, institusi agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara pendidikan
umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejurusan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh
Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu
kehidupan (iptek) dilakukan oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama.
Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang
tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar salah satu aspek yang perannya sangat minimal,
bukan menjadi landasan seluruh aspek.

Pendidikan yang sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai sains-
teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan semacam itu terbukti gagal
membentuk kepribadian peserta didik dan penguasaan ilmu agama. Banyak lulusan pendidikan umum
yang ‘buta agama’ dan rapuh kepribadiannya. Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan
agama memang menguasai ilmu agama dan kepribadiannya pun bagus, tetapi buta dari segi sains dan
teknologi. Sehingga, sektor-sektor modern diisi orang-orang awam. Sedang yang mengerti agama
membuat dunianya sendiri, karena tidak mampu terjun ke sektor modern.

2.2.2 Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal, itulah kalimat yang sering terlontar di kalangan masyarakat.
Mereka menganggap begitu mahalnya biaya untuk mengenyam pendidikan yang bermutu. Mahalnya
biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi membuat masyarakat miskin
memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas
dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), dimana di Indonesia
dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, komite sekolah yang merupakan
organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas
modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah komite sekolah terbentuk, segala pungutan disodorkan kepada
wali murid sesuai keputusan komite sekolah. Namun dalam penggunaan dana, tidak transparan. Karena
komite sekolah adalah orang-orang dekat kepada sekolah.

Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP).
Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi
ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat
melempar tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya
tidak jelas.

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari
tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar
35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya,
sector yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong
hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).

Koordinator LSM Education network foa Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005)
menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersalialisasi
pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu,
nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan.
Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan
mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan
terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara kaya dan miskin.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, tetapi persoalannya siapa yang seharusnya
membayarnya?. Kewajiban Pemerintahlah untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan
dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi,
kenyataan Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat
dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.

Fandi achmad (Jawa Pos, 2/6/2007) menjelaskan sebagai berikut.


Mencermati konteks pendidikan dalam praktik seperti itu, tujuan pendidikan menjadi bergeser. Awalnya,
pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan tidak membeda-bedakan kelas sosial. Pendidikan adalah
untuk semua. Namun, pendidikan kemudian menjadi perdagangan bebas ( free trade).

Tesis akhirnya, bila sekolah selalu mengadakan drama tahun ajaran masuk sekolah dengan bentuk pendidikan
diskriminatif sedemikian itu, pendidikan justru tidak bisa mencerdaskan bangsa. Ia diperalat untuk mengeruk habis
uang rakyat demi kepentingan pribadi maupun golongan .

2.2.3 Kualitas SDM yang Rendah

Akibat paradigma pendidikan nasional yang sekular-materialistik, kualitas kepribadian anak didik
di Indonesia semakin memprihatinkan. Dari sisi keahlian pun sangat jauh jika dibandingkan dengan
Negara lain. Jika dibandingkan dengan India, sebuah Negara dengan segudang masalah (kemiskinan,
kurang gizi, pendidikan yang rendah), ternyata kualitas SDM Indonesia sangat jauh tertinggal. India
dapat menghasilkan kualitas SDM yang mencengangkan. Jika Indonesia masih dibayang-bayangi
pengusiran dan pemerkosaan tenaga kerja tak terdidik yang dikirim ke luar negeri, banyak orang India
mendapat posisi bergengsi di pasar Internasional.

Di samping kualitas SDM yang rendah juga disebabkan di beberapa daerah di Indonesia masih
kekurangan guru, dan ini perlu segera diantisipasi. Tabel 1. berikut menjelaskan tentang kekurangan
guru, untuk tingkat TK, SD, SMP dan SMU maupun SMK untuk tahun 2004 dan 2005. Total kita masih
membutuhkan sekitar 218.000 guru tambahan, dan ini menjadi tugas utama dari lembaga pendidikan
keguruan.

Dalam menghadapi era globalisasi, kita tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia dengan latar
belakang pendidikan formal yang baik, tetapi juga diperlukan sumber daya manusia yang mempunyai
latar belakang pendidikan non formal.

2.3 Penyesuaian Pendidikan Indonesia di Era Globalisasi

Dari beberapa takaran dan ukuran dunia pendidikan kita belum siap menghadapi globalisasi. Belum siap
tidak berarti bangsa kita akan hanyut begitu saja dalam arus global tersebut. Kita harus menyadari
bahwa Indonesia masih dalam masa transisi dan memiliki potensi yang sangat besar untuk memainkan
peran dalam globalisasi khususnya pada konteks regional. Inilah salah satu tantangan dunia pendidikan
kita yaitu menghasilkan SDM yang kompetitif dan tangguh. Kedua, dunia pendidikan kita menghadapi
banyak kendala dan tantangan. Namun dari uraian di atas, kita optimis bahwa masih ada peluang.
Ketiga, alternatif yang ditawarkan di sini adalah penguatan fungsi keluarga dalam pendidikan anak
dengan penekanan pada pendidikan informal sebagai bagian dari pendidikan formal anak di sekolah.
Kesadaran yang tumbuh bahwa keluarga memainkan peranan yang sangat penting dalam pendidikan
anak akan membuat kita lebih hati-hati untuk tidak mudah melemparkan kesalahan dunia pendidikan
nasional kepada otoritas dan sektor-sektor lain dalam masyarakat, karena mendidik itu ternyata tidak
mudah dan harus lintas sektoral. Semakin besar kuantitas individu dan keluarga yang menyadari urgensi
peranan keluarga ini, kemudian mereka membentuk jaringan yang lebih luas untuk membangun sinergi,
maka semakin cepat tumbuhnya kesadaran kompetitif di tengah-tengah bangsa kita sehingga mampu
bersaing di atas gelombang globalisasi ini.

Yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning (pandangan), repositioning strategy (strategi) ,
dan leadership (kepemimpinan). Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi
yang terus berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua
pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun 2020 bukan tidak mungkin Indonesia
juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang lebih bermartabat dan jaya sebagai pemenang dalam
globalisasi.

BAB III

PENUTUP

Contoh Karya Ilmiah Tentang Pendidikan

3.1 Kesimpulan

Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas
wilayah. Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian
ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama
dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa-bangsa di seluruh dunia

Dampak Positif Globalisasi Terhadap Dunia Pendidikan Indonesia

Pengajaran Interaktif Multimedia


Kemajuan teknologi akibat pesatnya arus globalisasi, merubah pola pengajaran pada dunia pendidikan. Pengajaran
yang bersifat klasikal berubah menjadi pengajaran yang berbasis teknologi baru seperti internet dan computer.

Perubahan Corak Pendidikan, mulai longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara. Tuntutan
untuk berkompetisi dan tekanan institusi global, seperti IMF dan World Bank, mau atau tidak, membuat
dunia politik dan pembuat kebijakan harus berkompromi untuk melakukan perubahan.

Dampak Negatif Globalisasi Terhadap Dunia Pendidikan Indonesia


Komersialisasi Pendidikan
Era globalisasi mengancam kemurnian dalam pendidikan. Banyak didirikan sekolah-sekolah dengan tujuan
utama sebagai media bisnis. John Micklethwait menggambarkan sebuah kisah tentang pesaingan bisnis yang mulai
merambah dunia pendidikan dalam bukunya “Masa Depan Sempurna” bahwa tibanya perusahaan pendidikan
menandai pendekatan kembali ke masa depan.

Bahaya Dunia Maya

Dunia maya selain sebagai sarana untuk mengakses informasi dengan mudah juga dapat memberikan
dampak negative bagi siswa. Terdapat pula, Aneka macam materi yang berpengaruh negative bertebaran di
internet. Misalnya: pornografi, kebencian, rasisme, kejahatan, kekerasan, dan sejenisnya. Berita yang bersifat
pelecehan seperti pedafolia, dan pelecehan seksual pun mudah diakses oleh siapa pun, termasuk siswa. Barang-
barang seperti viagra, alkhol, narkoba banyak ditawarkan melalui internet.

Penyebab buruknya pendidikan di era globalisasi di indonesia adalah Mahalnya Biaya Pendidikan,
Kualitas SDM yang Rendah dan fasilitas pendidikan ang kurang, itu yang mengakibatkan pendidikan tidak
berjalan dengan lancar

Yang dibutuhkan Indonesia sekarang ini adalah visioning (pandangan), repositioning strategy (strategi) , dan
leadership (kepemimpinan). Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus
berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan komitmen semua pihak serta
kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu

3.2 Saran

Penulis memberikan saran yang ditujukan untuk

a. Masyarakat

agar para orang tua memperhatikan kepentingan anaknya dalam hal pendidikan sehingga pendidikan
berjalan dengan lancar

b. Pemerintah

Pemerintah harus menggarkan danan yang cukup untuk keperluan pendidikan dan menambah beasiswa
bagi guru untuk training

DAFTAR PUSTAKA

Contoh Karya Ilmiah Tentang Pendidikan

Asri B. 2008. Pembelajaran Moral. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Faizah, F. 2009. Dampak Globalisasi Terhadap Dunia Pendidikan, (Online),


(http://www.blogger.com/profile/14458280955885383127), diakses 18 Oktober 2011.

Munir. 2010. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: PT Pustaka Insan Maqdani, Anggota IKPI.

Surya, M. 2002. Dasar-dasar Kependidikan di SD. Pusat penerbitan Universitas Terbuka. Suryabrata, S.
2010. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Pers.
Januar, I. 2006. Globalisasi pendidikan dI indonesia, (Online),
(www.friendster.com/group/tabmain.php?statpos=mygroup&gid;=340151), diakses 18
Oktober 2011.

Wardoyo, C. 2007. Urgensi Pendidikan Moral (Online), (http://www.nu.or.i) diakses 18 oktober


2011.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Narkoba (Narkotika dan Obat-obatan yang mengandung zat adiktif/berbahaya dan terlarang)
belakangan ini amat populer di kalangan remaja dan generasi muda bangsa Indonesia, sebab
penyalahgunaan narkoba ini telah merebak ke semua lingkungan, bukan hanya di kalangan
anak-anak nakal dan preman tetapi telah memasuki lingkungan kampus dan lingkungan
terhormat lainnya. Narkoba saat ini banyak kita jumpai di kalangan remaja dan generasi muda
dalam bentuk kapsul, tablet dan tepung seperti ekstasy, pil koplo dan shabu-shabu, bahkan
dalam bentuk yang amat sederhana seperti daun ganja yang dijual dalam amplop-amplop.
Saat ini para orang tua, mulai dari ulama, guru/dosen, pejabat, penegak hukum dan bahkan
semua kalangan telah resah terhadap narkoba ini, sebab generasi muda masa depan bangsa
telah banyak terlibat di dalamnya. Akibat leluasannya penjualan narkoba ini, secara umum
mengakibatkan timbulnya gangguan mental organik dan pergaulan bebas yang pada gilirannya
merusak masa depan bangsa.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dapat diketahui masalah masalah yang muncul, masalah-
masalah tersebut dapat di identifikasikan sebagai berikut :
1. Kurang pemahaman dan pengetahuan masyarakat dan remaja tentang bahaya Narkoba.
2. Kurangnya pengawasan orang tua.

C. Tujuan Penulisan
Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang di kalangan generasi muda dewasa ini kian
meningkat. Maraknya penyimpangan perilaku generasi muda tersebut, dapat membahayakan
keberlangsungan hidup bangsa ini di kemudian hari. Karena pemuda sebagai generasi yang
diharapkan menjadi penerus bangsa, semakin hari semakin rapuh digerogoti zat-zat adiktif
penghancur syaraf. Sehingga pemuda tersebut tidak dapat berpikir jernih. Akibatnya, generasi
harapan bangsa yang tangguh dan cerdas hanya akan tinggal kenangan. Sasaran dari penyebaran
narkoba ini adalah kaum muda atau remaja. Karya Ilmiah ini bertujuan untuk
1. Sebagai pengetahuan bagi para remaja tentang bahasa narkoba bagi dirinya.
2. Sebagai sebuah referinsi sehingga para remaja itu bisa mengerti tentang jenis- jenis Narkoba.
3. Orang tua mempunya kesadaran untuk memperhatikan anak meraka.

D. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan Karya Ilmiah ini mengunakan metode lansung dan pencarian referensi dari
berbagai sumber.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Narkoba
Menurut WHO (1982) Narkoba adalah Semua zat padat, cair maupun gas yang dimasukan
kedalam tubuh yang dapat merubah fungsi dan struktur tubuh secara fisik maupun psikis tidak
termasuk makanan, air dan oksigen dimana dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi tubuh
normal. Disini akan kami jelaskan tentang jenis-jenis narkoba, yaitu diantaranya adalah :
1. Narkotika adalah Zat/ obat yang berasal dari tanaman atau sintetis maupun semi sintetis yang
dapat menurunkan kesadaran, hilangnya rasa , mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan
dapat menimbulkan ketergantungan.
2. Psikotropika Zat/obat alamiah atau sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas
mental dan perilaku.
3. Zat adiktif adalah Bahan lain bukan narkotika atau psikotropika yang pengunaannya dapat
menimbulkan ketergantungan baik psikologis atau fisik. Mis : Alkohol, rokok, cofein.

B. Bahaya Narkoba Bagi Remaja


Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang di kalangan generasi muda dewasa ini kian
meningkat Maraknya penyimpangan perilaku generasi muda tersebut, dapat membahayakan
keberlangsungan hidup bangsa ini di kemudian hari. Karena pemuda sebagai generasi yang
diharapkan menjadi penerus bangsa, semakin hari semakin rapuh digerogoti zat-zat adiktif
penghancur syaraf. Sehingga pemuda tersebut tidak dapat berpikir jernih. Akibatnya, generasi
harapan bangsa yang tangguh dan cerdas hanya akan tinggal kenangan.Sasaran dari penyebaran
narkoba ini adalah kaum muda atau remaja. Kalau dirata-ratakan, usia sasaran narkoba ini adalah
usia pelajar, yaitu berkisar umur 11 sampai 24 tahun. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
bahaya narkoba sewaktu-waktu dapat mengincar anak didik kita kapan saja.

Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat-obatan terlarang. Sementara nafza merupakan
singkatan dari narkotika, alkohol, dan zat adiktif lainnya (obat-obat terlarang, berbahaya yang
mengakibatkan seseorang mempunyai ketergantungan terhadap obat-obat tersebut). Kedua istilah
tersebut sering digunakan untuk istilah yang sama, meskipun istilah nafza lebih luas lingkupnya.
Narkotika berasal dari tiga jenis tanaman, yaitu (1) candu, (2) ganja, dan (3) koka.
Ketergantungan obat dapat diartikan sebagai keadaan yang mendorong seseorang untuk
mengonsumsi obat-obat terlarang secara berulang-ulang atau berkesinambungan. Apabila tidak
melakukannya dia merasa ketagihan (sakau) yang mengakibatkan perasaan tidak nyaman bahkan
perasaan sakit yang sangat pada tubuh (Yusuf, 2004: 34).

C. Bahaya bagi pelajar


Di Indonesia, pencandu narkoba ini perkembangannya semakin pesat. Para pencandu narkoba itu
pada umumnya berusia antara 11 sampai 24 tahun. Artinya usia tersebut ialah usia produktif atau
usia pelajar. Pada awalnya, pelajar yang mengonsumsi narkoba biasanya diawali dengan
perkenalannya dengan rokok. Karena kebiasaan merokok ini sepertinya sudah menjadi hal yang
wajar di kalangan pelajar saat ini. Dari kebiasaan inilah, pergaulan terus meningkat, apalagi
ketika pelajar tersebut bergabung ke dalam lingkungan orang-orang yang sudah menjadi
pencandu narkoba. Awalnya mencoba, lalu kemudian mengalami ketergantungan.Dampak
negatif penyalahgunaan narkoba terhadap anak atau remaja (pelajar-red) adalah sebagai berikut:
1. Perubahan dalam sikap, perangai dan kepribadian,
2. Sering membolos, menurunnya kedisiplinan dan nilai-nilai pelajaran,
3. Menjadi mudah tersinggung dan cepat marah,
4. Sering menguap, mengantuk, dan malas,
5. Tidak memedulikan kesehatan diri,
6. Suka mencuri untuk membeli narkoba.

D. Referensi
Upaya pencegahan terhadap penyebaran narkoba di kalangan pelajar, sudah seyogianya menjadi
tanggung jawab kita bersama. Dalam hal ini semua pihak termasuk orang tua, guru, dan
masyarakat harus turut berperan aktif dalam mewaspadai ancaman narkoba terhadap anak-anak
kita.

Adapun upaya-upaya yang lebih kongkret yang dapat kita lakukan adalah melakukan kerja sama
dengan pihak yang berwenang untuk melakukan penyuluhan tentang bahaya narkoba, atau
mungkin mengadakan razia mendadak secara rutin. Kemudian pendampingan dari orang tua
siswa itu sendiri dengan memberikan perhatian dan kasih sayang. Pihak sekolah harus
melakukan pengawasan yang ketat terhadap gerak-gerik anak didiknya, karena biasanya
penyebaran (transaksi) narkoba sering terjadi di sekitar lingkungan sekolah. Yang tak kalah
penting adalah, pendidikan moral dan keagamaan harus lebih ditekankan kepada siswa.

Karena salah satu penyebab terjerumusnya anak-anak ke dalam lingkaran setan ini adalah
kurangnya pendidikan moral dan keagamaan yang mereka serap, sehingga perbuatan tercela
seperti ini pun, akhirnya mereka jalani.

Oleh sebab itu, mulai saat ini, kita selaku pendidik, pengajar, dan sebagai orang tua, harus sigap
dan waspada, akan bahaya narkoba yang sewaktu-waktu dapat menjerat anak-anak kita sendiri.
Dengan berbagai upaya tersebut di atas, mari kita jaga dan awasi anak didik kita, dari bahaya
narkoba tersebut, sehingga harapan kita untuk menelurkan generasi yang cerdas dan tangguh di
masa yang akan datang dapat terealisasikan dengan baik

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari Pembahasan di atas bisa ditark kesimpulan bahwa :
1. Narkoba adalah barang yang sangat berbahaya dan bisa merusak susunan syaraf yang bisa
merubah sebuah kepribadian seseorang menjadi semakin buruk.
2. Narkoba adalah sumber dari tindakan kriminalitas yang bisa merusak norma dan ketentraman
umum.
3. Menimbulkan dampak negative yang mempengaruhi pada tubuh baik secara fisik maupun
psikologis.

B. Saran
Dalam masalah yang kita hadapi hendaklah kita selalu mencari penyelesaiannya dengan cara
yang baik dan berfikir positif. Masalah Narkoba di kalanagan remaja hanyalah segelintir masalah
yang kita hadapi. Mungkin saya dapat memberikan saran dalam penyelesaian masalah tentang
narkoba antara lain:
1. Orang tua hendaknya selalu memperhatikan kelakuan dan perubahan perilaku anak.
2. Kasih sayang dari orang tua dan pendidikan agama.

Semoga Karya ilmiah ini dapat di gunakan sebagai referensi dalam penanggulangan narkoba
dalam kalangan remaja. Dan semoga kedepannya bangsa ini dapat menjdi lebih baik lagi dan
terbebas dari narkoba.

DAFTAR PUSTAKA

http://web.netura.net.id/
http://wikipedia.com
http://en.wikipedia.org/wiki/Narcotic
http://www.pikiran-rakyat.com/
http://www.wawasandigital.com/

Contoh #2 : Bahayanya Narkoba

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bahaya narkoba atau narkotika telah diketahui secara luas. Namun masih, saja banyak yang
doyan menikmati barang laknat itu. Kali ini eL-Ka, menguraikan apa saja sih yang termasuk
dalam golongan narkoba dan bahayanya. Agar kita semua menghindarinya.
Mitra muda, tak dapat dipungkiri bahwa narkoba merupakan wabah paling berbahaya yang
menjangkiti manusia di seluruh pelosok bumi. Tidak diragukan lagi, bahwa kelemahan iman dan
ketidakbersimpuhan kepada Allah dalam segala kesulitan merupakan faktor terpenting yang
mengkondusifkan kecanduan narkoba.

Manusia yang taat beragama pasti akan jauh dari neraka narkoba. Tidak mungkin dia akan
mengulurkan tangannya pada narkoba, baik membeli, mengedarkan, maupun
menyelundupkannya. Sebab, jalan narkoba adalah jalan setan dan jalan Allah tidak mungkin
bertemu dengan jalan setan.
Di Indonesia, pencandu narkoba ini perkembangannya semakin pesat. Para pencandu narkoba itu
pada umumnya berusia antara 11 sampai 24 tahun. Artinya usia tersebut ialah usia produktif atau
usia pelajar.Pada awalnya, pelajar yang mengonsumsi narkoba biasanya diawali dengan
perkenalannya dengan rokok.
Karena kebiasaan merokok ini sepertinya sudah menjadi hal yang wajar di kalangan pelajar saat
ini. Dari kebiasaan inilah, pergaulan terus meningkat, apalagi ketika pelajar tersebut bergabung
ke dalam lingkungan orang-orang yang sudah menjadi pencandu narkoba. Awalnya mencoba,
lalu kemudian mengalami ketergantungan. Dampak negatif penyalahgunaan narkoba terhadap
anak atau remaja (pelajar-red) adalah sebagai berikut :
1. Perubahan dalam sikap, perangai dan kepribadian,
2. Sering membolos, menurunnya kedisiplinan dan nilai-nilai pelajaran,
3. Menjadi mudah tersinggung dan cepat marah,
4. Sering menguap, mengantuk, dan malas,
5. Tidak memedulikan kesehatan diri,
6. Suka mencuri untuk membeli narkoba.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, masalah – masalah yang muncul dapat di identifikasi
sebagai berikut :
1. Banyaknya masyarakat belum mengetahui bahayanya narkoba.
2. Banyaknya masyarakat belum memiliki pemahaman tentang bahaya narkoba.
3. Banyaknya masyarakat belum memiliki konsep hidup sehat.

C. Tujuan
Penulisan karya tulis ini bertujuan :
1. Agar Banyaknya masyarakat dapat mengetahui bahayanya narkoba.
2. Agar Banyaknya masyarakat dapat mengetahui pemahaman tentang bahaya narkoba.
3. Agar Banyaknya masyarakat memiliki konsep hidup sehat.

D. Metode
Metode Yg Digunakan Dalam Penulisan Ini AdalahMetode Secara Langsung. Metode ini
mengkaji berbagai referensi tentang bahayanya narkoba.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Jenis-Jenis Narkoba
Berikut jenis-jenis narkoba dan apa saja bahaya-bahayanya
1. Opium
Opium adalah jenis narkotika yang paling berbahaya. Dikonsumsi dengan cara ditelan langsung
atau diminum bersama teh, kopi atau dihisap bersama rokok atau syisya (rokok ala Timur
Tengah). Opium diperoleh dari buah pohon opium yang belum matang dengan cara menyayatnya
hingga mengeluarkan getah putih yang lengket.
Pada mulanya, pengonsumsi opium akan merasa segar bugar dan mampu berimajinasi dan
berbicara, namun hal ini tidak bertahan lama. Tak lama kemudian kondisi kejiwaannya akan
mengalami gangguan dan berakhir dengan tidur pulas bahkan koma.
Jika seseorang ketagihan, maka opium akan menjadi bagian dari hidupnya. Tubuhnya tidak akan
mampu lagi menjalankan fungsi-fungsinya tanpa mengonsumsi opium dalam dosis yang
biasanya. Dia akan merasakan sakit yang luar biasa jika tidak bisa memperolehnya.
Kesehatannya akan menurun drastis. Otot-otot si pecandu akan layu, ingatannya melemah dan
nafsu makannya menurun. Kedua matanya mengalami sianosis dan berat badannya terus
menyusut.

2. Morphine
Orang yang mengonsumsi morphine akan merasakan keringanan (kegesitan) dan kebugaran yang
berkembang menjadi hasrat kuat untuk terus mengonsumsinya. Dari sini, dosis pemakaian pun
terus ditambah untuk memperoleh ekstase (kenikmatan) yang sama.
Kecanduan bahan narkotika ini akan menyebabkan pendarahan hidung (mimisan) dan muntah
berulang-ulang. Pecandu juga akan mengalami kelemahan seluruh tubuh, gangguan memahami
sesuatu dan kekeringan mulut. Penambahan dosis akan menimbulkan frustasi pada pusat
pernafasan dan penurunan tekanan darah. Kondisi ini bisa menyebabkan koma yang berujung
pada kematian.

3. Heroin
Bahan narkotika ini berbentuk bubuk kristal berwarna putih yang dihasilkan dari penyulingan
morphine. Menjadi bahan narkotika yang paling mahal harganya, paling kuat dalam menciptakan
ketagihan (ketergantungan) dan paling berbahaya bagi kesehatan secara umum.
Penikmatnya mula-mula akan merasa segar, ringan dan ceria. Dia akan mengalami ketagihan
seiring dengan konsumsi secara berulang-ulang. Jika demikian, maka dia akan selalu
membutuhkan dosis yang lebih besar untuk menciptakan ekstase yang sama. Karena itu, dia pun
harus megap-megap untuk mendapatkannya, hingga tidak ada lagi keriangan maupun keceriaan.
Keinginannya hanya satu, memperoleh dosis yang lebih banyak untuk melepaskan diri dari rasa
sakit yang tak tertahankan dan pengerasan otot akibat penghentian pemakaian.
Pecandu heroin lambat laun akan mengalami kelemahan fisik yang cukup parah, kehilangan
nafsu makan, insomnia (tidak bisa tidur) dan terus dihantui mimpi buruk. Selain itu, para
pecandu heroin juga menghadapi sejumlah masalah seksual, seperti impotensi dan lemah
syahwat. Sebuah data statistik menyebutkan, angka penderita impotensi di kalangan pecandu
heroin mencapai 40%.

4. Codeine
Codeine mengandung opium dalam kadar yang sedikit. Senyawa ini digunakan dalam pembuatan
obat batuk dan pereda sakit (nyeri). Perusahaan-perusahaan farmasi telah bertekad mengurangi
penggunaan codeine pada obat batuk dan obat-obat pereda nyeri. Karena dalam beberapa kasus,
meski jarang, codeine bisa menimbulkan kecanduan.

5. Kokain
Kokain disuling dari tumbuhan koka yang tumbuh dan berkembang di pegunungan Indis di
Amerika Selatan (Latin) sejak 100 tahun silam. Kokain dikonsumsi dengan cara dihirup,
sehingga terserap ke dalam selaput-selaput lendir hidung kemudian langsung menuju darah.
Karena itu, penciuman kokain berkali-kali bisa menyebabkan pemborokan pada selaput lendir
hidung, bahkan terkadang bisa menyebabkan tembusnya dinding antara kedua cuping hidung.
Problem kecanduan kokain terjadi di Amerika Serikat, karena faktor kedekatan geografis dengan
sumber produksinya. Dengan proses sederhana, yakni menambahkan alkaline pada krak, maka
pengaruh kokain bisa berubah menjadi sangat aktif. Jika heroin merupakan zat adiktif yang
paling banyak menyebabkan ketagihan fisik, maka kokain merupakan zat adiktif yang paling
bayak menyebabkan ketagihan psikis.
Setiap tahun, Amerika Serikat membelanjakan anggaran 30 miliar dollar untuk kokain dan krak.
Tak kurang dari 10 juta warga Amerika mengonsumsi kokain secara semi-rutin. Pemakaian
kokain dalam jangka pendek mendatangkan perasaan riang-gembira dan segar-bugar. Namun
beberapa waktu kemudian muncul perasaan gelisah dan takut, hingga halusinasi.

6. Amfitamine
Obat ini ditemukan pada tahun 1880. Namun, fakta medis membuktikan bahwa penggunaannya
dalam jangka waktu lama bisa mengakibatkan risiko ketagihan. Pengguna obat adiktif ini
merasakan suatu ekstase dan kegairahan, tidak mengantuk, dan memperoleh energi besar selama
beberapa jam. Namun setelah itu, ia tampak lesu disertai stres dan ketidakmampuan
berkonsentrasi, atau perasaan kecewa sehingga mendorongnya untuk melakukan tindak
kekerasan dan kebrutalan.
Kecanduan obat adiktif ini juga menyebabkan degup jantung mengencang dan ketidakmampuan
berelaksasi, ditambah lemah seksual. Bahkan dalam beberapa kasus menimbulkan perilaku seks
menyimpang. Termasuk derivasi (turunan) obat ini adalah obat yang disebut “captagon”. Obat
ini banyak dikonsumsi oleh para siswa selama musim ujian, padahal prosedur penggunaannya
sebenarnya sangat ketat dan hati-hati.

7. Ganja
Ganja memiliki sebutan yang jumlahnya mencapai lebih dari 350 nama, sesuai dengan kawasan
penanaman dan konsumsinya, antara lain; mariyuana, hashish, dan hemp. Adapun zat terpenting
yang terkandung dalam ganja adalah zat trihidrocaniponal (THC).

B. Upaya Pencegahan
Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah peredaran narkoba. cara tersebut
antara lain:
1. Mengadakan pengawasan yang ketat terhadap barang barang yang masuk.
2. Memberikan hukuman yang berat terhadap pengedar dan pemakai narkoba.
3. Melakukan kerja sama dengan pihak yang berwenang untuk melakukan penyuluhan tentang
bahaya narkoba, atau mungkin mengadakan razia mendadak secara rutin.
4. Kemudian pendampingan dari orang tua siswa itu sendiri dengan memberikan perhatian dan
kasih sayang.
5. Pihak sekolah harus melakukan pengawasan yang ketat terhadap gerak-gerik anak didiknya,
karena biasanya penyebaran (transaksi) narkoba sering terjadi di sekitar lingkungan sekolah.
6. Yang tak kalah penting adalah, pendidikan moral dan keagamaan harus lebih ditekankan
kepada siswa.
7. Meningkatkan iman dan taqwa melalui pendidikan agama dan
8. keagamaan baik di sekolah maupun di masyarakat.
9. Meningkatkan peran keluarga melalui perwujudan keluarga sakinah, sebab peran keluarga
sangat besar terhadap pembinaan diri seseorang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak
nakal dan brandal pada umumnya adalah berasal dari keluarga yang berantakan (broken home).
10. Penanaman nilai sejak dini bahwa Narkoba adalah haram.
11. Sebagaimana haramnya Babi dan berbuat zina.
12. Meningkatkan peran orang tua dalam mencegah Narkoba, di Rumah oleh Ayah dan Ibu, di
Sekolah oleh Guru/Dosen dan di masyarakat oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat serta
aparat penegak hukum.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Masyarakat perlu menghindari diri dari penyebaran narkoba.
2. Upaya pemerintah memberikan penyuluhan tentang penyebaran narkoba.
3. Narkoba adalah barang yang sangat berbahaya dan bisa merusak susunan syaraf yang bisa
merubah sebuah kepribadian seseorang menjadi semakin buruk.
4. Narkoba adalah sumber dari tindakan kriminalitas yang bisa merusak norma dan ketentraman
umum.
5. Menimbulkan dampak negative yang mempengaruhi pada tubuh baik secara fisik maupun
psikologis.

B. Saran
1. Hendaknya masyarakat peduli tentang kesehatan
2. Pemerintah hendaknya segera mencari solusi agar penyebaran narkoba tidak terjadi lagi
3. Hendaknya Pihak sekolah harus melakukan pengawasan yang ketat terhadap gerak-gerik anak
didiknya, karena biasanya penyebaran (transaksi) narkoba sering terjadi di sekitar lingkungan
sekolah.
4. Memberikan pendidikan moral dan keagamaan harus lebih ditekankan kepada siswa. Karena
salah satu penyebab terjerumusnya anak-anak ke dalam lingkaran setan ini adalah kurangnya
pendidikan moral dan keagamaan yang mereka serap, sehingga perbuatan tercela seperti ini pun,
akhirnya mereka jalani.

Oleh sebab itu, mulai saat ini, kita selaku pendidik, pengajar, dan sebagai orang tua, harus sigap
dan waspada, akan bahaya narkoba yang sewaktu-waktu dapat menjerat anak-anak kita sendiri.
Dengan berbagai upaya tersebut di atas, mari kita jaga dan awasi anak didik kita, dari bahaya
narkoba tersebut, sehingga harapan kita untuk menelurkan generasi yang cerdas dan tangguh di
masa yang akan datang dapat terealisasikan dengan baik.

SEJARAH KENAPA LEMAHNYA DAULAH ISLAM

Lemahnya aspek pemikiran dalam Daulah Islam muncul pertama kali sejak abad
kelima Hijriyah, yaitu ketika sebagian ulama menyatakan bahwa pintu
ijtihad telah tertutup. Ini adalah pernyataan yang memperlemah negara.
Padahal setelah itu masih banyak dijumpai para mujtahid.

Lemahnya pemikiran itu telah menciptakan kondisi kritis. Keadaan itu


mempengaruhi institusi negara, sehingga perpecahan menggerogoti tubuhnya
dan kelemahan menimpanya. Kondisi ini terus berlangsung hingga pecah
Perang Salib. Pada waktu itu negara dalam kondisi tidak berdaya menghadapi
pasukan Salib. Kedudukan negara goyah dan dalam kegoyahannya negara
terlibat dalam serangkaian Perang Salib yang terjadi secara
berturut-turut. Kira-kira dua abad lamanya.

Kemenangan pertama diraih pasukan gabungan Salib. Mereka berhasil


menguasai sebagian wilayah negeri Islam. Namun dalam peperangan berikutnya
kaum Muslim berhasil membebaskan wilayah negeri Islam yang dikuasai
mereka. Sayangnya, semenjak pemerintahan Islam berpindah ke tangan
Disnasti Mamalik, bahasa Arab, aspek pemikiran dan penyusunan
undang-undang mulai disia-siakan. Berikutnya pintu ijtihad ditutup, yang
akhirnya membawa efek lemahnya pemahaman terhadap Islam. Para penguasa ini
mewajibkan Ulama bertaklid dan itu berarti kelemahan semakin parah di
tubuh negara.
Kemudian muncul serangan pasukan Tartar yang semakin memerosotkan dan
memperlemah negara. Keadaan ini hanya berpengaruh di dalam negeri dan
tidak mempengaruhi aspek luar negeri. Kedudukan Daulah

Islam dalam percaturan antar negara juga tidak melemah dan negara Islam
tetap memiliki harga diri yang kuat dan menggentarkan negara lain. Daulah
Islam masih menempati posisi adidaya di dunia, bahkan negara Utsmaniyah
berhasil mengambil alih permerintahan sebagian besar dunia Islam pada abad
ke-9 Hijriyah bertepatan dengan abad ke-15 Miladiyah. Pada abad ke-10
Hijriyah bertepatan dengan abad ke-16 Miladiyah, kekuasaan baru ini cukup
berhasil menggabungkan negeri Arab ke dalam wilayahnya, lalu kekuasaannya
meluas dan melebar. Pemerintahannya memiliki kewibawaan, didukung dengan
kekuasaan yang kuat, pengaturan pasukan yang sistematis dan disiplin.
Dalam

perkembangan berikutnya, negara Utsmaniyah bergerak keluar dan sibuk


dengan berbagai pembebasan, sementara bahasa Arab diabaikan. Padahal,
bahasa Arab merupakan kebutuhan dasar untuk memahami Islam dan menjadi
salah satu syarat ijtihad. Sungguh sayang, Daulah Utsmaniyah yang kuat
tidak serius mengurusi Islam dalam aspek pemikiran dan pembuatan
perundang-undangan. Akibatnya, tingkat pemikiran dan perundang-undangan
merosot tajam. Saat itu, negara
memang kuat secara kasat mata, namun pada hakikatnya benar-benar lemah.
Kelemahan itu dikarenakan lemahnya pemikiran dan pembuatan
perundang-undangan. Hanya saja, kelemahan tersebut belum terdeteksi oleh
Daulah Islam saat itu, karena sedang berada di puncak kemuliaan,
keagungan, dan kekuatan militernya. Juga karena dikiaskan pemikiran,
perundang-undangan, dan peradabannya kepada pemikiran, perundang-undangan,
dan peradaban Eropa, sehingga mereka mendapati dirinya memiliki
pemikiran, perundang-undangan, dan peradaban yang lebih baik dari Eropa.
Kenyataan ini membuat mereka senang sehingga rela dengan kelemahan ini.
Perbandingan semacam itu jelas tidak proporsional karena Eropa ketika itu
masih terpuruk dalam kegelapan, kebodohan, kekacauan dan kegoncangan;
tertatih-tatih dalam upaya-upaya kebangkitan dan gagal dalam setiap
perbaikan yang dilakukan. Karena itu, membandingkan keadaan Daulah
Utsmaniyah dengan keadaan Eropa yang dilihatnya seperti ini, sudah tentu
Daulah Utsmaniyah dalam posisi yang lebih baik, memiliki sistem yang
handal dan peradaban yang lebih tinggi. Sementara di sisi lain, negara
tidak mampu melihat kondisi internal, yang sebenarnya sedang mengalami
goncangan yang sangat kuat; tidak mampu menyadari kebekuan pemikiran,
kebekuan perundang-undangan dan terpecahnya kesatuan umat. Kemenangannya
atas Eropa dan keberhasilannya menguasai sebagian tenggara wilayah Balkan

menyilaukan pandangannya sehingga tidak mampu menyaksikan kelemahan di


dalam negerinya. Hal itu memang memunculkan ketakutan seluruh negara Eropa
terhadap Daulah Utsmaniyah pada posisinya sebagai Daulah Islam. Akibatnya
di dalam benak mereka terbentuk persepsi bahwa pasukan Islam tidak bisa
dikalahkan. Mereka yakin bahwa tidak ada satu pun pasukan yang mampu
menghadapi kaum Muslim.

Kemudian muncul masalah ketimuran. Ketika itu maknanya diartikan sebagai


ketakutan Eropa terhadap serangan pasukan besar Utsmaniyah yang terus
merayap di bawah kendali Muhammad al-Fatih pada abad ke-9 Hijriyah (abad
ke-15 Miladiyah), juga para Sultan sesudahnya. Ekspansi besar-besaran
terus berlangsung hingga akhir abad ke-11 Hijriyah di tangan Sulaiman
al-Qanuniy. Dia berhasil mengokohkan kekuatan hingga pertengahan abad
ke-12 Hijriyah bertepatan dengan abad ke-18 Miladiyah. Pada periode ini,
potensi keberlangsungan di dalam negara Islam menjadi faktor dominan dalam
memberikan kekuatan negara. Kekuatan akidah pada diri kaum muslimin dan
keberadaan pemahaman mereka yang khas terhadap kehidupan yang belum begitu
berkembang dalam benak mereka serta keberadaan sistem Islam dalam
kehidupan yang penerapannya buruk, seluruhnya masih menjadi sandaran
negara dan menjadikannya tetap bertahan dan kuat.

Keadaan ini masih diperburuk oleh kondisi kacaunya pemikiran dan


perundang-undangan di Eropa. Keadaan-keadaan semacam ini sebenarnya sangat
memungkinkan bagi negara untuk mengubah pemahaman Islam dengan pemahaman
yang benar, meningkatkan perhatiannya terhadap bahasa Arab, menyemarakkan
ijtihad dan memperhatikan aspek-aspek pemikiran dan perundang-undangan;
hingga upaya itu berhasil mengokohkan negara menjadi semakin kuat,
menyempurnakan penguasaannya terhadap dunia, melanjutkan
pembebasan-pembebasan dengan Islam terhadap bagian dunia lainnya dengan
mengemban Islam kepada mereka. Dengan demikian, negara akan berhasil
mengokohkan dirinya, membentuk dunia dengan peradaban Islam dan
menyelamatkan umat manusia dari kerusakan dan kejahatan.
Hanya saja, tidak ada satu pun hal itu yang terjadi, yaitu belum berhasil
menyemarakkan bahasa Arab, selain memberikan kesempatan kepada orang Arab
dalam pengajaran dan keilmuan semata. Tentu saja hal ini tidak memberikan
pengaruh apa pun dalam memperkuat bahasa, juga tidak mampu mengetuk
pemikiran. Sebab, belum ada tindakan untuk menghidupkan bahasa Arab dan
menjadikannya sebagai satu-satunya

bahasa negara yang diwajibkan dalam Daulah Islam. Di samping itu, belum
pula ada tindakan apa pun sehubungan dengan aspek pemikiran dan fiqih.
Sehingga gerakan yang lemah dan simpang siur tersebut tidak berpengaruh
dan keadaan masih berjalan di jalan yang berkelok.

Pada pertengahan abad ke-12 Hijriyah (abad ke-18 Miladiyah) keadaan


berubah dan mulai terjadi kelemahan internal dalam negeri yang sangat luar
biasa. Hal ini karena institusi negara berdiri di atas sisa- sisa sistem
Islam yang buruk penerapannya, juga berlandaskan kepada pemikiran yang
membingungkan, di antaranya ada yang Islami dan ada juga yang justru
menggoyahkan Islam. Pemerintahan secara keseluruhan lebih banyak berada
dalam nuansa sistem Islami daripada benar-benar dalam sistem Islam. Ini
diakibatkan pemahaman yang simpang siur terhadap pemikiran Islam, buruknya
penerapan sistem Islam dan tidak adanya ijtihad, gara-gara para mujtahid
pun tidak ada.

Pada abad ke-13 Hijriyah bertepatan dengan abad ke-19 Miladiyah, neraca
sejarah antara Daulah Islam dan negara-negara non Islam mulai
berayun-ayun. Lalu neraca dunia Islam mulai melemah, sementara timbangan
negara-negara Eropa sedikit demi sedikit mulai berat dan menguat. Di Eropa
mulai muncul kebangkitan-kebangkitan dan hasil-hasilnya mulai tampak.
Sementara di tengah kaum Muslim, akibat kejumudan pemikiran dan buruknya
penerapan Islam juga mulai mencuat ke permukaan. Ini terjadi karena pada
abad ke-19 Miladiyah di Eropa muncul gerakan revolusi yang membahayakan
dalam pemikiran Eropa, akibat dari upaya sungguh-sungguh yang luar biasa
yang telah dilakukan oleh para filosof, para penulis dan pemikir. Terjadi
pula perubahan menyeluruh yang mendorong pemikiran orang-orang Eropa untuk
membangkitkan bangsanya. Sehingga muncullah berbagai gerakan yang memiliki
pengaruh dalam memunculkan pendapat-pendapat baru tentang pandangan
terhadap kehidupan. Di antara pemikiran tersebut yang paling penting
adalah terjadi revisi pada sistem politik, perundang- undangan, dan semua
sistem kehidupan. Bayangan-bayangan berbagai kerajaan lalim di Eropa
lambat laun hilang, kemudian posisinya diduduki oleh sistem-sistem
pemerintahan baru yang dibangun di atas prinsip pemerintahan perwakilan
dan kedaulatan rakyat. Pengaruhnya sangat besar dalam mengarahkan
kebangkitan Eropa. Pada abad ini, di Eropa juga terjadi revolusi industri
yang membawa pengaruh sangat dominan.

Dampaknya tampak dalam inovasi-inovasi baru yang banyak dan beragam.


Semuanya mempunyai pengaruh yang sangat dominan dalam memperkuat Eropa dan
memajukan pemikiran dan kekayaan materinya.
Kekuatan materi dan kemajuan ilmu pengetahuan ini mengakibatkan neraca
dunia Eropa terhadap dunia Islam tampak lebih berat, lalu mengubah
pemahaman tentang masalah ketimuran. Persoalan mempertahankan diri dari
bahaya Islam tidak lagi melanda Eropa, yang ada adalah apakah harus
mempertahankan keberadaan Daulah Utsmaniyah ataukah dipecah-belah.
Ternyata negara-negara tersebut berbeda pendapat seiring dengan perbedaan
kepentingan mereka masing- masing. Berubahnya pemahaman tentang masalah
ketimuran dan beberapa kondisi baru yang muncul di Eropa berupa
peningkatan taraf pemikiran, kemajuan ilmu dan revolusi industri; juga
kelemahan dan perpecahan yang menghantam Daulah Utsmaniyah seluruhnya,
mengantarkan terjadinya perubahan politik antara Daulah Islam dan
negara-negara kufur tersebut secara mendasar. Bangsa Eropa semakin menguat
dan kaum Muslim semakin melemah.

Penyebab revolusi politik di Eropa adalah upaya para pemikir yang


bercita-cita untuk mencapai pembentukan tatanan kehidupan dan penggunaan
arah pandangan tertentu dalam kehidupan mereka. Mareka memeluk akidah
tertentu dan membangun sistem di atasnya. Inilah yang membalikkan
pemahaman mereka sebelumnya tentang sesuatu, sekaligus menjungkirkan
strata nilai-nilai yang ada pada diri mereka. Semuanya mengantarkan pada
revolusi menyeluruh dalam kehidupan yang mendukung munculnya revolusi
industri yang luar biasa.

Ini berbeda dengan kondisi di dunia Islam atau Daulah

Utsmaniyah yang melakukan kekeliruan. Alih-alih mencoba untuk mengamati


situasi kondisi yang ada dengan benar, memikirkan mabdanya dengan
mendalam, menggerakkan pemikiran, dan berusaha mewujudkan kembali ijtihad,
memecahkan problem-problemnya sesuai hukum-hukum yang terpancar dari
akidahnya dan menerima ilmu serta teknologi; malahan seluruhnya menimpakan
kebingungan dan kegoncangan sebagaimana yang pernah terjadi di Eropa.
Karena kebingungan ini, aktivitasnya berhenti dan stagnan. Akhirnya Daulah
Utsmaniyah meninggalkan aspek ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga
tertinggal dalam kemajuan materi dari negara-negara lain. Memang ada sisi
positif yang menggembirakan. Sisi positif itu terletak pada kenyataan
bahwa Daulah Utsmaniyah adalah Daulah Islam dan bangsa-bangsa yang
diperintahnya adalah bangsa-bangsa Muslim. Islam adalah akidah negara dan
sistemnya. Pemikiran-pemikiran Islam adalah pemikiran negara dan arah
pandangan Islam dalam kehidupan juga arah pandangannya.

Bertolak dari hal ini, seharusnya negara memperhatikan pemikiran-


pemikiran baru yang berkembang di Eropa, mengukurnya dengan kaidah
pemikirannya, mengamati problem-problem baru dari sudut pandang Islam,
lalu memberi ketetapan hukum tentang pemikiran-pemikiran dan
problem-problem tersebut melalui ijtihad yang benar sesuai pandangan
Islam, sehingga bisa dipisahkan mana yang benar dan yang rusak.
Namun, sayang sekali negara tidak melakukannya. Hal ini karena
pemikiran-pemikiran Islam yang dimilikinya tidak jelas dan
pemahaman-pemahamannya pun tidak murni. Demikian juga akidah Islam tidak
lagi menjadi kaidah pemikiran tempat dibangunnya seluruh pemikiran,
melainkan sekadar akidah yang diraih dengan taklid.
Sehingga asas yang menjadi pijakan negara adalah akidah dan pemikiran yang
tidak jelas bagi Daulah Utsmaniyah. Sistem yang dipakai pun stagnan karena
tidak adanya ijtihad. Peradaban, yang merupakan kumpulan pemahaman tentang
kehidupan, tidak berkembang dan tidak dikaitkan dengan aktivitas negara.
Penyebabnya adalah kemunduran taraf pemikiran dan tidak adanya
kebangkitan, sehingga mereka hanya bisa berdiri tercengang dan bingung
ketika mereka menyaksikan revolusi pemikiran dan indrustri di Eropa.
Mereka belum mampu memutuskan untuk mengambil atau meninggalkannya. Mereka
juga tidak mampu membedakan antara apa yang boleh mereka ambil yaitu ilmu,
teknologi, dan penemuan-penemuan; dengan yang tidak boleh mereka ambil,
yaitu filsafat yang menentukan arah pandangan kehidupan dan peradaban yang
merupakan kumpulan pemahaman tentang kehidupan. Karena itu, mereka stagnan
dan tidak mampu bergerak. Kejumudan ini menjadi sebab terhentinya roda
sejarah kejayaan mereka. Padahal pada waktu yang sama roda negara-negara
Eropa sedang berputar. Seluruhnya disebabkan oleh tidak adanya pemahaman
mereka terhadap Islam secara benar; ketidakpahaman mereka tentang
perbedaan antara pemikiran-pemikiran Eropa dan pemikiran-pemikirannya dan
tidak adanya kemampuan membedakan antara ilmu, teknologi dan
penemuan-penemuan yang dianjurkan Islam untuk diambil, dengan filsafat,
peradaban dan pemikiran- pemikiran yang dilarang Islam untuk mereka ambil.

Memang benar, Islam tidak dapat dilihat oleh bangsa Utsmaniyah, sehingga
mereka tidak mampu memahami Islam dengan pemahaman yang benar. Kebutaan
inilah yang menjadikan umat dan negara hidup menurut hasil kesepakatan,
tanpa memperhatikan sistem yang dimilikinya.

Padahal dalam waktu yang sama, musuh-musuh negara berpegang teguh pada
sistem yang jelas dan berjalan di atasnya. Dengan demikian, Eropa lah
pemilik ideologi, apa pun akidah dan filsafatnya. Sementara umat Islam
sebagai pemilik ideologi yang benar, hidup dalam angan-angan ideologi itu
sendiri, yang berlangsung berabad-abad. Hal ini karena mereka hidup dalam
buruknya penerapan ideologi mereka sendiri.
Padahal Rasul saw telah bersabda:

“Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian yang selama kalian berpegang teguh


kepadanya, kalian tidak akan sesat, yaitu Kitabullah dan Sunahku”

Padahal juga, negaranya adalah Daulah Islam, umatnya adalah umat Islam,
dan semua kekayaan pemikiran maupun fiqih berada di tangan mereka. Namun,
negara tidak memahami makna hadits tersebut untuk kembali kepada Islam
dalam perkara fondamental dengan persepsi bahwa Islam adalah akidah dan
sistem. Negara juga tidak mampu mengambil manfaat dari kekayaan tersebut
yang tidak pernah dimiliki oleh umat mana pun.

Memang benar, negara tidak memanfaatkan itu semua. Hal ini karena ketika
ijtihad dan perkembangan pemikiran berhenti, maka pemahaman-pemahaman
keislaman di kalangan kaum Muslim melemah.

Mereka meninggalkan pengetahuan keislaman dan buku-buku serta kekayaan


ilmiah tetap tersimpan di lemarinya. Tidak ada lagi ulama yang siap
berpikir kecuali amat sedikit. Semangat dan cinta terhadap pengkajian dan
penelitian tentang hakikat-hakikat sesuatu sangat sedikit. Berbagai
pengetahuan berubah menjadi sekedar ilmu yang tidak dituntut untuk
diamalkan di dalam negara dan dalam realitas kehidupan. Negara tidak
menggerakkannya. Bahkan, para ulama yang menuntut ilmu dan tsaqafah hanya
menjadikannya sebagai kekayaan intelektual. Mereka berpendapat bahwa
mencari ilmu untuk ilmu atau mencari ilmu untuk memperoleh rejeki. Sangat
sedikit dari mereka yang mencari ilmu untuk kemaslahatan umat dan negara.

Keadaan itu menyebabkan tidak adanya gerakan intelektual, tsaqafah, atau


perundang-undangan sehingga memunculkan kekeliruan dalam memahami Islam.
Kaum Muslim lebih banyak memahami Islam dalam aspek kerohanian daripada
pemahaman secara intelektual, politik, dan perundang-undangan. Karena
pemikirannya yang mendasar dan metode yang digunakan untuk melaksanakan
pemikiran tersebut telah buta, sehingga mereka buta dalam memahami
al-Quran dan as-Sunah,

yang pada gilirannya mereka memahami Islam sekedar agama ritual.


Mereka pun membandingkan antara agamanya dengan agama-agama lain berkenaan
dengan perbedaan-perbedaan yang ada pada masing- masing agama tersebut,
namun dalam kedudukan sebagai agama ritual, bukan sebagai akidah dan
aturan untuk seluruh kehidupan.

Karena itu, tidak heran jika umat Islam di bawah kepemimpinan Daulah
Utsmaniyah mengalami stagnasi, jumud, kebingungan, dan goncang ketika
menghadapi revolusi yang terjadi di Eropa. Umat masih tetap terbelakang
dan tidak tergugah sedikit pun oleh kemajuan ekonomi yang membanjiri
Eropa. Tidak terpengaruh oleh banyaknya penemuan yang terjadi di Eropa dan
tidak tergelitik dengan revolusi industri yang dipelopori Eropa. Memang
ada pengaruhnya, namun amat sedikit dan sangat parsial. Itu pun masih
diliputi kebimbangan dan kekacauan sehingga tidak melahirkan manfaat
apa-apa. Hal itu tidak memungkinkan umat Islam memperoleh kemajuan materi,
bahkan tidak memungkinkan mereka menghentikan roda kebekuan yang membawa
serta ke arah kemunduran dan kelemahan. Faktor penyebabnya juga kembali
pada kondisi mereka yang tidak mampu membedakan antara ilmu pengetahuan
dan tsaqafah, antara peradaban dan madaniah. Mereka akhirnya tetap berdiri
dalam kebingungan dan tidak bisa mengambil keputusan apakah mengambil atau
meninggalkannya, banyak di antara mereka yang melihat bahwa semuanya
bertentangan dengan Islam, sehingga mereka menyatakan haram mengambilnya.
Bahkan, ketika percetakan menjadi fenomena baru dan negara bermaksud
mencetak al-Quran, para ulama fiqih malah mengharamkan pencetakan
al-Quran.

Akibatnya, mereka memberi fatwa yang mengharamkan setiap hal baru dan
mengkafirkan setiap orang yang belajar ilmu-ilmu alam dan mencap setiap
pemikir sebagai zindiq dan atheis. Tetapi, di sisi lain ada sekelompok
kecil umat yang melihat keharusan mengambil segala hal dari Barat, berupa
ilmu pengetahuan, tsaqafah, peradaban maupun madaniah.
Mereka ini adalah orang-orang yang belajar di Eropa atau di sekolah-
sekolah misionaris yang telah menyusup ke negeri-negeri Islam. Pada
mulanya mereka tidak memiliki pengaruh. Mayoritas masyarakat memiliki
konsep pemikiran untuk melakukan kompromi antara Islam dengan tsaqafah,
ilmu-ilmu, peradaban dan madaniah yang berasal dari Barat.

Pada akhir masa pemerintahan Daulah Utsmaniyah, berkembang sebuah


pemikiran yang mengklaim bahwa Barat telah mengambil peradabannya dari
Islam dan Islam tidak mencegah mengambil dan mengamalkan sesuatu yang
bersesuaian dengan Islam, selama tidak bertentangan dengannya. Barat
rupanya berhasil menyebarkan pemikiran ini hingga mendominasi masyarakat
Islam dan membawanya ke tengah masyarakat terutama kalangan intelektual.
Sebagian besar dari mereka adalah fuqaha dan ulama lalu mereka menamakan
diri sebagai ulama modern. Mereka juga menamakan diri sebagai kaum
pembaharu.

Terdapat perbedaan yang mendasar antara peradaban Barat dan peradaban


Islam. Demikian pula terdapat perbedaan yang jelas antara tsaqafah Barat
berikut visi kehidupannya, dengan tsaqafah dan visi kehidupan Islam.
Karena itu, tidak mungkin menyeleraskan atau mengkompromikan antara apa
yang terdapat dalam Islam dan apa yang terdapat dalam pikiran-pikiran
Barat. Mengkompromikan dua hal yang bertentangan akan mengantarkan umat
jauh dari Islam dan mendekatkan mereka pada pemikiran-pemikiran Barat
dengan pola yang kacau. Mereka menjadi lemah dalam memahami
pemikiran-pemikiran Barat dan menjadi semakin jauh dari Islam.

Hal itu memiliki dampak yang sangat besar dalam pengabaian berbagai
penemuan, ilmu dan teknologi. Juga berpengaruh sangat besar terhadap
buruknya pemahaman Islam yang mengarahkan umat kepada kumpulan pemikiran
yang saling bertentangan tersebut dan
ketidakmampuan negara untuk tetap konsisten pada satu pemikiran tertentu
saja. Seperti halnya menyebabkan umat berpaling dan tidak mau mengambil
sarana-sarana kemajuan materi yang berupa ilmu, penemuan-penemuan dan
terknologi. Akibatnya, negara benar-benar menjadi lemah hingga tidak mampu
berdiri dan menjaga dirinya.

Kelemahannya menimbulkan keberanian musuh-musuh Islam untuk mencabik-cabik


negara Islam menjadi bagian-bagian kecil, sementara negara tidak kuasa
menolak dan justru menerimanya dengan pasrah.

Kelemahannya juga menimbulkan keberanian para misionaris untuk melancarkan


serangannya terhadap Islam dengan mengatasnamakan ilmu pengetahuan. Mereka
menyusupkan misinya ke dalam tubuh umat sehingga berhasil memecah belah
barisan mereka dan menyalakan api fitnah di dalam negeri-negeri Islam.

Gerakan-gerakan yang beraneka ragam ini pada akhirnya berhasil merobohkan


negara yang disusul dengan munculnya paham nasionalisme di seluruh bagian
negara, yaitu di Balkan, Turki, negeri-negeri Arab, Armenia, dan
Kurdistan. Saat tahun 1914 M tiba, negara berada di tepi jurang yang
dalam, kemudian terseret ke dalam Perang Dunia I, lalu keluar sebagai
pihak yang kalah dan akhirnya dihancurkan. Dengan demikian, hilanglah
Daulah Islam dan Barat berhasil mewujudkan impiannya yang telah mengusik
mereka selama berabad-abad. Barat berhasil menghancurkan Daulah Islam demi
untuk menghancurkan Islam itu sendiri. Dengan lenyapnya Daulah Islam, maka
pemerintahan di seluruh negeri-negeri Islam tidak lagi Islami dan kaum
Muslim hidup di bawah naungan bendera kufur. Sehingga urusan mereka
menjadi tercabik- cabik, keadaan mereka memburuk, dan akhirnya hidup dalam
sistem kufur dan diperintah dengan hukum-hukum kufur.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengaruh Peradaban Islam Terhadap Pendidikan Sejak Abad Pertama Hingga Abad
Modern
Harun Nasution menyimpulkan bahwa periode perkembangan sejarah Islam bisa
dikelompokkan ke dalam tiga masa, yaitu; 1) masa klasik, antara tahun 650-1250 M, 2) masa
pertengahan, antara tahun 1250-1800 M, 3) masa modern, sejak tahun 1800 M sampai
sekarang.1[4]
1. Abad Pertama /Periode Klasik (650-1250 M)
Di zaman inilah daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat
dan melalui Persia sampai ke India di Timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada kekuasaan
Khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus dan terakhir di
Baghdad.

1[4] Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Lihat pula: Harun Nasution, Islam
Rasional (Bandung: Mizan, 1994), hal. 112.
Periode klasik ini dimulai dengan periode peletakan pondasi peradaban oleh Nabi
Muhammad saw yang kemudian diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin dan dikembangkan era
daulah (dinasti) Bani Umayyah. Dalam mendeskripsikan sejarah penyebaran Islam periode
khilafah awal, maka analisis weberian dianggap cukup relevan. Max Weber menekankan bahwa
faktor ide atau gagasan atau pemikiran merupakan faktor yang sangat menentukan adanya
perubahan sosial.2[5]
Kehadiran Nabi membawa perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Arab. Ide dan
gagasan Nabi yang tersurat dalam al-Qur’an menjadi inspirasi untuk menuju tatanan kehidupan
yang lebih mapan dan beradab. Pengaruh nilai dan moralitas al-Qur’an yang dibawa Nabi
termanifestasi dalam sejarah dan peradaban Islam. Muhammad dilahirkan dan dibesarkan di
tengah-tengah suku Qurasiy Mekkah, tetapi reformasi

2[5] Ralph Schroeeder, Max Weber and The Sociology of Culture (London: Sage, 1992), hal. 150-151.
teologi, reformasi kultural, dan reformasi sosial yang dibawanya berdasarkan wahyu Allah,
dianggap memiliki peran penting dalam membangun tatanan sosial-politik dan tradisi kaum
Qurasiy.3[6]
Selain itu, hijrah Nabi dan umat Islam yang masih berjumlah sedikit dari Mekkah ke
Madinah juga memberikan kontribusi penting dalam proses pembentukan peradaban. Periode
Mekkah merupakan periode yang menyakitkan bagi Nabi dan pengikutnya sehingga Nabi
melakukan hijrah ke Madinah (Yatsrib) tahun 622 M untuk menyusun kekuatan baru setelah
Mekkah dianggap tidak kondusif untuk penyebaran dakwah Islam. Di Madinah, Nabi menyusun
kekuatan sosial-politik dan ekonomi untuk menyatakan perang ekonomi kepada pedagang
Quraiys.4[7] Secara sosiologis, hijrah merupakan imigrasi dan pemutusan ikatan-ikatan
kekerabatan dengan kaum Quraisy Mekkah.5[8] Namun demikian, hijrah tidak hanya merupakan
perpindahan Nabi dan umat Islam untuk menghindari tekanan-tekanan dan perlawanan dari
kaum kafir Quraisy. Hijrah berdampak positif bagi perkembangan kegiatan intelektual umat
Islam. Mereka lebih leluasa untuk mengembangkan pengetahuannya sebagaimana yang memang
ditekankan oleh Nabi dalam berbagai hadisnya.
Ekspansi yang dilakukan oleh pemegang estafet pemerintahan selanjutnya -Khulafa’ Al-
Rasyidin, Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah- secara garis besar memiliki peranan penting
dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan di dunia Islam. Menurut Ibnu Khaldun,
pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang amat terkait erat dengan luasnya wilayah dan
beragamnya budaya maupun ilmu yang ada di daerah-daerah yang dikuasai Islam.6[9] Secara
pasti, ekspansi Islam menyebabkan terjadinya kontak antara Islam dengan kebudayaan Barat,
atau tegasnya dengan kebudayaan Yunani Klasik yang terdapat di Mesir, Suria, Mesopotamia
dan Persia.7[10]

3[6] Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, hal. 19-20.


4[7] Shwaki Abu Khaleel, Islam on the Trial (Beirut: Dar Al-Fikr, 1991), hal. 52.
5[8] Bryan S. Turner, Menggugat Sosiologi Sekuler, terjemahan Mudhofir (Yogyakarta: Suluh Press,
2005), hal. 54.
6[9] Abdur Rahman Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun (Beirut: Dar Al-Kotoob Al-Ilmiyyah,
t.t.), hal. 344-345.
7[10] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 71.
Pada era klasik ini metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis berkembang dengan
pesat. Sentuhan estetika dan filsafat telah menghantarkan peradaban Islam pada puncak
kejayaan. Ulama’-ulama’ mujtahid bermunculan, begitu juga para ilmuwan muslim telah
menghasilkan karya-karya seni, filsafat dan ilmu pengetahuan secara mengagumkan.8[11]
Peran para khalifah tidak bisa dinegasikan dari kemajuan yang dicapai oleh periode ini,
terutama pada masa Bani Abbas. Di masa Bani Abbas inilah perhatian kepada ilmu pengetahuan
dan filsafat Yunani memuncak terutama di zaman Harun Al-Rasyid (785-809 M) dan Al-
Ma’mun (813-833 M). Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari Bizantium dan
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kegiatan penterjemahan buku-buku ini berjalan
kira-kira satu abad. Bait Al-Hikmah, yang didirikan Al-Ma’mun, bukan hanya merupakan pusat
penterjemahan tetapi juga akademi yang mempunyai perpustakaan. Di antara cabang-cabang
ilmu pengetahuan yang diutamakan dalam Bait Al-Hikmah ialah ilmu kedokteran, matematika,
optika, geografi, fisika, astronomi, dan sejarah di samping filsafat.9[12]
Maka kemudian muncul beberapa ilmuwan muslim terkenal dan menjadi kebanggaan
dunia Islam seperti; Al-Fazari (Abad VII) sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun
Astrolabe (alat yang dahulu dipakai untuk mengukur tinggi bintang-bintang dan sebagainya; Al-
Fargani (di Eropa dikenal dengan sebutan Al-Fragnus) adalah pengarang ringkasan tentang ilmu
astronomi; Dalam bidang optika, Abu Ali Al-Hasan Ibn Al-Haytham (Abad X) terkenal sebagai
orang yang menentang pendapat bahwa mata yang mengirim cahaya kepada benda yang dilihat.
Menurutnya, bendalah yang mengirim cahaya ke mata dan karena menerima cahaya itu, mata
bisa melihat benda yang bersangkutan.10[13]
Dalam bidang Kimia, Jabir ibn Hayyan (w. 813 M)11[14] dikenal sebagai bapak Kimia.
Abu Bakar Zakaria Al-Razi (w. 925 M) adalah pengarang buku besar tentang kimia yang baru
dijumpai di abad XX dan juga penemu di bidang ilmu kedokteran dan farmasi.12[15]

8[11] Syamsul Bakri, Peta Sejarah Peradaban Islam, hal. 11.


9[12] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 70.
10[13] Ibid., hal. 71.
11[14] Gharib Gaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka..., hal. 68-77.
12[15] Ibid., hal. 107-118.
Di zaman ini pula lahir ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah,
Imam Syafi’I dan Imam Ibn Hambal dalam bidang hukum; Imam Asy’ari, Imam Al-Maturidi,
pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn ‘Ata’, Abu Al- Huzail, Al-Nazzam, dan Al-Zuba’i
dalam bidang teologi; Dzunnun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami dan Al- Hallaj dalam
mistisisme atau tasawwuf; Al- Kindi, Al- Farabi, Ibn Sina dan Ibnu Miskawih dalam filsafat.
13[16]
Ringkasnya, periode ini adalah periode peradaban Islam yang tertinggi dan berpengaruh
pada tercapainya peradaban modern di Barat sekarang. Periode kemajuan Islam ini, menurut
Christopher Dawson, bersamaan dengan abad kegelapan di Eropa. Memang sebagaimana
dijelaskan oleh Mc. Neill, kebudayaan Kristen di Eropa antara 600-1000 M. sedang mengalami
masa surut yang rendah. Di Abad XI, Eropa mulai sadar akan adanya peradaban Islam yang
tinggi di Timur dan melalui Spanyol, Sicilia dan Perang Salib peradaban itu sedikit demi sedikit
dibawa ke Eropa.14[17]
2. Periode Pertengahan (1250-1800 M)
Pada masa pertengahan, yakni antara tahun 1250-1800 M adalah fase kemunduran dari
intelektual umat Islam, karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam, sehingga ada
kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan
akhirat.15[18] Di zaman ini, desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat yang berakibat
pada hilangnya khilafah secara formil. Islam tidak lagi mempunyai khalifah yang diakui oleh
semua umat sebagai lambang persatuan dan ini berlaku sampai kerajaan Usmani mengangkat
khalifah baru di Istanbul di abad ke-16.16[19]
Pada periode pertengahan ini, terdapat masa tiga kerajaan Besar (1500-1800 M). Tiga
kerajaan besar yang dimaksud adalah kerajaan Usmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan
Kerajaan Mughal di India. Tahun 1500-1700 M dianggap sebagai fase kemajuan II dalam sejarah
peradaban Islam.17[20] Literatur dalam bahasa Turki di zaman inilah mulai muncul. Di masa-

13[16] Umar Sulaiman, Islam Kosmopolitan..., hal. 265-266.


14[17] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 74.
15[18] Umar Sulaiman, Islam Kosmopolitan, hal. 266.
16[19] Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hal. 82.
17[20] Ibid., hal. 84.
masa sebelumnya, pengarang-pengarang Turki menulis dalam bahasa Persia. Di zaman Sultan
Salim I dan Sultan Sulaiman dikenal dua pengarang; Fuzuli dan Baki, yang kemudian disusul di
abad ke-18 oleh Nedim dan Syeikh Ghalib. Dalam bidang arsitek, sultan-sultan mendirikan
istana-istana, masjid-masjid, benteng-benteng dan sebagainya.
Di India, bahasa Urdu juga meningkat menjadi bahasa literatur dan menggantikan bahasa
Persia yang sebelumnya dipakai di kalangan istana sultan-sultan di Delhi. Para penulis besar
pertama dalam bahasa ini adalah Mazhar, Sauda, Dard, dan Mir (abad 18). Sayangnya, perhatian
terhadap ilmu pengetahuan sangat kurang sekali dibandingkan dengan masa-masa kejayaan
Islam I. Kemajuan Islam II ini lebih ditekankan pada kemajuan dalam aspek politik.18[21]
Tahun 1700-1800 M disebut sebagai fase kemunduran II kerajaan Islam. Pada tahun-
tahun ini kondisi kekuatan militer dan politik umat Islam menurun. Di bidang ekonomi, juga
terpuruk akibat hilangnya monopoli dagang antara Timur dan Barat. Ilmu pengetahuan di dunia
Islam mengalami stagnasi. Tarekat-tarekat diliputi oleh suasana khurafat dan supertisi. Umat
Islam dipengaruhi oleh sikap fatalistis, sehingga dunia Islam dalam keadaan mundur dan statis.
Sementara, pada masa itu Barat mengalami kebangkitan. Penetrasi Barat, yang kekuatannya
bertambah besar, ke dunia Islam yang didudukinya kian lama bertambah mendalam. Akhirnya,
di tahun 1978 M, Napoleon menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat Islam yang terpenting.
Jatuhnya pusat Islam ini ke tangan Barat, menginsafkan dunia Islam akan kelemahannya dan
menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban yang lebih tinggi dari
peradaban Islam.19[22]
3. Periode Modern (1800 M - dan seterusnya)
Periode Modern (1800 M - dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan umat Islam.
Jatuhnya Mesir ke tangan Barat mengilhami kebangkitan. Raja-raja dan pemuka-pemuka Islam
mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali. Pada era
ini, sebagaimana diungkapkan Al-Faruqi, kondisi umat Islam sangat tidak menggembirakan
sekalipun dalam kuantitas besar umat Islam berdomisili di tanah yang subur dengan sumber daya
alam yang melimpah.20[23] Bangsa Eropa melakukan hegemoni ekonomi atas bangsa-bangsa

18[21] Ibid., hal. 85-86.


19[22] Ibid., hal. 87-88.
20[23] Ismail Raj’i Al-Faruqi, Tawhid, terjemahan Rahmani Astuti (Bandung: Pustaka, 1982), hal. vii.
Timur dan Islam. Dan bahkan pada abad 19, Eropa secara terang-terangan menjadikan dirinya
sebagai imperialisme dunia karena telah didukung oleh kekuatan politik, kekuasaan dan militer.
Setelah umat Islam menyadari ketertinggalannya, maka kemudian muncul upaya
dekonstruksi oleh para pemikir Islam untuk membangkitkan ketertiduran umat Islam. Etika
politik kebangsaan pun dibangun seiring dengan pembangunan dan reformasi teologi. Upaya-
upaya itu antara lain mengajak umat Islam untuk melakukan shifting paradigm (loncatan
paradigma) dengan memunculkan keberanian menafsirkan ajaran-ajaran dasar agama dengan
interpretasi-interpretasi baru yang lebih segar dan progresif sesuai perkembangan zaman. Ini
dimaksudkan agar nilai luhur Islam tidak usang oleh dinamika perubahan yang berjalan begitu
cepat. Dari sini, bermunculan ide-ide keagamaan baru seperti tajdid (pembaruan), revivalisme
(puritanisme, kembali ke ajaran dasar al-Qur’an dan al-Sunnah), dan bahkan muncul juga
sekularisme yang kontroversial.
Pada periode ini, muncul banyak para pemikir Islam yang handal. Mereka menjadi pioner
pembaharuan dalam Islam. Ajaran Islam dirasionalisasikan dan difahami dalam konteks ke-kini-
an dan kemodernan. Islam difahami tidak hanya difahami dari sudut pandang lokal, tetapi juga
dalam perspektif universal dan kontekstual. Sejarah mencatat munculnya para pemikir Islam di
dunia Arab, seperti di Arab, Mesir, dan Turki. Demikian juga di India dan Pakistan. Tidak
ketinggalan di Indonesia dan dunia Islam lainnya.
Sejarah juga mencatat, para pemikir dan tokoh pembaharuan Islam yang sangat popular.
Pemikiran dan ide pembaharuannya terus dipelajari. Bahkan pengaruhnya dapat dirasakan
sampai sekarang. Di dunia Arab, dikenal tokoh Muhammad bin Abdul Wahab, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridla, Mustafa Kemal Attaturk, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Abdul
halim Mahmud, dan sebagainya. Di India dan Pakistan, dikenal tokoh pembaharu seperti
Muhammad Iqbal, Ali Jinah, Kalam Azad, Ahmad Khan, Jamaluddin al-Afghani, dan lain-lain.
Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Tokoh pembaharuan yang cukup popular, dapat
disebutkan diantaranya : Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Munawir Sadjali, Abdurrahman
Wahid, Amin Rais, dan sebagainya.
Secara garis besar, gerakan pembaharuan pemikiran di dunia Islam, dapat dipahami
dalam empat model gerakan sebagai berikut:
a) Gerakan Wahabiyah atau Salafiyah.
Pelopornya adalah Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) di Jazirah Arabia.
Tumbuh dan lebih berkembang di Hijaz sebagai jantung umat Islam sedunia, ketika itu. Gerakan
ini dipandang sebagai gerakan puritanisme Islam. Gerakan yang hampir serupa tumbuh di India
yang dipelopori oleh Syah Waliyullah dan Syekh Ahmad Sihrin di India21[24]. Menurut Harun
Nasution22[25], Muhammad bin Abdul Wahab bukan hanya seorang teoris yang sangat
memahami ajaran Islam, tetapi ia dipandang sebagai seorang pemimpin yang dengan aktif dan
progresif berusaha menyebarkan dan mewujudkan pemikirannya. Sedangkan Syah Waliyullah
dan Syekh Ahmad Sihrin dipandang sebagai tokoh yang menentang sufisme secara sangat tajam.
Gerakan-gerakan ini muncul bukan karena pengaruh Barat, tetapi sebagai reaksi terhadap
faham Tauhid Islam (Aqidah) yang telah dirusak oleh hadirnya ajaran-ajaran yang menyimpang,
seperti mempercayai keramat, merajalelanya bid’ah, khurafat, dan tahayul serta kemusyrikan.
Untuk melepaskan umat islam dari kesesatan ini, tokoh ini berpendapat bahwa umat Islam harus
kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya (asli), yakni Islam yang dianut oleh Nabi saw,
sahabat, tabi’in sampai abad ke-3 Hijriyah. Sumber ajaran islam hanyalah al-Quran dan al-
Hadits. Untuk memahami ajaran yang terkandung dalam dua sumber tersebut, maka
dipergunakan ijtihad. Oleh karena itu, pintu ijtihad belum tertutup, bahkan harus tetap dibuka;
Dalam pandangan Amien Rais23[26], gerakan Wahabiyah sering dianggap terlalu
revolusioner oleh karena gagasan-gagasan yang disampaikannya terlalu radikal menurut ukuran
zamannya. Sekalipun dipengaruhi oleh pikiran reformatif Ibnu Taimiyyah, gerakan Wahabiyah
tidak sepenuhnya merupakan duplikat fikiran-fikiran Ibnu Taimiyyah.
Terdapat beberapa perbedaan mendasar. Pertama, jika Ibnu Taimiyyah menyerang
sufisme, maka serangannya tidak frontal. Sedangkan gerakan Wahabiyah menyerang sufisme
tanpa ampun, sekalipun harus diakui bahwa berkat jasa kaum Wahabiyah-lah pembabatan
bid’ah, khurafat, tahayul yang merajalela di dunia Islam pada masa lalu berhasil secara
mengesankan. Kedua, sikap agak kaku terhadap rasionalisme, Ibnu Taimiyyah juga melakukan
kritik terhadap rasionalisme, tetapi kritik itu tidak berakibat memojokan penalaran rasional

21[24] Amien Rais dalam John J. Donohue, Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-Masalah,
terjemahan (Jakarta: Raja Grafindo Press, 1995), hal. x.
22[25] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), hal. 25.
23[26] Amien Rais dalam John J. Donohue, Islam dan Pembaharuan...
terhadap usaha perbaikan terhadap berbagai dimensi kehidupan kaum muslimin. Barangkali
kelemahan kaum Wahabi adalah semangat agak anti terhadap rasionalismenya, sehingga
semboyan ijtihad yang dikumandangkannya tidak begitu efektif, berhubung tidak diberikannya
tempat secara wajar bagi intelektualisme. Akan tetapi harus kita catat, adanya pengaruh positif
bagi masyarakat muslim di dunia, terutama prinsip egalitarianisme yang diserukan gerakan
ini.24[27]
b) Gerakan Pembaharuan (Modernisme)
Gerakan ini dirintis dan dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897). Kemudian
diikuti dan dikembangkan oleh Muhammad Abduh (1849-1905) dan dilanjutkan oleh muridnya,
Rasyid Ridla (1865-1935). Gerakan ini tumbuh dan berkembang di Mesir, ketika itu (bahkan
sampai sekarang) menjadi pusat intelektualisme Islam. Gerakan ini –sesuai dengan namanya-
berusaha mengadopsi kemajuan Barat dan menyesuaikannya (adaptasi) dengan peri-kehidupan
umat Islam. Gerakan ini menolak selalu bersandar pada kejayaan Islam masa lalu dan lebih
memilih hikmah-hikmah yang dapat diambil dari masa itu, kemudian menghidupkannya kembali
di tengah-tengah kaum Muslimin. Hal ini bisa diwujudkan dalam pemikiran politik, social,
budaya, agama, dan sebagainya. Secara langsung maupun tidak langsung, hasil pemikirannya
disebarkan melalui berbagai tulisan, terutama dalam majalah dan ceramah-ceramah di berbagai
tempat dan waktu.
Ide-ide atau pemikiran dasarnya adalah sebagai berikut : 1) Kembali kepada sumber dasar
ajaran Islam yang sebenarnya, yaitu al-Quran dan al-Hadits; 2) Pintu ijtihad tetap terbuka. Ijtihad
perlu dilakukan untuk memahami sumber ajaran Islam (al-Quran dan al-Hadits) yang
disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan zaman (interpretasi baru); 3) Akal (rasio)
adalah alat untuk melakukan ijtihad. Menggunakan rasio (akal) dan penalaran menjadi sangat
penting dan memiliki posisi yang sangat tinggi; 4) Percaya kepada hukum alam (sunnatullah).
Hukum alam tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya. Oleh karena itu ilmu
pengetahuan modern yang berdasarkan hukum alam, dan Islam yang sebenarnya berdasarkan
wahyu adalah dua hal yang tidak bertentangan. Ilmu pengetahuan modern, idealnya sesuai
dengan islam. Saat ini yang mengalami kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi adalah
Barat. Maka untuk mencapai kemajuan seperti yang diraih di masa lampau (yang sekarang telah

24[27] Ibid., hal. xii.


hilang dan dimiliki Barat), umat Islam harus kembali dan mempelajari serta menguasai ilmu
pengetahuan; 5) Percaya kepada kebebasan berkehendak dan bertindak (free-will and free-act)
seperti faham Qadariyah.25[28]
c) Westernisme
Westernisme diartikan sebagai faham ke-Barat-Baratan atau “berkiblat” ke Barat. Faham
ini mengajak umat Islam untuk menerima dan mengadopsi pengetahuan Barat dan semua yang
berasal dari Barat. Gerakan ini tumbuh dan berkembang di India, salah satu pusat politik Islam
(tempat kerajaan Mughal yang besar itu). Gerakan ini dipelopori oleh Sir Ahmad Khan (1817-
1989). Ia mendirikan Universitas Aligarh untuk mengembangkan dan menyebarkan ide-idenya.
Ide-ide dasarnya sebenarnya memiliki kesamaan dengan ide-ide dasar yang disampaikan oleh
Muhammad Abduh. Hanya saja Ahmad Khan melihat bahwa umat Islam India mengalami
kemunduran karena tidak mengikuti perkembangan zaman. Islam pernah mengalami kemajuan
yang luar biasa pada masa klasik, tetapi peradaban dan kemajuan itu telah hilang. Saat ini yang
mengalami kemajuan adalah Barat.
Oleh karena itu menurutnya, umat Islam India akan mengalami kemajuan jika bukan
hanya mempelajari dengan Barat, tetapi sebaiknya bekerja sama dengan Barat (Inggris). Dasar
kekuatan Barat adalah ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Untuk mengalami kemajuan,
maka umat Islam harus mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Jalan yang harus ditempuh adalah memperkuat hubungan dengan Barat (Inggris) dan mengambil
berbagai aspek kemajuan dan ketinggian yang ada di Barat.26[29]
d) Sekularisme
Sekularisme tumbuh dan berkembang di Turki sebagai pusat politik islam bekas wilayah
Daulah Usmaniyyah (Turki-Usmani). Pelopornya adalah Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938).
Mustafa Kemal, sebenarnya adalah seorang Nasionalis pengagum Barat. Ia menginginkan Islam
mengalami kemajuan. Oleh karena itu, menurutnya perlu diadakan pembaharuan dalam agama
untuk disesuaikan dengan bumi Turki. Menurutnya, Islam adalah agama rasional dan sangat
diperlukan dalam kehidupan manusia. Tetapi agama rasional itu telah dirusak oleh para ulama.
Ajaran Islam memerlukan sekularisasi. Usaha sekularisasinya berpusat pada upaya

25[28] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam..., hal. 66.


26[29]Ibid., hal. 167.
menghilangkan ulama dari kekuasaan Negara dan politik. Yang difahami sebagai ulama adalah
orang atau komunitas yang menguasai syariat dan ajaran Islam serta menentukan masalah sosial,
ekonomi, hukum, politik, dan pendidikan.
Menurut Attaturk, negara harus dipisahkan dari agama. Inilah esensi dari sekularisasi.
Dengan pandangan Mustafa Kemal Attaturk tersebut, ia berpendapat bahwa al-Quran perlu
diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, adzan dan khutbah menggunakan bahasa Turki. Madrasah
yang sudah ketinggalan zaman ditutup, digantikan oleh fakultas “Ilahiyah” yang mendidik imam
shalat, khatib-khatib, dan mengembangkan berbagai pembaharuan yang diperlukan. Pendidikan
agama dan bahasa Arab dihilangkan dari sekolah-sekolah. Nama-nama orang Turki harus
mengikuti nama-nama orang Eropa. Hukum syariat tentang perkawinan diganti oleh hukum
Barat (Swiss). Wanita mempunyai hak cerai yang sama dengan kaum pria. Diandalkan hukum-
hukum baru, seperti hukum dagang, hukum pidana, hukum perdata, dan lain-lain yang diambil
dari hukum-hukum Barat.27[30]

27[30] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2005), hal.
306
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu Pengetahuan merupakan aspek terpenting dalam perkembangan peradaban. Dalam
Islam, ilmu pengetahuan mendapatkan perhatian serius sebagaimana terkandung dalam ayat-ayat
al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi. Pemaknaan dan pemahaman terhadap kedua sumber itu
yang menyebabkan perbedaan generasi umat Islam dari awal hingga sekarang. Interptreasi itu
pulalah yang menyebabkan gairah inteletual dalam lembaran sejarah peradaban Islam mengalami
fluktuasi.
Secara garis besar, pengaruh peradaban Islam terhadap pendidikan dibagi menjadi tiga
fase :
1) Periode Klasik (650-1250 M), di mana ilmu pengetahuan mengalami kemajuan yang sangat
pesat, muncul karya-karya besar dan temuan-temuan sains yang belum pernah ada sebelumnya.
2) Periode Pertengahan (1250-1800 M), gairah intelektual umat Islam terkikis dan sangat merosot.
Tidak ada lagi buah karya atau penemuan sains yang dihasilkan oleh ilmuwan muslim. Perhatian
terhadap ilmu pengetahuan sangat menurun.
3) Periode Modern (1800 M – Sekarang), umat Islam mulai menyadari keterpurukan dan
ketertinggalannya utamanya dalam bidang sains dan teknologi. Spirit ini melahirkan beberapa
model gerakan pembaharuan dalam interpretasi dan implementasi terhadap ajaran Islam. Secara
umum, ada empat model gerakan pembaharuan yang muncul; Wahabiyah, Modernisme,
Westernisme dan Sekularisme.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, Mohammad Athiyah. 1974. Al-Tarbiyah Al-Islamiyyah, terjemahan Bustani A. Gani dan
Johar Bahry dengan judul “Dasar-Dasar Pendidikan Islam”. Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Baihaqi, Abu Bakar Ahmad ibn Al-Husayn. 1994. Sunan Al-Baihaqi Al-Kubra. Mekkah: Dar Al-
Baz.
Al-Faruqi, Ismail Raj’i. 1982. Tawhid, terjemahan Rahmani Astuti. Bandung: Pustaka.
Al-Khudary, Muhammad ibn ‘Afifi. 2004. Nur Al-Yaqin fi Sirat Sayyid Al-Mursalin. Beirut: Dar Al-
Ma’rifah.
Al-Sirjany, Raghib. 2009. Madza Qaddama Al-Muslimun li Al-‘Alam: Ishamat Al-Muslimin fi Al-
Hadlorat Al-Insaniyyah. Kairo: Muassasah Iqra’.
Bakri,Syamsul. 2011. Peta Sejarah Peradaban Islam. Yogyakarta: Fajar Media Press.
Donohue, John J. 1995. Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi Masalah-Masalah, terjemahan. Jakarta:
Raja Grafindo Press.
Gaudah, Muhammad Gharib. 2012. 147 Ilmuwan Terkemuka dalam Sejarah Islam, terjemahan
Muhyiddin Mas Rida. Jakarta: Pustaka A-Kautsar.
Khaldun, Abdur Rahman Ibn. t.t. Muqaddimah Ibn Khaldun. Beirut: Dar Al-Kotoob Al-Ilmiyyah.
Khaleel, Shwaki Abu. 1991. Islam on the Trial. Beirut: Dar Al-Fikr.
Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI-Press.
Schroeeder, Ralph. 1992. Max Weber and The Sociology of Culture. London: Sage.
Shihab, M. Quraish. 2013. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat.
Bandung: Mizan.
Sulaiman, Umar. 2012. Islam Kosmopolitan: Ikhtiar Pembumian Nilai-Nilai Transenden-Humanis di
Ruang Publik. Yogyakarta: Freshbooks.
Sunanto, Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Turner, Bryan S. 2005. Menggugat Sosiologi Sekuler, terjemahan Mudhofir. Yogyakarta: Suluh Press.
akhmadrowi.blogspot.com.

28[1] http://haryono10182.wordpress.com/tag/sejarah-pendidikan-islam (06 April 2014 jam 09.00 WIB)


29[2] Muhammad Gharib Gaudah, 147 Ilmuwan Terkemuka dalam Sejarah Islam, terjemahan
Muhyiddin Mas Rida (Jakarta: Pustaka A-Kautsar, 2012), hal. 7-8.
30[3] Ibid., hal. 5.

LEMAHNYA DAULAH ISLAM


emahnya aspek pemikiran dalam Daulah Islam muncul pertama
vC^s^kali sejak abad kelima Hijriyah, yaitu ketika sebagian ulama
menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Ini adalah pernyataan
yang memperlemah negara. Padahal setelah itu masih banyak dijumpai
para mujtahid.

Lemahnya pemikiran itu telah menciptakan kondisi kritis.


Keadaan itu mempengaruhi institusi negara, sehingga perpecahan
menggerogoti tubuhnya dan kelemahan menimpanya. Kondisi ini terus
berlangsung hingga pecah Perang Salib. Pada waktu itu negara dalam
kondisi tidak berdaya menghadapi pasukan Salib. Kedudukan negara
goyah dan dalam kegoyahannya negara terlibat dalam serangkaian
Perang Salib yang terjadi secara berturut-turut. Kira-kira dua abad
lamanya.

Kemenangan pertama diraih pasukan gabungan Salib. Mereka


berhasil menguasai sebagian wilayah negeri Islam. Namun dalam
peperangan berikutnya kaum Muslim berhasil membebaskan wilayah
negeri Islam yang dikuasai mereka. Sayangnya, semenjak pemerintahan
Islam berpindah ke tangan Disnasti Mamalik, bahasa Arab, aspek
pemikiran dan penyusunan undang-undang mulai disia-siakan.
Berikutnya pintu ijtihad ditutup, yang akhirnya membawa efek lemahnya
pemahaman terhadap Islam. Para penguasa ini mewajibkan Ulama

Temalinya Dautali ls(am 233

bertaklid dan itu berarti kelemahan semakin parah di tubuh negara.


Kemudian muncul serangan pasukan Tartar yang semakin
memerosotkan dan memperlemah negara. Keadaan ini hanya
berpengaruh di dalam negeri dan tidak mempengaruhi aspek luar negeri.
Kedudukan Daulah Islam dalam percaturan antar negara juga tidak
melemah dan negara Islam tetap memiliki harga diri yang kuat dan
menggentarkan negara lain. Daulah Islam masih menempati posisi
adidaya di dunia, bahkan negara Utsmaniyah berhasil mengambil alih
permerintahan sebagian besar dunia Islam pada abad ke-9 Hijriyah
bertepatan dengan abad ke-15 Miladiyah. Pada abad ke-10 Hijriyah
bertepatan dengan abad ke-16 Miladiyah, kekuasaan baru ini cukup
berhasil menggabungkan negeri Arab ke dalam wilayahnya, lalu
kekuasaannya meluas dan melebar. Pemerintahannya memiliki
kewibawaan, didukung dengan kekuasaan yang kuat, pengaturan
pasukan yang sistematis dan disiplin. Dalam perkembangan berikutnya,
negara Utsmaniyah bergerak keluar dan sibuk dengan berbagai
pembebasan, sementara bahasa Arab diabaikan. Padahal, bahasa Arab
merupakan kebutuhan dasar untuk memahami Islam dan menjadi salah
satu syarat ijtihad. Sungguh sayang, Daulah Utsmaniyah yang kuat
tidak serius mengurusi Islam dalam aspek pemikiran dan pembuatan
perundang-undangan. Akibatnya, tingkat pemikiran dan perundang-
undangan merosot tajam. Saat itu, negara memang kuat secara kasat
mata, namun pada hakikatnya benar-benar lemah. Kelemahan itu
dikarenakan lemahnya pemikiran dan pembuatan perundang-
undangan. Hanya saja, kelemahan tersebut belum terdeteksi oleh
Daulah Islam saat itu, karena sedang berada di puncak kemuliaan,
keagungan, dan kekuatan militernya. Juga karena dikiaskan pemikiran,
perundang-undangan, dan peradabannya kepada pemikiran,
perundang-undangan, dan peradaban Eropa, sehingga mereka
mendapati dirinya memiliki pemikiran, perundang-undangan, dan
peradaban yang lebih baik dari Eropa. Kenyataan ini membuat mereka
senang sehingga rela dengan kelemahan ini. Perbandingan semacam
itu jelas tidak proporsional karena Eropa ketika itu masih terpuruk dalam
kegelapan, kebodohan, kekacauan dan kegoncangan; tertatih-tatih
dalam upaya-upaya kebangkitan dan gagal dalam setiap perbaikan

234 Daufafi Isfam

yang dilakukan. Karena itu, membandingkan keadaan Daulah


Utsmaniyah dengan keadaan Eropa yang dilihatnya seperti ini, sudah
tentu Daulah Utsmaniyah dalam posisi yang lebih baik, memiliki sistem
yang handal dan peradaban yang lebih tinggi. Sementara di sisi lain,
negara tidak mampu melihat kondisi internal, yang sebenarnya sedang
mengalami goncangan yang sangat kuat; tidak mampu menyadari
kebekuan pemikiran, kebekuan perundang-undangan dan terpecahnya
kesatuan umat. Kemenangannya atas Eropa dan keberhasilannya
menguasai sebagian tenggara wilayah Balkan menyilaukan
pandangannya sehingga tidak mampu menyaksikan kelemahan di
dalam negerinya. Hal itu memang memunculkan ketakutan seluruh
negara Eropa terhadap Daulah Utsmaniyah pada posisinya sebagai
Daulah Islam. Akibatnya di dalam benak mereka terbentuk persepsi
bahwa pasukan Islam tidak bisa dikalahkan. Mereka yakin bahwa tidak
ada satu pun pasukan yang mampu menghadapi kaum Muslim.

Kemudian muncul masalah ketimuran. Ketika itu maknanya


diartikan sebagai ketakutan Eropa terhadap serangan pasukan besar
Utsmaniyah yang terus merayap di bawah kendali Muhammad al-Fatih
pada abad ke-9 Hijriyah (abad ke-15 Miladiyah), juga para Sultan
sesudahnya. Ekspansi besar-besaran terus berlangsung hingga akhir
abad ke- 11 Hijriyah di tangan Sulaiman al-Qanuniy. Dia berhasil
mengokohkan kekuatan hingga pertengahan abad ke-12 Hijriyah
bertepatan dengan abad ke-18 Miladiyah. Pada periode ini, potensi
keberlangsungan di dalam negara Islam menjadi faktor dominan dalam
memberikan kekuatan negara. Kekuatan akidah pada diri kaum
muslimin dan keberadaan pemahaman mereka yang khas terhadap
kehidupan yang belum begitu berkembang dalam benak mereka serta
keberadaan sistem Islam dalam kehidupan yang penerapannya buruk,
seluruhnya masih menjadi sandaran negara dan menjadikannya tetap
bertahan dan kuat.

Keadaan ini masih diperburuk oleh kondisi kacaunya pemikiran


dan perundang-undangan di Eropa. Keadaan-keadaan semacam ini
sebenarnya sangat memungkinkan bagi negara untuk mengubah
pemahaman Islam dengan pemahaman yang benar, meningkatkan
perhatiannya terhadap bahasa Arab, menyemarakkan ijtihad dan
£emafinv)a Dautafi ls(am 235

memperhatikan aspek-aspek pemikiran dan perundang-undangan;


hingga upaya itu berhasil mengokohkan negara menjadi semakin kuat,
menyempurnakan penguasaannya terhadap dunia, melanjutkan
pembebasan- pembebasan dengan Islam terhadap bagian dunia lainnya
dengan mengemban Islam kepada mereka. Dengan demikian, negara
akan berhasil mengokohkan dirinya, membentuk dunia dengan
peradaban Islam dan menyelamatkan umat manusia dari kerusakan
dan kejahatan.

Hanya saja, tidak ada satu pun hal itu yang terjadi, yaitu belum
berhasil menyemarakkan bahasa Arab, selain memberikan kesempatan
kepada orang Arab dalam pengajaran dan keilmuan semata. Tentu
saja hal ini tidak memberikan pengaruh apa pun dalam memperkuat
bahasa, juga tidak mampu mengetuk pemikiran. Sebab, belum ada
tindakan untuk menghidupkan bahasa Arab dan menjadikannya
sebagai satu-satunya bahasa negara yang diwajibkan dalam Daulah
Islam. Di samping itu, belum pula ada tindakan apa pun sehubungan
dengan aspek pemikiran dan fiqih. Sehingga gerakan yang lemah dan
simpang siur tersebut tidak berpengaruh dan keadaan masih berjalan
di jalan yang berkelok.

Pada pertengahan abad ke-12 Hijriyah (abad ke-18 Miladiyah)


keadaan berubah dan mulai terjadi kelemahan internal dalam negeri
yang sangat luar biasa. Hal ini karena institusi negara berdiri di atas
sisa-sisa sistem Islam yang buruk penerapannya, juga berlandaskan
kepada pemikiran yang membingungkan, di antaranya ada yang Islami
dan ada juga yang justru menggoyahkan Islam. Pemerintahan secara
keseluruhan lebih banyak berada dalam nuansa sistem Islami daripada
benar-benar dalam sistem Islam. Ini diakibatkan pemahaman yang
simpang siur terhadap pemikiran Islam, buruknya penerapan sistem
Islam dan tidak adanya ijtihad, gara-gara para mujtahid pun tidak ada.

Pada abad ke-13 Hijriyah bertepatan dengan abad ke-19


Miladiyah, neraca sejarah antara Daulah Islam dan negara-negara non
Islam mulai berayun-ayun. Lalu neraca dunia Islam mulai melemah,
sementara timbangan negara-negara Eropa sedikit demi sedikit mulai
berat dan menguat. Di Eropa mulai muncul kebangkitan-kebangkitan
dan hasil-hasilnya mulai tampak. Sementara di tengah kaum Muslim,

236 Dau(a(t Isfam

akibat kejumudan pemikiran dan buruknya penerapan Islam juga mulai


mencuat ke permukaan. Ini terjadi karena pada abad ke-19 Miladiyah
di Eropa muncul gerakan revolusi yang membahayakan dalam
pemikiran Eropa, akibat dari upaya sungguh-sungguh yang luar biasa
yang telah dilakukan oleh para filosof, para penulis dan pemikir. Terjadi
pula pembahan menyeluruh yang mendorong pemikiran orang-orang
Eropa untuk membangkitkan bangsanya. Sehingga muncullah berbagai
gerakan yang memiliki pengaruh dalam memunculkan pendapat-
pendapat baru tentang pandangan terhadap kehidupan. Di antara
pemikiran tersebut yang paling penting adalah teijadi revisi pada sistem
politik, perundang-undangan, dan semua sistem kehidupan. Bayangan-
bayangan berbagai kerajaan lalim di Eropa lambat laun hilang,
kemudian posisinya diduduki oleh sistem-sistem pemerintahan baru
yang dibangun di atas prinsip pemerintahan perwakilan dan kedaulatan
rakyat. Pengaruhnya sangat besar dalam mengarahkan kebangkitan
Eropa. Pada abad ini, di Eropa juga terjadi revolusi industri yang
membawa pengaruh sangat dominan. Dampaknya tampak dalam
inovasi-inovasi baru yang banyak dan beragam. Semuanya mempunyai
pengaruh yang sangat dominan dalam memperkuat Eropa dan
memajukan pemikiran dan kekayaan materinya.

Kekuatan materi dan kemajuan ilmu pengetahuan ini


mengakibatkan neraca dunia Eropa terhadap dunia Islam tampak lebih
berat, lalu mengubah pemahaman tentang masalah ketimuran.
Persoalan mempertahankan diri dari bahaya Islam tidak lagi melanda
Eropa, yang ada adalah apakah harus mempertahankan keberadaan
Daulah Utsmaniyah ataukah dipecah-belah. Ternyata negara-negara
tersebut berbeda pendapat seiring dengan perbedaan kepentingan
mereka masing-masing. Berubahnya pemahaman tentang masalah
ketimuran dan beberapa kondisi baru yang muncul di Eropa berupa
peningkatan taraf pemikiran, kemajuan ilmu dan revolusi industri;
juga kelemahan dan perpecahan yang menghantam Daulah
Utsmaniyah seluruhnya, mengantarkan terjadinya perubahan politik
antara Daulah Islam dan negara-negara kufur tersebut secara
mendasar. Bangsa Eropa semakin menguat dan kaum Muslim
semakin melemah.

Hemafinya Daufafi fsfam 237

Penyebab revolusi politik di Eropa adalah upaya para pemikir


yang bercita-cita untuk mencapai pembentukan tatanan kehidupan dan
penggunaan arah pandangan tertentu dalam kehidupan mereka. Mareka
memeluk akidah tertentu dan membangun sistem di atasnya. Inilah
yang membalikkan pemahaman mereka sebelumnya tentang sesuatu,
sekaligus menjungkirkan strata nilai-nilai yang ada pada diri mereka.
Semuanya mengantarkan pada revolusi menyeluruh dalam kehidupan
yang mendukung munculnya revolusi industri yang luar biasa.

Ini berbeda dengan kondisi di dunia Islam atau Daulah


Utsmaniyah yang melakukan kekeliruan. Alih-alih mencoba untuk
mengamati situasi kondisi yang ada dengan benar, memikirkan
mabdanya dengan mendalam, menggerakkan pemikiran, dan berusaha
mewujudkan kembali ijtihad, memecahkan problem-problemnya sesuai
hukum-hukum yang terpancar dari akidahnya dan menerima ilmu serta
teknologi; malahan seluruhnya menimpakan kebingungan dan
kegoncangan sebagaimana yang pernah terjadi di Eropa. Karena
kebingungan ini, aktivitasnya berhenti dan stagnan. Akhirnya Daulah
Utsmaniyah meninggalkan aspek ilmu pengetahuan dan teknologi,
sehingga tertinggal dalam kemajuan materi dari negara-negara lain.
Memang ada sisi positif yang menggembirakan. Sisi positif itu terletak
pada kenyataan bahwa Daulah Utsmaniyah adalah Daulah Islam dan
bangsa-bangsa yang diperintahnya adalah bangsa-bangsa Muslim.
Islam adalah akidah negara dan sistemnya. Pemikiran-pemikiran Islam
adalah pemikiran negara dan arah pandangan Islam dalam kehidupan
juga arah pandangannya. Bertolak dari hal ini, seharusnya negara
memperhatikan pemikiran-pemikiran baru yang berkembang di Eropa,
mengukurnya dengan kaidah pemikirannya, mengamati problem-
problem baru dari sudut pandang Islam, lalu memberi ketetapan hukum
tentang pemikiran-pemikiran dan problem-problem tersebut melalui
ijtihad yang benar sesuai pandangan Islam, sehingga bisa dipisahkan
mana yang benar dan yang rusak. Namun, sayang sekali negara tidak
melakukannya.

Hal ini karena pemikiran-pemikiran Islam yang dimilikinya tidak


jelas dan pemahaman-pemahamannya pun tidak murni. Demikian juga
akidah Islam tidak lagi menjadi kaidah pemikiran tempat dibangunnya

238 Daufafi Isfam

seluruh pemikiran, melainkan sekadar akidah yang diraih dengan taklid.


Sehingga asas yang menjadi pijakan negara adalah akidah dan
pemikiran yang tidak jelas bagi Daulah Utsmaniyah. Sistem yang
dipakai pun stagnan karena tidak adanya ijtihad. Peradaban, yang
merupakan kumpulan pemahaman tentang kehidupan, tidak
berkembang dan tidak dikaitkan dengan aktivitas negara. Penyebabnya
adalah kemunduran taraf pemikiran dan tidak adanya kebangkitan,
sehingga mereka hanya bisa berdiri tercengang dan bingung ketika
mereka menyaksikan revolusi pemikiran dan indrustri di Eropa. Mereka
belum mampu memutuskan untuk mengambil atau
meninggalkannya. Mereka juga tidak mampu membedakan antara
apa yang boleh mereka ambil yaitu ilmu, teknologi, dan penemuan-
penemuan; dengan yang tidak boleh mereka ambil, yaitu filsafat
yang menentukan arah pandangan kehidupan dan peradaban yang
merupakan kumpulan pemahaman tentang kehidupan. Karena itu,
mereka stagnan dan tidak mampu bergerak. Kejumudan ini menjadi
sebab terhentinya roda sejarah kejayaan mereka. Padahal pada
waktu yang sama roda negara-negara Eropa sedang berputar.
Seluruhnya disebabkan oleh tidak adanya pemahaman mereka
terhadap Islam secara benar; ketidakpahaman mereka tentang
perbedaan antara pemikiran-pemikiran Eropa dan pemikiran-
pemikirannya dan tidak adanya kemampuan membedakan antara
ilmu, teknologi dan penemuan-penemuan yang dianjurkan Islam
untuk diambil, dengan filsafat, peradaban dan pemikiran-pemikiran
yang dilarang Islam untuk mereka ambil.

Memang benar, Islam tidak dapat dilihat oleh bangsa


Utsmaniyah, sehingga mereka tidak mampu memahami Islam dengan
pemahaman yang benar. Kebutaan inilah yang menjadikan umat dan
negara hidup menurut hasil kesepakatan, tanpa memperhatikan sistem
yang dimilikinya. Padahal dalam waktu yang sama, musuh-musuh
negara berpegang teguh pada sistem yang jelas dan berjalan di
atasnya. Dengan demikian, Eropa lah pemilik ideologi, apa pun
akidah dan filsafatnya. Sementara umat Islam sebagai pemilik
ideologi yang benar, hidup dalam angan-angan ideologi itu sendiri,
yang berlangsung berabad-abad. Hal ini karena mereka hidup dalam

Temalinya Daufali fsfam 239

buruknya penerapan ideologi mereka sendiri. Padahal Rasul saw telah


bersabda:

A* »«

“Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian gang selama kalian berpegang


teguh kepadanya, kalian tidak akan sesat, yaitu Kitabullah dan
Sunahku”

Padahal juga, negaranya adalah Daulah Islam, umatnya adalah


umat Islam, dan semua kekayaan pemikiran maupun fiqih berada di
tangan mereka. Namun, negara tidak memahami makna hadits tersebut
untuk kembali kepada Islam dalam perkara fondamental dengan
persepsi bahwa Islam adalah akidah dan sistem. Negara juga tidak
mampu mengambil manfaat dari kekayaan tersebut yang tidak pernah
dimiliki oleh umat mana pun.

Memang benar, negara tidak memanfaatkan itu semua. Hal ini


karena ketika ijtihad dan perkembangan pemikiran berhenti, maka
pemahaman-pemahaman keislaman di kalangan kaum Muslim
melemah. Mereka meninggalkan pengetahuan keislaman dan buku-buku
serta kekayaan ilmiah tetap tersimpan di lemarinya. Tidak ada lagi
ulama yang siap berpikir kecuali amat sedikit. Semangat dan cinta
terhadap pengkajian dan penelitian tentang hakikat-hakikat sesuatu
sangat sedikit. Berbagai pengetahuan berubah menjadi sekedar ilmu
yang tidak dituntut untuk diamalkan di dalam negara dan dalam realitas
kehidupan. Negara tidak menggerakkannya. Bahkan, para ulama yang
menuntut ilmu dan tsaqafah hanya menjadikannya sebagai kekayaan
intelektual. Mereka berpendapat bahwa mencari ilmu untuk ilmu atau
mencari ilmu untuk memperoleh rejeki. Sangat sedikit dari mereka yang
mencari ilmu untuk kemaslahatan umat dan negara.

Keadaan itu menyebabkan tidak adanya gerakan intelektual,


tsaqafah, atau perundang-undangan sehingga memunculkan kekeliruan
dalam memahami Islam. Kaum Muslim lebih banyak memahami Islam
dalam aspek kerohanian daripada pemahaman secara intelektual,
politik, dan perundang-undangan. Karena pemikirannya yang
mendasar dan metode yang digunakan untuk melaksanakan pemikiran

240 Daufafi Isfam

tersebut telah buta, sehingga mereka buta dalam memahami al-Quran


dan as-Sunah, yang pada gilirannya mereka memahami Islam sekedar
agama ritual. Mereka pun membandingkan antara agamanya dengan
agama-agama lain berkenaan dengan perbedaan-perbedaan yang ada
pada masing-masing agama tersebut, namun dalam kedudukan sebagai
agama ritual, bukan sebagai akidah dan aturan untuk seluruh
kehidupan.

Karena itu, tidak heran jika umat Islam di bawah kepemimpinan


Daulah Utsmaniyah mengalami stagnasi, jumud, kebingungan, dan
goncang ketika menghadapi revolusi yang terjadi di Eropa. Umat masih
tetap terbelakang dan tidak tergugah sedikit pun oleh kemajuan ekonomi
yang membanjiri Eropa. Tidak terpengaruh oleh banyaknya penemuan
yang terjadi di Eropa dan tidak tergelitik dengan revolusi industri yang
dipelopori Eropa. Memang ada pengaruhnya, namun amat sedikit dan
sangat parsial. Itu pun masih diliputi kebimbangan dan kekacauan
sehingga tidak melahirkan manfaat apa-apa. Hal itu tidak
memungkinkan umat Islam memperoleh kemajuan materi, bahkan tidak
memungkinkan mereka menghentikan roda kebekuan yang membawa
serta ke arah kemunduran dan kelemahan. Faktor penyebabnya juga
kembali pada kondisi mereka yang tidak mampu membedakan antara
ilmu pengetahuan dan tsaqafah, antara peradaban dan madaniah.
Mereka akhirnya tetap berdiri dalam kebingungan dan tidak bisa
mengambil keputusan apakah mengambil atau meninggalkannya,
banyak di antara mereka yang melihat bahwa semuanya bertentangan
dengan Islam, sehingga mereka menyatakan haram mengambilnya.
Bahkan, ketika percetakan menjadi fenomena baru dan negara
bermaksud mencetak al-Quran, para ulama fiqih malah mengharamkan
pencetakan al-Quran. Akibatnya, mereka memberi fatwa yang
mengharamkan setiap hal baru dan mengkafirkan setiap orang yang
belajar ilmu-ilmu alam dan mencap setiap pemikir sebagai zindiq dan
atheis. Tetapi, di sisi lain ada sekelompok kecil umat yang melihat
keharusan mengambil segala hal dari Barat, berupa ilmu pengetahuan,
tsaqafah, peradaban maupun madaniah. Mereka ini adalah orang-orang
yang belajar di Eropa atau di sekolah-sekolah misionaris yang telah
menyusup ke negeri-negeri Islam. Pada mulanya mereka tidak memiliki

Temalinya Daufafi ls(am 24 1

pengaruh. Mayoritas masyarakat memiliki konsep pemikiran untuk


melakukan kompromi antara Islam dengan tsaqafah, ilmu-ilmu,
peradaban dan madaniah yang berasal dari Barat. Pada akhir masa
pemerintahan Daulah Utsmaniyah, berkembang sebuah pemikiran
yang mengklaim bahwa Barat telah mengambil peradabannya dari
Islam dan Islam tidak mencegah mengambil dan mengamalkan sesuatu
yang bersesuaian dengan Islam, selama tidak bertentangan dengannya.
Barat rupanya berhasil menyebarkan pemikiran ini hingga mendominasi
masyarakat Islam dan membawanya ke tengah masyarakat terutama
kalangan intelektual. Sebagian besar dari mereka adalah fuqaha dan
ulama lalu mereka menamakan diri sebagai ulama modern. Mereka
juga menamakan diri sebagai kaum pembaharu.

Terdapat perbedaan yang mendasar antara peradaban Barat


dan peradaban Islam. Demikian pula terdapat perbedaan yang jelas
antara tsaqafah Barat berikut visi kehidupannya, dengan tsaqafah dan
visi kehidupan Islam. Karena itu, tidak mungkin menyeleraskan atau
mengkompromikan antara apa yang terdapat dalam Islam dan apa
yang terdapat dalam pikiran-pikiran Barat. Mengkompromikan dua hal
yang bertentangan akan mengantarkan umat jauh dari Islam dan
mendekatkan mereka pada pemikiran-pemikiran Barat dengan pola
yang kacau. Mereka menjadi lemah dalam memahami pemikiran-
pemikiran Barat dan menjadi semakin jauh dari Islam.

Hal itu memiliki dampak yang sangat besar dalam


pengabaian berbagai penemuan, ilmu dan teknologi. Juga
berpengaruh sangat besar terhadap buruknya pemahaman Islam
yang mengarahkan umat kepada kumpulan pemikiran yang saling
bertentangan tersebut dan ketidakmampuan negara untuk tetap
konsisten pada satu pemikiran tertentu saja. Seperti halnya
menyebabkan umat berpaling dan tidak mau mengambil sarana-
sarana kemajuan materi yang berupa ilmu, penemuan-penemuan
dan terknologi. Akibatnya, negara benar-benar menjadi lemah hingga
tidak mampu berdiri dan menjaga dirinya. Kelemahannya
menimbulkan keberanian musuh-musuh Islam untuk mencabik-cabik
negara Islam menjadi bagian-bagian kecil, sementara negara tidak kuasa
menolak dan justru menerimanya dengan pasrah. Kelemahannya juga

242 Daufalt Isfam

menimbulkan keberanian para misionaris untuk melancarkan serangannya


terhadap Islam dengan mengatasnamakan ilmu pengetahuan. Mereka
menyusupkan misinya ke dalam tubuh umat sehingga berhasil memecah
belah barisan mereka dan menyalakan api fitnah di dalam negeri-negeri
Islam.

Gerakan-gerakan yang beraneka ragam ini pada akhirnya


berhasil merobohkan negara yang disusul dengan munculnya paham
nasionalisme di seluruh bagian negara, yaitu di Balkan, Turki, negeri-
negeri Arab, Armenia, dan Kurdistan. Saat tahun 1914 M tiba, negara
berada di tepi jurang yang dalam, kemudian terseret ke dalam Perang
Dunia I, lalu keluar sebagai pihak yang kalah dan akhirnya dihancurkan.
Dengan demikian, hilanglah Daulah Islam dan Barat berhasil
mewujudkan impiannya yang telah mengusik mereka selama berabad-
abad. Barat berhasil menghancurkan Daulah Islam demi untuk
menghancurkan Islam itu sendiri. Dengan lenyapnya Daulah Islam,
maka pemerintahan di seluruh negeri-negeri Islam tidak lagi Islami dan
kaum Muslim hidup di bawah naungan bendera kufur. Sehingga urusan
mereka menjadi tercabik-cabik, keadaan mereka memburuk, dan
akhirnya hidup dalam sistem kufur dan diperintah dengan hukum-
hukum kufur.

Anda mungkin juga menyukai