Anda di halaman 1dari 11

FILSAFAT PENGANTAR

1. METAFISIKA

Menurut para pemikir metafisis seperti Plato dan Aristoteles memberikan asumsi
dasar bahwa dunia atau realitas adalah yang dapat dipahami (intelligible) yang mana
setiap aliran metafisika mengklaim bahwa akal budi memiliki kapasitas memadai
untuk memahami dunia. Seolah – olah akal budi memiliki kualitas “Ampuh” untuk
menyibak semua realitas mendasar dari segala yang ada.
Sedangkan menurut Hamlyn, metafisika adalah bagian kajian filsafat yang paling
abstrak dan dalam pandangan sementara orang merupakan bagian yang paling
“tinggi” karena berurusan dengan realitas yang paling utama, berurusan dengan “apa
yang sungguh-sungguh ada” yang membedakan sekaligus menentukan bahwa sesuatu
itu mungkin ataukah tidak.
Sekalipun demikian, subjek yang pasti dari kajian metafisika secara terus menerus
dipertanyakan, demikian juga validitas klaim-klaimnya dan kegunaannya.
Dengan demikian, metafisika adalah bagian kajian filsafat tentang sifat dan fungsi
teori tentang realita.
 Tafsiran Metafisika
Manusia memberikan pendapat mengenai tafsiran metafisika. Tafsiran yang
pertama yang dikemukakan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat
hal-hal gaib (supranatural) dan hal-hal tersebut bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa
dibandingkan dengan alam yang nyata. Pemikiran seperti ini disebut pemikiran
supernaturalisme. Dari sini lahir tafsiran-tafsiran cabang misalnya animisme.
Selain faham diatas, ada juga paham yang disebut paham naturalisme. Paham ini
sangat bertentangan dengan paham supernaturalisme. Paham naturalisme
menganggap bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat
gaib, melainkan karena kekuatan yang terdapat dalam alam itu sendiri, yang dapat
dipelajari dan diketahui.
Penganut faham naturalisme percaya bahwa setiap gejala, gerak bisa dijelaskan
menurut hukum kausalitas (hukum sebab-akibat) atau hukum stimulus-respon.
Contoh: bola bilyard tidak akan bergerak kecuali karena ada bola yang menabraknya
atau disodok oleh tongkat bilyard.

2. EPISTEMOLOGI
Aristoteles mengawali metafisisnya dengan pernyataan “Setiap manusia dalam
kodratnya ingin tahu”. Ia begitu yakin tentang hal itu sehingga dorongan untuk tahu
ini bukan hanya disadari tetapi benar-benar diwujudkan dalam karyanya sendiri.

Tetapi sebelumnya Socrates telah menitikarirnya pada suatu dasar yang agak
berbeda, yaitu keyakinan bahwa tak seorang pun manusia mempunyai pengetahuan.
Menurut Plato, filsafat mulai dengan rasa kagum, tidak ada seorang pun yang dapat
berfilsafat kalau tidak bisa kagum. Rasa kagum disini tidak boleh disamakan dengan
rasa keingin tahuan dalam pengertian umum. Filsafat merupakan pembukaan mata
terhadap apa yang telah dialami, filsafat terutama merupakan refleksi dan refleksi
selalu bersifat kritis. Descartes memulai tahap dimana kekaguman filosofis sendirilah
yang dijadikan objek penyelidikannya. Epistemologi adalah sangat diperlukan,
sebuah kepastian dimungkinkan oleh suatu keraguan. Terhadap keraguan ini
epistemologi merupakan suatu obatnya. Apabila epistemologi berhasil mengusir
keraguan ini kita mungkin akan menemukan kepastian yang lebih pantas dianggap
sebagai pengetahuan.

Dalam bidang pengetahuan terdapat tiga persoalan pokok yaitu:

1. Apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar


itu datang dan bagaimana kita mengetahui? Ini adalah persoalan tentang ”asal”
pengetahuan.
2. Apakah watak pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar diluar
fikiran kita? Ini adalah persoalan tentang: apa yang kelihatan segi realita.
3. Apakah pengetahuan kita itu benar? Bagaimana kita dapat membedakan yang
benar dan yang salah? Ini tentang mengkaji kebenaran.

Namun epistemologi bukan hanya berurusan pernyataan atau pertimbangan, tetapi


epistemologi berurusan dengan pertanyaan tentang dasar dari pertimbangan tersebut.
Nilai kebenaran pertimbangan harus diputuskan berdasarkan evidensi. Banyak
kepercayaan yang dianggap benar ternyata salah. Pada suatu waktu yakin bahwa
bumi itu datar, bahwa setan-setan penyebab penyakit dapat dihalau keluar dengan
suara yang keras dan bahwa dalam mimpi, jiwa kita benar-benar pergi ketempat dan
zaman yang jauh. Ini yang pada suatu saat keprcayaan yang akan dipegang teguh.

Dalam kehidupan ini, manusia melihat masalah, lalu memikirkan masalah itu dan
mengamati dengan cermat, kemudian menghubung-hubungkan hasil pengamatannya
itu. Demikian misalnya, Izaac Newton, yang pada suatu hari duduk dibelakang
rumahnya. Kemudian dia melihat sebuah apel yang jatuh dari pohonnya. Ia heran,
mengapa apel itu jatuh dari pohonnya dan tidak melayang-layang diangkasa. Hal ini
yang mendorongnya untuk meneliti terus-menerus, hingga ditemukan The Law of
Gravitation dengan daya tarik bumi, maka benda yang memiliki bobot akan jatuh ke
bumi. Dalam dugaan tentang adanya wahyu Allah yang kemudian dapat dikatakan
bahwa ada empat sumber pengetahuan manusia, yaitu:

a) Empirisme

Pengalaman manusia, dengan ini muncul aliran empirisme yang dipelopori oleh
tokoh John Locke. Manusia dilahirkan sebagai kertas putih. Pengalamanlah yang
akan memberikan pengetahuan padanya. Dunia empiris merupakan sember
pengetahaun utama dalam dunia pendidikan yang terkenal dengan teori ‘Tabula Rasa’
( teori kertas putih). Empirisme merupakan aliran dalam filsafat yang berpendapat
bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman, observasi, dan
penginderaan.

b) Rasionalisme
Rasionalisme adalah pikiran manusia, hal ini menimbulkan faham rasionalisme,
yang mempercayai adanya kebenaran dan berpendrian bahwa manusia mungkin
mengerti, alat pengetahuannya berupa akal. Seseorang yang berpegang pada
epistemologi rasional menyatakan bahwa kebenaran dapat ditemukan sebelum adanya
pengalaman. Akal budi manusia yang melahirkan paham intelektualisme dalam dunia
pendidikan.

c) Intuisionisme

Secara etimologi, istilah intuisi, berarti langsung melihat, secara umum,


merupakan suatu metode yang tidak berdasarkan penalaran maupun pengalaman dan
pengamatan indra. Intuisi manusia, kalau pengetahuan yang diperoleh secara rasional
dan empiris yang merupakan produk dari sesuatu rangkaian nalar, maka intuisi
merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran itu. Jawaban
dari permasalahan yang sedang dipikirkan muncul dibenak manusia sebagai suatu
keyakinann yang benar walaupun manusia tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya
untuk sampai kesitu secara rasional.

d) Wahyu Allah

Wahyu Allah adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Alloh kepada manusi
lewat para nabi yang diutusnya. Antara kesemua sumber pengetahaun itu tidak
mungkin ada kontradiksi. Karena semuanya bersal dari satu sumber, yaitu Tuhan.
Jika terasa ada kontradiksi atau pertentangan itu hanyalah tampilannya saja

3. FILSAFAT ETIKA

Etika sering diidentikan dengan moral (atau moralitas). Namun, meskipun sama-
sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral memiliki
perbedaan pengertian. Moralitas lebih condong pada pengertian nilai baik dan buruk
dari setiap perbuatan manusia itu sendiri, sedangkan etika berarti ilmu yang
mempelajari tentang baik dan buruk. Jadi bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori
tentang perbuatan baik dan buruk. Dalam filsafat terkadang etika disamakan dengan
filsafat moral.
Etika membatasi dirinya dari disiplin ilmu lain dengan pertanyaan apa itu moral?
Ini merupakan bagian terpenting dari pertanyaan-pertanyaan seputar etika. Tetapi di
samping itu tugas utamanya ialah menyelidiki apa yang harus dilakukan manusia.
Semua cabang filsafat berbicara tentang yang ada, sedangkan filsafat etika membahas
yang harus dilakukan.
Selain itu etika bisa disebut sebagai ilmu tentang baik dan buruk atau kata lainnya
ialah teori tentang nilai. Dalam Islam teori nilai mengenal lima ketegori baik-buruk,
yaitu baik sekali, baik, netral, buruk dan buruk sekali. Nilai ditentukan oleh Tuhan,
karena Tuhan adalah maha suci yang bebas dari noda apa pun jenisnya. Tetapi tujuan
etika itu sendiri ialah bagaimana mengungkap perbedaan kebaikan dan keburukan
sejelas-jelasnya sehingga mendorong manusia terus melangkah pada kebaikan.
Kebaikan itu sendiri –menurut ibn Sina- sangat erat kaitannya dengan
kesenangan. Kebaikan itu membuat manusia lebih sempurna dalam suatu hal.
Kebaikan terbaik berkaitan dengan kesempurnaan roh manusia. dengan demikian
kejahatan merupakan sejenis ketidak sempurnaan.
Tujuan hidup ialah untuk menghentikan kesenangan duniawi sebagai suatu yang
diinginkan dan mengembangkan serta menyempurnakan roh dengan cara bertindak
menurut kebajikan-kebajikan rasional. Roh yang demikian berada sangat dekat
dengan sumber ketuhanannya dan ingin bersekutu dengannya dan dengan arahnya itu
ia mencapai kebahagiaan abadi.
Sedangkan menurut teori hedonisme Yunani kuno mengajarkan bahwa kebaikan
itu merupakan sesuatu yang mengandung kepuasan atau kenikmatan. Sedangkan
aliran pragmatisme mengajarkan bahwa segala sesuatu yang baik dalam kehidupan
adalah yang berguna secara praktis. Sama beda dengan aliran utilitarianisme yang
mengajarkan bahwa yang baik adalah yang berguna.
 Persoalan dalam Etika

Persoalan moralitas dalam hubungannya dengan interaksi antar manusia


merupakan persoalan utama pada zaman ini. Beberapa persoalan krusial yang
muncul, antara lain adalah bagaimana manusia harus bersikap menghadapi
perkembangan teknologi yang pesat pada abad ini, bagaimana bangsa-bangsa dunia
menghadapi pemanasan global, bagaimana harus memlihara perdamaian secara
bersama-sama dalam masyarakat yang sangat plural. Semua itu masuk ke dalam
problematika etika yang perlu dipikirkan dengan segera. Kenyataan yang ada pada
saat ini bahwa kemajuan teknologi informasi telah berkembang lebih cepat dari pada
pemahaman terhadap nilai-nilai.
Menurut K. Bertens, (2007:31), situasi etis pada zaman modern ini ditandai oleh
tiga ciri antara lain: 1) adanya pluralitas moral; 2) munculnya masalah-masalah etis
baru yang sebelumnya tidak ada; 3) munculnya kesadaran baru di tingkat dunia yang
nampak jelas dengan adanya kepedulian etis yang universal. Maka dari itu setidaknya
terdapat empat alasan perlunya etika pada zaman ini (Franz magnis Suseno, 1993:
15).
Pertama, individu hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, termasuk di
dalamnya di bidang moralitas.
Kedua, pada saat ini individu berada dalam pusaran transformasi masyarakat yang
berlangsung sangat cepat. Gelombang modernisasi membawa perubahan yang
mengenai semua segi kehidupan.
Ketiga, bahwa proses perubahan sosial, budaya dan moral yang terjadi ini sering
dipergunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk memancing
dalam air keruh.
Keempat, etika juga diperlukan oleh kaum agamawan.
Pribadi-pribadi manusia selalu mengadakan pertimbangan terhadap tingkah laku
mereka sendiri dan tingkah laku orang lain. Terdapat tindakan-tindakan yang
disetujui dan dinamakan benar atau tidak. Tindakan-tindakan lain dicela atau tidak
disetujui dinamakan salah atau jahat. Pertimbangan moral berhadapan dengan
tindakan manusia, yang bebas. Tindakan-tindakan yang tidak bebas, yang pelakunya
tidak dapat mengontrol perbuatannya, tidak dihubungkan dengan pertimbangan
moral, karena seseorang dianggap tidak dapat bertanggungjawab terhadap
tindakannya yang tidak dikehendaki.
Dari paparan di atas jelas bahwa persoalan etika adalah sebagai berikut:
Pertama, terdapat penyelidikan yang dinamakan etika deskriptif (descriptive ethics),
yaitu mempelajari perilaku pribadi-pribadi manusia atau personal morality dan
perilaku kelompok atau social morality. Dengan menganalisa bermacam-macam
aspek dari perilaku manusia, antara lain: motif, niat dan tindakan-tindakan terbaik
yang dilaksanakan. Kedua, pengertian perilaku moral seperti di atas harus dibedakan
dengan apa yang seharusnya (etika normatif). Apa yang seharusnya dilakukan
mendasarkan penyelidikan terhadap prinsip-prinsip yang harus dipakai dalam
kehidupan manusia. Yaitu dengan menanyakan bagaimanakah cara hidup yang baik
yang harus dilakukan. Ketiga, berkaitan dengan pengertian praktis. Dengan
menjawab pertanyaan bagaimanakah menjalankan hidup dengan benar, atau
bagaimana cara menjadi manusia yang benar (Harold H. Titus, 1984: 140).

4. FILSAFAT MANUSIA

Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai
macam perfektif, ada yang mengatakan masnusia adalah hewan rasional (animal
rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain menilai
manusia sebagai animal simbolik adalah pernyatakan tersebut dikarenakan manusia
mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia menafsirkan simbol-
simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah sebagai homo feber
dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan dapat gila terhadap
kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan disatu pihak ia
merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam untuk hidup.
Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia harus
menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat disebut
sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli mahluk
yang lain. Manusia juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut dikarenakan
manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah satu bagian
yang lain manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang senang bermain).
Manusia dalam bermaian memiliki ciri khasnya dalam suatu kebudayaan bersifat fun.
Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan. Permaianan dalam
sejarahnya juga digunakan untu memikat dewa-dewa dan bahkan ada suatu
kebudayaan yang menganggap permainan sebagai ritus suci.

Antropologi adalah merupakan salah satu dari cabang filsafat yang


mempersoalkan tentang hakekat manusia dan sepanjang sejarahnya manusia selalu
mempertanyakan tentang dirinya, apakah ia sedang sendirian, yang kemudian
menjadi perenungan tentang kegelisahan dirinya, ataukah ia sedang dalam dinamika
masyarakat dengan mempertanyakan tentang makna hidupnya ditengan dinamika
perubahan yang kompleks, dan apakah makna keberadaannya ditengah kompleksitas
perubahan itu? Pertanyaan tentang hakekat manusia merupkan pertanyaan kuno
seumur keberadaan manusia dimuka bumi. Dalam jawaban tentang manusia tidak
pernah akan selesai dan dianggap tidak pernah sampai final dikarenakan realitas
dalam keling manusia selalu baru, meskipun dalam subtansinya tidak berubah.

Manusia menurut Paulo Freire mnusia merupakan satu-satunya mahluk yang


memiliki hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dari hewan yang tidak memiliki
sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak tidak kritis
dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia. Manusi dibedakan dari hewan
dikarenakan kemampuannya untuk melakukan refleksi (termasuk operasi-operasi
intensionalitas, keterarahan, temporaritas dan trasendensi) yang menjadikan mahluk
berelasi dikarenakan kapasitasnya untuk meyampaikan hubungan dengan dunia.
Tindakan dan kesadaran manusia bersifat historis manusia membuat hubungan
dengan dunianya bersifat epokal, yang menunjukan disini berhubungan disana,
sekarang berhubungan masa lalu dan berhubungan dengan masa depan. manusia
menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah.

Hakekat manusia selalu berkaitan dengan unsur pokok yang membentuknya,


seperti dalam pandangan monoteisme, yang menccari unsur pokok yang menentujkan
yang bersifat tunggal, yakni materi dalam pandangan materialisme, atau unsur rohani
dalam pandangan spritualisme, atau dualisme yang memiliki pandangan yang
menetapkan adanya dua unsur pokok sekaligus yang keduanya tidak saling menafikan
nyaitu materi dan rohani, nyakni pandangan pluralisme yang menetapkan pandangan
pada adanya berbagai unsur pokok yang pada dasarnya mencerminkan unsur yang
ada dalam marco kosmos atau pandangan mono dualis yang menetapkan manusia
pada kesatuannya dua unsur, ataukah mono pluralism yang meletakkan hakekat pada
kesatuannya semua unsur yang membentuknya. Manusia secara individu tidak pernah
menciptakan dirinya , kan tetapi bukan berarti bahwea ia tidak dapat menentukan
jalan hidup setelah kelahirannya dan eksistensinya dalam kehidupan dunia ini
mencapai kedewasaan dan semua kenyataan itu, akan memberikan andil atas jawaban
mengenai pertanyaan hakekat, kedudukan, dan perannya dalam kehidupan yang ia
hadapi.

5. FILSAFAT AGAMA

Agama adalah salah satu materi yang menjadi sasaran pembahasan filsafat.
Dengan demi-kian, agama menjadi objek materia filsafat. Ilmu pengeta-huan juga
mempunyai objek materia yaitu materi yang empiris, tetapi objek materia filsafat
adalah bagian yang abstraknya. Dalam agama terdapat dua aspek yang berbeda
yaitu aspek pisik dan aspek metefisik. Aspek metafisik adalah hal-hal yang
berkaitan dengan yang gaib, seperti Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan manusia
dengan-Nya, sedangkan aspek pisik adalah manusia sebagai pribadi, maupun
sebagai anggota masyarakat.
Kedua aspek ini (fisik dan metafisik) menjadi objek materia filsafat. Namun
demikian objek filsafat agama banyak ditujukan kepada aspek metafisik daripada
aspek pisik. Aspek pisik itu sebenarnya sudah menjadi pem-bahasan ilmu seperti
ilmu sosiologi, psikologi, ilmu biologi dan sebagainya. Ilmu dalam hal ini sudah
memisahkan diri dari filsafat. 

Dengan demikian, agama ternyata termasuk objek materia filsafat yang tidak
dapat diteliti oleh sain. Objek materia filsafat jelas lebih luas dari objek materi
sain. Perbedaan itu sebenarnya disebabkan oleh sifat penyelidik-an. Penyelidikan
filsafat yang dimaksud di sini adalah penyelidikan yang mendalam, atau
keingintahuan filsafat adalah bagian yang terdalam. Yang menjadi penyelidikan
filsafat agama adalah aspek yang terdalam dari agama itu sendiri. 

Selain objek materia itu terdapat pula objek forma filsafat yaitu cara pandang
yang menyeluruh, radikal dan objektif tentang yang ada untuk mengetahui
hakikatnya. Dengan demikian, agama sebagai objek forma filsafat adalah cara
pandang yang radikal tentang agama dan ber-bagai persoalan yang terdapat dalam
agama itu. Dengan kata lain objek forma filsafat adalah pembahasan yang
mendalam dan mendasar dari setiap hal yang menjadi ajaran dari seluruh agama di
dunia ini. Seperti diung-kapkan di atas bahwa pemabahasan terpenting dalam
setiap agama adalah ajaran tentang Tuhan. Pembahasan ini tidak hanya melihat
argumentasi yang memperkuat keya-kinan tentang Tuhan, tetapi juga argumen
yang membantah, melemahkan bahkan menolak wujud Tuhan itu. Hal inilah yang
akan dibahas dalam filsafat agama.

Karena begitu mendalamnya pembahasan tentang Tuhan terdapat dua


kemungkinan yang akan terjadi. Dengan mempelajari agama bisa seseorang  
berubah keya-kinan. Ada orang yang membahas persoalan kepercayaan dalam
agama itu menambah keyakinannya terhadap Tuhan. Ada orang yang membahas
persoalan kepercayaan tentang Tuhan, tetapi karena ia tidak mendapatkan kepuas-
an dalam penemuannya sehingga orang itu berpaling dari keyakinannya semula.
Jika seorang pada mulanya percaya kepada Tuhan, tetapi setelah membahas
eksistensi Tuhan ia bisa menjadi tidak percaya kepada Tuhan. Nietzsche, seorang
keturunan yang taat beragama adalah salah satu contoh dari persoalan ini.
Sebaliknya, seorang yang ateis, yang kemungkinan dalam hidupnya mengalami
kekosongan dan kegersangan jiwa setelah berfikir tentang penga-laman orang
yang beragama bisa pula menjadi penganut agama yang kuat.

Sebenarnya objek filsafat agama tersebut tidak hanya persoalan-persoalan


ketuhanan semata, tetapi juga sampai kepada persoalan-persoalan eskatologis.
Persoalan eskato-logis pada umumnya berbicara tentang hari kiamat dan hal-hal
yang akan dialami manusia pada waktu itu, seperti persoalan keadilan Tuhan,
penerimaan pahala dan siksa. Pentingnya persoalan eskatologis sebagai objek
pemba-hasan filsafat agama karena eskatologislah yang mendorong orang
bersemangat orang untuk menjalankan ajaran agamanya. Tanpa ada tanggung
jawab terhadap amal perbuatannya keberadaan agama menjadi kurang menarik.
Hidup sesudah mati inilah yang membuat pemeluknya menjadi tertarik kepada
kepada agama.

Filsafat agama sebenarnya bukanlah langkah untuk menyelesaikan persoalan


agama secara tuntas. Pembahasan filsafat agama hanya bertujuan untuk
mengungkap-kan argumen-argumen yang mereka kemukakan dan memberikan
penilaian terhadap argumen tersebut dari segi logisnya.

Anda mungkin juga menyukai