Anda di halaman 1dari 12

Ringkasan Materi Perkuliahan Filsafat Hukum (Bagian II)

Muhamad Ilham Azizul Haq


Hukum, Universitas Andalas
E mail: muhamad.ah304@gmail.com

A. Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi

1. Ontologi

Ontologi mempersoalkan adanya sesuatu yang ada. Gambarannya dapat terkesan

pada pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah manusia itu? Apa yang dikatakan adil? Apa

ada itu? Ini semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang dapat timbul bagi setiap orang

yang hidup dengan kesadaran tetapi tidak mudah dijawab.

Ontologi adalah bagian filsafat yang paling umum, atau merupakan bagian dari

metafisika, dan metafisika merupakan salah satu bab dari filsafat. Obyek telaah ontologi

adalah yang ada tidak terikat pada satu perwujudan tertentu, ontologi membahas tentang

yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang

meliputi segala realitas dalam semua bentuknya.

Pertanyaaan mendasar yang muncul dalam tataran ontologi adalah untuk apa

penggunaan pengetahuan itu? Artinya untuk apa orang mempunyai ilmu apabila

kecerdasannya digunakan untuk menghancurkan orang lain, misalnya seorang ahli

ekonomi yang memakmurkan saudaranya tetapi menyengsarakan orang lain, seorang

ilmuan politik yang memiliki strategi perebutan kekuasaan secara licik.

Dalam ontologi terdapat dua bagian penting, yakni:


a. Metafisika umum, yang mempersoalkan hakikat yang ada secara umum,

persoalan-persoalan metafisika umum diantaranya adalah:

a) Apa yang dimaksud dengan ada, keberadaan atau eksistensi itu?

b) Apa sifat dasar kenyataan atau keberadaan?

b. Metafisika khusus yang mempersoalkan hakikat yang ada pada tiga bagian

penting sebagai berikut:

a) Kosmologi, yang mempersoalkan hakikat alam semesta termasuk segala

isinya, kecuali manusia.

b) Antropologi, yang mempersoalkan hakikat manusia.

c) Teologi, yang mempersoalkan hakikat Tuhan, yang merupakan

konsekuensi terakhir dari seluruh pandangan filsafat. Hal-hal

dibicarakan di dalamnya menyangkut kebaikan, kesucian, kebenaran

keadilan, dan sifat-sifat Tuhan. Immanuel kant (1973) berpendapat

bahwa "bukan tidak dapat dibuktikan, tetapi harus berdasarkan

keyakinan". Pendapat lain menyatakan bahwa pemahaman terhadap

Tuhan dapat dibuktikan dari ciptaan-Nya.

2. Epistemologi

Epistemologi secara garis besar membahas segenap konsep proses dalam usaha

memperoleh kebenaran pengetahuan. Cuplikan yang tampil dalam upaya epistemologi

memperoleh kebenaran dengan pembahasannya terhadap asal, syarat, susunan, metode,

dan validitas pengetahuan. Pada umumnya persoalan-persoalan yang senantiasa

terkandung dalam epistemologi meliputi, apakah pengetahuan itu? Bagaimana manusia

dapat mengetahui sesuatu? Dari mana pengetahuan dapat diperoleh? Bagaimanakah


validitas pengetahuan itu dapat dinilai? Yang termasuk dalam epistemologi antara lain

logika, metodologi, dan filsafat ilmu.

Logika merupakan bagian filsafat yang membahas mengenai hakikat ketepatan,

cara menyusun pikiran yang dapat menggambarkan ketepatan berpengetahuan. Tepat

belum tentu benar, sedangkan benar selalu mempunyai dasar yang tepat. Logika tidak

mempersoalkan kebenaran sesuatu yang dipikirkan, tetapi membatasi diri pada ketepatan

susunan berpikir yang menyangkut pengetahuan.

Metodologi, yaitu cabang filsafat yang membicarakan tentang teknik-teknik

penelitian atau penyelidikan. Metode ilmiah merupakan cara untuk mendapatkan

pengetahuan dengan menggunakan metode ilmiah. Metode ilmiah dalam prosesnya untuk

menemukan pengetahuan yang dipercayai terdiri atas beberapa langkah tertentu yang

semuanya kait-mengait satu dengan yang lainnya secara dinamis.

Sebagai cabang dari epistemologi, menurut The Liang Gie: Filsafat ilmu adalah

segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang

menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan

manusia.

3. Aksiologi

Sampailah pembahasan kita kepada sebuah pertanyaan: Apakah kegunaan ilmu

itu bagi kita? Tak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah banyak mengubah dunia dalam

memberantas berbagai termasuk penyakit kelaparan, kemiskinan dan berbagai wajah

kehidupan yang duka. Namun apakah hal itu selalu demikian: ilmu selalu merupakan

berkat dan penyelamat bagi manusia. Seperti mempelajari atom, kita bisa memanfaatkan
wujud tersebut sebagai sumber energi bagi keselamatan manusia, tetapi dipihak lain hal

ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom

yang menimbulkan malapetaka.

Jadi yang menjadi landasan dalam tataran aksiologi adalah untuk apa

pengetahuan itu digunakan? Bagaimana hubungan penggunaan ilmiah dengan moral

etika? Bagaimana penentuan obyek yang diteliti secara moral? Bagimana kaitan prosedur

ilmiah dan metode ilmiah dengan kaidah moral?

. Aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempersoalkan tentang nilai.

Persoalan utama pada nilai tersebut ada pada hakikatnya nilai itu sendiri, kriterianya dan

keberadaan suatu nilai dapat diartikan sebagai sifat yang melekat. Sifat yang melekat ini

berkaitan dengan persoalan baik atau jahat dan indah atau buruk. Baik atau jahat

merupakan persoalan perbuatan manusia, sementara indah atau buruk merupakan

persoalan seni.
B. Sejarah Perkembangan Filsafat Hukum

Sejarah perkembangan filsafat hukum mempunyai periodisasi sebagi berikut:

1. Zaman Yunani Kuno

Pada zaman Yunani hiduplah kaum bijak yang disebut atau dikenal dengan

sebutan kaum Sofis. Kaum sofis inilah yang berperan dalam perkembangan sejarah

filsafat hukum pada zaman Yunani. Tokoh-tokoh penting yang hidup pada zaman ini,

antara lain: Anaximander, Herakleitos, Parmenides, Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Para filsuf alam yang bernama Anaximander (610-547 SM), Herakleitos (540-

475 SM), dan Parmenides (540-475 SM) tetap meyakini adanya keharusan alam ini.

Untuk itu diperlukan keteraturan dan keadilan yang hanya dapat diperoleh dengan nomos

yang tidak bersumber pada dewa tetapi logos (rasio). Anaximander berpendapat bahwa

keharusan alam dan hidup kurang dimengerti manusia. Tetapi jelas baginya, bahwa

keteraturan hidup bersama harus disesuaikan dengan keharusan alamiah.

Apabila hal ini terjadi, maka timbullah keadilan. Sementara itu, Herakleitos

berpandangan bahwa hidup manusia harus sesuai dengan keteraturan alamiah, tetapi

dalam hidup manusia telah digabungkan dengan pengertian-pengertian yang berasal dari

logos. Sedangkan Parmenides sudah melangkah lebih jauh lagi. Ia berpendapat bahwa

logos membimbing arus alam, sehingga alam dan hidup mendapat suatu keteraturan yang

terang dan tetap.

Kondisi masyarakat pada saat kaum sofis ini hidup sudah terkonsentrasi ke

dalam polis-polis. Kaum sofis tersebut menyatakan bahwa rakyat yang berhak

menentukan isi hukum, dari sini mulai dikenal pengertian demokrasi, karena dalam
negara demokrasi peranan warga negara sangat besar pengaruhnya dalam membentuk

undang-undang. Dengan kata lain, kaum sofis tersebut berpendapat bahwa kebenaran

objektif tidak ada, yang ada hanyalah kebenaran subjektif, karena manusialah yang

menjadi ukuran untuk segala-galanya.

Tetapi Socrates tidak setuju dengan pendapat yang demikian ini. Socrates

berpendapat bahwa hukum dari penguasa (hukum negara) harus ditaati, terlepas dari

hukum itu memiliki kebenaran objektif atau tidak. Ia tidak menginginkan terjadinya

anarkisme, yakni ketidakpercayaan terhadap hukum. Ini terbukti dari kesediaannya untuk

dihukum mati, sekalipun ia meyakini bahwa hukum negara itu salah. Dalam

mempertahankan pendapatnya, Socrates menyatakan bahwa untuk dapat memahami

kebenaran objektif orang harus memiliki pengetahuan (theoria). Pendapat ini

dikembangkan oleh Plato murid dari Socrates.

Plato berpendapat bahwa penguasa tidak memiliki theoria sehingga tidak dapat

memahami hukum yang ideal bagi rakyatnya, sehingga hukum ditafsirkan menurut selera

dan kepentingan penguasa. Oleh karena itu, Plato menyarankan agar dalam setiap

undang-undang dicantumkan dasar (landasan) filosofisnya. Tujuannya tidak lain agar

penguasa tidak menafsirkan hukum sesuai kepentingannya sendiri. Pemikiran Plato inilah

yang menjadi cerminan bayangan dari hukum dan negara yang ideal.

Aristoteles, murid dari Plato tidak sependapat dengan Plato. Aristoteles

berpendapat bahwa hakikat dari sesuatu ada pada benda itu sendiri. Pemikiran Aristoteles

sudah membawa kepada hukum yang realistis. Menurut Aristoteles, manusia tidak dapat

hidup sendiri karena manusia adalah mahkluk yang bermasyarakat (zoon politikon). Oleh

karena itu, perlu ketaatan terhadap hukum yang dibuat penguasa polis.
Hukum yang harus ditaati dabagi menjadi dua, yakni hukum alam dan hukum

positif. Dari gagasan Aristoteles ini, pengertian hukum alam dan hukum positif muncul,

kedua hukum tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Aristoteles, hukum

alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang selalu berlaku dan di mana-mana, karena

hubungannya dengan aturan alam, sehingga hukum tidak pernah berubah, lenyap dan

berlaku dengan sendirinya. Hukum alam berbeda dengan hukum positif yang seluruhnya

tergantung pada ketentuan manusia.

2. Zaman Pertengahan

Pada masa ini perkembangan filsafat hukum beralih ke daerah timur-tengah.

Pemikiran-pemikiran yang telah digagas oleh para filsuf Yunani kuno diterjemahkan ke

dalam Bahasa arab untuk dipelajari dan dikembangkan oleh ilmuan Islam. Zaman ini

dibarengi oleh orang-orang barat yang berbondong-bondong belajar ke wilayah Islam

saat itu, sehingga ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat sehingga menjadi pusat

peradaban dunia.

Para filsuf muslim yang terkenal diantaranya: Al-Kindi (Alkindus), Ar-Razi, Al-

Farabi (Alpharabius), Ibnu Sina (Avicenna), Al-Ghazali, Ibnu Rushd (Averroes).

3. Zaman Renaissance

Masa ini dimulai dengan runtuhnya Kekhalifahan Abbasiyah akibat serangan

bangsa Mongol. Abad pertengahan merupakan abad yang khas dalam sejarah manusia,

karena pada masa itu terjadi peristiwa menakjubkan yang berefek hingga saat ini, serta

adanya proses transisi pusat peradaban dunia dari barat ke timur-tengah.


Zaman ini ditandai dengan tidak terikatnya lagi alam pikiran manusia dari

ikatan-ikatan keagamaan, sehingga manusia kehilangan jatidiri kepribadiannya. Akibat

dari perubahan ini, terjadi perubahan yang tajam dalam segi kehidupan manusia,

perkembangan teknologi yang sangat pesat, terjadinya perang dunia 1 dan 2 yang

berimplikasi terhadap berdirinya negara-negra baru, pengkonversian dan pemisahan

ilmu-ilmu kepada sub disiplin ilmu yang baru.

Dalam pemikiran hukum, zaman ini ditandai dengan adanya pendapat bahwa

akal manusia inilah yang merupakan sumber-satu-satunya dari hukum yang berimplikasi

terhadap kemunduran pola pikir manusia yang berujung kembali kepada pencarian jati

diri manusia.

Aliran dan Mahzab dalam Filsafat Hukum

1) Aliran Hukum Alam

Hakikat dari ajaran aliran hukum alam/ hukum kodrat ini memandang bahwa

alam harus dipelihara oleh manusia untuk mencapai tujuan. Sehubungan dengan

perlunya kesadaran atas posisi manusia untuk menyesuaikan dengan kepentingan atau

tatanan normatif yang terdapat pada alam tersebut, maka tolak ukur aliran hukum alam

terhadap eksistensi hukum, terletak pada di mana apa yang dipandang sesuai dengan

kepentingan alam adalah kebaikan, maka lakukanlah kebaikan dan bertindak secara adil

dan apa yang jahat dan tidak adil harus dihindarkan. Hakikat ini merupakan aturan alam

semesta yang diciptakan oleh Tuhan, dalam hukum abadinya, sehingga norma-norma

dasar pada aliran hukum alam ini bersifat kekal, abadi, dan universal.
2) Aliran Hukum Positif

Aliran Positivisme ini sangat mengagungkan hukum tertulis, sehingga aliran ini

beranggapan bahwa tidak ada norma hukum di luar hukum positif, semua persoalan

dalam masyarakat diatur dalam hukum tertulis. Pandangan yang sangat mengagung-

agungkan hukum tertulis pada positifisme hukum ini, pada hakikatnya nya merupakan

penghargaan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum tertulis itu,

sehingga dianggap kekuasaan ini adalah sumber hukum dari kekuasaan adalah hukum.

Pada hakikatnya nya hukum positif dalam keberadaannya bagaimanapun tidak

dapat dipisahkan dengan aspek moral. karena hadirnya hukum positif tidak dapat semata-

mata timbul hanya karena pengakuan ataupun persoalan legitimasi.

3) Mahzab Utilitarianisme

Aliran Utilitarianisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai

tujuan utama hukum. Adapun ukuran kemanfaatan hukum yaitu kebahagian yang

sebesar-besarnya bagi orang-orang. Penilaian baik-buruk, adil atau tidaknya hukum

tergantung apakah hukum mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau tidak.

Teori utilitarianisme yang digagas oleh Jeremy Bentham (juga John Stuart Mill

dan Rudolf von Jhering) adalah bentuk reaksi terhadap konsepsi hukum alam pada abad

ke delapan belas dan sembilan belas. Bentham mengecam konsepsi hukum alam, karena

menganggap bahwa hukum alam tidak kabur dan tidak tetap. Bentham mengetengahkan

gerakan periodikal dari yang abstrak, idealis, dan apriori sampai kepada yang konkret,

materialis, dan mendasar.


4) Mahzab Sejarah

Mazhab Sejarah hukum adalah Mazhab yang intinya mengajarkan

bahwa hukum itu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das

Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke). Dampak ajaran madzab ini

sangat tampak pada para sarjana sosiologi dan hukum adat.

Inti ajaran Madzab Sejarah yang didirikan oleh Savigny ini terdapat dalam

bukunya 'von Beruf Ungerer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft (Tentang

Tugas Zaman Kita Bagi Pembentuk Undang-undang dan Ilmu Hukum). antara lain

dikatakan: 'Das Recht wird nicht gemacht. est ist und wird mit dem volke (Hukum itu

tidak dibuat. tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat)

Latar belakang pendapat Savigny di atas timbul karena keyakinannya bahwa

dunia yang terdiri dari bermacam-macam bangsa itu mempunyai volgeist (jiwa rakyat)

yang berbeda-beda yang tampak dari perbedaan kebudayaan. Ekspresi itu juga tampak

pada hukum yang sudah barang tentu berbeda pula pada setiap tempat dan waktu. Isi

hukum yang bersumber dari pada jiwa rakyat itu ditentukan oleh pergaulan hidup

manusia dari masa ke masa (sejarah). Hukum menurut pendapat Savigny berkembang

dari suatu masyarakat yang sederhana yang pencerminannya tampak dalam tingkah laku

semua individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks dimana kesadaran hukum

rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh para ahli hukumnya
C. Hubungan Filsafat Hukum Dengan Ilmu Hukum Dan Teori Hukum

Keterkaitan filsafat hukum dan ilmu hukum ialah bahwa filsafat hukum dan ilmu

hukum dapat menjadi salah satu sumber hukum (communis opinio doctorum). Hanya

hasil filsafat hukum dan ilmu hukum yang hampir diakui oleh semua sarjana hukum yang

dapat menjadi sumber hukum.

Disisi lain, Ilmu hukum hanya memberikan jawaban sepihak dan hanya melihat

gejala-gejala hukum sebatas yang dapat dilihat oleh panca indra mengenai perbuatan-

perbuatan manusia dan kebiasaan-kebiasaan manusia sementara itu pertimbangan nilai

dari hakekat tersebut luput dari penilaian–penilaian. Norma hukum Tidak termasuk dunia

kenyataan tapi masuk ke dalam seins (realita) atau solen (idealita). Jadi dalam kajian ilmu

hukum sein masuk dalam realita ilmu pengetahuan sedangkan solen masuk dalam realita

filsafat.

Sementara itu hubungan Teori Hukum dan Filsafat Hukum dapat dirangkum

sebagai sebuah hubungan meta-disiplin (filsafat hukum) terhadap disiplin objek (teori

hukum). Filsafat Hukum secara esensial mewujudkan suatu pemikiran spekulatif,

sedangkan Teori Hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah-positif terhadap gejala

hukum.

Dengan demikian pikiran spekulatif ini maka Filsafat Hukum dapat bersifat

rasional hanya atas dasar kriterianya sendiri, yang keberadaannya sendiri didiskusikan.

Sebaliknya Teori Hukum itu rasional atas dasar kriteria umum, yang diterima oleh tiap

orang.
Teori ilmu hukum bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan

memberikan penjelasan sejernih mungkin mengenai bahan hukum yang tersaji dalam

kegiatan yuridis di dalam kenyataan masyarakat objek telaahnya adalah gejala umum

dalam tatanan hukum positif yang meliputi analisis dalam hukum dan kritik ideologi

terhadap hukum.

Referensi

Gunarto. 2012. Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum. Semarang: Universitas Islam Sultan
Agung
Ishaq. 2012. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Erwin, Muhammad. 2013. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum. Jakarta:
Rajawali Pers.

Anda mungkin juga menyukai