Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Untuk berbicara tentang ontologi pendidikan Islam. Kita terlebih dahulu


harus memahami apa itu ontologi? dan apa itu pendidikan Islam? Berbicara tentang
ontologi tentu kita tidak akan bisa melepaskan diri dari kajian filsafat hal ini lebih
kepada adanya keterkaitan istilah ontologi dengan filsafat. Studi tersebut membahas
keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Ontologi membahas realitas atau suatu entitas
dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu
fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas
tersebut dapat diakui kebenaran. Untuk itu proses tersebut memerlukan dasar pola
berfikir, dan pola berfikir didasarkan pada bagaimana ilmu pengetahuan digunakan
sebagai dasar pembahasan realitas.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan
tertentu. Dalam kaitan dengan ilmu, aspek ontologis mempertanyakan tentang objek yang
ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaah keilmuaannya
hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia dan terbatas pada
hal yang sesuai dengan akal manusia. Ontologi membahas tentang yang ada universal,
menampilkan pemikiraan semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang
termuat dalam setiap kenyataan. Dalam rumusan Lorens Bagus, ontologi menjelaskan
yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Ontologi ?
2. Apa saja aspek Ontologi Ilmu dalam Islam ?
3. Perbedaan Aspek Ontologi Ilmu dalam Islam dan Barat ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian Ontologi
2. Untuk Mengetahui Aspek Ontologi dalam Islam
3. Untuk Mengetahui Perbedaan Ontologi ilmu dalam Islam dan Barat

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ontologi

Ontologi berasal dari kata Onto yang berarti atas, dan logie yang berarti ilmu;
Ontologi berarti atas ilmu. Adapun Ontologi dalam pengertian istilah diartikan sebagai
hakikat apa yang dikaji. Jika yang dikaji itu alam jagat raya, maka ontologi tidak hanya
membahasnya dari segi yang tampak, tetapi segi-segi yang tidak tampak, atau hakikatnya,
hukum-hukum, isi, substansi, sifat, hikmah, kandungan, keistimewaan, kekurangan, dan
kelebihan yang terdapat didalamnya. Sebagai sumber, ontologi harus menyiapkan bahan-
bahan yang dibutuhkan guna menyusun ilmu pengetahuan. Gunung misalnya disebut
sumber daya alam (SDA) karena di gunung terdapat bahan-bahan bangunan, seperti:
batu, pasir, kapur, semen, tembaga, perunggu, besi, platina, kayu, dan rotan.1

Ontologi merupakan bagian dari metafisika yang ditinjau ulang. Dalam ilmu
pengetahuan, ontologi ialah sesuatu yang digunakan sebagai dasar untuk memperoleh
pengetahuan. Dengan kata lain ontologi ilmu pengatahuan bertugas menjawab
pertanyaan, apakah sifat dasar wujud ilmu itu? Ontologi berarti berbicara tentang
jawaban terhadap pertanyaan apa sebenarnya ilmu pengetahuan.

Louis O. Kattsoff menjelaskan tiga perspektif ontologi, yakni: naturalisme,


materialisme, dan idealisme. Pertama, naturalisme. Paham ini memandang kejadian
sebagai kategori pokok, artinya kejadian dipandang equivalent atau sama dengan
kenyataan. Naturalisme sangat bergantung pada data yang terdapat dalam ruang dan
waktu yang dapat dicermati melalui panca indra manusia. Pengembaraan yang mungkin
dilakukan oleh akal di batasi oleh keterbatasan bekerjanya panca indra. Hal ini sebagai
konsekuensi dari prinsip bahwa data harus dapat diverivikasi secara empiris.

Kedua, Materialisme. Materialisme melihat bahwa yang terdalam adalah materi;


kenyataan bersifat material. Kenyataan dalam pandangan materialisme adalah (1)“segala
sesuatu yang hendak dikatakan nyata dalam babak akhir berasal dari materi atau (2)
berasal dari gejala-gejala yang bersangkutan dengan materi.”

1
Abuddin Nata, Islam dan Ilmu Pengetahuan, ( Jakarta: Prenadamedia Group, 2018) hal, 124

2
Menurut Kattsoff, naturalisme dan materialisme berpandangan bahwa pengertian
materi hendaknya dibicarakan dalam bidang ilmu fisika dan tidak di ontologi keduanya
mendasarkan diri pada hasil-hasil ilmu sebagai penopang dan menjunjung tinggi metode-
metode ilmiah.

Ketiga, idealisme. Kattsoff mengilustrasikan bahwa “jika seseorang melakukan


penelitian ia akan menyadari bahwa ia memahami pengalaman sebagai pengalaman yang
dipunyai oleh jiwa; adanya nilai berarti ada suatu jiwa atau roh yang dapat
memahaminya, jiwa dapat menangkap makna.”

Idealisme terdiri spiritualis dan dualis. Spiritualis adalah “segenap tatanan alam
dapat dikembalikan kepada atau berasal dari sekumpulan roh yang beraneka ragam dan
berbeda-beda derajatnya.” Dualis adalah “yang terdalam ialah jiwa semesta, tetapi
mereka pun menyatakan pendapat umum bahwa alam merupakan tatanan yang terdiri
dari tingkat-tingkat yang berbeda-beda.”2

B. Aspek Ontologi Ilmu dalam Islam

Secara garis besar aspek ontologi dalam islam ada tiga, yaitu Allah, Alam, dan
Hari Pertemuan. Allah, dialah yang menciptakan alam dan akan mengadakan hari
pertmenuan tersebut. Alam adalah segenap makhluk yang telah diciptkannya; alam
merupakan kalam-Nya dan ayat-ayat-Nya yang tidak tertulis.sedangkan hari pertemuan
merupakan hari dimana manusia dimintai pertanggung jawaban atas semua perbuatan dan
amanah yang telah diperbuatnya.

Ontologi merupakan pokok-pokok perkara yang ada secara hakiki.yang


merupakan wilayah kajian pengetahuan. Pengetahun tentang Allah, alam, dan hari
pertemuan, memang bukan merupakan jaminan bahwa seseorang yang menguasainya
secara baik, akan menajdikan dirinya baik dalam beribadah dan berakhlak secara benar di
dalam kehidupannya.

2
Sudarnoto, Abdul Hakim, Kusmana, Masyri, El-Mahsyar, Integrasi Keilmuan, ( UIN Syarif Hidayatullah: UIN Jakarta
Press, 2006) hal 67-69

3
Orang-orang yang beriman sekali pun ia telah beriman sejak lahir, karena
dilahirkan ditengah orang tuanya yang mukmin, tetap wajib untuk mendalami ontologi
islam. Sebab untuk melahirkan mukmin yang militant tidak bisa tanpa pengetahuan yang
benar dan mendalam tentang Allah, kehidupan dan hari pertemuan ini. Dengan
demikian, aspek ontologi islam harus menjadi sentral pembahasan dalam ilmu-ilmu dan
pelajaran-pelajaran yang diselenggarakan ditengah masyarakat islam baik ditengah
keluarga, sekolah dan masyarakat itu sendiri.3

C. Perbedaan Aspek Ontologi Ilmu dalam Islam dan Barat


Karena berasal dari akar sejarah, budaya, dan agama yang berbeda, Islam dan
Barat memiliki kerangka worldview yang juga berbeda terhadap sumber ilmu. Kalangan
Intelektual menyebutnya epistemologi ilmu, yaitu pembahasan mengenai cara mendapat
ilmu, sumber-sumber ilmu dan klasifikasi ilmu, teori tentang kebenaran, dan hal-hal lain.4

A. Perbedaan Aspek Ontologi Ilmu dalam Islam

Secara epistemologi, dalam pandangan keilmuwan Islam. keilmuwan Islam lebih


banyak berpijak pada al-Qur’an. Untuk melihat kerangka epistemologinya, bisa dicermati
pada sebuah ayat yang mengandung makna suatu pertanyaan, seperti kata kaifa pada
beberapa ayat Al- Qur’an, hal inilah yang meyakinkan adanya inspirasi tersebut. Kata
kaifa tersebut yang biasanya dipakai untuk mengajukan suatu pertanyaan yang berkaitan
dengan keadaan dan cara (method). Hal ini bisa dicermati seperti; dalam ayat Al-Qur’an
Surat Al-Mu’minun (40) ayat 82, dan Surat Al-Gasyiyah (88) ayat 17-20. Ayat- ayat ini
bukan hanya menjelaskan keadaan, melainkan mengandung sebuah maksud yang disebut
dengan metode. Sedangkan metode tercakup dalam bahasan epistemologi.

Melihat ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung makna pertanyaan, maka ayat ini
secara implisit tentu memberikan anjuran agar seseorang mempelajari metode untuk
mendapat suatu pengetahuan. Dengan demikian epistemologi yang dimaksudkan dalam
hal ini itu memiliki sandaran teologis Islam yang tertuang dalam kitab suci al-Qur’an. Di
mana secara implisit cara atau metode untuk memperoleh pengetahuan itu benar adanya
disinggung dalam kitab suci al- Qur’an.  Bangunan epistemologi ini bisa dipelajari dan
dicermati dalam satu keilmuan Islam seperti dalam ilmu tasawuf, ilmu fiqih, ilmu kalam
3
https://www.academia.edu/9895260/SISTEMATIKA_FILSAFAT_ONTOLOGI_MENURUT_PERSPEKTIF_ISLAM_Makal
ah_ini_Disusun_untuk_Memenuhi_Salah_Satu_Tugas_Mata
4
Adnin Armas, Konsep Ilmu dalam Islam, Makalah, Depok, 2007, hal. 1

4
(teologi), akhlak, dan filsafat Islam. Disiplin keilmuan ini semuanya selalu merujuk pada
al-Qur’an sebagai sumber (episteme) nya.5

Dalam sub tema “Filsafat Islam dan Tradisi Keilmuan Islam”, Syamsuddin Arif
menjelaskan tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana meraihnya. Menurutnya, ada
tiga sumber ilmu yaitu persepsi indra (idrak al-hawass), proses akal sehat (ta’aqqul) serta
intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar sadiq).

Persepsi indrawi meliputi lima (pendengar, pelihat, perasa, pencium, penyentuh),


plus indra keenam yang disebut al-hiss al-musytarak atau sensus communis yang
menyertakan daya ingatan atau memori (dhakirah), daya penggambaran (khayal) atau
imajinasi dan daya estimasi (wahm). Proses akal mencakup nalar (nazar) dan alur pikir
(fikr) dengan nalar dan alur pikir ini anda bisa berartikulasi, menyusun proposisi,
menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat keputusan dan
menarik kesimpulan. Selanjutnya, dengan intuisi qalbu seseorang dapat menangkap
pesan-pesan gaib, isyarat-isyarat ilahi, menerima ilham, fath, kasyf, dan sebagainya.
Sumber lain yang tak kalah pentingnya adalah khabar sadiq yang berasal dari dan
bersandar pada otoritas. Sebuah khabar sadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah
wahyu (Kalam Allah dan Sunnah Rasul-Nya yang mutawatir) yang diterima dan
diteruskan yakni ditransmit (ruwiya) dan ditransfer (nuqila) sampai akhir zaman.

B. Perbedaan Aspek Ontologi Ilmu dalam Barat

Secara epistemologi, dalam pandangan keilmuwan Barat, ilmu bersifat evolutif.


Hal itu disebabkan epistemologi keilmuwannya dibangun di atas tiga aliran filsafat yang
bantah-membantah, yaitu rasionalisme, empirisme, dan kritisisme.

Madzhab Rasionalisme dikaitkan filosof abad ke-17 dan 18, seperti Rene
Descartes, Baruch Spinoza, dan Gottfried Leibniz, yang sebenarnya berasal dari
pemikiran filsafat Yunani. Paham ini menyatakan bahwa pada hakikatnya ilmu itu
bersumber dari akal budi manusia. Descartes berpendapat bahwa dalam jiwa manusia
terdapat ide bawaan (innate ideas) yang dinamakan substansi yang sudah tertanam. Ide
bawaan tersebut terdiri atas: Pemikiran, Tuhan, dan keluasan (ekstensi). Adapun ilmu-
ilmu lain yang dicapai manusia pada hakikatnya adalah derivasi dari ketiga prinsip dasar
tersebut. Menurut aliran ini sumber ilmu adalah akal melalui deduksi ketat seraya
mengabaikan pengalaman.

5
Ainul Mubarok, Sumber-Sumber Ilmu, 2007 hal. 57

5
Mazhab kedua adalah empirisisme yang menekankan pentingnya pengalaman
sebagai sarana pencapaian pengetahuan. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon,
sekalipun dalam pengertian tertentu pemikiran yang mengutamakan pendekatan empirik.
Puncak pemikiran aliran ini terdapat pada pemikiran David Hume yang dalam karyanya
A Treatise of Human Nature. Dalam buku tersebut David Hume mengupas persoalan-
persoalan epistemologis penting. Berbanding terbalik dengan rasionalisme, mazhab ini 
berpandangan bahwa seluruh isi pemikiran manusia berasal dari pengalaman, yang
kemudian diistilahkan dengan persepsi. Persepsi, kemudian, dibagi menjadi dua macam,
yaitu kesan-kesan (impressions) dan gagasan (ideas). Yang pertama adalah persepsi yang
masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup. Yang kemudian
adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Derivasi ilmiah yang
diakui oleh aliran ini adalah induksi terhadap fakta-fakta empiris.

Aliran ketiga adalah kritisisme yang merupakan usaha untuk mensintesa dua
kutub ekstrim sebelumnya; rasionalisme dan empirisisme. Tokoh utama aliran ini adalah
Immanuel Kant. Pemikiran yang disampaikan oleh Kant berusaha untuk mengakhiri
perdebatan yang terjadi tentang objektivitas pengetahuan antara rasionalisme Jerman,
yang diwakili Leibniz dan Wolff, dan Empirisisme Inggris. Dalam usahanya, Kant
berusaha menunjukkan unsur mana saja dalam pikiran manusia yang berasal dari
pengalaman dan unsur mana yang berasal dari akal. Berbeda dengan aliran filsafat
sebelumnya yang memusatkan perhatian pada objek penelitian, Kant mengawali
filsafatnya dengan memikirkan manusia sebagai subjek yang berpikir. Dengan demikian
fokus perhatian Kant adalah pada penyelidikan rasio manusia dan batas-batasnya.

Dari ketiga madzhab di atas dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber ilmu


menurut ilmuwan-ilmuwan barat hanyaterbatas pada akal ( rasio) dan panca indera.
Mereka hanya menitik beratkan pada dua kompenen ini sehingga hasilnya makna ilmu
terbatas pada objek-objek nyata. Sedangkan berita shahih yang datang dari wahyu mereka
nafika dan tidak masukkannya ke dalam definisi ilmu. Akibatnya, ilmu pegetahuan dan
niilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah.6

Bagi pandangan keilmuwan Barat, sumber ilmu dibatasi pada hal-hal empirik dan
rasional, dan membuang wahyu. Al-Attas menulis, Barat merumuskan pandangannya
terhadap kebenaran dan realitas bukan berdasarkan kepada ilmu wahyu dan dasar-dasar
keyakinan agama, tetapi berdasarkan pada tradisi kebudayaan yang diperkuat dasar-dasar
filosofis. Dasar-dasar filosofis ini berangkat dari dugaan (spekulasi) yang berkaitan hanya
6
Al-Attas dalam Adnin Armas, hal. 7

6
dengan kehidupan sekulaer yang berpusat pada manusia sebagai diri jasmani dan hewan
rasional manusia sebagai satu-satunya kekuatan yang akan menyingkap sendiri seluruh
rahasia alam dan hubungannya dengan eksistensi, serta menyingkap hasil pemikiran
spekulatif itu bagi perkembangan nilai etika dan moral yang berevolusi untuk
membimbing dan mengatur kehidupannya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

7
Ontologi adalah Salah satu cabang dari filsafat Ilmu yang membahas tentang
sumber ilmu pengetahuan. Yaitu segala sesuatu yang dijadikan tempat pengambilan
bahan-bahan dimana suatu ilmu dirumuskan. Ontologi merupakan bagian dari metafisika
yang ditinjau ulang. Dalam ilmu pengetahuan, ontologi ialah sesuatu yang digunakan
sebagai dasar untuk memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain ontologi ilmu
pengatahuan bertugas menjawab pertanyaan, apakah sifat dasar wujud ilmu itu? Ontologi
berarti berbicara tentang jawaban terhadap pertanyaan apa sebenarnya ilmu pengetahuan.

Ontologi merupakan pokok-pokok perkara yang ada secara hakiki.yang


merupakan wilayah kajian pengetahuan. Pengetahun tentang Allah, alam, dan hari
pertemuan, memang bukan merupakan jaminan bahwa seseorang yang menguasainya
secara baik, akan menajdikan dirinya baik dalam beribadah dan berakhlak secara benar di
dalam kehidupannya.

Disinilah letak perbedaan antara konsep islam dan barat dalam menyikapi objek
ilmu. Bagi islam objek ilmu itu meliputi alam fisik dan metafisik. Sedangkan barat hanya
mengakui terbatas pada alam fisik saja.

DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abuddin, 2018. Islam dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Prenadamedia Group
Hakim, Sudarnoto Abdul, Kusmana, El-Mahsyar, dkk. 2006. Integrasi Keilmuan. UIN Syarif
Hidayatullah : UIN Jakarta Press

8
Armas, Adnin, 2007. Konsep Ilmu dalam Islam. Depok

Mubarok, Ainul, 2007. Sumber-Sumber Ilmu, IAIN

https://www.academia.edu/9895260/SISTEMATIKA_FILSAFAT_ONTOLOGI_MENURUT_P
ERSPEKTIF_ISLAM_Makalah_ini_Disusun_untuk_Memenuhi_Salah_Satu_Tugas_Mata

Anda mungkin juga menyukai