Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani. Istilah itu berasal dari dua kata "philos" dan
"shopia" yang memiliki arti pencinta pengetahuan. Konon, yang pertama kali memakai kata
"philoshop" adalah Socrates. Dia menggunakan kata itu lantaran dua alasan.
Bagi golongan itu, kebenaran yang riil tidaklah ada. Akhirnya, pada waktu itu
manusia terjangkit virus skeptis. Dengan kata lain, mereka dihantui keragu-raguan terhadap
segala sesuatu. Sebab, apa yang mereka anggap benar belum tentu benar karena kebenaran
bergantung pada orang-orang shopis. Melihat kondisi demikian, Socrates terpanggil untuk
membangun kepercayaan pada masyarakat Yunani bahwa kebenaran itu ada dan tidak harus
bergantung pada kaum shopis. Dalam upayanya itu, Socrates berhasil dan mengalahkan
kaum shopis. Walaupun berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi lebih memilih
kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang merasa pandai.
Perjuangannya Socrates lalu oleh Plato, yang kemudian dikembangkan lagi oleh
Aristoteles. Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal
dengan logika (mantiq) Aristotelian. Mulanya, kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan
yang dimiliki manusia.
Mereka mengatakan satu indra saja mempunyai begitu banyak kesalahan. Kalau
demikian, bagaimana pengetahuan lewat indra dapat dipercaya? Demikian pula dengan akal.
Manusia kerap salah dalam berpikir. Bukti yang paling jelas bahwa di antara para filsuf
sendiri terdapat perbedaan yang jelas, tidak mungkin semua benar, pasti ada yang salah.
Maka, akal pun tidak dapat dipercaya. Sebab, alat pengetahuan hanya dua dan keduanya
mungkin bersalah, maka pengetahuan tidak dapat dipercaya.
Para filsuf Islam menyebutkan beberapa sumber sekaligus alat pengetahuan. Pertama,
alam tabiat atau alam fisik. Kedua, alam akal. Ketiga, analogi. Keempat, hati dan
ilham. Kemudian, syarat dan penghalang pengetahuan. Meskipun pengetahuan tidak bisa
dipisahkan dari manusia, sering ada hal-hal yang mestinya diketahui oleh manusia ternyata
tidak diketahui olehnya.
Paham ini beranggapan, ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar
oleh rasio manusi. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang
dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak dijabarkan dari
pengalaman, bahkan pengalaman empiris bergantung pada prinsip-prinsip ini.
Prinsip-prinsip tadi oleh Descartes kemudian dikenal dengan istilah substansi, yang
tak lain adalah ide bawaan yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang tidak bisa
diragukan lagi. Ada tiga ide bawaan yang diajarkan Descartes, yaitu:
1. Pemikiran; saya memahami diri saya makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga
bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.
2. Tuhan merupakan wujud yang sama sekali sempurna; karena saya mempunyai ide
“sempurna”, mesti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide itu, karena suatu akibat tidak
bisa melebihi penyebabnya.
3. Keluasaan; saya mengerti materi sebagai keluasaan atau ekstensi, sebagaimana hal itu
dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.
Sementara itu menurut logika Leibniz yang dimulai dari suatu prinsip rasional, yaitu
dasar pikiran yang jika diterapkan dengan tepat akan cukup menentukan struktur realitas yang
mendasar. Leibniz mengajarkan bahwa ilmu alam adalah perwujudan dunia yang matematis.
Dunia yang nyata ini hanya dapat dikenal melaui penerapan dasar-dasar pemikiran. Tanpa itu
manusia tidak dapat melakukan penyelidikan ilmiah. Teori ini berkaitan dengan dasar
pemikiran epistimologis Leibniz, yaitu kebenaran pasti/kebenaran logis dan kebenaran
fakta/kebenaran pengalaman. Atas dasar inilah yang kemudian Leibniz membedakan dua
jenis pengetahuan. Pertama; pengetahuan yang menaruh perhatian pada kebenaran abadi,
yaitu kebenaran logis. Kedua; pengetahuan yang didasari oleh observasi atau pengamatan,
hasilnya disebut dengan “kebenaran fakta”.
Namun demikian, rasio juga tidak bisa berdiri sendiri. Ia juga butuh dunia nyata.
Sehingga proses pemerolehan pengetahuan ini ialah rasio yang bersentuhan dengan dunia
nyata di dalam berbagai pengalaman empirisnya. Maka dengan demikian, seperti yang telah
disinggung sebelumnya kualitas pengetahuan manusia ditentukan seberapa banyak rasionya
bekerja. Semakin sering rasio bekerja dan bersentuhan dengan realitas sekitar maka semakin
dekat pula manusia itu kepada kesempunaan.
EMPIRISME
Secara epistimologi, istilah empirisme barasal dari kata Yunani yaitu emperia yang
artinya pengalaman. Tokoh-tokohnya yaitu Thomas Hobbes, Jhon Locke, Berkeley, dan yang
terpenting adalah David Hume.Berbeda dengan rasionalisme yang memberikan kedudukan
bagi rasio sebagai sumber pengetahuan, maka empirisme memilih pengalaman sebagai
sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah maupun pengalaman batiniyah.
Prinsip-prinsip dan metode empirisme pertama kali diterapkan oleh Jhon Locke,
penerapan tersebut terhadap masalah-masalah pengetahuan dan pengenalan, langkah yang
utama adalah Locke berusaha menggabungkan teori emperisme seperti yang telah diajarkan
Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Penggabungan ini justru
menguntungkan empirisme. Ia menentang teori rasionalisme yang mengenai ide-ide dan asas-
asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Menurut dia, segala pengetahuan
datang dari pengalaman dan tidak lebih dari itu. Menurutnya akal manusia adalah pasif pada
saat pengetahuan itu didapat. Akal tidak bisa memperolah pengetahuan dari dirinya sendiri.
Akal tidak lain hanyalah seperti kertas putih yang kosong, ia hanyalah menerima segala
sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi
dan pengetahuan akali, satu-satunya objek pengetahuan adalah ide-ide yang timbul karena
adanya pengalaman lahiriah dan karena pengalaman bathiniyah. Pengalaman lahiriah adalah
berkaitan dengan hal-hal yang berada di luar kita. Sementara pengalahan bathinyah berkaitan
dengan hal-hal yang ada dalam diri/psikis manusia itu sendiri.
Sementara menuru David Hume bahwa seluruh isi pemikiran berasal dari
pengalaman, yang ia sebut dengan istilah “persepsi”. Menurut Hume persepsi terdiri dari dua
macam, yaitu: kesan-kesan dan gagasan. Kesan adalah persepsi yang masuk melalui akal
budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup. Sementara gagasan adalah persepsi yang
berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Gagasan bisa diartikan dengan cerminan dari
kesan. Contohnya, jika saya melihat sebuah “rumah”, maka punya kesan tertentu tentang apa
yang saya lihat (rumah), jika saya memikirkan sebuah rumah maka pada saat itu saya sedang
memanggil suatu gagasan. Menurut Hume jika sesorang akan diberi gagasan tentang “apel”
maka terlebih dahulu ia harus punya kesan tentang “apel” atau ia harus terlebih dahulu
mengenal objek “apel”. Jadi menurut Hume jika seandainya manusia itu tidak memiliki alat
untuk menemukan pengalaman itu buta dan tuli misalnya, maka manusia itu tidak akan dapat
memperoleh kesan bahkan gagasan sekalipun. Dalam artian ia tidak bisa memperoleh ilmu
pengetahuan.
Berpikir adalah jauh lebih banyak dari pengamatan. Kita merasa berhutang budi
dalam kemajuan yang sangat mengesankan dari ilmu, yan menyebabkan perombakan wajah
dunia dan struktur kehidupan. Kiranya ada harga bila kita merenungkan sedikit tentang
proses berpikir ini. Apakah sebenarnya berpikir? Bagaimana mungkin bahwa berpikir
membantu kita dalam mengetahui sesuatu? Bagaimana pengetahuan itu dibentuk dan jalan
manakah yang ditempuh penelitian keilmuan? Dan akhirnya, sebuah pertanyaan yang paling
penting:
Pertama, apakah sebenarnya berpikir? Secara umum maka tiap perkembangan dalam ide,
konsep dan sebagainya dapat disebut berpikir. Umpannya, jika seseorang bertanya kepada
saya, “Apakah yang edang kamu pikirkan?” mungkin saya menjawab, “Saya sedang
memikirkan keluarga saya.” Hal ini berarti bahwa bayangan, kenangan, dan sebaginya, hadir
dan ikut mengikuti dalam kesadaran saya. Karena itu maka definisi yang paling umum dari
berpikir adalah perkembangan ide dan konsep.
Pemikiran keilmuan bukanlah suatu pemikiran yang biasa. Pemikiran keilmuan adalah
pemikiran yang sungguh-sungguh. Artinya, suatu cara berpikir yang berdisiplin, dimana
seseorang yang bersungguh-sungguh takkan membiarkan ide dan konsep yang sedang
dipikirnya berkelana tanpa arah, namun kesemuanya itu akan diarahkan pada suatu tujuan
tertentu. Tujuan tertentu itu, dala hal ini, adalah pengetahuan. Berpikir keilmuan, atau
berpikir sungguh-sungguh, adalah cara berpikir yang disiplinkna dan diarahkan kepada
pengetahuan.
Akan tetapi bagaimana pemikiran seperti itu akan membuahkan pengetahuan bagi kita?
Seseorang mungkin berpikir bahwa objek yang ingin kita ketahui sebenarnya sudah ada,
sudah tertentu, jadi disini tak diperlukan adanya pemikiran, yang harus dilakukan hanyalah
sekedar membuka mata kita atau memusarkan perhatian kita terhadap objek tersebut. Kalau
ternyata objek yang kita ketahui ini belum tentu, maka kelihatannya berpikir tidak akan
pernah mendekatkan kita kepadanya. Namun semuanya itu ternyata tidak benar. Dalam kedua
hal diatas, kalau kita mau menyimak pengalaman kita, berpikir ternyata memerankan peranan
yang sangat membantu bahkan sangat menentu.
KETIDAKSEMPURNAAN ILMU
Sayang sekali bahwa dalam semua langkah sejak pengamatan sampai pengujian kita
mungkin melakukan kesalahpahaman. Kiranya akan sangat bermanfaat bagi kita untuk
mempelajari berbagai kesalahan yang mungkin dilakukan dalam suatu kegiatan keilmuan
untuk meningkatkan kewaspadaan agar kesalahan-kesalahan ini dapat dikurangi. Kesalahan
yang sering terjadi terutama dilakukan dalam menarik kesimpulan yang berlaku umum dari
pengamatan yang terbatas. Kesalahan lainnya sering terjadi waktu pengujian dimana terdapat
kecenderungan untuk menerima suatu kesimpulan yang tidak teruji dengan sempurna.
Dengan demikian juga perasaan engga untuk mengbah sebuah kesimpulan yang telah kita
terima namun harus digugurkan kembali disebabkan ditemukanya bukti-bukti yang baru.