Anda di halaman 1dari 16

Hukum Dalam Konteks Aliran Positivisme

A. Pendahuluan
Istilah positivisme brasal dari kata “ponere” yang berarti meletakkan,
kemudian menjadi bentuk pasif “pusitus-a-um”yang berarti diletakkan.
Dengan demikian, positivisme menunjukkan pada sebuah sikap atau
pemikiran yang meletakkan pandnagan dan pendekatannya pada sesuatu.
Umumnya positivism bersifat empiris.1 Positivisme hukum (aliran hukum
positif) memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan mora
(antara hukum yang berlaku dan hukum, antara das Sein dan das Sollen).
Dalam kacamata positivism, tidak ada hukum lain kecuali pemerintah
menguasai (law is command of the lawgivers). Bahkan, bagian dari aliran
hukum positif yang dikenal dengan nama legisme, berpendapat lebih tegas,
bahwa hukum itu identik dengan undang-undang.2
Positivisme hukum melihat bahwa yang terutama dalam melihat
hukuma dalah fakta bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-
orang tertentu didalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk
membuat hukum. Sumber dan validitas atas norma hukum bersumber pada
kewenangan tersebut. Menurut aliran ini, hukum adalah norma-norma yang
diciptakan atau bersumber dari kewenangan yang formal atau informal dari
lembaga yang berwenang untuk itu atau lembaga pemerintahan yang tertinggi
dalam sebuah komunitas.
Aliran berpandangan hukum identik dengan undang-undang, yaitu
aturan yang berlaku. Satu-satunya sumber hukum adalah undnag-undang.
Menurut aliran ini, hukum merpakan perintah penguasa dan kehendak dari
negara. Sumber pemikirannya adalah logika, yaitu suatu cara berpikir
manusia yang didasarkan pada teori kemungkinan (kearah kebenaran).3
1
Suparman Usman, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Serang: Suhud Sentra Utama, 2007),
h. 108.
2
Darji Darmodiharjo dan Shindarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pusaka Utama, 2008), h. 113.
3
Amran Suadi, Filsafat Hukum: Refleksi Fiilsafat Pancasila, Hak Asasi Manusia, dan Etika,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2019), h. 79.

1
B. Pembahasan
1. Sejarah Lahirnya Hukum Positivisme
Muncul pada abad ke-19, setelah mazhab hukum alam mengalami
kemunduran dan kegagalan. Hukum alam pada waktu ini tidak bisa lagi
memberikan tuntutan ditengah-tengah gugatan terhadap kepercayaan
sosial dan moral pada sat itu.
Pertentangan pemikiran oleh para pemikir yang menyusun dunia
dari konsep-konsep dan gagasan-gagasan, selalu ada sepanjang sejarah
filsafat, meskipun banyak dari antinomi ini: kaum idealis versus
materialis, metafisis versus positivis, ontologisme versus empiris, dan lain-
lain. Dalam berbagai cara, pembedaan antara pendekatan Plato dan
Aristoteles terhadap masalah alam semesta merupakan pertentangan khas
antara mazhab-mazhab dalam filsafat. Dengan demikian, maka dapatlah
diartikan bahwa, positivisme sama tuanya dengan filsafat. Akan tetapi
seperti gerakan yang tetap dalam filsafat umum, sosiologi, dan ilmu
hukum pada hakikatnya adalah gejala modern, yang disatu pihak
menyertai dan menggambarkan ruanglingkup dan sangat pentingnya ilmu
pengetahuan, dan dilain pihak, dalam filsafat politik dan teori hukum
munculnya negara modern.
Pada belahan abad ini semakin marak melahirkan suatu pemikiran
falsafati yang dikenal dengan sebutan paham positivisme. Positivisme
adalah suatu paham falsafati dan alur tradisi Galilean yang muncul dan
berkembang pada abad ke-18. Positivisme yang berkembang sebagai hasil
pemikiran falsafati perintisnya yang bernama Auguste Comte (1798-1857)
mencoba mendayagunakan pradigma Galilean ini untuk menjelaskan
kehidupan manusia dalam masyarakatnya. Menurut Comte yang
berlatarbelakangkan kesarjanaan matematika dan fisika itu konsep dan
metode ilmu alam kodrat dapat juga dipakai untuk menjelaskan kehidupan
kolektif manusia. Menurut Comte, kehidupan manusia itu sebagaimana
peristiwa-peristiwa yang berlangsung seperti apa adanya dikanca alam

2
benda-benda anorganik yang tak bernyawa pun terjadi dibawah imperativa
hukum sebab sebab akibat dengan segala kondisi dan faktor
probabilitasnya. Hubungan sebab-akibat antara variabel seperti itu nyata
kalau terlepas dari sembarang kehendak atau rencana yang berkesengajaan
yang sifatnya subjektif.
Dalam kehidupan yang serba carut marut pasca-Revolusi Prancis
abad ke-19, dikarenakan Rajan berbuat sewenang-wenang maka rakyat
bosan dan menginginkan suatu hukum yang membatasi Raja tersebut,
Muncullah apa yang dinamakan Magna Carta. Auguste Comte mencoba
untuk menstabilkan sebuah masyarakat dengan memberikan sebuah solusi
tentang konsep masyarakat ideal yaitu yaitu masyarakat positivistik.
Auguste Comte hadir dalam rangka memberikan jawaban atas keresahan
dan kecarut-marutan masyarakat prancis. Dengan teori determinannya dia
mencoba menggambarkan masyarakat Prancis dalam tiga tahap yaitu
masyarakat teologis atau mitos, masyarakat meta fisika, dan masyarakat
postitivis yang disebut oleh Auguste Comte sebagai masyarakat yang
mapan.
Seiring dengan perjalanan pergulatan intelektualnya membuat pola
pikir Auguste Comte berkembang. Dalam sebuah bukunya berjudul
“Sistem Politik Positif” tahun 1824, yang berawal dari pemikiran Plato
dan Aristoteles, Auguste Comte mencoba menggaungkannya menjadi
positivistik. Dalam keadaan masyarakat positivis sebuah ilmu harus valid
observeble dan objektif dan memenuhi standar ilmiah sebuah ilmu. Dalam
hal ini, Comte melihat bahwa ilmu pengetahuan harus bersifat netral dan
tidak memihak pada sebuah ideologi manapun. Pengetahuan yang benar
harus bersifat ilmiah yaitu harus melalui prosedur-prosedur ilmiah, tanpa
melewati prosedur ilmiah maka bukan dianggap sebagai pengetahuan yang
ilmiah dan salah.
Melihat perkembangan pengetahuan yang ada pada waktu itu yang
mendominasi adalah ilmu-ilmu eksakta yang kemudian bisa menerima
metode yang ditawarkan Auguste Comte. Berawal dari sebuah ilmu-ilmu

3
eksakta yang berkembang waktu itu Auguste Comte mencoba
menerjemahkan ilmu-ilmu sosial dengan paradigma eksakta. Dalam
paradigma eksakta semua ilmu harus bisa dibutikan kebenarannya dengan
melakukan eksperimen atau dengan melihat realitas sosial yang ada.
Dalam membangun teori sosiologi Auguste Comte lebih memilih
unit analisis makro (objektif) dan bukan individu, dalam hal ini entitas
yang lebih besar seperti keluara, struktur sosial, dan perubahan sosial.
Comte pada intinya berargumentasi bahwa gagasan yang mendasari
pengembangan struktur masyarakat maupun negara, atas dasar pemikiran
spekulatif, sudah tidak relevandengan adanya teori positivis. Dalam logika
Auguste Comte, sejarah manusia adalah perkembangan bertahap dari cara
berpikir manusia itu sendiri. Dengan berargumen bahwa dengan pemikiran
empirik rasional dan positivistik, maka manusia akan mampu menjelaskan
realitas kehidupan tidak secara spekulatif melainkan secara spekulatif
melainkan secara konkret, pasti bahkan mutlak kebenarannya. Auguste
Komte juga juga menekankan penemuan-penemuan ilmiah terutama
tentang pengetahuan alam untuk menguasai sumber-sumber alam untuk
kepentingan umat manusia. Dari sinilah optimisme Auguste Comte
membawa pada persaingan, menekankan pada semangat individualis,
pertentangan antara kaum tradisional dengan kaum industri baru yang
berlanjut pada antagonisme antara kaum proletar dan kaum borjuis.
Dari konsep dan metodologi tersebut pada perkembangannya, yang
menggambarkan order adalah suatu ketentuan yang, yang terwujud
sebagai produk interaksi atau hasil transaksi antarmanusia dalam upaya
para pemikir untuk menjelaskan kehidupan hukum ditenagh suasana
kehidupan yang sedang go national di negeri Barat pada masa itu. Disini
ditengah kehidupan yang kian berkembang dalam konfigurasinya yang
baru sebagai organisasi negara bangsa, kekuatan pengatur yang bisa
difungsikan untuk mengontrol ketertiban dalam kehidupan yang baru ini
pun dikonsepkan sebagai hasil tawar-menawar antarmanusia warga
bangsa. Konsep dan metodologi inilah merupakan titik awal lahirnya

4
perkembangan suatu cabang ilmu dan ajaran baru tentang sara pengontrol
ketertiban yang menurut paradigmanya merupakan hasil proses interaktif
antarwarga sendiri. Inilah ilmu dengan segala teorinya, yang menjadi dasar
suatu ajaran baru dengan segala ragam doktrinnya (yang normatif) tentang
penerapannya guna mengontrol ketertiban masyarakat demi terwujudnya
kehidupan yang lebih berketeraturan. Tanpa membedakan peristilahan,
seluruh teori dan ajaran itu disebut jurisprudence (dalam bahsa Inggris),
rechtswetenschap (dalam bahasa Belanda) yang diterjemahkan “Ilmu
Hukum” kedalam bahasa Indonesia.4

2. Tokoh dan Aliran Pemikiran Mazhab Positivisme


Positivisme hukum dapat dibedakan dalam dua corak: (1) Aliran
Hukum Positif Analitis (Analitical Jurisprudence) atau biasa juga disebut
positivisme sosiologis yang dikembangkan oleh John Austin dan (2)
Aliran Hukum Murni (Reine Rechtslehre) atau dikenal juga positivisme
yuridis yang dikembangkan oleh Hans Kelsen.5
a. Positivisme Hukum-Aliran Analitis Jhon Austin (1790-1859)
Ada 2 (dua) buku John Austin yang terkenal, yakni “The
Province of Jurisprudence Determined” dan “Lectures on
Jurisprudence” Buku kedua berisikan kuliah-kuliah Austin semasa
hidup tentang jurisprudence. Tentang hukum. Austin berkata dalam
buku kumpulan kuliah tersebut sebagai berikut: “Law is a command of
the Lawgiver.” Hukum merupakan perintah dari penguasa-dalam arti
bahwa perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau
dari yang memegang kedaulatan. Selanjutnya, Austin berkata bahwa
hukum adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur makhluk
berpikir, perintah yang dilakukan oleh makhluk berpikir yang
memegang dan mempunyai kekuasaan. Austin menganggap hukum
4
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum:
Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, (Depok: Rajawali Pers, 2017),
h. 183-188.
5
Sukarno Aburaera, dkk., Filsafat Hukum: Teori dan Praktek, (Depok: Kencana, 2013), h.
107.

5
sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed
logical system), hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak
didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk. Austin membagi
hukum atas:
1) Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia.
2) Hukum yang dibuat dan disusun oleh manusia.
a) Hukum dalam arti yang sebenarnya atau hukum yang tepat
untuk disebut hukum. Jenis hukum ini disebut juga sebagai
hukum positif. Hukum yang sesungguhnya ini terdiri dari:
 Hukum yang dibuat oleh penguasa seperti undang-undang,
peraturan pemerintah dan lain-lain;
 Hukum yang dibuat atau disusun oleh rakyat secara
individual yang dipergunakan untuk melaksanakan hak-hak
yang diberikan kepadanya. Contohnya: hak kurator terhadap
badan/orang dalam kuratele atau hak wali terhadap orang
yang berada dibawah perwaliannya.
b) Hukum dalam arti yang tidak sebenar-benarnya. Hukum yang
tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. Jenis hukum ini
tidak dibuat atau ditetapkan oleh penguasa/badan berdaulat
yang berwenang. Seperti contoh, misalnya ketentuan-ketentuan
yang dibuat oleh perkumpulan-perkumpulan atau badan-badan
tertentu dalam bidang keolahragaan, mahasiswa, dan
sebagainya.
Menurut John Austin, apa yang dinamakannya sebagai hukum
(point b pertama) mengandung didalamnya suatu perintah, sanksi,
kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak memenuhi
unsur-unsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai positive law, tetapi
hanyalah merupakan positive morality. Unsur perintah ini berarti
bahwa pertama suatu pihak menghendaki agar orang lain melakukan
kehendaknya, kedua pihak yang diperintah akan mengalami
penderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati, ketiga,

6
perintah itu adalah pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah,
keempat, hal ketiga hanya dapat terlakana jika yang memerintah itu
adalah pihak yang berdaulat. yang berdaulat ini mungkin a souvereign
person atau a souvereign body of person.
Pada akhirnya hendaknya diperhatikan pokok-pokok ajaran
Analytical Jurisprudence sebagai berikut:
1) Ajaran tidak berkaitan dengan soal atau penilaian baik dan buruk,
sebab penilaian tersebut berada diluar bidang hukum;
2) Walau diakui adanya hukum moral yang berpengaruh terhadap
masyarakat, namun secara yuridis tidak penting bagi hukum.
Austin memisahkan secara tegas antara moral disatu pihak dan
hukum dilain pihak;
3) Pandangannya bertolak belakang dengan, baik penganut hukum
alam maupun mazhab sejarah;
4) Hakikat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah
perintah dari yang berdaulat/penguasa;
5) Kedaulatan adalah hal diluar hukum, yaitu berada pada dunia
politik atau sosiologi karena tidak perlu dipersoalkan sebab
dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataan;
6) Ajaran Austin kurang/tidak memberikan tempat bagi hukum yang
hidup dalam masyarakat.6
b. Positivisme Hukum-Teori Hukum Murni Hans Kelsen (18810-1973)
Teori hukum murn (pure theory of law) yang dipelopori Hans
Kelsen muncul setelah lahirnya hukumkodrat yang merupakan titik
kritik dari teori hukum tersebut, yang berupaya membebaskan hukum
dari anasir-anasir non hukum seperti ekonomi, sosiologi, psikologi,
dan sebagainya.
Kelsen beranggapan bahwa filosofi hukum pada waktu itu telah
terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas disatu sisi, dan telah

6
Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2019), h. 58-60.

7
mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan disisi yang lain karenanya
pereduksi itu telah melemahkan hukum. Oleh karena itu Kelsen
berpendapat bahwa teori hukum murni menjadi prinsip dasar dari
filsafatnya.
Hans Kelsen mengatakan hukum tidak boleh dipengaruhi oleh
anasir-anasir diluar hukum dan mengemukakan tentang grundnorm
(norma dasar) sebagai puncak dari sistem hierarki norma hukum
(stunfenbau theory). Kelsen dengan teori hukum murninya yaitu
memberi kerangka konseptual untuk mempertanggung jawabkan
eksistensi hukum dalam masyarakat sehingga hukum memiliki watak
yuridis yang dapat dipertanggung jawabkan terbebas dari pengaruh
diluar hukum itu sendiri.
Dasar-dasar pokok teori Kelsen sebagaimana dijelsakan oleh
Friedmann dalam bukunya Legal Theory, yaitu:
1) Tujuan teori tentang hukum, yaitu untuk mengurangi kekalutan
dan meningkatkan kesatuan (unity).
2) Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak atau keinginan. Ia
adalah pengetahuan yang ada, bukan hukum yang seharusnya ada.
3) Ilmu hukum adalah normatif bukan ilmu alam.
4) Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak
berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum.
5) Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara
pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola
yang spesifik.
6) Hubungan antara teori hukum dan suatu sistem hukum positif
tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum
yang ada.
Pada dasarnya, inti ajaran Hans Kelsen terkait dengan hukum
murni ada tiga konsep yaitu: Pertama, ajaran hukum murni (pure
theory of law) Hans Kelsen ingin memebrsihkan ilmu hukum dari
anasir-anasir non hukum seperti sejarah, moral, sosiologi, dan politik.

8
Kedua, ajaran tentang Grundnorm merupakan induk yang melahirkan
peraturan-peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan hukum
tertentu. Grundnorm memiliki fungsi sebagai dasar mengapa hukum
itu ditaati, ibarat bahan bakar yang menggerakkan keseluruh sistem
hukum. Ketiga, ajaran tentang Stufenbau Theory; peraturan
keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang berada dipuncak
piramida, dan semakin kebawah semakin beragam dan menyebar.
Norma dasar teratas adalah abstrak dan makin kebawah makin
konkret. Sesuatu yang harus berubah menjadi sesuatu yang dapat
dilakukan.
Curzon menyimpulkan bahwa antara ajaran Hans Kelsen dengan
ajaran Austin memiliki persamaan, antara lain:
1) Kedua-duanya ingin memisahkan hukum dari moral;
2) Kedua-duanya juga menggunakan analisis formal, yang juga
mengakui hukum positif sebagai satu-satunya hukum;
3) Kedua-duanya melihat esensi hukum sebagai in terms of an
ultimate concept;
4) Kedua-duanya menitikberatkan perhatiannya pada struktur dan
fungsi negara.
Aliran ini dibedakan menjadi:
1) Analitical Jurisprudence, yaitu dalam filsafat hukum beranggapan
bahwa hukum itu merupakan perintah penguasa semata-mata.
Tokohnya antara lain John Austin.
2) Reine rechtheer (ajaran hukum murni), yaitu aliran yang
beranggapan bahwa hukum itu harus dibersihkan dari seluruh
unsur-unsur non yuridis. Maksudnya dibersihkan dari unsur-unsur
etis dan moral, sosiologis, ekonomis, dan politis).7
3. Positivisme Analitis di Prancis dan “Code Civil”

7
Amran Suadi, Filsafat Hukum: Refleksi Fiilsafat Pancasila, Hak Asasi Manusia, dan Etika,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2019), h.82-84.

9
Pada permulaan abad ke-19, dimulainya era klasifikasi modern.
Dengan pemikiran yang mendalam mengenai sistematis dan klasifikasi-
klasifikasi bahan, dengan prinsip-prinsip analisis-analisis hukum. Namun
dengan alasan yang sama para ahli hukum Prancis mulai meragukan
perlunya analisa logis dan positivisme analitis.
Bertambah banyaknya putusan-putusan pengadilan berdasarkan
penafsiran-penafsiran Code Civil, membuat jelas bagi para ahli hukum
Prancis, lebih dulu dari pada ditempat lain, bahwa suatu wadah yang
hanya membuat suatu perautarn-peraturan logis akan gagal sebelum
problema-problema yang tak terbatas macamnya dengan perkembangan
industri khususnya muncul di Prancis seperti ditempat-tempat lain.
Usaha yang paling penting pada saat itu adalah usuaha yang
dilakukan oleh Saleilles dan Ripert. Saleiless yang menekankan kepada
keuntungan-keuntungan fundamental yang diperoleh dari kepastian dan
objektivitas melalui pendekatan analitis, menambahkan metode Ratonelle
pada metode Raisonnate ini, yaitu pandangan yang lebih lengkap dan
sintesis mengenai code, pandnagan yang lebih sesuai dengan keputusan
dan kebutuhan-kebutuhan praktis. Karena ia juga tetap pada pendiriannya
bahwa hukum adalah ilmu pengetahuan sosial maka teori ini jelas
membayangkan secara lebih terbuka ketidaktergantungan pendekatan
sosiologis Geny.
Ripert dengan metode berbeda, menegaskan kembali positivisme
yang telah dimodifikasi. Sebagai seorang penentang yang kuat terhadap
teori-teori hukum alam, yang lama taau yang modern, Ripert menegaskan
adanya pemisahan yang tegaas kewenangan hukum yang seluruhnya dan
murni didasarkan atas positif dan regale morale yang membantu baik
pembat undang-undang dalam memberi kerangka pada peraturan-
peraturan yang mungkin tidak ditaati maupun hakim, dimana hukum tidak
jelas, kabur, dan tidak cukup.
Campur tangan ini Ripert lanjutkan dalam kewajiban sipil, dimana
campurtangan itu tampaknya merupakan kekuatan untuk mengawasi

10
dengan peraturan-peraturan seperti bonnes moeurs, persamaan para pihak,
campur tangan pengadilan dalam pembuatan kontrak. Ripert melihat
sanksi hukum dan kewajiban moral dari tiga prinsip penting mengenai
kewajiban sipil modern:
a) Kewajiban umum untuk tidak berbuat jahat terhadap orang lain.
b) Kewajiban untuk meluruskan kekayaan yang diperoleh dengan cara
yang tidak patut.
c) Kewajiban untuk membantu tetangga.
Secara keseluruhan Ripert menganggap pemisahan perintah
berdasarkan hukum dari peraturan tentang moral sebagai kebutuhan teknis.
Hanya dengan melalui peraturan hukum, peraturan moral dapat
memperoleh ketepatan yang diperlukan.
Beberapa mazhab yang dikemukakan oleh tokoh itu memperkaya
pengaruh positivisme pada ilmu hukum yang modern. Salah satu ciri
positivisme adalah reduksionisme, yang mengandung makna bahwa
realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati. Ciri positivisme
yang berikutnya adalah objektifitas dan bebas nilai. Oleh karena itulah
Donny Gahral Adian didalam (paradigma) positivisme ada dikotomi yang
tegas antara fakta dan nlai, dan mengharuskan subjek peneliti mengambil
jarak terhadap realitas dengan bersikap normal. Akan tetapi perilaku
manusia dapat berubah sesuai dengan faktor yang memengaruhinya.8

4. Pergeseran Pemikiran Hukum: Dari Positivisme Ke Hukum Progresif


Menurut Satjipto Raharjo sistem hukum modern merupakan respon
terhadap sistem produksi ekonomi baru (kapitalis), karena sistem yang
lama sudah tidak bisa lagi melayani perkembangan-perkembangan dari
dampak bekerjanya sistem ekonomi kapitalis tersebut. Dengan demikian
tidak dapat disangkal bahwa sistem hukum modern merupakan konstruksi

8
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatulah, Filsafat, Teori, Dan Ilmu Hukum:
Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, (Depok: Rajawali Pers, 2017),
h. 216-219.

11
yang berasal dari tatanan sosial masyarakat Eropa Barat semasa
berkembangnya kapitalisme pada abad ke-19.
Sejak munculnya hukum modern, seluruh tatanan sosial yang ada
mengalami perubahan luar biasa. Kemunculan hukum modern tidak
terlepas dari munculnya negara modern. Proses pembentukan negara
modern merupakan bagian dari sejarah “deferensiasi” kelembagaan, yang
menunjukkan bagaimana fungsi-fungsi utama dalam masyarakat itu
tampak kedepan sepanjang berlangsungnya proses tersebut. Dari situ akan
terlihat terjadinya pengorganisasian masyarakat yang semakin meningkat,
melalui berbagai elaborasi dari fungsi-fungsi tersebut. Dari situ akan
terlihat terjadinya pengorganisasian masyarakat yang semakin meningkat,
melalui berbagai elaborasi dari fungsi-fungsi tersebut. Bagi ilmu hukum,
hal ini merupakan sebuah puncak perkembangan yang ujungnya berakhir
pada pembentukan hukum modern yang berdasar pada dogmatisme
hukum, liberalisme, kapitalisme, formalisme, dan kodifikasi.
Pada sistem hukum modern, konsepsi keadilan terdapat dalam
peraturan perundang-undangan (hukum positif), tetapi dalam praktek,
penggunaan paradigma positivisme dalam hukum modern ternyata juga
banyak menimbulkan kekakuan-kekakuan sedemikian rupa sehingga
pencarian kebenaran (searching for the truth) dan keadilan (searching for
justice) tidak tercapai karena terhalang oleh tembok-tembok prosedural.
Kelahiran paham ini semakin kuat dan tidak terlepas dari kultur liberal
individualistik, termasuk munculnya golongan borjuis sebagai kekuatan
pendorog lahirnya sistem hukum modern. Hukum modern menurut
Radbruch menopang tiga nilai dasar, yaitu “keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum.” dalam praktik hukum di Indonesia justru kepastian
hukum yang menjadi modal utama dalam setiap aktifitas hukum, bahkan
tidak berlebihan bahwa sebagian aparat penegak hukum mempunyai
paradigma positivis dan merupakan corong undang-undang.
Akibat penggunaan kacamata positivistik kaku dalam
menginterpretasikan berbagai undang-undang, maka berbagai kebijakan

12
penegak hukum maupun putusan hakim, gagal untuk menghasilkan suatu
keadilan yang substansial, melainkan hanya sekedar mampu menghasilkan
keadilan yang prosedural. Dapat dikatakan, bahwa tidak mudah untuk
mewujudkan keadilan subtantif karena terkadang kita dihadapkan oleh
prosedur hukum yang sangat ketat dalam emmenuhi legalitas sistem
hukum modern. Hal ini disebabkan paradigma positivisme telah
menyebarkan pengaruhnya dan bermetamorfosa menjadi positivisme
hukum yang melandasi hukum modern.
Ditengah ketidak berdayaan paradigma positivisme hukum yang
menjadi dasar hukum modern. Berawal dari ikhtiar pencarian sebuh
gagasan melalui catatan emas yang pada tajuk opini harian kompas bahwa
“Indonesia Membutuhkan penegakan Hukum Progresif” dari situ
kemudian hadir sebuah gagasan “hukum progresif”. Menurut Satjipto
Rahardjo hukum progresif adalah “hukum yang memenuhi kebutuhan
bangsa dan ikut merasakan penderitaan bangsanya. Dengan demikian,
hukum akan melayani kepentingan rakyatnya, bukan sebaliknya hukum
tidak berada diawang-awang atau ruang hampa, tetapi ada didalam
masyarakat.” Secara filosofis gagasan hukum progresif, memposisikan
hukum senantiasa berfungsi sebagai solusi bagi masyrakatnya . Hukum
juga harus ‘turun’ kedalam ruang hati rakyatnya guna menjadi penyelamat
ditengah-tengah kesulitan yang dihadapi, hukum tidak boleh menempatkan
diri berpihak pada golongan tertentu saja.9

C. Kesimpulan
Positivisme hukum adalah hukum yang berlaku sekarang bagi suatu
masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu. Hukum positif ini
mementingkan logika dan ketaatan pada hukum tertulis, menganggap
stabilitas dan ketentuan sebagai masalah yang terpenting dari penafsiran

9
Abdul Halim Barkatullah, Buku Ajar Pengantar Filsafat Hukum, (Bandung: Nusa Media,
2017), h. 94-96.

13
hukum. Positivisme itu didasarkan atas pengalaman (lawanan dari metode
metafisis).
Comte merupakan tokoh pertama yang mendahului pandangan-
pandangan baru mengenai filsafat politik dan ilmu pengetahuan dengan
tindak-tindak kemasyarakatan, dan ia membagi sejarah manusia dalam tiga
tahap atau fase, yakni:
1. Tahap teologis
2. Tahap metafisis
3. Tahap positifis atau ilmiah.
Pengertian hukum menurut pendapat ahli filsafat positivisme hukum
ini dapat dibedakan dalam dua corak, yaitu:
1. Aliran hukum positifis analitis: John Austin (1790-1859), menyatakan
bahwa hukum adalah suatu perintah.
2. Aliran hukum murni: Hans Kelsen (1881-1973), menyatakan bahwa
hukum adalah suatu keharusan.
Bagi kaum positivisme, tidak ada hukum selain hukum positifis, yaitu
hukum yang didasarkan pada otoritas yang berdaulat. Bagi kaum positivisme
hukum positif berbeda jika dibandingkan dengan asas-asas lainnya yang
didasarkan pada moralitas, religi kbiasaan masyarakat. Aliran positivisme ini
sangat mengagungkan hukum tertulis, sehingga aliran ini beranggapan bahwa
tidak ada norma hukum diluar hukum positif, semua persoalan dalam
masyarakat diatur dalam hukum tertulis. Pandangan yang mengagung-
agungkan hukum tertulis pada positivisme hukum ini, pada hakikatnya
merupan penghargaan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan
kekuasaan yang menciptakan hukum tertulis itu, sehingga dianggap
kekuasaan ini suber hukum dari kekuasaan, yaitu hukum.
Menurut W. Friedman, secara umum tesis-tesis, pokok dari aliran
hukum positif ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yaitu sah.
2. Hanya fakta yang dapat menjadi objek pengetahuan.
3. Metode filsafat tidak berbeda dari metode ilmu.

14
4. Semua interpretasi tentang dunia harus didasarkan semata-mata atas
pengalaman.
5. Bertitik tolak pada ilmu-ilmu alam.
6. Berusaha memperoleh suatu pandangan tunggal tentang dunia
fenomena, baik dunia fisik maupun dunia manusia melalui aplikasi.
Metode-metode dan jangkauan hasil-hasil ilmu-ilmu alam.
Tugas filsafat yaitu menemukan asas umum yang berlaku bagi semua
ilmu dan menggunakan asas-asas ini sebagai pedoman bagi perilaku manusia
dan menjadi landasan bagi organisasi sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Aburaera, Sukarno, dkk.. Filsafat Hukum: Teori dan Praktek. Depok: Kencana.
2013

15
Darmodiharjo, Darji dan Shindarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia Pusaka
Utama. 2008

Halim, Abdul Barkatullah. Buku Ajar Pengantar Filsafat Hukum. Bandung: Nusa
Media. 2017

Prasetyo, Teguh, dan Abdul Halim Barkatullah. Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum:
Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat.
Depok: Rajawali Pers. 2017

Rasjidi, Lili dan Liza Sonia Rasjidi. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2019

Suadi, Amran. Filsafat Hukum: Refleksi Fiilsafat Pancasila, Hak Asasi Manusia,
dan Etika. Jakarta: Prenada Media Group. 2019

Usman, Suparman. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Serang: Suhud Sentra Utama.


2007

16

Anda mungkin juga menyukai