Di Sususn Oleh :
1. Abdul Rosyid
2. Arif Nur Risma
3. Binti Masruroh
FAKULTAS TARBIYYAH
TAHUN 2023/2024
1
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
segala limpahan rahmat, bimbingan dan petunjuk serta hidayah-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul ‘Aksiologi Ilmu Penetahuan’
dengan lancar.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas filsafat ilmu. Selain itu, makalah ini bertujuan
menambah wawasan lebih dalam tentang aksiologidalam ilmu pengetahuan bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan dan penyusunan makalah Aksiologi Ilmu
Penetahuan’ ini tidak mungkin terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari
semua pihak.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik
yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
2
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ................................................................................................ 9
3
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kamus Bahasa Indonesia aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi
kehidupan manusia tentang nilai-nilai khususnya etika.
Pada bagian ini akan dibahas beberapa hal terkait dengan aksiologi sebagai langkah
awal dalam mempelajari persoalan ini. Beberapa poin yang akan dibahas dalam konteks ini
adalah: pengertian aksiologi dan ilmu, pembagian, dan aksiologi ilmu.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
4
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologi, Aksiologi berasal dari bahasa Yunani, Axios artinya nilai, dan
logos artinya teori. Jadi aksiologi berarti teori tentang nilai. 1Sedangkan secara
terminologi, Aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari ilmu
pengetahuan yang diperoleh.2
Aksiologi merupakan bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik
dan buruk, benar dan salah, serta tentang cara dan tujuan.Dari definisi tersebut,
permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. 4
Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat
mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Dalam bahasa Inggris Ilmu biasanya dipadankan dengan kata science, sedang
pengetahuan dengan knowledge yang secara sederhana diartikan dengan hasil tahu
manusia terhadap sesuatu, atau sesuatu yang di dapat dari pengalaman, atau segala
perbuatan manusia untuk memahami suatu obyek yang dihadapinya, atau hasil usaha
manusia untuk memahami suatu obyek tertentu.
Kata science berasal dari bahasa latin, Scio, Scire yang berarti tahu, yang
umumnya diartikan Ilmu, tapi sering juga diartikan dengan ilmu pengetahuan, meskipun
secara konseptual mengacu pada makna yang sama.7
1
Burhanuddin Salam, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 168.
2
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), 235
3
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), 4
4
Muhammad Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: t.p. 1954), 5
5
Pudjawinata, Pembimbing ke Arah Filsafat (Jakarta: Balai Pustaka, 1963), 5
6
Kamus Besar Bahasa Indonsia (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 19
5
Ilmu, pada prinsipnya merupakan usaha untuk mengorganisasikan dan
mensistematisasikan suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman, dan pengamatan
dalam kehidupan sehari-hari. Kemudain dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara
cermat dan teliti dengan menggunakan berbagai metode.
Dari pengertian diatas dapat didefinisikan, bahwa Ilmu pengetahuan adalah suatu
sistem pengetahuan dari berbagai pengetahuan, mengenai suatu lapangan pengalaman
tertentu, yang disusun sedemikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi
kesatuan atau sistem dari berbagai pengetahuan.
Dengan begitu, pengetahuan tidak bisa lansung menempati ilmu, karena Ilmu
yang kemudian disebut dengan Ilmu pengetahuan harus terstruktur, sistematik,
bermetode berdasarkan obyek tertentu yang diperoleh dari hasil pengamatan, penelitian
dan pembuktian secara ilmiah untuk memperoleh teori.
B. Pembagian Aksiologi
Gagasan aksiologi dipelopori oleh Lotze Brentano, Husserl Scheller, dan Nocolai
Hatmann. Scheller mengontraskan aksiologi dengan praeksologi, yaitu pengertian
umum mengenai hakikat tindakan, secara khusus bersangkutan dengan dientologi, yaitu
teori moralitas mengenai tindakan yang benar.
Aksiologi dalam pembahasannya di bagi menjadi dua jenis, yaitu etika dan
estetika.8
1. Etika
Etika secara etimologi berasal dari bahasa yunani yaitu ethos yang berarti
watak kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika adalah cabang filsafat yang
membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan
baik atau buruk.9
7
Miska Muhammad Amin, Epistemologi Islam (Jakarta: UI Press, 1983), 3
8
Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat (Bandung: Refika Aditama, 2009), 42
9
ibid
6
Penggunaan Etika dari sudut maknanya terbagi menadi dua bentuk arti. Arti
pertama, dipakai untuk suatu kumpulan pengetahuan, dengan obyek penilaian
terfokus terhadap perbuatan manusia. Penggunaan arti dalam hal ini dapat
diilustrasikan sebagaimana orang telah melakukan aktivitas belajar. Kemudian ia
menyampaikan “saya pernah belajar etika”.
Etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif
hanya berkonsentrasi pada melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya.
Selain itu, etika normatif juga tidak memberikan penilaian, tidak memilih mana yang
baik dan mana yang buruk, dan tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat,
seperti sejarah. Adapun etika normatif sudah memberikan penilaian mana baik dan
mana yang buruk, mana yang harus dikerjakan dan mana yang tidak.
Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit
perbedaan. Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, atau apa yang
seharusnya dilakukan atau tidak dilakukan yang bersangkutan dengan agama.
Adapun etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai, yang ada atau landasan sistem
nilai dalam kehidupan kemasyarakatan datu budaya.11
Obyek etika, menurut Franz Magnis Suseno (1987) adalah pernyataan moral
apabila diperiksa dengan segala jenis moral, yang pada dasarnya hanya dua macam,
yaitu pernyataan tentang tindakan manusia, dan pernyataan tentang manusia sendiri
atau tentang unsur-unsur kepribadian manusia, seperti motif-motif, maksud atau
watak
2. Estetika
Estetika dari bahasa yunani aesthesis, adalah cabang filsafat yang berbicara
tentang keindahan. Estetika dengan objek pengalaman akan keindahan secara
substansi mencari hakikat dari keindahan, bentuk-bentuk pengalaman keindahan,
menyelidiki emosi manusia sebagai reaksi terhadap yang indah, agung, tragis, bagus,
mengharukan dan sebagainya.
Beberapa persoalan yang berkaitan dengan nilai estetika meliputi hakikat nilai,
tipe nilai, criteria nilai dan status metafisika nilai. Secara subtantif, nilai estetika
adalah suatu pemuasan terhadap keinginan atau kemauan yang disebut peasure atau
kesenangan.
10
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2004), 165
11
Sutardjo A. Wiramihardja, Pengantar Filsafat …, 171-172
7
Nilai itu dianggap baik, apabila memenuhi kebutuhan dan memiliki nilai
instrumental, sebagian alat untuk mencapai tujuan. Sedangkan tipe nilai dapat
dibedakan antara nilai instinsik dan nilai instrumental. Nilai instrinsik merupakan
nilai akhir yang menjadi tujuan sedangkan nilai instrumental merupakan alat untuk
mencapai nilai instinsik.
Sebagai contoh nilai instrinsik adalah nilai yang dipancarkan oleh suatu
lukisan, dan shalat lima waktu sebagai perbuatan yang sangat luhur. Nilai
instrumentalnya bahwa dengan melaksanakan shalat, akan mencegah perbuatan
keji/jahat, yang dilarang oleh Allah dan tujuan akhirnya mendapat kebahagiaan
hidup dunia dan akhirat.
Kemudian yang dimaksud dengan kriteria nilai adalah sesuatu yang menjadi
ukuran nilai, bagaimana nilai yang baik, dan bagaimana nilai yang tidak baik. Kaum
hedisme menemukan, nilai merupakan sejumlah peasure yang dicapai oleh individu
atau masyarakat. Bagi kaum pragmatis, kriteria nilai adalah kegunaannya dalam
kehidupan, bagi individu atau masyarakat.
Dari sisi fungsi ilmu lebih bersifat praktis, yakni sebagai disiplin atau aktivitas
untuk memperbaiki sesuatu, membuat kemajuan, mempelajari fakta serta memajukan
pengetahuan untuk memperbaiki bidang-bidang kehidupan. Ilmu dapat membantu
untuk memahami, menjelaskan, mengatur dan memprediksi berbagai kejadian baik
yang bersifat kealaman maupun sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia. Setiap
masalah yang dihadapi manusia selalu diupayakan untuk dipecahkan agar dapat
dipahami, dan setelah itu manusia menjadi mampu untuk mengaturnya serta dapat
8
memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi berdasarkan pemahaman
yang dimilikinya. Dengan kemampuan prediksi tersebut, perkiraan masa depan dapat
didesain dengan baik meskipun hal itu bersifat probabilistik, mengingat dalam
kenyataannya sering terjadi hal-hal yang bersifat unpredictable.
Dengan dasar fungsi tersebut, maka dapatlah difahami tentang tujuan dari ilmu
adalah untuk memahami, memprediksi, dan mengatur berbagai aspek kejadian di dunia,
disamping untuk menemukan atau memformulasikan teori. Kemudian, teori itu menjadi
penjelasan tentang sesuatu, sehingga dapat diperoleh kefahaman, dan dengan
kepahaman maka prediksi kejadian dapat dilakukan dengan probabilitas yang cukup
tinggi, asalkan teori tersebut telah teruji kebenarannya
Kelompok kedua mendasarkan pendapatnya pada tiga hal, yakni pertama ilmu
secara riil telah dipergunakan dan telah dibuktikan oleh manusia dalam perang dunia
yang mempergunakan teknologi keilmuan.
12
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…, 169
9
Melihat analisa diatas, secara epistemologis tampak, bahwa ilmu bersifat netral.
Artinya. asal muasal terciptannya atau hasil ilmu pengetahuan tidak berpihak pada
siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata. Namun secara aksiologis, ilmuwan
harus mampu menilai mana yang baik dan buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan
seorang ilmuwan mempunyai landasan moral yang kuat.
Tujuan etika keilmuan adalah agar seorang ilmuwan dapat menerapkan prinsip-
prinsip moral yang baik dan menghindarkan dari yang buruk ke dalam prilaku
keilmuannya, sehingga menjadi ilmuwan yang mempertanggungjawabkan prilaku
ilmiahnya.
Konsekwensi ini merupakan suatu kewajiban bagi ilmu pengetahuan untuk harus
dan dapat berpedoman, serta bersikap penuh tanggung jawab, baik tanggungjawab
ilmiah maupun tanggungjawab moral. Tanggung jawab ilmiah melihat, sejauhmana
ilmu pengetahuan melalui pendekatan metode dan sistem yang dipergunakan untuk
memperoleh kebenaran obyektif, baik secara korehen-idealistik, koresponden-realistis
maupun secara pragmatis-empirik.
Berdasar dari apa yang telah diuraikan, dipahami ilmu pengetahuan mengandung
nilai. Kebenaran nilai ilmu pengetahuan yang dikandungnya, bukan untuk kebesaran
ilmu pengetahuan semata, yang berdiri hanya mengejar kebenaran obyektif yang bebas
nilai, melainkan selalu terikat dengan kemungkinan terwujudnya kesejahteraan dan
kebahagiaan umat manusia.
Pada gilirannya, ilmuan sampai pada beberapa pilihan, apakah ilmu pengetahuan
dan teknologi netral dari segala nilai atau justru batas petualangan dan prospek
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak boleh mengingkari suatu nilai,
seperti nilai moral, religius, dan ideologi.
10
dapat dipisahkan dengan nilai-nilai yang meliputi kecerdasan, nilai-nilai ilmiah, nilai
moral, dan nilai agama. Hal ini tersimpul di dalam tujuan perolehan ilmu pengetahuan
yakni membawa kepribadian secara sempurna. Artinya sempurna yang ditentukan oleh
masing-masing pribadi, masyarakat, bangsa sesuai situasi dan kondisi.
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah
hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab manusia dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi
kemaslahatan manusia itu sendiri.
Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan
destruktif, maka diperlukan teladan nilai dan norma untuk mengendalikan potensi
nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan pemanfaatan ilmu
pengetahuan. Disinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well-
supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi guna meningkatkan
derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Disadari makalah ini menurut penulis pribadi masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karenanya, kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik atas jerih payah
makalah yang kami buat.
12
DAFTAR PUSTAKA
Salam, Burhanuddin, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Rineka Cipta,
1997)
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1998)
13