FILSAFAT ILMU
Aksiologi : Nilai Kegunaan Ilmu
Dosen Pengampu :
Disusun Oleh :
Prodi : PAI / 2
1
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT. kita memuji, meminta pertolongan,
meminta ampunan dan bertaubat kepada-Nya. Kita berlindung kepada Allah SWT.
dari kejahatan diri dan keburukan perbuatan kita. Siapapun yang diberi petunjuk oleh
Allah SWT., maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan siapa yang disesatkan-
Nya maka tidak ada yang bisa memberi petunjuk kepadanya. Kami bersaksi bahwa
tiada Ilah yang hak untuk disembah selain Allah SWT. dan tiada sekutu baginya. Dan
Kami bersaksi bahwa Muhammad SAW. adalah hamba dan Rasul-Nya.
Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari berbagai pihak demi
penyempurnaan makalah ini. Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca, terutama menambah wawasan mengenai filsafat ilmu pada
umumnya dan Aksiologi atau nilai kegunaan ilmu pada khususnya.
DAFTAR ISI
1
KATA PENGANTAR .............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................................................. 2
C. Tujuan Pembahasan........................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
C. Landasan Aksiologi............................................................................................ 7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
2
begitu setidaknya kata Aristoteles. Berpikir tentang kenyataan semesta, sosial
dan kealaman, yang kompleks untuk dapat terlepas dari belenggu kebodohan. Itu
pula yang membangun eksistensi manusia sebagai khalifah Allah di bumi.
Cagito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Berpikir inilah yang merupakan
poin inti dari filsafat.
Filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi rasional, kritis dan radikal
mengenai hal-hal mendasar dalam kehidupan. Refleksi rasional merupakan
perenungan ilmiah yang bersandar pada rasio atau akal dan penalaran. Filsafat
merupakan seni bertanya, mempertanyakan apapun tanpa tabu, mempertanyakan
tentang apa yang ada maupun yang mungkin ada, sehingga filsafat kerap juga
disebut berpikir spekulatif.pertanyaan yang diajukan filsafat memiliki ciri khas
yang mendalam. Kedalaman pertanyaan inilah yang menjadi distingsi antara
filsafat dengan ilmu pengetahuan.
Ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dengan jelas
merumuskan dan menentukan apa yang hendak dikaji, bagaimana cara
memperolehnya dan bagaimana pula nilai kegunaannya. Tiga elemen ini
merupakan hal yang mendasari bangunan ilmu pengetahuan. Apa yang hendak
dikaji disebut dengan istilah ontologi, bagaimana cara memperolehnya disebut
dengan epistemologi dan bagaimana nilai gunanya disebut aksiologi. Oleh
karenanya, pengetahuan ilmiah bertujuan untuk menemukan kerangka
konseptual berbagai aspek yang dapat mempermudah manusia menyelesaikan
masalah kehidupan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
3
2. Untuk Mengetahui konsep nilai dalam aksiologi.
3. Untuk Mengetahui landasan aksiologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna Aksiologi
4
digunakan sebagai kata benda abstrak, dalam pengertian yang lebih sempit seperti
baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup
sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Nilai sebagai
kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. la
sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai
dia. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau
dinilai. Sedangkan menurut Wikipedia, Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu
yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.
Aksiologi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu; axios yang
berarti nilai dan logos yang berarti ilmu. Menurut John Sinclair, dalam lingkup
kajian filsafat, nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial
dan agama. Sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang berharga, yang
diidamkan oleh setiap insan.
5
Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan
estetika, Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam
pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai dalam
kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan
simbolik atau pun fisik material. Lebih dari itu nilai-nilai juga ditunjukkan oleh
aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan
kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu. Jadi,
aksiologi adalah teori tentang nilai.
6
perang. Selain itu, ilmu juga sering dikaitkan dengan faktor kemanusiaan, di mana
bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan
manusia, namun sebaliknya manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri
dengan teknologi.
Menghadapi kenyataan ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam
sebagaimana adanya, mulai mempertanyakan hal yang bersifat seharusnya, untuk apa
sebenarnya ilmu itu harus digunakan? Di mana batasnya? Ke arah mana ilmu akan
berkembang? Kemudian bagaimana dengan nilai dalam ilmu pengetahuan.
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk
kemudahan bagi manusia.
Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan
teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari kutuk
yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang mempelajari teknologi
seperti bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi
keselamatan umat manusia, tetapi dipihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya,
yakni membawa manusia pada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka.
Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya
mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya
ilmu itu harus dipergunakan? Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi
ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini, para ilmuwan terbagi kedalam
golongan pendapat yaitu golongan pertama yang menginginkan bahwa ilmu harus
bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologi.
Sebaliknya, golongan kedua bahwa netralisasi terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas
pada metafisis keilmuwan sedangkan dalam penggunaanya ilmu berlandaskan pada
moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni Ilmu
secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang telah
dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-
teknologi keilmuwan.
Ilmu telah berkembang pesat dan makin eksetoris sehingga ilmuwan telah
mengetahui apa yang mungkin terjadi apabila adanya penyalahgunaan. Ilmu dapat
mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi
genetika dan teknik perubahan sosial. Berkenaan dengan nilai guna ilmu, tak dapat
7
dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Dengan
ilmu seseorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut
Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun S. sumatri yaitu bahwa "pengetahuan
adalah kekuasaan" apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka
bagi umat manusia. Kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, kita
tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu karena ilmu itu sendiri
merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Lagi pula ilmu
memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan bergantung
pada pemilik dalam menggunakannya.
C. Landasan Aksiologi
Dalam aksiologis dibicarakan tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia dan juga nilai-nilai yang harus dilembagakan pada setiap
dominannya. Aksiologi pada dasarnya bersifat ide dan karena itu ia abstrak dan tidak
dapat disentuh oleh panca indra. Yang dapat ditangkap dari aspek aksiologis adalah
materi atau tingkah laku yang mengandung nilai. Karena itu nilai bukan soal benar
atau salah karena ia tidak dapat diuji, Ukurannya sangat subjektif dan objek,
kajiannya adalah soal apakah suatu nilai dekehendaki atau tidak., Berbeda dengan
fakta yang juga abstrak namun dapat diuji dan argumentasi rasional dapat memaksa
orang untuk menerima kebenarannya. Pengukuran benar dan salah dari suatu fakta
dapat dilakukan secara objektif dan empiris.
Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat
manusia. Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah: "Apa manfaat (untuk
apa) ilmu bagi manusia?". Dalam konteks ini, dapat ditambahkan pertanyaan:
"Sejauh mana pengetahuan ilmiah dapat digunakan?". Dalam hal ini, persoalannya
bukan lagi kebenaran, melainkan kebaikan. Secara epistemologis, persoalan ini
berada di luar batas pengetahuan sains. Menurut Bertens, pertanyaan ini menyangkut
etika: "Apakah yang bisa dilakukan berkat perkembangan ilmu pengetahuan, pada
kenyataannya boleh dipraktikkan juga?". Pertanyaan aksiologis ini bukan merupakan
pertanyaan yang dijawab oleh ilmu itu sendiri, melainkan harus dijawab oleh
manusia di balik ilmu itu. Jawabannya adalah bahwa pengetahuan ilmiah harus
8
dibatasi penggunaannya, yakni sejauh ditentukan oleh kesadaran moral manusia.
Namun, jadi, sejauh mana hak kebebasan untuk meneliti? Hal ini merupakan
permasalahan yang pelik.
Pedoman untuk menguji nilai dipengaruhi oleh psikologi maupun teori
logika. Para hedonis menemukan pedoman mengenai jumlah atau besarnya
kenikmatan yang dirasakan seseorang atau masyarakat sebagai barometer dari sistem
nilai. Kaum Idealis menjadikan sistem objektif mengenai norma-norma rasional atau
yang paling ideal sebagai kriteria. Dari berbagai corak aliran ini maka hubungan
antara nilai dan fakta dapat diselidiki melalui tiga hal. Pertama, aliran naturalis
potsitivisme yang menyatakan tidak ada kaitan antara pengalaman manusia dengan
sistem nilai. Kedua, objektifisme logis yang menyatakan bahwa nilai merupakan
esensi logis dan substantif yang tidak ada kaitannya dengan status atau tindakan
eksistensi dalam realitas. Ketiga, aliran objektif metafisis yang menyatakan nilai
adalah norma ideal yang mengandung unsur integral objektif dan aktif dari kenyataan
metafisik.
Dengan demikian dalam filsafat aksiologis pembicaraan utama terkait erat
dengan kaitan ilmu dan moral. Hal ini telah lama menjadi bahan pembahasan para
pemikir antara lain Merton, Popper, Russel, dan pemikira lainnya. Pertanyaan umum
yang sering muncul berkenaan dengan hal tersebut adalah : apakah itu bebas dari
sistem nilai ? Ataukah sebaliknya, apakah itu terikat pada sistem nilai?.
Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sama dari
para ilmuwan. Ada dua kelompok ilmuwan yang masing-masing punya pendirian
terhadap masalah tersebut. Kelompok pertama menghendai ilmu harus bersifat netral
terhadap sistem nilai. Menurut mereka tugas ilmuwan adalah menemukan
pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya dipergunakan untuk apa, terserah pada
menggunakannya, ilmuwan tidak ikut campur. Kelompok kedua sebaliknya
berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuwan,
sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan
keilmuwan harus berlandaskan azas-azas moral.
Hubungan antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara hati- hati
dengan mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S mengenai
hal tersebut adalah sebagai berikut:
9
1. Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan
moral maka pembahasan masalah ini harus didekati dari segi- segi yang lebih
terperinci yaitu segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
2. Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor sejarah,
baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam
lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan.
3. Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek
penelaahannya (objek ontologis/objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral
yang berazaskan tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat
manusia, dan tidak mencampuri masalah kehidupan.
4. Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuwan yang
berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang
berazaskan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran,
tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasi an
sich.
5. Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan
manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan
kodrat manusia, martabat manusia, dan keseimbangan/kelestarian alam. Upaya
ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah
secara komunal universal.
Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak cukup
bila hanya dibahas dari tinjauan aksiologi semata. Tinjauan ontologisdan
epistemologi diperlukan juga karena azas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan
dalam pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam menemukan kebenaran ilmiah.
10
kebijakan dinilai apakah sesuai atau menyalahi standar moral. Kriterianya: Logis,
bukti nyata yang digunakan untuk mendukung penilaian haruslah tepat, konsisten
dengan lainnya.
Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam bentuk
tunggal mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, adat,
akhlak, watak perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya
adalah adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka
"etika" berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan. Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah "etika"
yang oleh Aristoteles (384-322 SM.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat
moral. Etika secara lebih detail merupakan ilmu yang membahas tentang moralitas
atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
11
aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib dipatuhi dalam kegiatan
kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu. Jadi,
aksiologi adalah teori tentang nilai.
Dalam filsafat, nilai akan berkaitan dengan logika, etika, estetika. Logika
akan menjawab tentang persoalan nilai kebenaran sehingga dengan logika akan
diperoleh sebuah keruntutan. Etika akan berbicara mengenai nilai kebenaran, yaitu
antara yang pantas dan tidak pantas, antara yang baik dan tidak baik. Adapun estetika
akan mengupas tentang nilai keindahan atau kejelekan. Estetika biasanya erat
berkaitan dengan karya seni.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, W., & Muliono. (2020). Filsafat Ilmu: Cara Mudah Memahami Filsafat
Ilmu. Jakarta: Prenada Media.
12
Bertens, K. (2013). Etika (Revisi ed.). Yogyakarta: Kanisius.
Hakim, A. A., & Sabeni, B. A. (2018). Filsafat Umum dari Metologi sampai
Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia.
id.wikipedia.org. (2020, April 27). Aksiologi. Retrieved April 27, 2020, from
Wikipedia Ensiklopedia Bebas: https://id.wikipedia.org/wiki/Aksiologi
kbbi.web.id. (2020, April 27). Aksiologi. Retrieved April 27, 2020, from Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus Versi Online/Daring:
https://kbbi.web.id/aksiologi
Sanprayogi, M., & Chaer, M. T. (2017, Juli). Aksiologi Filsafat Ilmu dalam
Pengembangan Keilmuan. Al Murabbi, 4(1), 105-120.
13