Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah


Secara historis zaman terus berkembang melalui hierarkis perkembangan yang
terus diiringi dengan perubahan sosial, dimana dua hal ini akan selalu beriringan.
Keberadaan manusia yang dasar pertamanya bebas menjadi hal yang problematik
ketika ia hidup di dalam komunitas sosial. Kemerdekaan ini akan berbenturan dengan
kemerdekaan individu lainnya bahkan dengan makhluk yang lain. Maka muncullah
tata aturan, norma, nilai-nilai yang menjadi kesepakatan universal yang ditaati. Di
sinilah hukum muncul dalam peradaban manusia untuk menjunjung tingi nilai-nilai
kemanusiaan. Kemudian ketika hukum itu diberi jawaban atau tanggapan berbeda-
beda oleh para akademisi kemudian diikuti oleh masyarakatnya, maka dari sinilah
akan muncul aliran-aliran dan madzhab dalam hukum itu sendiri.
Pada makalah ini akan menjelaskan tentang “Aliran-Aliran dan Madzhab
Filsafat” pada peradaban manusia. Dalam hal ini kami membatasi pembagian aliran
dan madzhab pada empat bagian saja yaitu” Idealisme, Positivisme, Pragmatisme dan
Sekuralisme”.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini adalah:
1. Apasajakah macam-macam aliran dan madzhab filsafat?
2. Apakah yang dimaksud dengan Idealisme?
3. Apakah yang dimaksud dengan Positivisme?
4. Apakah yang dimaksud dengan Pragmatisme?
5. Apakah yang dimaksud dengan Sekuralisme?

C. Tujuan Masalah
Tujuan masalah makalah ini adalah:
1.Menyebutkan macam-macam aliran dan madzhab filsafat
2. Menjelaskan tentang Idealisme

1
3. Menjelaskan tentang Positivisme
4. Menjekan tentang Pragmatisme
5. Menjelaskan tentang Sekuralisme

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Idealisme
hanya dapat dipahami kaitannya dengan jiwa dan ruh. Istilah idealisme
diambil Idealisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik
dari kata idea, yakni seseuatu yang hadir dalam jiwa. Idealisme mempunyai
argumen epistemologi tersendiri. Oleh karena itu, tokoh-tokoh teisme yang
mengajarkan bahwa materi bergantung kepada spirit tidak disebut idealis karena
mereka tidak menggunakan argumen epistemologi yang digunakan oleh idealisme.
Idealisme juga didefinisikan sebagai suatu ajaran, faham atau aliran yang
menganggap bahwa realitas ini terdiri atas ruh-ruh (sukma) atau jiwa, ide-ide dan
pikiran atau yang sejenis dengan itu. Aliran ini merupakan aliran yang sangat
penting dalam perkembangan sejarah pemikiran manusia. Mula-mula dalam
filsafat barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato, yang
menyatakan bahwa alam idea itu merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam
nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu.
Aristoteles memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang menggambarkan
alam ide sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yang berada dalam benda-benda dan
menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang
masa tidak pernah faham idealisme hilang sama sekali. Di masa abad pertengahan
malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua alat pikir adalah dasar
idelaisme ini.
Pada zaman Aufklarung para filsuf yang mengakui aliran serbadua, seperti
Descartes dan Spinoza, yang mengenal dua pokok yang bersifat keruhanian dan
kebendaan maupun keduanya, mengakui bahwa unsur keruhanian lebih penting
daripada kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan
kepada penganut idealisme yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka
tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam. Puncak zaman idealisme pada
masa abad ke-18 dan 19, yaitu saat Jerman sedang memiliki pengaruh besar di
Eropa. Tokoh-tokoh aliran ini adalah : Plato (477-347), B. Spinoza (1632-1677
M), Liebniz (1685-1753 M), Berkeley (1685-1753), Immanuel Kant(1724-1881
M), J. Fichte (1762-1814 M), F.Schelling (1755-1854 M), dan G. Hegel (1770-
1831 M).1
B. Pengertian Positivisme

1
Budhi Setia. “ Aliran Filsafat Ilmu yang Berkaitan dengan Ekonomi “. Semarang:Fakultas ekonomi
Universitas Semarang. (halaman 1-2)

3
Mazhab hukum positif menurut Hans Kelsen yang diikuti Lili Rasyidi
merupakan suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan
senyatanya itu, yakni apakah senyatanya itu adil atau tidak adil. Selain itu, dapat
dikatakan bahwa hukum positif merupakan kebalikan dari hukum alam. Sebab,
mazhab ini mengidentikkan hukum dengan undang-undang. Satu-satunya sumber
hukum adalah undang-undang.
Positivisme hukum ada dua bentuk, yaitu positivisme yuridis dan postivisme
sosiologis. Adapun uraiannya adalah sebagai berikut:
1.Positivisme Yuridis
Dalam perspektif positivisme yuridis, hukum dipandang sebagi suatu
gejala tersendiri yang perlu diolah secara ilmiah. Tujuan positivisme yuridis
adalah pembentukan struktur rasional system Prinsip yuridis yang berlaku. Dalam
praksisnya konsep ini menurunkan suatu teori pembentukan hukum bersifat
professional yaitu hukum merupakan ciptaan para ahli hukum. prinsip positivisme
yuridis adalah :
a. Hukum adalah sama dengan undang-undang.
b.Tidak ada hubungan mutlak antara hukum dan moral. Hukum adalah ciptaan
para ahli hukum belaka.
c. Hukum adalah suatu closed logical system, untuk menafsirkan hukum tidak
perlu bimbingan norma sosial, politik dan moral cukup disimpulkan dari undang-
undang. Tokohnya adalah R. von Jhering dan John Austin.
2. Positivisme sosiologis
Dalam perspektif positivisme sosiologis, hukum dipandang sebagai bagian
dari kehidupan masyarakat. Dengan demikian hukum bersifat terbuka bagi
kehidupan masyarakat. Keterbukaan tersebut menurut positivisme sosiologis harus
diselidiki melalui metode ilmiah. Tokohnya adalah Augus Comte yang
menciptakan ilmu pengetahuan baru yaitu, sosiologi. Mazhab yang juga dikenal
sebagai aliran hukum positif memandang perlu secara tegas memisahkan antara
hukum dan moral, yakni antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya,
antara das sein dan das sollen. Sebelum aliran ini lahir, terlebih dulu telah
berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum yang disebut sebagai Legisme,
yakni faham yang memandang tidak ada hukum di luar undang-undang, atau satu-
satunya sumber hukum adalah undang-undang.2
c. Pengertian Pragmatisme
2
Fakhria Shelia. “Madzhab Hukum Islam”. Jogjakarta: Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga.(vol 26-
halaman 184-186)

4
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan,
perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar
apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya
yang bermanfaat secara praktis Aliran ini bersedia menerima segala sesutau, asal
saja hanya membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran
mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan
membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikian, patokan
pragmatisme adalah “manfaat bagi hidup praktis”.

Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa


kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi
kehidupan nyata.Oleh sebab itu kebenaran sifatnya menjadi relatif tidak mutlak.
Mungkin sesuatu konsep atau peraturan sama sekali tidak memberikan kegunaan
bagi masyarakat tertentu, tetapi terbukti berguna bagi masyarakat yang lain. Maka
konsep itu dinyatakan benar oleh masyarakat yang kedua.Filsafat pragmatisme
secara umum dipandang berupaya menengahi pertikaian idealisme dan empirisme
serta berupaya melakukan sintesis antara keduanya. Pragmatisme mendasarkan
dirinya pada metode filsafat yang memakai sebab-sebab praktis dari pikiran serta
kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenaran. pragmatisme
kerap pula disadari sebagai upaya-upaya penyelidikan eksperimental berdasarkan
metode sains modern. Pengalaman menjadi sesuatu yang begitu fundamental dan
begitu menentukan.Para pragmatis selalu menolak jika filsafat mereka dikatakan
berlandaskan suatu pemikiran metafisik sebagaimana metafisika tradisional yang
selalu memandang bahwa dalam hidup ini terdapat sesuatu yang bersifat absolute
dan berada di luar jangkauan pengalaman-pengalaman empiris. Dari itu, bagi
mereka seandainya pun realitas adikodrati memang ada, mereka berasumsi bahwa
manusia tidak akan mampu mengetahui hal itu.

Pemikiran ini menunjukkan bahwa epistemology pragmatisme sepenuhnya


berbasis pendekatan empiris : apa yang bisa dirasakan itulah yang benar. Artinya,
akal, jiwa, dan materi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebab hanya
dengan mengalamilah pengetahuan itu dapat diserap. Pengalaman menjadi

5
parameter ketika sesuatu dapat diterima kebenarannya. Oleh karena itu, para
pragmatis tidak nyaris pernah mendasarkan satu hal kebenaran. Menurut mereka,
pengalaman yang pernah mereka alami akan berubah jika realitas yang mereka
alami pun berubah. Corak paling kuat dari pragmatism adalah kuatnya pemikiran
tentang konsep kegunaan. Makna kegunaan dalam pragmatisme lebih ditetapkan
pada kebenaran sains, bukan pada hal-hal bersifat metafisik. Maka, dalam
pragmatisme pengetahuan tidak selalu mesti diidentikkan dengan kepercayaan,
tetapi kerap menjadi dua hal yang sama sekali terpisah. Kebenaran yang mungkin
dianggap perlu dipercayai (to believe) bagi para pragmatis selalu menjadi sesuatu
hal bersifat professional atau pribadi dan itu tidak perlu dikabarkan pada public.

Sedangkan, hal-hal yang diangap perlu diketahui haruslah selalu


dikabarkan atau didemonstrasikan pada pengamat yang qualified dan tak berpihak.
Kepercayaan memang ada dalam pengetahuan meski banyak pula kepercayaan
tidak akan ditemukan siapapun di banyak pengetahuan.Pandangan-pandangan itu
semuanya terangkai oleh konsep kegunaan dan fungsi pragmatis. Oleh karena itu,
para pragmatis kerap mengungkapkan betapa apa yang kita mesti ketahui keraplah
bukan sesuatu yang mesti kita percayai. Dalam sisi yang lain, sebab konsep
kegunaan, apa yang ita percayai tidak selalu menjadi sesuatu hal yang
pragmatisme selalu hadir menjadi relative dan kasuistik. Sebuah kebenaran yang
dipandang benar-benar valid dan berguna, di waktu yang lain bisa menjadi sesuatu
hal yang sama sekali mesti dilupakan.

1. Kritik-kritik terhadap Pragmatisme

Kekeliruan Pragmatisme dapat dibuktikan dalam tiga tataran pemikiran :

a. Kritik dari segi landasan ideologi Pragmatisme

Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama


dari kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis
kemunculan pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari
empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis, Pragmatisme berarti
menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.

6
Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di
antara dua sisi pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja
terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang
sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua
pemikiran yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan.
Yang pertama, ialah mengakui keberadaan Al Khaliq yang menciptakan manusia,
alam semesta, dan kehidupan. Dan dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah
menentukan suatu peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk
melaksanakannya dalam kehidupan, dan apakah Al Khaliq akan menghisab
manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq ini.

Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah
dapat dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari
kehidupan, tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan.

b. Kritik dari segi metode pemikiran

Pragmatisme yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan


Metode Ilmiyah, yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang
pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun ilmu-ilmu
sosial kemasyarakatan. Ini adalah suatu kekeliruan.

c. Kritik terhadap Pragmatisme itu sendiri

Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan


praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu
adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan
realitas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah
diketahui kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk
memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri,
tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak
mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta
terpuaskannya kebutuhan manusia pragmatisme juga menafikan peran akal
manusia. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi. Maka, pragmatisme berarti

7
telah menjelaskan inkonsistensi internal yang dikandungnya dan menafikan
dirinya sendiri.3

4. Pengertian Sekularisme

Arti sekularisme bisa dilihat dari tiga akar yang membentuknya, yaitu sekuler,
sekularisasi dan sekularisme. Ketiga kata tersebut perlu dijelaskan terlebih dahulu
untuk melihatnya sebagai satu kerangka pikiran yang tidak jarang memiliki makna
serta pengertian yang berbeda.

a.Sekuler

Istilah sekuler berasal dari kata latin saeculum, mempunyai dua konotasi
waktu dan lokasi. Waktu menunjukkan kepada pengertian sekarang atau kini, dan
lokasi menunjukkan kepada pengertian dunia atau duniawi. Jadi saeculum berarti
zaman ini atau masa kini. Hal ini menunjukkan kepada peristiwaperistiwa di dunia
ini pada masa kini atau zaman ini. Tekanan makna diletakkan dalam suatu waktu
atau periode tertentu di dunia yang dipandang sebagai proses sejarah.

Didalam bukunya Maksun, konotasi ruang dan waktu dalam konsep


sekuler itu secara historis terlahir di dalam sejarah Kristen Barat. Di Barat pada
abad pertengahan, secara politik telah terjadi langkah-langkah pemisahan antara
halhal yang menyangkut masalah agama dan non agama (bidang sekuler).
Sebagaimana langkah awal di barat sedikit demi sedikit urusan keduniawian
memperoleh kemerdekaan dari pengaruh gereja.

Dalam perkembangannya pengertian sekuler pada abad ke 19 diartikan


sebagai kekuasaan, bahwa Gereja tidak berhak untuk ikut campur dalam bidang
politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Dalam kamus kontemporer sekuler
diartikan berkenaan dengan keduniawian dan tidak diabdikan untuk kepentingan
agama. Atas dasar inilah maka sekuler menjadi semacam pertentangan antara
masalah agama dan non- agama, atas dasar ini pula maka semua hal dapat
dipertentangkan dengan agama, kehidupan yang suci dipertentangkan dengan yang
tidak suci. Sehingga sekuler nampak menjadi semacam benteng pemisah antara
kehidupan dunia dan agama.

b. Sekularisasi
3
Budhi Setia. “ Aliran Filsafat Ilmu yang Berkaitan dengan Ekonomi “. Semarang:Fakultas ekonomi
Universitas Semarang. (halaman 11-15)

8
Sekularisasi adalah proses evolusi kesadaran manusia dari keadaan
kekanak-kanakan menuju kematangan, dan didefinisikan sebagai pembuangan
sikap ketergantungan remaja terhadap setiap tingkat masyarakat. Sebagaimana
yang berkembang sejak abad pertengahan, sekularisasi menunjukkan arah
perubahan dan pergantian hal-hal yang bersifat adi-kodrati dan teologis menjadi
hal-hal yang bersifat alamiah dalam dunia ilmu pengetahuan.

Maksudnya sekularisasi merupakan proses pemisahan antara duniawi dan


ukhrawi, dengan demikian manusia akan mempunyai hak otonomi, sehingga ia
dapat berbuat bebas sesuai dengan apa yang dikehendaki berdasarkan rasio.

c. Sekularisme

Istilah sekularisme pertama kali digunakan oleh penulis Inggris George


Holyoake pada tahun 1846. Walaupun istilah sekularisme merupakan suatu yang
baru, tetapi kebebasan berpikir yang didasarkan pada sekularisme telah ada
sepanjang sejarah. Ide-ide sekular yang menyangkut pemisahan filsafat dan agama
dapat dirunut sampai ke Ibn Rusyd dan aliran filsafat Averoisme Latin di Paris
abad pertengahan.

Pada bukunya Maksun, H. Oemar Bakri mengutip dalam sebuah kamus:


“Secularism is the view that the influence of religious organizations should be
reduced as much as possible, and that morality and education should be separated
from religion”.(Sekularisasi adalah suatu pandangan bahwa pengaruh organisasi
agama harus dikurangi sejauh mungkin, moral dan pendidikan harus dipisahkan
dari agama).

Holyoake juga berpendapat bahwa “Secularism is an ethical system


founded on the principle of natural morality and independent of revealed religion
or. supranaturalism”. (Sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada
prinsip moral alamiah dan terlepas dari agama-wahyu dan supranaturalisme).
Definisi tersebut dapat diartikan secara lebih luas bahwa sekularisme dapat
menunjang kebebasan beragama, dan kebebasan dari pemaksaan kepercayaan
dengan menyediakan sebuah rangka yang netral dalam masalah kepercayaan, serta
4
tidak menganakemaskan sebuah agama tertentu. Artinya sekularisme tidak lagi
menyentuh label dan kemasan, melainkan sudah menyentuh isi dan substansi.

Dengan kata lain sekularisme adalah nama sebuah ideologi yang fungsinya
sangat mirip dengan agama. Akibatnya manusia penganut faham sekularisme
4
Lailatusa’adah. “Sekularisme dan Akhlak.” Semarang: Fakultas Ilmu Syariah Universitas walisongo
semarang. (halaman 11-14)

9
berusaha menikmati kehidupan dan kemajuan selama ini seolah-olah tanpa campur
tangan dari Tuhan dan menganggap bahwa Tuhan tidak perlu lagi.

Berangkat dari definisi diatas, Barry Kosmin membagi sekulerisme


menjadi dua jenis, sekularisme keras dan sekularisme lunak. Sekularisme keras
menganggap pernyataan keagamaan tidak mempunyai legitimasi secara
epistemologi dan tidak dijamin baik oleh akal maupun pengalaman. Sedangkan
dalam pandangan sekularisme lunak, ditegaskan bahwa pencapaian kebenaran
mutlak adalah mustahil. Oleh karena itu toleransi dan skeptisme yang sehat bahkan
agnostisisme harus menjadi prinsip dan nilai yang dijunjung dalam diskusi antara
ilmu pengetahuan dan agama. Jadi pada sekularisme lunak masih mengakui
keterlibatan agama dalam mencapai kebenaran ilmiah. Sedang sekularisme keras
menganggap agama tidak berhak diikut campurkan dalam ilmu pengetahuan
maupun pengalaman sosial. Secara sosiologis, sekularisme berkaitan dengan
modernisasi: sebuah proses bertahab yang menunjukkan kepada penurunan
pengaruh agama dalam institusiinstitusi sosial, kehidupan masyarakat dan
hubungan antar manusia. Charles Taylor mengungkapkan tripatri sekularisme,
menurutnya sekularitas yaitu mundurnya agama dari ruang publik, penyusutan
agama dalam kehidupan masyarakat atau pemisahan Gereja dan negara dalam
wilayah publik. Sekularitas 2 yaitu penurunan kepercayaan dan praktek agama
yang dapat dilihat dalam negara-negara demokrasi liberal dibarat dalam bentuk
menurunnya tingkat kehadiran ke Gereja, hal ini terkait dengan sekularisme 1
tetapi berbeda dalam cakupan. Sekularitas 3 adalah tempat bagi pemahaman diri
kita terhadap agama dan pengakuan bahwa sesuatu telah memudarkannya seiring
dengan kebangkitan sistem alternatif.

Pada perkembangannya sekularisme tidak hanya terjadi pada aspek-aspek


kehidupan sosial dan politik saja, tetapi juga telah merembes masuk ke aspek
kultural, identitas kultural tidak lagi ditentukan oleh agama, tetapi ditentukan oleh
simbol-simbol non religius.13 Akibatnya, dengan sendirinya masyarakat semakin
lama semakin terbebaskan dari nilai-nilai keagamaan dan spiritual.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

10
Dari sekian aliran dan madzhab yang telah dijelaskan dapat dikatakan bahwa
masing-masing mazhab memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun
terlepas dari semua itu setiap mazhab mengedepankan apa yang menjadi kebutuhan
masyarakat yaitu, ketertiban sosial. Tidak semata-mata sebuah idealisme tetapi juga
ide-ide tentang hukum dan moral yang saling berkaitan.

DAFTAR PUSTAKA

Budhi Setia. “ Aliran Filsafat Ilmu yang Berkaitan dengan Ekonomi“,Semarang:


Fakultas ekonomi Universitas Semarang.

11
Fakhria Shelia. “Madzhab Hukum Islam”. Jogjakarta: Universitas Islam Negri Sunan
Kalijaga.

Lailatusa’adah. “Sekularisme dan Akhlak.” Semarang: Fakultas Ilmu Syariah


Universitas walisongo semarang.
.

12

Anda mungkin juga menyukai