Anda di halaman 1dari 20

DASAR-DASAR AKSIOLOGI: RELASI ETIKA DAN IPTEK

Disusun Oleh:

Kelompok 8

Putri Jelita Hasibuan 2120500217

Adelia Natasya 2120500215

Sri Muhlida 2120500254

Nur Hikmah Hasibuan 2120500251

Dosen Pengampu:

Toguan Rambe, M.PEM.I

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYEKH ALI HASAN AHMAD ADDARY

PADANGSIDIMPUAN

T.A 2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wr.Wb.

Puji syukur kehadirat Allah swt atas rahmat dan anugrah dari-nya kami
dapat menyelesaikan makalah tentang “DASAR-DASAR AKSIOLOGI”.
Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita
Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang
lurus berupa ajaran agama Islam yang sempurna dan menjadi anugrah terbesar
bagi seluruh alam semesta.

Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah ini. Oleh


karena itu kami banyak mmenggucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu kami. Demikian yang kami sampaikan semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca. kami sadar banyak kekurangan pada makalah ini
oleh karena itu kami menerima kritikan dan saran agar kedepannya dapat kami
perbaiki.

Padangsidimpuan November 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................... i

Daftar Isi ......................................................................................................... ii

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Tujuan Masalah .................................................................................... 1

Bab II Pembahasan

A. Aksiologi dan prinsip-prinsip aksiologi ............................................... 2


B. Hubungan ilmu pengetahuan, teknologi dan etika ............................... ` 4
C. etika, ilmu pengetahuan dan teknologi................................................. 5
D. pragmatisitas sains teknologi ............................................................... 7
E. etika mengawal sains-teknologi ........................................................... 8

Bab III Penutup

A. Kesimpulan .......................................................................................... 16

Daftar Pustaka ................................................................................................ 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah Filsafat adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu dengan
mendalam mengenai ketuhanan, alam manusia, dan manusia sehingga dapat
menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh mana dapat
dicapai akal manusia setelah mencapai pengetahuan. Perkembangan yang
terjadi dalam pengetahuan ternyata melahirkan sebuah polemik baru karena
kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa kita sebut sebagai
netralitas pengetahuan (bebas nilai). Sebaliknya berdasarkan jenis
pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai. Sekarang mana yang
lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan
pada keterikatan nilai? Bagian dari Filsafat pengetahuan membicarakan
tentang ontologis, epistomologis dan aksiologi,Pembahasan aksiologi
menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu. Artinya padatahap-tahap tertentu
kadang-kadang ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan moral
suatu masyarakat, sehingga nilai kegunaan ilmu tersebut dapat dirasakan oleh
masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan bersama.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Aksiologi dan prinsip-prinsip aksiologi?
2. Bagaimana Hubungan ilmu pengetahuan, teknologi dan etika?
3. Bagaimana sikap ilmiah dan nilai etika?
4. Apa masalah etika, ilmu pengetahuan dan teknologi?
5. Bagaimana pragmatisitas sains teknologi?
6. Bagaimana etika mengawal sains-teknologi?
C. Tujuan Masalah
1. Agar memahami pengertian aksiologi dan prinsip-prinsip aksiologi
2. Agar mengetahui hubungan ilmu pengetahuan, teknologi dan etika
3. Agar mengetahui sikap ilmiah dan nilai etika
4. Agar mengetahui masalah etika, ilmu pengetahuan dan teknologi
5. Agar mengetahui pragmatisitas sains teknologi
6. Agar mengetahui cara etika mengawal sains teknologi

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Prinsip-prinsip Aksiologi


Aksiologi berasal dari kata Yunani: axion (nilai) dan logos (teori), yang
berarti teori tentang nilai (Salam, 1997). Sumantri (1996) menyatakan
aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dan pengetahuan
yang diperoleh. Menurut kamus bahasa Indonesia, aksiologi adalah kegunaan
ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khusunya
etika.1
Lebih lanjut aksiologi meliputi nilai-nilai parameter bagi apa yang disebut
dengan kebenaran atau kenyataan. Sebagaimana kehidupan yang kita jalani
berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materi dan kawasan
simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri. Lebih dari itu,
aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di
dalam menjalankan ilmu praktis. Dalam pendekatan aksiologis ini ilmu harus
dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia dengan cara melihat berbagai
aspek kehidupan yang melingkupinya. 2
Berdasarkan pengertian menurut bahasa sebagaimana tersebut di atas,
maka penegertian aksiologi secara istilah adalah merupakan studi yang
berkaitan dengan teori tentang nilai atau studi segala sesuatu yang dapat
bernilai atau memberikan manfaat. Nilai merupakan suatu fenomena tapi tidak
berada dalam suatu ruang dan waktu. Selain itu, nilai juga merupakan esensi-
esensi logis dan dapat dipahami melalui akal. Istilah aksiologi dalam
pandangan agama Islam bukanlah merupakan hal yang baru karena Nabi
Muhammad selalu memintanya setiap pagi dengan berdoa “Allahumma inni
asaluka „ilman naafi‟an wa rizqan thoyyiban wa „amalan mutaqabbalan”
artinya: “Yaa Allah sungguh aku memohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat,
rezeki yang baik dan amal yang diterima” (HR. Ibnu As-Sunni dan Ibnu

1
Abdulhak, I. Filsafat ilmu pendidikan. Bandung:Remaja Rosdakarya.2008
2
Endang Komara, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian (Bandung: Refika Aditama,
2011), 14 15.

2
Majah). Jadi aksiologi akan terkait dengan kemanfaatan daripada ilmu yang
membicarakan tentang value atau nilai suatu kehidupan.
Berdasarkan defenisi dari aksiologi sebagaimana disebutkan diatas, dapat
dipahami bahwa aspek aksiologi dari filsafat mempelajari dan menjelaskan
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan moral dan nilai- nilai.
Selanjutnya, aksiologis dalam wacana filsafat mengacu pada persoalan etika
(moral) dan estetika (keindahan).
1) Etika
Pengertian secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu
berasal dari kata ethikos atau ethos yang berarti adat, kebiasaan dan praktik
(Frans Magnis S, 2006). Secara umum etika merupakan teori mengenai
tingkah laku atau tindak-tanduk perbuatan manusia yang dipandang dari aspek
nilai baik dan burukyang dapat ditentukan oleh akal. Dalam pandangan para
ahli, etika secara garis besar dapat diklasifikasi ke dalam tiga bidang studi
yaitu: etika deskriptif, etika normative, dan metaetika.3
a. Etika deskriptif, menguraikan dan menjelaskan kesadaran dan pengalaman
moral secara deskriptif yang digolongkan dalam bidang ilmu pengetahuan
empiris dan berkaitan dengan sosiologi.
b. Etika normative, memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil
keputusan yang menyangkut baik dan buruk atau benar dan salah.
c. Metaetika, merupakan studi terhadap didiplin etika yang menyelidiki
makna istilah-istilah normative yang diungkapkan lewat pernyataan etis
yang membenarkan atau menyalahkan suatu tindakan.
2) Estetika
Estetika adalah ilmu yang membahas bagaimana keindahan dapat
terbentuk, serta bagaimana dapat merasakannnya. Sebuah keindahan yang
sudah terbentuk tentunya harus dapat dirasakan oleh banyak orang. Istilah
estetika berasal dari bahasa Yunani, aesthesis yang berarti pencerapan
inderawi, pemahaman intelektual atau pengamatan spiritual. Wacana
aksiologi merupakan salah satu bagian penting dari filsafat yang
membahas dan menerangkan terkait persoalan nilai, mengapa sesuatu itu

3
Zaprulkhan. Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.2016

3
dinilai baik atau buruk, dan dinilai indah atau tidak indah serta
berhubungan dengan nilai-nilai, etika dan estetika. Jadi ilmu pengetahuan
bukan hanya bersifat teoritis semata melainkan juga berdampak praktis
secara fungsional dalam kehidupan umat manusia.
Oleh sebab itu, aksiologi adalah teori tentang nilai serta bagian dari
filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad),
benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means
and and).
B. Hubungan Ilmu Pengetahuan, teknologi dan etika
Ketika berbicara etika dalam kaitannya dengan ilmu berarti
menyangkut persoalan-persoalan nilai dalam ilmu baik isinya maupun
penggunanya. Problem ilmu bebas nilai atau tidak sebenarnya
menunjukkan suatu hubungan antara ilmu dan etika. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa ada tiga pandangan, setidaknya, tentang hubungan
ilmu dan etika. Pendapat pertama mengatakan bahwa ilmu merupakan
suatu sistem yang saling berhubungan dan konsisten dari ungkapan-
ungkapan yang sifat bermakna atau tidak bermaknanya (meaningful or
meaningless) dapat ditentukan. Ilmu dipandang sebagai semata-mata
aktivitas ilmiah, logid, dan berbicara tentang fakta semata. Prinsip yang
berlaku di sini adalah science for science. Pendapat kedua menyatakan
bahwa etika memang dapat berperan dalam tingkah laku ilmuan seperti
pada bidang penyelidikan, putusan-putusan mengenai baik tidaknya
penyingkapan hasil-hasil dan petunjuk mengenai penerapan ilmu, tetapi
tidak dapat berpengaruh pada ilmu itu sendiri. Dengan kata lain memang
ada tanggung jawab dalam diri ilmuan. Namun dalam struktur logis ilmu
itu sendiri tidak ada petunjuk-petunjuk untuk putusan-putusan yang secara
etis dipertanggungjawabkan. Etika baru dimulai ketika ilmu itu berhenti.
Pendapat yang ketiga adalah bahwa aktivitas ilmiah tidak dapat dilepaskan
begitu saja dari aspek-aspek kemanusiaan, sebab tujuan utama ilmu adalah
mensejahterakan manusia.4

4
Fahmi Muqaddas, “Ilmu, Professionalisme dan Etika Profesi dalam Pandangan Islam”,
dalam ESENSIA Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. 1, No. 2, Juli 2000: 168.

4
Ilmu dan etika sebagai suatu pengetahuan yang diharapkan dapat
meminimalkan dan menghentikan perilaku penyimpangan dan kejahatan di
kalangan masyarakat. Di samping itu, ilmu dan etika diharapkan mampu
mengembangkan kesadaran moral di lingkungan masyarakat sekitar agar
dapat menjadi cindekiawan yang memiliki moral dan akhlak yang
baik/mulia.5
hubungan antara etika dengan ilmu pengetahuan adalah ilmu
pengetahuan yang bersifat tidak terbatas dalam penggunaannya hendaknya
selalu berlandaskan pada etika yang berfungsi memberikan pertimbangan
mengenai baik atau buruk, benar atau salah dari pemanfaatan ilmu, maka
etika menjadi acuan atau panduan bagi ilmu pengetahuan dalam realisasi
pengembangannya. Ilmu pengetahuan dalam ajaran etika merupakan mata
rantai yang tidak terpisahkan. Etika berfungsi sebagai rambu-rambu
prilaku, sehingga pemaknaan ilmu pengetahuan begitu indah dan damai
untuk mewujudkan kesempurnaan dan bertanggung jawab.
Etika sangat penting bagi pengembangan ilmu. Karena ilmu itu
diciptakan kemaslahatan umat manusia, ketika pengembangan ilmu tidak
dibarengi dengan etika maka bayangkanlah risiko bahwa ilmu akan
terkutuk menjadi perkakas yang berbahaya, yang bergiat demi
penghambaannya kepada jenderal-jenderal yang gila perang dan gembong-
gembong kekaisaran industri yang rakus. Etika merupakan cabang filsafat
yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam
hubungannya dengan baik buruk. Dengan belajar etika diharapkan kita
dapat mengetahui dan memahami tingkah laku apa yang baik menurut
suatu teori-teori tertentu, dan sikap yang baik sesuatu dengan kaidah etika.

C. SIKAP ILMIAH DAN NILAI ETIKA


Sebagaimana Etika, ilmu tak bebas dari pengaruh tata nilai. sebagian
besar dari keberhasilan masyarakat keilmuan dalam memajukan pengetahuan
adalah berkat tata nilainya, yang menempatkan pengabdian yang obyektif
terhadap kebenaran di jenjang yang paling luhur, dan kepadanya baik harga diri

5
Mohammad Adib, filsafat Ilmu: Ontologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm

5
perseorangan maupun kebanggaan nasional harus ditelutkan. Namun,
kebenaran bukanlah satu-satunya nilai yang seharusnya dijunjung tinggi oleh
para ilmuwan. Di samping itu nilai-nilai yang perlu dijadikan panduan dalam
pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah etika
keilmuan. Adalah penting dikemukakan pesan historis Albert Einstein di
hadapan para mahasiswa California Intitute of Technology pada saat Perang
Dunia II tengah berlangsung (1938), di mana patut dijadikan pesan moral
dalam pengembangan Iptek. Einstein mengatakan bahwa: "…tidak cukup kamu
memahami ilmu agar pekerjaanmu akan meningkatkan berkah manusia.
Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan
minat utama dari semua ikhtiar teknis, perhatian kepada masalah besar yang
tak kunjung terpecahkan darui pengaturan kerja dan pemerataan benda.
Nilai dan tanggung jawab moral terhadap iptek, tentu saja menjadi satu
keharusan yang semestinya dimiliki. Hanya dengan bersikap penuh tanggung
jawab etis terhadap masyarakat (baik masyarakat dewasa ini maupun angkatan-
angkatan yang akan datang) ilmu dapat menghindaarkan dirinya dari
kehilangan hak istimewanya untuk mengabdi kepada kemanusiaan. Kalau tidak
demikian, maka membayanglah resiko bahwa ilmu akan terkutuk menjadi
perkakas yang berhaya, yang bergiat demi penghambaannya kepada para
jenderal yang gila perang dan gembong-gembong kekaisaran industri yang
rakus. Adapun sikap ilmiah dalam nilai etika yaitu:
1. Kejujuran , jujur dalam berpikir dan bertindak,sikap ini adalah benteng
awal pencegahan tindak pidana, misalnya dengan terima kasih pada suara
hati,seseorang dapat memilah informasi maupun peristiwa yang bisa
membawa dirinya terhindar dari tindak pidana.
2. Kehati -hatian , sikap berhati-hati membentuk pola pikir kritis, tidak
mudahpercaya ( diambilbegitu saja ).
3. Kebebasan , kesadaran sebagai mahkluk laki-laki bebasini seseorang
selalumemiliki pilihan.
4. Sosial Tanggung jawab Pembelajaran etika melatih dan mengasah empati
sosial seseorang agar peduli dengan keberadaan oranglain.
5. Saling Hormat ,sikapsalingmenghargai menghindari setiap orang
daritindakan-tindakan tidak/diskriminasi.Sikap ini berlakusecara timbal

6
balik,dengan menghormati orang lain, seseorang diperlakukan secara baik
oleh orang lain.

D. Masalah Etika dengan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi


Tidak dapat dielakkan lagi bahwa ilmu dan teknologi telah banyak
membantu manusia dalam pengertian yang sangat luas, tetapi juga tidak
dapat diabaikan begitu saja adanya dampak negatif. Dalam hal ini manusia
tidak seharusnya menjadi budak teknologi, tetapi ilmu dan teknologi yang
harus berada di tangan manusia atau di bawah kendali manusia. Dengan
demikian iIlmu dan teknologi dapat dikembangkan oleh dan bagi manusia
untuk kepentingan kesejahteraan manusia.
Dalam pandangan AGM Van Nelsen, ilmu dikembangkan pada
mulanya sebagai teori yaitu untuk mendalami pengertian diri manusia dan
alam sekitar, sehingga manusia sampai pada inti dirinya. Pada tahap ini
ilmu manusia lebih bersifat mendeskrispsikan realitas. Ilmu pengetahuan
dimaksudkan agar manusia mampu menjadi manusia yang sungguh-
sungguh menyadari diri dan kedudukannya yang unik dalam kosmos.6
Dalam hal ini problem etis ilmu pengetahuan adalah menyangkut adanya
keteganganketegangan antara realitas yang ada (das sein) dan relitas yang
seharusnya ada (das solen).7
Selanjutnya perkembangan ilmu dan teknologi dalam obyektifitas
dan otonominya tidak mungkin lepas dari pengaruh pola-pola kebudayaan
dan praanggapan di luar kegiatan keilmuan. Dengan demikian tidak
berlebihan jika manusia dituntut harus mampu mengendalikan dan
bertanggungjawab atas ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai
ciptaannya dan itu justru demi keselamatan, kelestarian kehidupannya
sendiri.
Tanggung jawab etis merupakan hal yang menyangkut kegiatan
maupun penggunaan ilmu. Dalam kaitan ini terjadi keharusan untuk
memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan
ekosistem, bertanggung jawab ada kepentingan umum, kepentingan
6
A.G.M. van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, terj. K. Bertens, Jakarta:
Gramedia, 1992, h. 4-5.
7
2Ibid., h. 72.

7
generasi mendatang dan bersifat universal. Karena pada dasarnya ilmu
pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi
manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Dalam realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik
antara etika pragmatik dengan etika pembebasan manusia. Etika pragmatik
berorientasi pada kepentingan-kepentingan elite sebagai wujud kerja sama
antara iptek, uang, kekuasaan dan kekerasan yang cenderung menindas
untuk kepentingannya sendiri yang bersifat materialistik, dengan etika
pembebasan manusia dari penindasan kekuatan elite, etika pembebasan
yang bersifat spiritual dan universal.
Etika pembebasan manusia, yang bersifat spiritual dan universal
itu, bisa muncul dari kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi karena
tidak kerasan dan menolak etika pragmatik yang dirasakan telah menodai
prinsip-prinsip ilmu yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan dan
kemandirian.Ilmuwan ini biasanya bekerjasama dengan para rohaniawan
dan rakyat kecil pada umumnya, menjadi sebuah gerakan perlawanan
terhadap berlangsungnya etika pragmatik yang bertumpu pada kekuasaan
birokrasi politik yang sudah mapan.8
Usaha untuk menghindarkan dampak negative dari perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi ini diperlukan adanya kode etik yang
bersifat universal sehingga kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
dapat diterima oleh semua pihak, tanpa harus mengorbankan pihak-pihak
lain dan tanpa merusak lingkungan, serta tanpa adanya kejahatan
intelektual. Berbagai kajian Islam muncul untuk merumuskan etika
keilmuan,sehingga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi betul-
betul utuh.
E. Pragmatisitas Sains Teknologi
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa
kebenaran dari segala sesuatu berdasarkan kepada manfaat yang
diberikannya.9. Hal ini dinilai dari kebergunaannya bagi tindakan manusia
untuk kehidupannya. Pernyataannya dapat berbentuk ucapan, dalil atau

8
Musa Asy‟arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, LESPI, Yogyakarta, 2002, h. 85.
9
Rahim, F. R., dan Sari, S. Y. (2019). Perkembangan Sejarah Fisika. Purwokerto: CV IRDH. hlm.
451

8
teori. Pragmatisme muncul sebagai tradisi pemikiran yang berasal dari
dunia Barat dan berkembang khususnya di Amerika. Kehadirannya
sebagai suatu pemikiran yang berusaha menjawab persoalan kehidupan
manusia.
Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang menilai kebenaran dari
suatu teori atau kepercayaan berdasarkan tingkat keberhasilan atau
manfaatnya dalam penerapan praktis.[9] Persoalan utama bagi
pragmatisme ialah mengenai daya guna dari pengetahuan, bukan hakikat
dari pengetahuan. Pandangan ini dilandasi oleh pemikiran bahwa
pengetahuan merupakan sarana bagi perbuatan. Pragmatisme
menyelesaikan permasalahan teoretis maupun praktis dalam kehidupan
manusia dengan mengandalkan penggunaan akal budi.10
Pragmatisme memiliki tiga ciri, yaitu:
(1) memusatkan perhatian pada hal-hal dalam jangkauan pengalaman
indera manusia,
(2) apa yang dipandang benar adalah apa yang berguna atau berfungsi,

(3) manusia bertanggung jawab atas nilai-nilai dalam masyarakat.

Pada sisi lain, dengan kesadaran bahwa nasib manusia berada di


tangan sendiri, ini menjadi dasar untuk melakukan “pilihan bebas mandiri”
mengenai corak pendidikan macam apa yang semestinya diberikan kepada
anak. Pada situasi di mana orang tua tidak puas lagi dengan kinerja
pendidikan formal, hal itu akan mudah menumbuhkan berkembangnya
deschooling dalam pendidikan, termasuk berbagai pendidikan alternatif
lainnya.

Seiring berkembangnya ilmu dan teknologi, maka pada tahun ke


18M studi ilmu yang tematik berkembang menjadi studi disiplin ilmu.
Faham pragmatisme berpandangan bahwa suatu ilmu dikatakan ilmu jika
memiliki manfaat dan kegunaan sehingga di Amerika lebih
mengembangkan applied sciences. Sebagai bentuk pengembangan terapan

10
Ibrahim, Duski (2017). Filsafat Ilmu: Dari Penumpang Asing untuk Para Tamu (PDF).
Palembang: NoerFikri. hlm. 292

9
dari pure science sehingga kebenaran pragmatik tersebut bersifat
fungsional.

Kemunculan pragmatis sebagai aliran filsafat dalam kehidupan


kontemporer, khususnya di AmerikaSerikat, telah membawa kemajuan-
kemnjuan yang pesat bagi ilmu pengetahuan maupunteknologi.
Pragmatisme telah berhasil membumikan filsafat dari corak sifat yang
Tender Minded yang cenderung berpikir metafisis, idealis, abstrak,
intelektualis, dan cenderung berpikir hal-hal yang memikirkan atas
kenyataan, materi, dan atas kebutuhan-kebutuhan dunia, bukan nanti di
akhirat.

Dengan demikan, Filsafat pragmatisme mengarahkan aktivitas


manusia untuk sekadar mempercayai (belief) pada hal yang sifatnya
riil,indriawi, dan yang memanfaatnya bisa di nikmatisecara praktis-
pragmatis dalam kehidupan sehari-hari. Pragmatisme telah berhasil
mendorong berpikir yang liberal, bebas dan selalu menyangsikan segala
yang ada. Barangkali dari sikap skeptis tersebut, pragmatisme telah
mampu mendorong dan memberi semangat pada seseorang untuk
berlomba-lomba membuktikan suatu konsep lewat penelitian-penelitian,
pembuktian-pembuktian dan eksperimen-eksperimen sehingga munculllah
temuan-temuan baru dalam ilmu pengetahuan dunia yang mampu
mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan dibadang sosial dan
ekonomi. sesuai dengan coraknya yang sekuler, pragmatisme tidak mudah
percaya pada“kepercayaan yang mapan”. Suatu kepercyaan yang diterima
apabila terbukti kebenarannya lewat pembuktian yang praktis sehingga
pragmatisme tidak mengakui adanya sesuatu yang dan mitos, Dengan
coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatisme merupakan
pendukung terciptanya demokratisasi , kebebasan manusia dan gerakan-
gerakan progresif dalam masyarakat modern.

Corak paling kuat dari pragmatisme adalah kuatnya pemikiran


tentang konsep kegunaan, makna kegunaan ini lebih ditetapkan pada
kegunaan sains, bukan hal-hal yang bersifat metafisik. Maka, dalam
pragmatisme pengetahuan tidak selalu mesti diidentikkan dengan

10
kepercayaan, tapi menjadi hal yang terpisah. Kebenaran yang dianggap
perlu dipercayai bagi para pragmatis selalu menjadi hal yang bersifat
personal dan tidak perlu dikabarkan pada publik, sedangkan hal-hal yang
dianggap perlu diketahui haruslah selalu dikabarkan pada pengamat yang
qualified dan tak berpihak. Sehingga kebenaran dalam pragmatis selalu
bersifat relatif dan kasuistik. Sebuah kebenaran yang dipandang valid dan
berguna, di suatu waktu bisa menjadi hal yang dilupakan.

Proses pendidikan dalam pragmatism bertujuan memberikan


pengalaman empiris kepada anak didik sehingga terbentuk suatu pribadi
yang belajar,berbuat(learning by doing). Proses demikian berlangsung
sepanjang hayat. Hanya saja, nilai-nilai tersebut tidak menjadi ukuran
absolut (baku) sebagaimana kemutlakan nilai kewahyuan (al-Qur‟an dan
al-hadist) melainkan yang brelatif; yaitu nilai baik dan buruk, banar dan
salah,bermanfaat atau tidak bermanfaat menurut pertimbangan kultural
masyarakat. Nilai tersebut tentu saja berubah sesuai dengan tempat, waktu
dan persepsi masyarakat serta pengaruh kemajuan IPTEK.

F. Etika Mengawal Sains-Teknologi


Aspek mendasar yang menjadi tantangan ilmuwan di era sekarang
ini adalah etika. Realitas kehidupan yang sarat anomali dan kontradiksi
dengan etika menjadi tantangan yang tidak mudah untuk ditundukkan.
Pada kondisi semacam ini, seorang ilmuwan sejati harus memiliki
landasan etika yang kuat. Jika tidak maka ia akan kehilangan arah dan titik
pijak dalam menjalankan tugas dan perannya. Seperti telah disebutkan
oleh terdahulu, bahwa dalam tindakan manusia yang dinilai oleh etika atau
moral adalah tindakan yang me-ngandung kesengajaan. Tindakan yang
dilakukan dengan kesengajaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan
dasar-dasar mengapa tindakan tersebut dilakukan. Maka dalam etikai
1miah mengandung unsur tanggungjawab.
Mempraktekkan atau menerapkan ilmu pengetahuan haruslah
dilandasi oleh keinsyafan bahwa sejak semula hal itu tanggungjawab
manusia terhadap masyarakat sehingga bagi ilmuwan ia tidak boleh

11
melalaikan tugas itu. Namun kadang-kadang tidak disadari bahwa praktek
- praktek IPTEK dapat memberikan dampak yang berupa perubahan-
perubahan alam maupun perubahan masyarakat secara tak terduga. Maka
tangungjawab manusia tidak hanya kepada kewajiban untuk memprak-
tekkan saja, akan tetapi harus sampai kepada perubahan-perubahan alam
dan sosial yang mungkin terjadi. Karena itu secara hirarki etikai 1mu
pengetahuan menghendaki tanggungjawab atas tanggungjawab.
Etika menjadi signifikan perannya saat seorang ilmuwan
melakukan interaksi. Salah satu bentuk interaksinya adalah interaksi
dengan kekuasaan. Seorang intelektual tidak boleh mengorbankan ilmunya
untuk kepentingan praktis. Hal ini penting menjadi perhatian karena tidak
jarang atas nama kepentingan diri dan pragmatisme, seorang ilmuwan
mengorbankan nilai kebenaran. Jika ini yang terjadi maka sesungguhnya
kaum intelektual itu telah berkhianat kepada fungsinya yang mendasar.
Ilmuwan yang cerdas dan kritis juga banyak. Tetapi itu saja tidak cukup.
Seorang ilmuwan harus juga memiliki integritas pribadi dan moral
kebangsaan yang tinggi. Moralitas yang ditopang oleh kesadaran yang
penuh atas fungsinya sebagai pengabdi kebenaran, sebagaimana
dinyatakan Julien Benda, akan mempertahankan tegaknya pilar-pilar
kecendekiawanan suatu bangsa. Benda ingin menekankan bahwa
pengabdian ilmuwan adalah pada kebenaran yang didasari oleh cinta
kepada kemanusiaan dan bukan cinta pada kekuasaan.
Selain interaksi dengan kekuasaan, etika juga penting dalam kaitannya
dengan tugas mendasar seorang ilmuwan, yaitu mengembangkan ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh seorang
ilmuwan harus dibungkus dengan bingkai etika moral yang jelas. Hal ini
penting dilakukan agar ilmu pengetahuan yang dikembangkan tidak
semena-mena terhadap kemanusiaan. Ilmu pengetahuan yang tidak
mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan justru merusak terhadap
kehidupan manusia. Produk keilmuwan harus bermanfaat untuk seluruh
umat manusia.11

11
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Ting gi: Pendekatan Integratif-Interkonektif
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 105.

12
Sekarang ini merupakan zaman modern. Secara bahasa, modern
berasal dari bahasa Latin “modo” yang berarti “just now” atau ”yang
kini”. Istilah ini sering dikaitkan dengan keadaan kehidupan
masyarakat Barat yang ditandai dengan berbagai kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Kemajuan Iptek membawa perubahan
yang sangat mendasar pada konsep ruang. Pada masa sebelum ini
konsep ruang dibatasi oleh geografis, batas negara dan budaya. Kini
batas-batas itu sudah tertembus dan akibatnya tidak ada satu peristiwa
yang terisolasi secara geografis.
Dalam kerangka pengembangannya, ilmu pengetahuan harus
memiliki landasan filisifis yang kokoh. Ilmu pengetahuan yang
dipelajari dan dikembangkan akan menjadi acuan dalam pemikiran,
sikap, perilaku dan aplikasi kehidupan masyarakat luas. Pada
perspektif inilah, ilmu pengetahuan yang dikembangkan harus
dipahami dalam kerangka sistem yang utuh. Keutuhan sistem ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek), dengan didukung oleh moralitas
dan perilaku ilmiah, dapat menjamin pemberdayaan Iptek secara
berkeadilan sebagai jalan menuju hidup dan kehidupan yang
berkeseimbangan.12
Kita selayaknya belajar dari peradaban Barat yang kini mengalami
berbagai persoalan karena konstruksi ilmu pengetahuan sekuler yang
dikembangkannya. Ada beberapa implikasi negatif dari model ilmu
pengetahuan semacam itu. Pertama, sains modern yang dikembangkan
oleh Barat melihat alam beserta hukum dan polanya, termasuk
manusia sendiri, hanya secara material dan insidental belaka tanpa
interferensi Allah. Implikasinya, manusia tanpa kendali
memperlakukan alam tanpa mempertimbangkan berbagai aspek
secara komprehensif. Kerusakan lingkungan sekarang ini merupakan
bukti nyata eksploitasi dan keserakahan manusia.
Kedua, secara metodologis, sains modern tidak bisa diterapkan
untuk memahami realitas sosial masyarakat Muslim yang mempunyai

12
Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu
Pengetahuan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 22.

13
pandangan hidup yang berbeda dengan Barat. Sementara keilmuwan
Islam yang memang banyak bersentuhan dengan nilai-nilai teologis
dinilai terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas dan tidak
mempedulikan terhadap pentingnya ilmu-ilmu sosial dan ilmu
kealaman.
Pemikiran tentang pengembangan ilmu pengetahuan harus terus-
menerus disosialisasikan dan dilakukan karena menjadi kebutuhan
mendasar bagi kemajuan Indonesia. Selama ini pengembangan ilmu
pengetahuan sesungguhnya sudah dilakukan, tetapi sifatnya parsial
dan belum menjadi gerakan nasional. Karena itulah, sosialisasi dan
gerakan secara luas penting untuk terus disuarakan.
Selain itu, elitisasi juga menjadi hambatan tersendiri. Hambatan
terjadi karena elitisasi merupakan sesuatu yang kontradiktif dengan
kesejatian ilmu. Bukan penilaian yang berlebihan jika ada yang
menyebut telah terjadi pengkhianatan terhadap kesejatian ilmu saat
praktis pengembangan ilmu pengetahuan disubordinasikan ke dalam
proyek pengembangan teknologi yang serba elitis. Pengkhianatan ini
berimplikasi luas.
Pertama, ilmuwan yang terlibat dalam proses ini akan mengalami
kegagalan. Kegagalannya berkaitan dengan usahanya untuk
memperjuangkan aspirasi publik tentang ilmu pengetahuan dan
memperjuangkan kepentingan dirinya sebagai seorang ilmuwan.
Dalam hal ini, kalangan ilmuwan tertentu yang dianggap tidak
memberikan peran dalam orientasi pengembangan teknologi akan
segera menjadi kelompok yang tersisihkan.
Kedua, terjadi pergeseran sifat ilmu. Dalam keterlibatannya
sebagai penasihat atau pendukung proyek elitis, watak ilmu yang
dikembangkan seorang ilmuwan bergeser sifatnya; dari proporsional
(objective analysis) menjadi intensional (mengabsahkan pilihan-
pilihan elit).
Ketiga, sebagai konsekuensi dari itu semua, mereka pun otomatis
akan gagal menjalankan peran sebagai juru bicara publik untuk

14
melakukan kritik dan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan ilmu
pengetahuan.
ada aspek mendasar yang seyogianya diperhatikan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, yakni karakter. Ilmu
pengetahuan yang dikembangkan di Indonesia tidak bebas nilai.
Pengembangannya harus memperhatikan terhadap landasan

Indonesia. Pemikiran yang melandasinya adalah ilmu pengetahuan


tidak pernah dapat memberikan penyelesaian terakhir dan menentukan
karena tidak ada ilmu yang mendasarkan dirinya sendiri secara
absolut. Konstruksi semacam ini memungkinkan terjadinya
harmonisasi antara rasionalitas dengan kearifan.

15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan membutuhkan usaha dan
strategi yang tepat. Tanpa usaha serius dan sistematis, ilmu pengetahuan

memajukan kehidupan. Pada titik inilah, ilmuwan dituntut


peranannya.Ilmuwan sebagai figur kunci menjadi penentunya. Dalam
menjalankan tugasnya, ilmuwan harus melandaskan diri pada etika. Tanpa
mempertimbangkan aspek etika, seorang ilmuwan bisa terjatuh pada perilaku
tidak terpuji. Ia bisa saja mengorbankan ilmu pengetahuan yang dikuasainya
untuk kepentingan pragmatis. Adanya etika menjadi penanda agar aspek
kemanusiaan menjadi prioritas penting dalam pengembangan ilmu
pengetahuan.Strategi juga menjadi kunci penting dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Tanpa strategi yang tepat ilmu pengetahuan tidak akan mampu
bertransformasi secara praktis dalam konteks kemajuan masyarakat, termasuk
masyarakat Indonesia. Pada titik inilah, ilmuwan harus melakukan berbagai
terobosan agar ilmu pengetahuan bukan hanya milik mereka, tetapi juga milik
masyarakat luas.

16
DAFTAR PUSTAKA
Abdulhak, I. 2008. Filsafat ilmu pendidikan. Bandung:Remaja Rosdakarya.
Endang Komara, 2011 Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Bandung:
Refika Aditama
Zaprulkhan. 2016. Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Fahmi Muqaddas, 2000. “Ilmu, Professionalisme dan Etika Profesi dalam
Pandangan Islam”, dalam ESENSIA Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, Vol. 1,
No. 2, Juli.
Mohammad Adib, 2010. filsafat Ilmu: Ontologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
A.G.M. van Melsen, 1992. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, terj. K.
Bertens, Jakarta: Gramedia.
Musa Asy‟arie, 2002. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta:
Lespi.
Rahim, F. R., dan Sari, S. Y. 2019. Perkembangan Sejarah Fisika. Purwokerto:
CV IRDH.
Ibrahim, Duski .2017. Filsafat Ilmu: Dari Penumpang Asing untuk Para Tamu
(PDF). Palembang: NoerFikri.
M. Amin Abdullah, 2006. Islamic Studies di Perguruan Ting gi: Pendekatan
Integratif-Interkonektif . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suparlan Suhartono, 2008. Filsafat Ilmu Pengetahuan, Persoalan Eksistensi dan
Hakikat Ilmu Pengetahuan . Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

17

Anda mungkin juga menyukai