BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana asal-usul berkembangnya pola pikir manusia?
1.2.2 Bagaimana sejarah munculnya mitos dan metode ilmiah?
1.2.3 Bagaimana hubungan antara mitos dan metode ilmiah?
1.2.4 Apakah validitas mitos & metode ilmiah bisa dipertanggung-jawabkan sebagai
sumber pengetahuan dan sumber kebenaran?
BAB II
PEMBAHASAN
2
cara gaib2. Mitologi adalah Ilmu yang mempelajari tentang mitos. Lebih lengkapnya
mitologi merupakan ilmu tentang bentuk sastra yang mengandung konsepsi dan
dongeng suci mengenai kehidupan dewa dan makhluk halus di suatu kebudayaan3.
3
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Teori Kebenaran9
Jujun S. Suriasumantri membagi teori kebenaran menjadi 3:
a. Teori Koherensi
Berdasarkan teori koherensi, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan
itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya
yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan
mati” adalah suatu penyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “Si Fulan
adalah seorang manusia dan Si Fulan pasti akan mati” adalah benar pula sebab
pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan pertama. Teori ini pada
mulanya didukung oleh Plato dan Aristoteles.
b. Teori Korespondensi
Pada teori korespondensi, suatu pernyataan adalah benar jika materi
pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan)
dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Jika seseorang mengatakan
bahwa “Ibukota Republik Indonesia adalah Jakarta”, maka pernyataan itu adalah
benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual yakni Jakarta
yang memang menjadi Ibukota Republik Indonesia. Berbeda jika seseorang
mengatakan bahwa, “Ibukota Republik Indonesia adalah Bandung”, maka
pernyataan itu adalah tidak benar sebab tidak sesuai dengan obyek faktual.
Secara faktual, Ibukota Repubik Indonesia adalah Jakarta, bukan Bandung. Teori
ini dikembangkan oleh Bertrand Russell (1872-1970).
c. Teori Pragmatis
Bagi seorang pragmatis, maka kebenaran suatu pernyataan diukur dengan
kriteria, apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi
dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Pragmatisme merupakan teori dalam penentuan kriteria kebenaran. Kaum
pragmatis berpaling kepada metode ilmiah sebagai metode untuk mencari
pengetahuan tentang alam ini yang dianggapnya fungsional dan berguna dalam
menafsirkan gejala-gejala alamiyah. Teori ini dicetuskan oleh Charles S. Pierce
4
(1839-1914), dan dikembangkan oleh ahli filsafat antara lain William James
(1863-1931), John Dewey (1859-1952), George Herbert Mead (1863-1931) dan
C.I. Lewis.
5
Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran
tertentu. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan. Seseorang yang
sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan
jawaban atas permasalahan tersebut. Jawaban atas permasalahan yang sedang
difikirkannya muncul di benakknya bagaikan kebenaran yang membukakan
pintu. Intuisi bekerja dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, artinya tidak ada
ikhtiar untuk mendapatkan jawaban melalui intuisi. Pengetahuan intuitif dapat
dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan
benar dan tidaknya pernyataan yang dikemukakannya.
d. Wahyu
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia.
Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutusnya sepanjang zaman.
Kepercayaan kepada Tuhan yang merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan
kepada nabi sebagai perantara dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai cara
penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan pengetahuan ini. Berbeda
dengan filsuf Rene Descartes yang memulai meragukan sesuatu untuk mencapai
pengetahuan dan kebenaran, maka wahyu yang diwakili lewat agama dimulai
dengan rasa percaya, dan lewat pengkajian selanjutnya untuk meningkatkan
kepercayaan dengan pembuktian atas pengkajian-pengkajian baik melalui
rasionalitas, pengalaman empirisme bahkan intuisi.
6
hidupnya saja, berbeda dengan manusia zaman sekarang dengan adanya kemajuan
teknologi dan sebagainya yang sudah mampu membuat tempat tinggal seperti istana
yang gemerlap maupun gedung-gedung yang menjulang tinggi ke langit.
Rasa ingin tahu manusia yang terus berkembang dan seolah-olah tanpa batas itu
menimbulkan perbendaharaan pengetahuan pada manusia itu sendiri. Hal ini tidak saja
meliputi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti bercocok tanam, membuat panah atau
tombak untuk berburu, tetapi juga berkembang sampai pada hal-hal yang menyangkut
keindahan.
Kemampuan penalaran manusia juga mampu menyebabkan berkembangnya
pola pikir dan pengetahuan, dia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah,
mana yang baik dan mana yang buruk, dan apa yang indah dan apa yang jelek. Dalam
hal memilih antara dua unsur tersebut manusia menggunakan pengetahuannya.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang mengembangkan pengetahuan
secara sungguh-sungguh. Binatang juga mempunyai pengetahuan, namun hanya terbatas
untuk kelangsungan hidupnya (survival). Manusia mengembangkan pengetahuannya
untuk mengatasi kebutuhan kelangsungan hidupnya. Dia memikirkan hal-hal yang baru,
menjelajah ufuk baru, karena dia hidup bukan sekadar untuk kelangsungan hidup,
namun juga mengembangkan kebudayaan, memberi makna kehidupan, dan masih
banyak lagi yang lainnya. Semua itu hakikatnya menyimpulkan bahwa manusia itu
dalam hidupnya mempunyai tujuan tertentu yang lebih tinggi dari sekadar kelangsungan
hidupnya. Inilah sebabnya manusia mengembangkan pengetahuannya, dan pengetahuan
ini jugalah yang mendorong manusia untuk menjadi makhluk yang bersifat khas di
muka bumi ini.
Berkembangnya pola pikir dan pengetahuan manusia disebabkan oleh dua hal,
pertama: manusia mempunyai bahasa yang mampu untuk mengkomunikasikan
informasi dan jalan pikiran yang melatar belakangi informasi tersebut. Berbeda dengan
seekor rusa yang bisa saja memberi informasi kepada kelompoknya bahwa ada
segerombolan srigala datang menyerang, namun bagaimana berkembang bahasanya, dia
tidak mampu mengkomunikasikan kepada rusa-rusa yang lainnya, jalan pikiran yang
analitis mengenai hal tersebut. Sebab kedua, manusia mampu mengembangkan
pengetahuannya dengan cepat dan mantap, adalah kemampuan berpikir menurut suatu
alur kerangka berpikir tertentu. Secara garis besar cara berpikir seperti ini disebut
7
penalaran. Binatang mampu berpikir namun tidak mampu berpikir secara nalar.
Perbedaan antara profesor nuklir dengan anak kecil yang membangun bom atom dari
pasir di playgroup-nya tempat dia melakukan riset terletak pada kemampuannya dalam
menalar.
Dua kelebihan inilah yang memungkinkan manusia untuk mengembangkan
pengetahuannya yakni bahasa yang bersifat komunikatif dan pikiran yang mampu
menalar. Tentu saja tidak semua pengetahuan berasal dari proses penalaran tetapi
manusia adalah makhluk yang berfikir, merasa, mengindera, dan totalitas
pengetahuannya berasal dari ketiga sumber tersebut, di samping wahyu yang merupakan
komunikasi sang pencipta dengan makhluk-nya.
8
merengek minta dipotong kukunya pada sang ibu, lalu ibunya berkata, “tidak boleh
memotong kuku menjelang malam, karena akan diterkam harimau.” Tentu saja tidak
ada hubungan antara memotong kuku dengan harimau yang akan menerkamnya . Akan
tetapi, begitulah cara orang tua melarang anaknya jika akan melakukan sesuatu yang
dapat mencelakakan. Menurut kami, zaman dahulu rumah-rumah penduduk masih
banyak di hutan yang lebat dan masih banyak harimau atau hewan buas yang lainnya
serta belum ada penerangan listrik ketika menjelang malam sehingga semua penduduk
akrab dengan realitas tersebut.
Sekarang mari kita renungkan, di dalam kegelapan, anak kecil memotong
kukunya, tentu saja membahayakan dirinya, karena kehidupan mereka akrab dengan
binatang buas, tentu cara yang efektif adalah dengan mengatakan “jika memotong kuku
pada malam hari akan diterkam harimau”.
Betapa cerdasnya masyarakat zaman dulu, yang tidak pernah mengenyam
pendidikan formal apalagi bergelar. Namun ketika cara tersebut digunakan oleh
masyarakat modern sekarang yang tidak bertempat tinggal di hutan, malam hari terang
benderang dan mengetahui binatang buas semacam harimau setelah berkunjung di
kebun binatang, larangan itu terdengar naïf dan takhayul. Padahal masyarakat zaman
dulu tidak bermaksud menciptakan takhayul, melainkan berfikir empiris dan cukup
logis. Lalu siapa yang menciptakan takhayul dan berbagai mitos, masyarakat zaman
dahulu atau masa kini?12.
Cerita yang berdasarkan atas mitos disebut legenda. Mitos timbul disebabkan
antara lain oleh keterbatasan alat indera manusia: penglihatan, pendengaran, penciuman,
pengecap, dan perasa. Alat-alat indera tersebut berbeda-beda di antara manusia. Ada
yang sangat tajam inderanya, ada yang tidak. Akibat keterbatasan alat indera, maka
mungkin saja timbul salah informasi. Dan akibat perbedaan ketajaman alat indera, maka
mungkin saja timbul perbedaan informasi. Indera bisa terus dilatih untuk meningkatkan
fungsi dan ketajamannya.
Pada masa itu, mitos masih dapat diterima oleh masyarakat karena: a.
keterbatasan pengetahuan yang disediakan oleh keterbatasan penginderaan, baik
langsung maupun tidak langsung; b. keterbatasan penalaran manusia pada saat itu; c.
terpenuhinya hasrat ingin tahu13.
9
Perkembangan mitos sampai saat ini masih berlaku dan diyakini oleh sebagian
besar masyarakat. Kebanyakan dari mereka adalah mayarakat pedesaan yang masih
kental memegang erat hukum adat. Bahkan beberapa kasus, mitos ini masih diakui oleh
masyarakat kota. Pengakuan akan adanya mitos, berkembang menjadi sebuah
kepercayaan. Dan kepercayaan inilah yang nantinya diambil, difiltrasi, berasimilasi
dengan sebuah agama serta menjadi sebuah budaya mayarakat tertentu yang mencoba
untuk dilestarikan.
Sebagai contoh mitos yang masih berkembang di masyarakat Indonesia
khususnya Jawa adalah selametan atau kenduri. Slametan merupakan bentuk aktivitas
sosial berwujud upacara yang dilakukan secara tradisional. Upacara slametan masih
dianggap sebagai aktivitas penting untuk mencari keselamatan, ketenangan dan
terjadinya keseimbangan kosmos. Keseimbangan kosmos adalah terjaganya hubungan
yang harmonis antara mikrokosmos (jagad cilik/dunia bawah meliputi manusia, hewan,
tumbuhan) dan makrokosmos (jagad gedhe/dunia atas meliputi Tuhan/Dewa, dan
makhluk halus). Dunia bawah berusaha untuk berlindung pada suatu keselamatan,
sedangkan dunia atas melindungi dan memberi keselamatan dunia bawah, dengan
catatan jika keduanya terjalin harmonisasi. Jika terjadi dis-harmonisasi, maka akan
terjadi malapetaka menimpa dunia bawah. Dalam bahasa lain, Geerts menyebutkan,
selametan itu mengharmoniskan hubungan antara orang jawa dengan danyang yang
menguasai desanya14.
Dalam selametan, kepercayaan mitos merupakan aspek terpenting. Tanpa
hadirnya kepercayaan mitos, tentu upacara ini tidak memiliki roh, yang berarti akan
mudah ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Dengan selametan pula, orang Jawa
khususnya atau pendukung selametan menganggap roh-roh orang meninggal dapat
diajak berkomunikasi. Hal ini diwujudkan dengan tamu undangan dari upacara
selametan dan bentuk makanan yang disajikan yang masih berkaitan dengan komunikasi
antara roh orang meninggal dan yang masih hidup. Dengan adanya kepercayaan mitos
itulah, selametan menjadi sacral atau disakralkan oleh pendukungnya.
10
ulang sehingga keakuratannya lebih bisa diakui. Jika mitos hanya terjadi sekali atau dua
kali, maka manusia zaman itu tidak mempercayai hal tersebut sehingga belum dianggap
sebagai sebuah mitos. Adanya peristiwa yang sudah menjadi mitos, memiliki nilai yang
dianggap “magis”, sakral dan tak jarang berhubungan dengan hal-hal ghaib.
Sebuah mitos bisa saja berawal dari pengetahuan yang terbatas atas sebuah
kejadian. Ia bisa timbul karena hasil penalaran yang bersifat abstrak atas penggunaan
rasio. Ia juga bisa beranjak dari kepercayaan akan kejadian alam yang berulang-ulang
yang tertangkap oleh indra sehingga bisa saja bersifat empiris. Terkadang pula, mitos
adalah berupa hasil intuisi seseorang yang disebarluaskan.
Dengan berkembangnya kemampuan berpikir manusia, disertai dengan
penemuan alat-alat penelitian, seperti teropong, lensa pembesar, mikroskop, dan
sebagainya, maka manusia semakin terdorong untuk melakukan pengamatan, observasi
dan penelitian. Akhirnya, banyak kebenaran baru yang terungkap berdasarkan
empirisme tersebut. Adakalanya hasil penemuan empiris bersesuaian dengan mitos yang
ada sehingga mendukung adanya mitologi yang berkembang di masyarakat. Dan yang
tak jarang pula penemuan empiris tersebut berbeda dengan mitologi yang sudah
terlanjur diyakini masyarakat. Hasil penemuan yang berbeda dari pengamatan yang
lebih bersifat empiris inilah yang kemudian secara otomatis menolak mitos-mitos
dengan berbagai legendanya, dan mereka cenderung untuk mengunakan akal sehat atau
rasionya. Maka, dimulailah babak baru penggunaan metode ilmiah sebagai cara untuk
mencari kebenaran khusunya kebenaran yang bersifat material dan fisik. Metode ilmiah
semakin berkembang dengan ditemukannya kajian-kajian bidang ilmu seperti fisika,
biologi, kimia, matematika, kedokteran, dll.
Lantas bagaimana hubungan antara mitos dan metode ilmiah? Apakah
keduaanya saling berhubungan; atau justru saling bertolak belakang?
Perlu dicatat bahwa, sebuah metode ilmiah perlu untuk berterimakasih kepada
adanya mitos. Adanya metode ilmiah merupakan perkembangan dari kepercayaan yang
didasarkan pada mitologi. Mitologi-mitologi yang berkembang telah membuat
keharmonisan antara kosmologi. Dan dari kosmologi itulah muncullah ilmu. Ilmu yang
muncul merupakan olah dari pola pikir berupa penalaran. Dan penalaran sendiri bagian
tak terpisahkan dari hasrat ingin tahu (curiousity).
11
Singkat kata, antara mitologi atau mitos dengan metode ilmiah sama-sama
merupakan sebuah metode atau cara untuk mendapatkan pengetahuan, yang bermula
dari keraguan untuk mencapai hakikat ketidakraguan (keyakinan). Bedanya antara
mitologi dan metode ilmiah, menurut penulis mencakup dua hal: pertama, waktu
terbentuknya mitos dan metode ilmiah berbeda. Bahkan bisa dikatakan, metode ilmiah
merupakan kelanjutan dari berkembangnya mitor-mitos tanpa harus menghapus mitos-
mitos yang sudah berkembang. Kedua, tingkat keakuratan antara mitos dan metode
ilmiah berbeda satu sama lain. Mitos bisa saja dihapus jika kebenaran mitos sudah tidak
relevan dengan kehidupan saat ini. Mitos juga bisa ditolak jika kebenarannya sudah
terpatahkan dengan adanya metode ilmiah yang lebih akurat kebenarannya untuk
mengetahui sebuah pengetahuan. Tapi yang pasti diingat bahwa, keduanya hanyalah
metode atau cara mendapatkan pengetahuan. Dan kita wajib berterima kasih pada dua
cara tersebut.
2.3.4 Validitas Mitos & Metode Ilmiah sebagai Sumber Pengetahuan dan Sumber
Kebenaran
Telah dijelaskan di depan bahwa sebagai ilmu pengetahuan dan kebenaran
bermula dari empat sumber, yakni: rasionalisme, empirisme, intuisi dan wahyu. Serta
dalam teori kebenaran yakni: koherensi, korespondensi dan pragmatisme. Dari kajian
tentang teori dan sumber kebenaran tersebut, maka pertanyaaan berikutnya adalah,
apakah antara mitos dan metode ilmiah bisa dimasukkan dalam beberapa kajian teori
kebenaran dan sumber pengetahuan tersebut?
Maka menurut kami, antara mitos dan metode ilmiah bisa dimasukkan dalam
kedua kategori tersebut untuk beberapa item. Dengan masuknya mitos dan metode
ilmiah, maka secara otomatis mereka memiliki kevalidan walaupun tingkat
kevalidannya berbeda. Lebih jelasnya perhatikan tabel berikut:
Tabel 1
CAKUPAN TEORI KEBENARAN
Koherensi √ √ -
12
Korespondensi - √ -
Pragmatisme √ √ √
Tabel 2
CAKUPAN SUMBER PENGETAHUAN
SUMBER
METODE HIPOTESA
PENGETAHUA MITOS
ILMIAH (DUGAAN)
N
Rasionalisme √ √ √
Empirisme - √ √
Intuisi - - √
Wahyu - - -
Tabel diatas merupakan ‘dugaan’ yang kami usulkan, untuk selanjutnya bisa
dilakukan penelitian maupun pembuktian guna mencapai pengalaman yang ‘berbeda’.
Dan sebagai pendukung, maka kami masukkan pula unsur hipotesa untuk
pengklasifikasian berdasarkan teori kebenaran dan sumber pengetahuan. Sebagai contoh
kasus, adalah sebagai berikut:
1. Mitos. Contoh: Gerhana Bulan.
Ketika terjadi gerhana bulan, bumi yang tadinya terang berubah menjadi gelap
karena digenggam atau ditelan oleh raksasa (buto-jawa) yang sedang marah, sehingga
manusia harus berusaha meredakan kemarahannya dengan berbagai cara, misalnya
memberi sesajen, meyakini adanya kekuatan lain di luar alam fisik, adanya para dewa
dan sebagainya. Khayalan-khayalan itu menjadi “keyakinan” yang membentuk
pemahaman normatif tentang setiap keberadaan dan kekuatan yang ada di dalamnya.
Sebelum dunia ilmu menyatakan adanya “gerhana bulan atau gerhana matahari”,
manusia pada umumnya mendapat jawaban dari berbagai mitos.
Dalam setiap gerhana, bulan akan menjadi gelap. Dan bulan juga mengalami
gerhana. Maka gerhana bulan akan menjadikan dirinya gelap. Hal ini memenuhi unsur
koherensi (konsisten). Di samping itu, ternyata kenyataannya bulan tidak dimakan
13
raksasa ketika gerhana. Ini artinya mitos gerhana bulan tidaklah faktual, tidak sesuai
dengan kenyataan. Sehingga, mitos gerhana bulan tidak memenuhi unsur
korespondensi. Dari kejadian gerhana bulan tersebut, ternyata masyarakat tidak
mendapatkan manfaat kecuali pehamanan yang normatif tentang keberadaan dan
kekuatan di dalamnya. Pemahaman normatif tersebut akan membuat masyarakat takut
dengan adanya berbagai marabahaya dari kemarahan raksasa, sehingga masyarakat
berusaha membuat sesajen. Keyakinan ini masih berkembang pada masyarakat Hindu di
Bali. Dalam kaitannya dengan kebenaran mitos, maka unsure pragmatisme hanya
berupa keyakinan yang semakin kuat pada pandangan-pandangan subyektif; terlepas
keyakinan tersebuat benar atau salah. Sehingga tetap memenuhi unsure pragmatisme
subyektif.
Tentang sumber pengetahuan, mitos baik gerhana bulan maupun gerhana
matahari tidak bisa diamati secara teliti. Mitos yang ada hanyalah dugaan-dugaan yang
berkembang menjadi keyakinan. Keyakinan inilah yang dipertahankan menjadi sebuah
ide abstrak. Sehingga mitos gerhana bulan memenuhi kriteria rasionalitas “terbatas”
sesuai zamannya. Akan tetapi, karena gerhana bulan tidak bisa diamati secara faktual
melainkan hanya dugaan, maka mitos ini tidak memenuhi kriteria empirik. Untuk
intuisi, apapun obyeknya bersifat personal sehingga tidak bisa dijadikan dalil shahih
(valid). Sedangkan sumber wahyu pada masa mitos terjadi, wahyu belum dan tidak ada.
2. Metode Ilmiah. Contoh: Gerhana Bulan.
Berbeda dengan mitos, maka metode ilmiah lebih memiliki argumen dalam
kaitan dengan teori kebenaran maupun sumber pengetahuan. Sama dengan mitos,
gerhana bulan akan mengakibatkan bulan menjadi gelap karena pantulan cahaya
matahari ke bulan tertutup total oleh bulan itu sendiri, sehingga bulan menjadi gelap.
Sehingga memenuhi teori koherensi (konsisten). Dan menurut metode ilmiah, terjadinya
gerhana bulan karena posisi antara bulan, bumi dan matahari pada garis lurus sehingga
pantulan cahaya matahari ke bulan terhalang oleh bumi. Dan ini mengandung unsur
faktual sehingga memenuhi kriteria korepondensi. Kejadian gerhana bulan juga bisa
dimanfaatkan manusia untuk mengukur kadar polusi di udara. Jika bulan semakin
merah, maka polusi udara semakin tinggi. Gerhana Bulan juga berfungsi terhadap gaya
gravitasi matahari dan bulan terhadap bumi yang menimbulkan pasang laut maksimum.
Beberapa fungsi ini memenuhi unsur pragmatisme.
14
Secara rasional, baik gerhana bulan maupun gerhana matahari terjadi jika antara
bumi, bulan dan matahari pada posisi garis lurus, sehingga memungkinkan cahaya
matahari tidak sampai ke bulan (gerhana bulan) atau cahaya matahari tidak sampai ke
sebagian/seluruh bumi (gerhana matahari). Dan secara empiris, gerhana bulan terjadi
karena sinar matahari yang menuju bulan terhalang bumi. Sinar matahari mengarah ke
bumi, di belakang bumi terbentuklah bayangan, yakni bayangan gelap total (umbra)
serta bayangan redup (penumbra). Gerhana bulan timbul kalau bulan berposisi pada
daerah umbra. Kalau bulan berpsisi di daerah penumbra, maka yang terjadi adalah
gerhana bulan sebagian. Gerhana bulan terjadi pada malam hari15.
Di samping itu, Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda, “Bahwasanya
matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah. Allah
mempertakutkan hamba-hambaNya dengan keduanya. Gerhana matahari bukanlah
karena kematian seseorang atau lahirnya. Maka apabila kamu melihat yang demikian,
hendaklah kamu shalat dan berdoa sehingga selesai gerhana”. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Dengan dalil yang semakin banyak pada penggunaan metode ilmiah
dibandingkan mitos, maka dalam proses terjadinya gerhana bulan, kevalidan metode
ilmiah lebih diakui ketimbang mitos itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari hasil
pengklasifikasian antara mitos dan metode ilmiah dengan sumber pengetahuan serta
teori kebenran diatas. Mitos bisa diakui kebenarannya berdasarkan 3 dari 7 klasifikasi
yakni, koherensi, pragmatisme dan rasio. Ini sama dengan 43%, artinya tingkat
keabsahan kebenaran mitos maksimal adalah sekitar 43 %; selebihnya 57 % mitos
adalah tidak abash/valis. Sedangkan metode bisa diakui kebenarannya berdasarkan 5
dari 7 klasifikasi yakni, koherensi, korespondensi, pragmatism, rasio dan empirisme. Ini
sama dengan 71%, artinya tingkat kebenaran metode ilmiah maksimal adalah sekitar 71
%; selebihnya 29 % metode ilmiah adalah tidak absah. Ketidakabsahan mitos dan
metode ilmiah biasanya ketika menjelaskan tentang ontology mistisisme (dunia ghaib).
Selain kasus tentang terjadinya gerhana, hal ini umumnya juga berlaku untuk
kejadian-kejadian alam, sosial dan kebudayaan yang lain seperti: jatuhnya benda dari
atas ke bawah, munculnya pelangi, adanya Dewi Sri dan Dewi Padi, terjadinya
mendung disertai hujan, perhitungan neptu (weton), dll.
15
3. Hipotesa. Untuk hipotesa, kami tidak akan membahasnya disini. Hipotesa
hanyalah sebagai penjembatan antara mitos yang belum pasti kebenarannya
dengan metode ilmiah yang tingkat kebenarannya lebih besar ketimbang mitos.
16
5. Dalam kaitan dengan agama-agama, maka perlu adanya penyaringan berdasarkan
kitab suci sebagai kosntitusi sebuah agama.
6. Dalam kaitan dengan agama-agama, penggunaan metode ilhami (wahyu) harus lebih
diutamakan serta mengalahkan metode ikhtiyari (mitos dan metode ilmiah).
7. Dalam kaitan dengan agama Islam, maka perlu adanya penyaringan dan pemilahan,
karena yang menjadi sumber utama kebenaran bukan saja berupa produk berfikir
(Ijma dan Qiyas) yang dipresentasikan dengan mitologi maupun metode ilmiah
(keduanya menggunakan rasio/penalaran dan pengalaman empiris), melainkan juga
wahyu yang sangat penting (Al Quran dan Hadits).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perkembangan pola pikir manusia berawal dari rasa ingin tahu terhadap fenomena
alam. serta penalaran dan bahasa yang komunikatif untuk mendapatkan pengetahuan.
Manusia juga makhluk yang berfikir, merasa, mengindera, dan mendapatkan ilham dari
sang pencipta.
Masyarakat zaman dahulu kental dengan kehidupan yang bersifat ghaib dan mereka
berkecimpung dengan alam, sehingga melahirkan suatu kepercayaan. Mitos adalah
keyakinan manusia yang disandarkan pada cerita misteri dan para dewa zaman dahulu.
Metode ilmiah adalah suatu cara teratur yang saling berkaitan untuk memudahkan
dalam mencapai totalitas suatu tujuan.
Munculnya metode ilmiah sejak tahun sebelum masehi hingga sekarang ini.
majunya ilmu tekhnologi, informasi, dan komunikasi lambat laun merubah mitos-mitos
yang ada dalam masyarakat khususnya di pulau jawa.
Kevalidan mitos dan metode ilmiah sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran
dapat dipertanggung jawabkan. Keduanya berhubungan sangat mesra. Karena adanya
mitos, manusia menjadi terdorong untuk mencari pengetahuan sebenarnya dengan
meneliti kebenarannya sehingga menyebabkan munculnya metode ilmiah. metode
ilmiah mempunyai dua peran penting terhadap mitos, yaitu ; 1) sebagai penguat
17
argumentasi dari mitos yang ada. 2) menggeser mitos yang sudah tidak berlaku tanpa
menghilangkan nilai-nilainya.
.
3.2 Saran
Sedikit penjelasan mengenai perkembangan pola pikir masyarakat dari mitos
sampai metode ilmiah, semoga bisa bermanfaat bagi segenap pembaca. Kami mohon
maaf apabila ada kesalahan baik berupa penulisan maupun pembahasan di atas karena
keterbatasan pengetahuan. Kiranya kritik dan saran yang membangun sangat kami
perlukan untuk perbaikan penulisan makalah ini ke depan. Sekian, dan Wallahu ‘Alam
bish showab.
CATATAN KAKI
1 Drs. Atang Abdul Hakim, M.A., Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Filsafat Umum, Dari Metodologi
sampai Teofilosofi. Bandung: CV Pustaka Setia, Cet.X, Cet.I, 2008; halaman39.
2 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamusku Indonesia Balai Pustaka. Apl. Android oleh
Kodelokus Cipta Aplikasi, Bandung, Ed. Revisi. 2014.
3 Ibid.
4 Anton Bakker, 1984, hlm. 10 dalam Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi
Aksara, Cet.I, 2005; halaman 7-8.
5 Ibid… Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa….
6 Ibid.
7 Ibid.
8 Soejono Soemargono, 1983, hlm. 13-16 dalam Drs. Surajiwo…, halaman 67-68.
9 Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
Cet.XXI, 2009; halaman 55-59.
10 Ibid; halaman 50-54.
11 Drs. Atang Abdul Hakim…; halaman 39.
12 Drs. Atang Abdul Hakim…; halaman 39-40.
13 Drs. Mawardi, Ir. Nur Hidayati, Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya Dasar (IAD,
ISD, IBD). Bandung: CV Pustaka Setia, Cet.VI, 2009; halaman. 13-15.
14 Bayuadhy, Gesta, “Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa, Melestarikan Berbagai Tradisi
Jawa Penuh Makna. Yogyakarta: DIPTA, Cet. I, 2015.
15 http://m.idzns.com/784/proses-terjadinya-gerhana-bulan/
16 Al Quran; Surat Al Qiyamah, 75: 8-9.
18
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azyumardi, Prof, DR, M.A, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta dan
Tantangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet.II, 2000.
Bayuadhy, Gesta, “Tradisi-Tradisi Adiluhung Para Leluhur Jawa, Melestarikan
Berbagai Tradisi Jawa Penuh Makna. Yogyakarta: DIPTA, Cet.I, 2015.
Durkheim, Emile, The Elementary Forms of The Religious Life, Sejarah Bentuk-Bentuk
Agama yang Paling Dasar (Edisi Baru). Terj. Inyiak Ridwan Muzir dkk.
Yogyakarta: IRCiSoD, Cet.I, 2011.
Hakim, Atang Abdul, Drs., M.A., Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si. Filsafat Umum,
Dari Metodologi sampai Teofilosofi. Bandung: CV Pustaka Setia, Cet.X, Cet.I
2008.
Khaldun, Ibnu, Mukaddimah. Terj. Masturi Ilham dkk. Jakarta Timur: Pustaka Al
Kautsar, Cet.I, 2011.
Mawardi, Drs., Nur Hidayati, Ir., Ilmu Alamiah Dasar, Ilmu Sosial Dasar, Ilmu Budaya
Dasar (IAD, ISD, IBD). Bandung: CV Pustaka Setia, Cet.VI, 2009.
Supriyadi, Dedi, M.Ag, Pengantar Filsafat Islam (Lanjutan) Teori dan Praktik.
Bandung: CV Pustaka Setia, Cet.I, 2010.
Surajiyo, Drs., Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara, Cet.I, 2005.
Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, Cet.XXI, 2009.
19
Sutiyono, Dr., “Poros Kebudayaan Jawa”. Yogyakarta: Graha Ilmu, Ed.01, 2013.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamusku Indonesia Balai Pustaka. Apl. Android
oleh Kodelokus Cipta Aplikasi, Bandung, Ed. Revisi. 2014.
http://m.idzns.com/784/proses-terjadinya-gerhana-bulan/
20