Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

FILSAFAT ILMU

Aksiologi : Nilai Kegunaan Ilmu

Dosen Pengampu:
DARISALIM TELAUMBANUA,
S.H.,M.H.

Disusun Oleh :
TRIO YUVENUS ZEGA
Nim:
212119061

UNIVERSITAS NIAS (UNIAS)


FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
T.A 2021/2022

iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,yang telah memberikan
Rahmad dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas Individu untuk mata kuliah Filsafat Ilmu yang berjudul “CABANG
AKSIOLOGI “
Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini, terlebih-lebih kepada Bapak Darisalim Telaumbanua,S.H.,M.H.
selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu yang telah membimbing saya dalam
pengerjaan makalah ini.
saya menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini,
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki.Oleh karena itu,
Penulis mengharapkan kritik dan saranyang bersifat membangun demi penyempurnaan
makalah ini.Akhirnya saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
menambah wawasan kita dalam dunia pendidikan.

Gunungsitoli, 06 Juni 2022

TRIO YUVENUS ZEGA

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................... iii BAB I

PENDAHULUAN ..........................................................................1

A. Latar Belakang .................................................................................1

B. Rumusan Masalah............................................................................2

C. Tujuan Penulisan .............................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................3

A. Makna Aksiologi ..............................................................................3

B. Konsep Nilai Dalam Aksiologi .........................................................5

C. Landasan Aksiologi ..........................................................................8

D. Komponen Aksiologi...................................................................... 13

E. Kegunaan Aksiologi ....................................................................... 18

BAB III PENUTUP.................................................................................. 24

A. Kesimpulan.................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 25

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembeda manusia dengan makhluk lainnya adalah bahwa manusia

memiliki akal. Dengan akal itu kemudian manusia memiliki kecenderungan

untuk berpikir. Dan kekshasan manusia berada pada adanya hasrat untuk

berpikir, begitu setidaknya kata Aristoteles. Berpikir tentang kenyataan

semesta, sosial dan kealaman, yang kompleks untuk dapat terlepas dari

belenggu kebodohan. Itu pula yang membangun eksistensi manusia sebagai

khalifah Allah di bumi. Cagito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Berpikir

inilah yang merupakan poin inti dari filsafat.

Filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi rasional, kritis dan

radikal mengenai hal-hal mendasar dalam kehidupan. Refleksi rasional

merupakan perenungan ilmiah yang bersandar pada rasio atau akal dan

penalaran. Filsafat merupakan seni bertanya, mempertanyakan apapun tanpa

tabu, mempertanyakan tentang apa yang ada maupun yang mungkin ada,

sehingga filsafat kerap juga disebut berpikir spekulatif.pertanyaan yang

diajukan filsafat memiliki ciri khas yang mendalam. Kedalaman pertanyaan

inilah yang menjadi distingsi antara filsafat dengan ilmu pengetahuan

Ilmu merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dengan

jelas merumuskan dan menentukan apa yang hendak dikaji, bagaimana cara

memperolehnya dan bagaimana pula nilai kegunaannya. Tiga elemen ini

merupakan hal yang mendasari bangunan ilmu pengetahuan. Apa yang

hendak dikaji disebut dengan istilah ontologi, bagaimana cara

memperolehnya disebut dengan epistemologi dan bagaimana nilai gunanya

1
disebut aksiologi. Oleh karenanya, pengetahuan ilmiah bertujuan untuk

menemukan kerangka konseptual berbagai aspek yang dapat mempermudah

manusia menyelesaikan masalah kehidupan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Makna Aksiologi?

2. Bagaimana Konsep Nilai Dalam Aksiologi?

3. Apa Landasan Aksiologi?

4. Apa Komponen Aksiologi?

5. Apa Kegunaan Aksiologi?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui makna aksiologi.

2. Untuk mengetahui konsep nilai dalam aksiologi.

3. Untuk mengetahui landasan aksiologi.

4. Untuk mengetahui komponen aksiologi.

5. Untuk mengetahui kegunaan aksiologi

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Makna Aksiologi

Menurut Kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah (1) kegunaan ilmu

pengetahuan bagi kehidupan manusia, (2) kajian tentang nilai khususnya

etika. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, dalam pengertian yang

lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian

yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban,

kebenaran dan kesucian. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika

kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk

kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia. Nilai juga dipakai

sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai.

Sedangkan menurut Wikipedia, Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu

yang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya.

Aksiologi adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yaitu; axios

yang berarti nilai dan logos yang berarti ilmu. Menurut John Sinclair, dalam

lingkup kajian filsafat, nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti

politik, sosial dan agama. Sedangkan nilai itu sendiri adalah sesuatu yang

berharga, yang diidamkan oleh setiap insa

3
Beberapa definisi tentang aksiologi menurut para ahli
1. Menurut Suriasumantri, aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan

dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.

2. Menurut Wibisono, aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur

kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan

penggalian, serta penerapan ilmu.

3. Scheleer mengontraskan aksiologi dengan praxeology, yaitu suatu teori

dasar tentang tindakan tetapi lebih sering dikontraskan dengan

deontology, yaitu suatu teori mengenai tindakan baik secara moral.

4. Langeveld memberikan pendapat bahwa aksiologi terdiri atas dua hal

utama, yaitu etika dan estetika. Etika merupakan bagian filsafat nilai dan

penilaian yang membicarakan perilaku orang, sedangkan estetika adalah

bagian filsafat tentang nilai dan penilaian yang memandang karya manusia

dari sudut indah dan jelek.

5. Kattsoff mendefinisikan aksiologi sebagai ilmu pengetahuan yang

menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang

kefilsafatan.

Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa

permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah

sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan

tentang apa yang dinilai.

Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika

dan estetika. Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif

4
dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana

dijumpai dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti

kawasan sosial, kawasan simbolik atau pun fisik material. Lebih dari itu nilai-

nilai juga ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non

yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian

maupun di dalam menerapkan ilmu. Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai.

B. Konsep Nilai Dalam Aksiologi

Dalam pembahasan aksiologi, nilai menjadi fokus utama. Nilai

dipahami sebagai pandangan, cita-cita, adat, kebiasaan, dan lain-lain yang

menimbulkan tanggapan emosional pada seseorang atau masyarakat tertentu.

Dalam filsafat, nilai akan berkaitan dengan logika, etika, estetika. Logika

akan menjawab tentang persoalan nilai kebenaran sehingga dengan logika

akan diperoleh sebuah keruntutan. Etika akan berbicara mengenai nilai

kebenaran, yaitu antara yang pantas dan tidak pantas, antara yang baik dan

tidak baik. Adapun estetika akan mengupas tentang nilai keindahan atau

kejelekan. Estetika biasanya erat berkaitan dengan karya seni.

Sebuah nilai bisa juga bersifat subjektif dan objektif akan sangat

bergantung pada perasaan dan intelektualitas yang hasilnya akan mengarah

pada perasaan suka atau tidak suka, senang atau tidak senang. Nilai akan

subjektif bila subjek sangat berperan dalam segala hal.

5
Sementara nilai objektif, jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran

yang menilai. Seorang ilmuwan diharapkan tidak mempunyai kecenderungan

memiliki nilai subjektif, tetapi lebih pada nilai ‘objektif’ sebab nilai ini tidak

dapat dipertanggungjawabkan secara sosial. Nilai ini tidak semata-mata

bergantung pada pendapat individu, tetapi lebih pada objektivitas fakta.

Peradaban manusia berkembang sejalan dengan perkembangan sains

dan teknologi. Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri peradaban manusia

berhutang budi pada sains dan teknologi. Berkat sains dan teknologi

pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan

mudah. Perkembangan ini baik di bidang kesehatan, transportasi, pemukiman,

pendidikan, dan komunikasi telah mempermudah kehidupan manusia. Sejak

awal ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Selain itu, ilmu juga sering

dikaitkan dengan faktor kemanusiaan, di mana bukan lagi teknologi yang

berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun

sebaliknya manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan

teknologi.

Menghadapi kenyataan ini, ilmu yang pada hakikatnya mempelajari

alam sebagaimana adanya, mulai mempertanyakan hal yang bersifat

seharusnya, untuk apa sebenarnya ilmu itu harus digunakan? Di mana

batasnya? Ke arah mana ilmu akan berkembang? Kemudian bagaimana

dengan nilai dalam ilmu pengetahuan. Perkembangan dan kemajuan ilmu

6
pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia.

Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan

dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas

dari kutuk yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang

mempelajari teknologi seperti bom atom, manusia bisa memanfaatkan

wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan umat manusia, tetapi

dipihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia

pada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka.

Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada

esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk

apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Dihadapkan dengan masalah

moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini,

para ilmuwan terbagi kedalam golongan pendapat yaitu golongan pertama

yang menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik

itu secara ontologis maupun aksiologi. Sebaliknya, golongan kedua bahwa

netralisasi terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisis keilmuwan

sedangkan dalam penggunaanya ilmu berlandaskan pada moral. Golongan

kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni Ilmu secara faktual

telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang telah dibuktikan

dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi

keilmuwan.

7
Ilmu telah berkembang pesat dan makin eksetoris sehingga ilmuwan telah

mengetahui apa yang mungkin terjadi apabila adanya penyalahgunaan. Ilmu

dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada

kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berkenaan dengan nilai

guna ilmu, tak dapat dibantah lagi bahwa ilmu itu sangat bermanfaat bagi

seluruh umat manusia. Dengan ilmu seseorang dapat mengubah wajah dunia.

Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh

Jujun S. Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah

kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia.

Kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa

mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu karena ilmu itu sendiri

merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Lagi

pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk

melainkan bergantung pada pemilik dalam menggunakannya.

C. Landasan Aksiologi

Dalam aksiologis dibicarakan tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi

kehidupan manusia dan juga nilai-nilai yang harus dilembagakan pada setiap

dominannya. Aksiologi pada dasarnya bersifat ide dan karena itu ia abstrak

dan tidak dapat disentuh oleh panca indra. Yang dapat ditangkap dari aspek

aksiologis adalah materi atau tingkah laku yang mengandung nilai. Karena itu

nilai bukan soal benar atau salah karena ia

8
tidak dapat diuji. Ukurannya sangat subjektif dan objek, kajiannya adalah

soal apakah suatu nilai dekehendaki atau tidak. Berbeda dengan fakta yang

juga abstrak namun dapat diuji dan argumentasi rasional dapat memaksa

orang untuk menerima kebenarannya. Pengukuran benar dan salah dari suatu

fakta dapat dilakukan secara objektif dan empiris.

Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat

manusia. Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah: “Apa manfaat

(untuk apa) ilmu bagi manusia?”. Dalam konteks ini, dapat ditambahkan

pertanyaan: “Sejauh mana pengetahuan ilmiah dapat digunakan?”. Dalam hal

ini, persoalannya bukan lagi kebenaran, melainkan kebaikan. Secara

epistemologis, persoalan ini berada di luar batas pengetahuan sains. Menurut

Bertens, pertanyaan ini menyangkut etika: “Apakah yang bisa dilakukan

berkat perkembangan ilmu pengetahuan, pada kenyataannya boleh

dipraktikkan juga?”. Pertanyaan aksiologis ini bukan merupakan pertanyaan

yang dijawab oleh ilmu itu sendiri, melainkan harus dijawab oleh manusia di

balik ilmu itu. Jawabannya adalah bahwa pengetahuan ilmiah harus dibatasi

penggunaannya, yakni sejauh ditentukan oleh kesadaran moral manusia.

Namun, jadi, sejauh mana hak kebebasan untuk meneliti? Hal ini merupakan

permasalahan yang pelik.

Pedoman untuk menguji nilai dipengaruhi oleh psikologi maupun teori

logika. Para hedonis menemukan pedoman mengenai jumlah atau besarnya

kenikmatan yang dirasakan seseorang atau masyarakat sebagai barometer

dari sistem nilai. Kaum Idealis menjadikan sistem objektif

9
mengenai norma-norma rasional atau yang paling ideal sebagai kriteria. Dari

berbagai corak aliran ini maka hubungan antara nilai dan fakta dapat diselidiki

melalui tiga hal. Pertama, aliran naturalis potsitivisme yang menyatakan tidak

ada kaitan antara pengalaman manusia dengan sistem nilai. Kedua,

objektifisme logis yang menyatakan bahwa nilai merupakan esensi logis dan

substantif yang tidak ada kaitannya dengan status atau tindakan eksistensi

dalam realitas. Ketiga, aliran objektif metafisis yang menyatakan nilai adalah

norma ideal yang mengandung unsur integral objektif dan aktif dari

kenyataan metafisik.

Dengan demikian dalam filsafat aksiologis pembicaraan utama

terkait erat dengan kaitan ilmu dan moral. Hal ini telah lama menjadi bahan

pembahasan para pemikir antara lain Merton, Popper, Russel, dan pemikira

lainnya. Pertanyaan umum yang sering muncul berkenaan dengan hal tersebut

adalah : apakah itu bebas dari sistem nilai ? Ataukah sebaliknya, apakah itu

terikat pada sistem nilai?.

Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sama

dari para ilmuwan. Ada dua kelompok ilmuwan yang masing-masing

punya pendirian terhadap masalah tersebut. Kelompok pertama menghendai

ilmu harus bersifat netral terhadap sistem nilai. Menurut mereka tugas

ilmuwan adalah menemukan pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya

dipergunakan untuk apa, terserah pada yang menggunakannya, ilmuwan tidak

ikut campur. Kelompok kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas

ilmu hanya terbatas pada

10
metafisik keilmuwan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan

objek penelitian, maka kegiatan keilmuwan harus berlandaskan azas-azas

moral.

Hubungan antara ilmu dengan moral oleh Jujun S. dikaji secara hati-

hati dengan mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun

S mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara

ilmu dan moral maka pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-

segi yang lebih terperinci yaitu segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.

2. Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan

faktor sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun

penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan.

3. Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek

penelaahannya (objek ontologis/objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah

moral yang berazaskan tidak mengubah kodrat manusia, tidak

merendahkan martabat manusia, dan tidak mencampuri masalah

kehidupan.

4. Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuwan

yang berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah

moral yang berazaskan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan

penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan

kekuatan argumentasi an sich.

11
5. Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk

kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan

dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan

keseimbangan/kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan

penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal

universal.

Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak

cukup bila hanya dibahas dari tinjauan aksiologi semata. Tinjauan ontologis

dan epistemologi diperlukan juga karena azas moral juga mewarnai perilaku

ilmuwan dalam pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam menemukan

kebenaran ilmiah.

Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral.

Copernicus (1473-1543) yang menyatakan bumi berputar mengelilingi

matahari, yang kemudian diperkuat oleh Galileo (1564- 1642) yang

menyatakan bumi bukan merupakan pusat tata surya yang akhirnya harus

berakhir di pengadilan inkuisisi. Kondisi ini selama 2 abad mempengaruhi

proses perkembangan berpikir di Eropa. Moral reasioning adalah proses

dengan mana tingkah laku manusia, institusi atau kebijakan dinilai apakah

sesuai atau menyalahi standar moral. Kriterianya: Logis, bukti nyata yang

digunakan untuk mendukung penilaian haruslah tepat, konsisten dengan

lainnya.

Moralitas sebagai persoalan penting dalam aksiologi sering juga

dipahami sebagai etika. Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular)

12
yang berarti a system of moral principles or rules of behavior. atau suatu

sistem, prinsip moral, aturan atau cara berperilaku. Akan tetapi, terkadang

ethics (dengan tambahan huruf s) dapat berarti singular. Jika ini yang

dimaksud maka ethics berarti the branch of philosophy that deals with moral

principles, suatu cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip

moral. Jika ethics dengan maksud plural (jamak) berarti moral principles that

govern or influence a person’s behavior. prinsip-prinsip moral yang

dipengaruhi oleh perilaku pribadi.

Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam

bentuk tunggal mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput,

kandang, adat, akhlak, watak perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk

jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri

pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa

dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Arti inilah yang menjadi latar

belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh Aristoteles (384-322

SM.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika secara lebih

detail merupakan ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang

manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.

D. Komponen Aksiologi

1. Etika

Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu

mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Di dalam etika, nilai

13
kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya

adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung

jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap Tuhan

sebagai sang pencipta. Dalam perkembangan sejarah etika, ada 4 teori

etika sebagai sistem filsafat moral yaitu hedonisme, eudemonisme,

utiliterisme dan pragmatisme. Hedonisme adalah suatu pandangan yang

menganggap bahwa sesuatu yang baik jika mengandung kenikmatan bagi

manusia. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar

tujuan. Adapun tujuan dari eudemonisme itu sendiri adalah kebahagiaan.

Selanjutnya, utilitarisme yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah

memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan

perintah- perintah Ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati.

Selanjutnya, pragmatisme adalah suatu pemikiran yang menganggap

bahwa sesuatu yang baik adalah yang berguna secara praktis dalam

kehidupan. Ukuran kebenaran suatu teori adalah kegunaan praktis teori itu,

bukan dilihat secara teoretis.

Etika berada dalam setiap faktor kehidupan manusia, meski tidak selalu

dinyatakan secara tertulis, dalam berkomunikasi pun ada etikanya. Namun,

mengkaji masalah etika komunikasi termasuk kajian yang masih teramat

luas. Hal ini disebabkan karena komunikasi terdiri bebagai konteks

komunikasi yang menjadi bagiannya, misalnya, komunikasi antar

personal, komunikasi antar budaya, periklanan,

14
humas, jurnalistik, pers, dan sebagainya. Masing-masing mempunyai etika

masing-masing yang satu dengan lainnya tidak akan sama karena objek

kajiannya berbeda.

Andersen mengatakan bahwa etika adalah sebuah situasi yang

mempelajari nilai dan landasan bagi penerapannya. Hal ini pantas atau

tidak pantas, baik atau buruk. Sebuah etika tidak akan lagi mempersoalkan

kondisi manusia tetapi sudah pada bagaimana seharusnya manusia bertidak

namun kemudian kita tidak dapat mengatakan bahwa sebuah etika akan

menyelesaikan persoalan praktis. Sebuah etika tidak mengatakan pada

seseorang apa yang harus dilakukannya pada situasi tertentu. Teori etika

akan membantu menusia untuk memutuskan apa yang harus ia lakukan.

Sehingga dapat dikatakan bahwa fungsi praktis etika adalah memberikan

pertimbangan dalam perilaku.

Tidak akan dapat dikatakan bahwa etika adalah sesuatu yang benar

dan tidak benar, tetapi etika lebih memandang pada pertimbangan yang

relevan untuk suatu alasan berkaitan dengan tindakan yang akan diambil

oleh seseorang. Bukan berarti bila seseorang berperilaku tidak pantas itu

adalah salah dan berperilaku pantas itu benar, tetapi sejauh mana alasan

dari berperilaku tersebut. Sebagai contoh, dalam ilmu komunikasi,

perkataan etis dan tidak etis sering sekali kita jumpai dalam peristiwa

sehari-hari. Pengungkapan ini akan sangat dekat dengan makna pantas

atau tidak pantas sehingga ukurannya adalah norma.

15
Namun demikian, suatu etika bersifat relatif atau tidak mutlak, yang

berarti bahwa dalam waktu yang berbeda dan tempat yang berbeda untuk

satu etika dengan subjek sama, tidak akan mungkin sama persis. Kita

contohkan ketika kita melihat budaya kumpul kebo pada budaya barat,

dengan budaya timur. Di budaya barat, kumpul kebo dipandang sesuatu

yang etis dan wajar-wajar saja, tetapi dalam budaya timur seperti

Indonesia, kumpul kebo dianggap sebagai sesuatu yang tidak etis atau

belum etis. Demikian juga dengan ungkapan “dancuk” bagi masyarakat

Madura adalah suatu ungkapan etis, tetapi bagi masyarakat di luar itu

belum tentu etis.

2. Estetika

Estetika akan dikaitkan dengan seni karena estetika lahir dari

penilaian manusia tentang keindahan. Kattsof mengatakan bahwa estetika

akan menyangkut perasaan, dan perasaan ini adalah perasaan indah. Nilai

keindahan tidak semata-mata pada bentuk atau kualitas objeknya, tetapi

juga isi atau makna yang dikandungnya. Dengan demikian sebuah estetika

akan ditemukan dalam sisi lahirnya maupun batinnya, bukan hanya

sepihak. Sebagai ilustrasi bahwa wanita cantik belum tentu indah, karena

cantik disini belum tentu menimbulkan kesenangan pada perasaan orang

lain. Ilustrasi lain, misalnya kita bangun pagi, matahari memancarkan

sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasakan

kenikmatan. Meskipun sesungguhnya

16
pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan

nikmat.

Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi

menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek

yang kita serap, padahal sebenarnya tetap merupakan perasaan. Contoh

yang lain dalam hal komunikasi. Komunikasi juga dapat dilihat dari sisi

estetikanya. Warner J Saverin dan James Tankard Jr mengatakan bahwa

komunikasi massa adalah sebagian keterampilan, sebagai seni, dan sebagai

ilmu. Komunikasi massa adalah keterampilan yang meliputi teknik-teknik

tertentu yang secara fundamental dapat dipelajari, seperti memfokuskan

kamera televisi, mengoperasikan perekam pita, dan mencatat ketika

wawancara. Komunikasi massa adalah seni dalam artian tantangan-

tantangan kreatif seperti menulis naskah untuk acara dokumenter televisi,

mengembangkan tata letak yang menyenangkan dan memikat untuk iklan

majalah, serta menampilkan teras berita yang menarik dan mengena untuk

kisah berita. Ia adalah ilmu yang mencakup asas-asas yang dapat diuji

dalam membuat karya komunikasi yang dapat dipergunakan untuk

mencapai tujuan khusus yang lebih efektif.

17
E. Kegunaan Aksiologi

1. Ilmu, nilai, dan tanggung jawab ilmuwan

Dalam tahap awal perkembangannya, ilmu sudah dikaitkan dengan

tujuan tertentu. Ilmu tidak saja digunakan untuk menguasai alam

melainkan juga untuk memerangi sesama manusia, atau menguasai

manusia. Tidak jarang manusia diperbudak oleh ilmu. Dengan ilmu,

kadang-kadang manusia mengorbankan nilai-nilai kemanusiannya.

Akhirnya hanya karena ilmu terjadi gejala dehumanisasi, sehingga tidak

salah jika banyak orang mengatakan bahwa ilmu sudah tidak berpihak

kepada manusia, tetapi ilmu sudah mempunyai tujuannya sendiri. Dalam

zaman globalisasi saat ini, di mana proses perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi tidak lagi menunjukkan perkembangan sedikit

demi sedikit, setapak demi setapak, melainkan melalui lompatan-lompatan

atau terobosan-terobosan yang besar.

Pengaruh menyeluruh yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi ini antara lain dapat digambarkan dengan

terjadinya revolusi industri pada akhir abad 19, yang bermula di Inggris.

Menyaksikan kenyataan yang menyambung revolusi industri tersebut

maka sejumlah filsuf tentang kemanusiaan jauh-jauh hari telah

memperingatkan bahwa kita harus memperhitungkan akibat-akibat yang

akan terbawa oleh diterapkannya teknologi mutakhir terhadap kehidupan

bersama manusia, tanpa mengingkari betapa kemajuan

18
teknologi telah meningkatkan kemampuan manusia untuk mengelola alam

lingkungannya. Filsuf-filsuf ini juga menyaksikan gejala-gejala yang

perlu mendapat perhatian kemanusiaan sehubungan dengan akibat

sampingan dari penerapan teknologi ini. Dengan demikian sebuah ilmu

bukan mustahil justru menjadi bumerang bagi kemanusiaan itu sendiri, dan

terlempar jauh dari hakikat ilmu yang sebenarnya. Menghadapi kenyataan

pahit ini, Ilmuwan yang pada hakikatnya mempelajari alam sebagaimana

adanya, mulai mempertanyakan tentang bagaimana seharusnya

memanfaatkan ilmu. Banyak orang mulai bertanya untuk apa ilmu itu

harus dipergunakan dan ke arah mana ilmu harus diarahkan. Tentu untuk

menjawab pertanyaan ini orang harus melihat lagi tentang hakikat moral.

Inilah pertanyaan tentang aksiologi yang dipecahkan demi kemaslahatan

umat.

Dalam filsafat, ilmu juga dikaitkan dengan nilai. Pertanyaan yang

banyak dibahas antara lain bahwa apakah selalu ilmu itu bebas nilai atau

tidak bebas nilai. Tentu tidak ada orang yang meragukannya kalau ilmu itu

sendiri bernilai. Nilai ilmu terletak pada manfaat yang diberikannya

sehingga menusia dapat mencapai kemudahan dalam hidup. Ilmu

dikatakan bernilai karena menghasilkan pengetahuan yang dapat dipercaya

kebenarannya yang objektif, yang terkaji secara kritik. Dengan demikian

ilmu sebagai sebuah nilai adalah sesuatu yang bernilai dan masih bebas

nilai. Akan tetapi setelah ilmu digunakan oleh

19
ilmuwan, ia menjadi tidak bebas nilai, hal ini disebabkan sejauh mana

moral yang ada pada ilmuwan untuk bertanggung jawab terhadap ilmu

yang dimilikinya akan menyebabkan ilmu itu menjadi baik atau menjadi

buruk.

Namun, sebagai seorang ilmuwan, tidak akan dapat lepas dari

hakikat ilmu. Banyak peran yang menjadi tanggung jawab sosial terhadap

ilmu yang dimiliki. Sikap sosial ilmuwan harus selalu konsisten dengan

proses penelaahan ilmu yang dilakukan. Beberapa sikap sosial yang

mungkin dilakukan ilmuwan sebagai cermin tanggung jawab sosial antara

lain:

a. Menjelaskan semua permasalahan yang tidak diketahui masyarakat

dengan bahasa yang mudah dicerna.

b. Memengaruhi opini dalam rangka memunculkan masalah yang

penting untuk segera dipecahkan.

c. Meramalkan apa yang terjadi dengan sebuah fenomena.

d. Menemukan alternatif dari objek permasalahan yang menjadi pusat

perhatian.

e. Di bidang etika, ilmuwan tidak hanya memberikan informasi tetapi

juga memberikan contoh.

Sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan merupakan isu

yang dianggap cukup penting dalam filsafat ilmu, terutama sekali jika kita

kaitkan dengan pertanyaan apakah ilmu bebas nilai atau tidak. Dalam

perkembangannya, ada 2 pihak yang saling bertentangan dalam

20
membahas ini, antara paham positivisme yang menganggap bahwa ilmu

harus bebas nilai. Di pihak lain ada juga yang beranggapan bahwa ilmu

tidak mungkin bebas nilai karena dalam penerapannya akan sangat

dipengaruhi oleh kepentingan sosial. Dengan demikian, nilai adalah

sesuatu yang masih banyak diperdebatkan oleh ilmuwan ketika

memandang nilai dari sebuah ilmu.

Menurut Saifudin, dikatakan bahwa klaim ilmu bebas nilai

berdampak bahwa kegiatan ilmiah berjalan atas dasar hakikat ilmu itu

sendiri. Secara teoretis ilmu pengetahuan dibiarkan menjelaskan rahasia

alam dan menafsirkan realitas objek dengan penekanan padanya. Dalam

hal ini ilmu selalu terbuka bagi usaha-usaha penguatan, pendalaman,

bahkan pembatalan. Namun di sisi lain, netralis ilmu pengetahuan

semakin tidak dapat dipertahankan ketika masuk dalam tataran praktis

aksiologis.

Ilmu pengetahuan dalam hal ini benar-benar sarat nilai. Ilmu

pengetahuan sudah harus mempertimbangkan dimensi etika yang

melingkupinya. Kepentingan yang melekat kepada pengguna ilmu

menyebabkan ilmu tidak bisa bebas dari tataran teoretis.

2. Kegunaan aksiologi terhadap tujuan ilmu pengetahuan

Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu

agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat

bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Dengan ilmu sesorang dapat

21
mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon

seperti yang dikutip oleh Jujun. S. Suriasumatri bahwa “pengetahuan

adalah kekuasaan”. Apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru

malapetaka bagi umat manusia. Kalaupun terjadi malapetaka yang

disebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan

kesalahan ilmu karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk

mencapai kebahagiaan hidup, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu

tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik

dalam menggunakannya.

Untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat

ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai

tiga hal, yaitu:

a. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan untuk memahami dan

mereaksikan dunia pemikiran. Jika seseorang hendak ikut membentu

dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau

hendak menentang suatu sistem kebudayaan, sistem ekonomi, atau

sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya.Inilah

kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.

b. Filsafat sebagai pandangan hidup. Dalam hal ini, semua teori

ajarannya diterima kebenarannya dan dilaksanakan dalam kehidupan.

Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup digunakan sebagai petunjuk

dalam menjalani kehidupan.

22
c. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah. Dalam hidup

ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batu di depan pintu,

setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung maka dapat

diasumsikan bahwa batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih

enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara

menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang

paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya

masalah tidak terselesaikan secara tuntas. Penyelesaian yang detail itu

biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam

kehidupan manusia

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Aksiologi ilmu terdiri dari nilai-nilai yang bersifat normatif dalam

pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana dijumpai

dalam kehidupan, yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial,

kawasan simbolik atau pun fisik material. Lebih dari itu nilai-nilai juga

ditunjukkan oleh aksiologi ini sebagai suatu conditio sine qua non yang wajib

dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian maupun di

dalam menerapkan ilmu. Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai.

Dalam filsafat, nilai akan berkaitan dengan logika, etika, estetika.

Logika akan menjawab tentang persoalan nilai kebenaran sehingga dengan

logika akan diperoleh sebuah keruntutan. Etika akan berbicara mengenai nilai

kebenaran, yaitu antara yang pantas dan tidak pantas, antara yang baik dan

tidak baik. Adapun estetika akan mengupas tentang nilai keindahan atau

kejelekan. Estetika biasanya erat berkaitan dengan karya seni.

24
DAFTAR PUSTAKA

Abadi, T. W. (2016, Maret). Aksiologi: Antara Etika, Moral dan Estetika.

Kanal (Jurnal Ilmu Komunikasi), 4(2), 187-204. Retrieved from

http://ojs.umsida.ac.id/index.php/kanal

Azwar, W., & Muliono. (2020). Filsafat Ilmu: Cara Mudah Memahami Filsafat

Ilmu. Jakarta: Prenada Media.

Bahrum. (2013). Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. Sulesana, 35-45.

Bakhtiar, A. (2012). Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Bertens,

K. (2013). Etika (Revisi ed.). Yogyakarta: Kanisius.

Hakim, A. A., & Sabeni, B. A. (2018). Filsafat Umum dari Metologi sampai

Teofilosofi. Bandung: Pustaka Setia.

id.wikipedia.org. (2020, April 27). Aksiologi. Retrieved April 27, 2020, from

Wikipedia Ensiklopedia Bebas: https://id.wikipedia.org/wiki/Aksiologi

kbbi.web.id. (2020, April 27). aksiologi. Retrieved April 27, 2020, from Kamus

Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus Versi Online/Daring:

https://kbbi.web.id/aksiologi

Sanprayogi, M., & Chaer, M. T. (2017, Juli). Aksiologi Filsafat Ilmu dalam

Pengembangan Keilmuan. Al Murabbi, 4(1), 105-120.

Suaedi. (2016). Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press.

Surajiyo. (2014). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Bandung: Bumi Aksara

25
26

Anda mungkin juga menyukai