Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pengetahuan adalah segala hal yang manusia ketahui tentang sesuatu objek sementara
objek yang dapat diketahui oleh manusia, menurut epistemologi Islam seperti telah dijelaskan
di muka, mencakup objek-objek fisik, inderawi, dan objek-objek non-fisik, metafisik. Dengan
begitu, hubungan antara pengetahuan dan objek sangat erat, yaitu tidak akan ada pengetahuan
tentang sesuatu objek (fisik atau non-fisik) bila objek itu sendiri tidak ada. Ketika kita
bertanya dari mana objek yang kita ketahui itu berasal, maka kita sebenarnya berbicara
tentang sumber pengetahuan.
Dalam kajian ini sumber pengetahuan dikaitkan dengan akal dan wahyu: bagaimana
posisi akal dan wahyu dalam pengembangan ilmu—ilmu dibedakan dari pengetahuan, karena
ilmu adalah disiplin pengetahuan yang relatif lebih teratur dan terorganisasikan (Santoso,
1992: 12). Dengan pertanyaan yang lebih spesifik, apakah akal dan wahyu itu bisa menjadi
sumber pengetahuan dan/atau metode.
Bila kembali ke epistemologi Islam maka akal jelas-jelas merupakan daya yang
dikaruniakan Tuhan kepada manusia dan bila diaktualisasikan untuk mengabstraksi makna
universal dari data-data inderawi dan menyimpulkan dari yang diketahui menuju yang tidak
diketahui, maka dia akan menjadi sarana untuk memperoleh pengetahuan. Di sini akal jelas
berperan sebagai metode keilmuan. Sekarang, bisakah akal berfungsi juga sebagai sumber
pengetahuan? Bila produk dari aktualisasi akal, berupa abstraksi makna universal dari data-
data inderawi tentang suatu objek (seperti teori fisika) dan/atau berupa kesimpulan silogistik
(seperti ide-ide besar), tidak lain adalah pengetahuan, maka akal berperan sebagai sumber
pengetahuan, dalam pengertian bahwa ide-ide besar itu lahir (berasal) dari akal yang
diaktualisasikan, begitu juga teori-teori fisika walau sumber pertamanya adalah empiri yang
inderawi.
Bagaimana dengan wahyu? Sebagaimana telah diungkapkan di penghujung kajian
tentang epistemologi Islam, wahyu adalah modus tertinggi pengetahuan dzauqî, produk
metode intuitif atau pendekatan hati. Dengan demikian, sulit dikatakan bahwa wahyu
berperan sebagai metode keilmuan. Wahyu yang merujuk kepada suatu unit pernyataan
tertulis—bersifat transendental karena berasal dari Tuhan—yang memuat penjelasan-
penjelasan tentang asal-usul, hakikat dan tujuan hidup manusia dan alam, serta seperangkat
aturan untuk membimbing tindakan baik individual maupun kolektif lebih tepat berperan
sebagai sumber pengetahuan. Wahyu, dalam bentuk konkritnya al-Qur’an dan Hadis, ternyata
tidak saja menjadi sumber pengetahuan bagi objek-objek yang non-fisik, non-material atau
metafisik, tetapi juga menjadi sumber pengetahuan bagi objek-objek yang bersifat fisik,
inderawi. Karena, salah satu dari tiga kemukjizatan al-Qur’an, misalnya, menurut penelitian
M. Quraish Shihab (1997: 166-75), adalah isyarat-isyarat ilmiah yang dikandungnya, seperti
isyarat tentang reproduksi manusia [Q.S. al-Najm (53): 45-46; al-Wâqi`ah (56): 58-59); al-
Qiyâmah (75): 36-39; al-Insân (76): 2], kejadian alam semesta [Q.S. al-Anbiyâ’ (21): 30; al-
Dzâriyât (51): 47; al-Ghâsyiyah (88): 17-18], dan lain-lain. Lebih dari itu, tengah
dikembangkan juga model membangun teori ilmu sosial dengan menjadikan wahyu, di
samping perilaku manusia, sebagai sumber pengetahuan (baca Safi, 1996: 174-77; Santoso,
1997:11-15).
Apa yang telah dijelaskan di atas tentang sumber pengetahuan, menurut epistemologi
Islam, sebenarnya pada perspektif praksis pengembangan ilmu. Pada perspektif filosofisnya,
sumber pengetahuan yang esensial adalah Allah karena Dialah pemilik khazanah
pengetahuan yang disebut Al-`Ilm, sehingga salah satu nama Allah adalah Al-`Alîm yang
artinya “Yang Maha Mengetahui [Q.S. al-Mâ’idah (5): 97; al-Mulk (67): 26]. Pengetahuan-
Nya melampaui semua gejala, materi dan alam semesta, baik yang terlihat oleh manusia
maupun yang tidak terlihat [Q.S. al-Hasyr (59): 22]. Manusia yang memperoleh mandat
untuk menjadi khalîfah-Nya di muka bumi dianugerahi ilmu pengetahuan melalui pemburuan
sebagian rahasia khazanah pengetahuan yang disebut Al-`Ilm tadi. Untuk itu, Allah
memberinya daya/sarana untuk memperoleh pengetahuan: indera, imajinasi, akal dan hati, di
samping menampakkan sebagian khazanah pengetahuan-Nya—al-Qur’an menyebut
penampakan tersebut dengan âyât, tanda atau fenomena/gejala—baik dalam bentuk fenomena
qauliyyah berupa wahyu-Nya yang tersurat dalam al-Qur’an [Q.S. Ali `Imrân (3): 164]
maupun dalam bentuk fenomena kawniyyah yang terdapat dalam alam semesta dan diri
manusia sendiri [Q.S. Fushshilat (41): 53] (Santoso, 1992: 13; Cf. al-Attas, 1989: 9-13).

RUMUSAN MASALAH
1.Apa yang dimaksud dengan sumber pengetahuan dan metodenya.
2.Bagaimana cara kita memperoleh sumber pengetahuan.
3.Untuk apa sumber pengetahuan itu diperoleh.

TUJUAN PENULISAN
1.Untuk mengetahui apa saja sumber ilmu pengetahuan dan apa metodenya.
2.Untuk mendapatkan Sumber pengetahuan dari berbagai bidang dan manfaat sumber
pengetahuan.
3.Agar kita mampu memperoleh sumber pengetahuan yang baik dan tidak
menyalagunakannya.

MANFAAT PENULISAN
1. Kita mampu mempelajari ilmu dengan sumber pengetahuan.
2. Kita tidak akan sesat dengan cara tidak mempelajari sumber-sumber pengetahuan yang
tidak baik.
3.Kita tahu apa saja sumber pengetahuan yang baik dan mengamalkannya.
BAB II
PEMBAHASAN

ILMU PENGETAHUAN
  Ilmu pengetahuan adalah suatu sistem pengetahuan dari berbagai pengetahuan,
mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu, yang disusun sedemikian rupa menurut asas-
asas tertentu, hingga menjadi kesatuan atau sistem dari berbagai pengetahuan. James
menjelaskan, ilmu pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang
saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan. Ilmu
pengetahuan tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan sebagai penyeledikan
yang berkesinambungan.
Ilmu pengetahuan juga bisa merupakan upaya menyingkap realitas secara tepat dengan
merumuskan objek material dan objek formal.Upaya penyingkapan realitas dengan memakai
dua perumusan tersebut adakalanya menggunakan rasio dan empiris atau mensintesikan
keduanya sebagai ukuran sebuah kebenaran (kebenaran ilmiah). Penyingkapan ilmu
pengetahuan ini telah banyak mengungkap rahasia alam semesta dan mengeksploitasinya
untuk kepentingan manusia.
Dewasa ini, ilmu pengetahuan yang bercorak empiristik dengan metode kuantitatif
(matematis) lebih dominan menduduki dialektika kehidupan masyarakat. Hal ini besar
kemungkinan karena banyak dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran positivistiknya
Auguste Comte yang mengajukan tiga tahapan pembebasan ilmu pengetahuan.Pertama,
menurut Auguste Comte ilmu pengetahuan harus terlepas dari lingkungan teologik yang
bersifat mistis. Kedua, ilmu pengetahuan harus bebas dari lingkungan metafisik yang bersifat
abstrak. Ketiga, ilmu pengetahuan harus menemukan otonominya sendiri dalam lingkungan
positifistik.
Bentuk Ilmu Pengetahuan
Menurut beberapa pakar, ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai rangkaian aktifitas berfikir
dan memahami dengan mengikuti prosedur sistematika metode dan memenuhi langkah-
langkahnya. Dengan pola tersebut maka akan dihasilkan sebuah pengetahuan yang sistematis
mengenai fenomena tertentu, dan mencapai kebenaran, pemahaman serta bisa memberikan
penjelasan serta melakukan penerapan.
Secara garis besar, ilmu pengetahuan dibagi menjadi dua bentuk, yakni ilmu eksakta dan ilmu
humaniora. Ilmu eksakta adalah spesifikasi keilmuan yang menitikberatkan pada hukum
sebab akibat. Penilaian terhadap ilmu-ilmu eksakta cenderung memakai metode observasi
yang digunakan sebagai cara penelitiannya dan mengukur tingkat validitasnya. Dengan
model tersebut, penelitian terhadap ilmu-ilmu eksakta sering mendapatkan hasil yang
objektif. Sedangkan ilmu humaniora merupakan spesifikasi keilmuan yang membahas sisi
kemanusian selain yang bersangkutan dengan biologis maupun fisiologisnya. Hal-hal yang
berkaitan dengan kemanusiaan ini lebih tertitik tekan dalam masalah sosiologis dan
psikologisnya.
Menurut Jujun, cabang atau bentuk ilmu pada dasarnya berkembang dari cabang utama, yakni
filsafat alam yang kemudian berafiliasi di dalamnya ilmu-ilmu alam (the natural sciences)
dan filsafat moral yang kemudian berkembang menjadi menjadi cabang ilmu-ilmu social (the
social sciences). Dari kedua cabang tersebut, klasifikasi keilmuan menjadi kian tak terbatas.
Diperkirakan sampai sekarang ini, terdapat sekitar 650 cabang keilmuan yang masih belum
banyak dikenal Kepesatan kemajuan perkembangan ilmu ini demikian cepat, hingga tidak
menutup kemungkinan sepuluh tahun ke depan, klasifikasi keilmuan bisa mencapai ribuan
jumlahnya.
Sekian banyak jumlah cabang keilmuan tersebut, bermula dari ilmu alam yang membagi diri
menjadi dua kelompok, yakni ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hidup (hayat/the
biological sciences) Ilmu alam ini bertujuan untuk mempelajari zat yang membentuk alam
semesta. Ilmu ini kemudian membentuk rumpun keilmuan yang lebih spesifik, misalnya
sebagai ilmu fisika yang mempelajari tentang massa dan energi, ilmu kimia yang membahas
tentang substansi zat, ilmu astronomi yang berusaha memahami kondisi benda-benda langit
dan ilmu-ilmu lainnya. Dari rumpun keilmuan ini kemudian membentuk ranting-ranting baru,
seperti kalau dalam fisika ada yang namanya mekanik, hidrodinamika, bunyi dan seterusnya
yang masih banyak lagi ranting-ranting kecil.
Disiplin keilmuan tersebut di atas terlahir dari beberapa sumber. Ilmu pengetahuan yang
terlahir dari sumber yang berdampak pada perbedaan dari masing-masing jenis keilmuan.
Meskipun demikian tidak semua orang mempercayai dan mengakui keilmuan seseorang yang
kebetulan muncul dari sumber yang tidak diyakini oleh kebanyakan masyarakat. Misalnya
ilmu ladunniy yang diyakini adanya di kawasan Timur namun tidak dipercaya di daerah
Barat.
Dalam buku Filsafat Ilmu karya Amsal Bakhtiar dikatakan bahwa ada beberapa pendapat
yang menyatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan keluar dari empat hal Pertama adalah
Empirisme, menurut aliran ini seseorang bisa memperoleh pengetahuan dengan pengalaman
inderawinya. Dengan indera manusia bisa menghubungkan hal-hal yang bersifat fisik ke
medan intensional, atau menghubungkan manusia dengan sesuatu yang kongkret-material.
Kedua adalah Rasionalisme, aliran ini menyatakan bahwa akal merupakan satu-satunya
sumber kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang diakui benar semata-mata hanya diukur
dengan rasio.
Ketiga adalah intuisi. Menurut Henry Bergson yang dikutip oleh Bakhtiar, intuisi adalah hasil
evolusi dari pemahaman yang tertinggi. Intuisi ini bisa dikatakan hampir sama dengan
insting, namun berbeda dalam tingkat kesadaran dan kebebasannya. Untuk menumbuhkan
kemampuan ini, diperlukan usaha dan kontinuitas latihan-latihan. Ia juga menambahkan
bahwa intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis yang meliputi harus adanya
analisis, menyeluruh, mutlak dan lain sebagainya. Karena itu, intuisi adalah sarana untuk
mengetahui secara langsung dan seketika. Keempat adalah wahyu, sumber ini hanya khusus
diperoleh melalui para Nabi yang menerima pengetahuan langsung dari Tuhan semesta alam.
Para Nabi memperoleh pengetahuan tanpa upaya dan tanpa memerlukan waktu tertentu.
Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Pengetahuan adalah segala hal yang manusia ketahui tentang sesuatu objek sementara
objek yang dapat diketahui oleh manusia, menurut epistemologi Islam seperti telah dijelaskan
di muka, mencakup objek-objek fisik, inderawi, dan objek-objek non-fisik, metafisik. Dengan
begitu, hubungan antara pengetahuan dan objek sangat erat, yaitu tidak akan ada pengetahuan
tentang sesuatu objek (fisik atau non-fisik) bila objek itu sendiri tidak ada. Ketika kita
bertanya dari mana objek yang kita ketahui itu berasal, maka kita sebenarnya berbicara
tentang sumber pengetahuan.

SARAN
Demikian yang dapat saya sampaikan dalam makalah ini semoga bermanfaat bagi kita
semua khususnya para pembaca dan penulis, saya mohon kritik dan saran yang dapat
membangun makalah ini dan saya sampaikan banyak terimah kasih.
- See more at: http://situssejati.blogspot.co.id/2013/08/makalah-sumber-ilmu-pengetahuan-
dan_18.html#sthash.7jlPSglF.dpuf

Anda mungkin juga menyukai