Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan yang memiliki segala keagungan yang telah
melimpahkan rahmat beserta karunianya. Shalawat berserta salam senantiasa kita hadiahkan
kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW sebagai utusan-Nya yang telah membukakan jalan
menuju dunia yang berpengetahuan. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
kepada Pembina Mata Kuliah Etika Keilmuan Ibu Dr. Murni Sapta Sari, M.Si yang telah
membina mata kuliah ini sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang ditugaskan.
Pada makalah ini penulis menyajikan pembahasan materi mengenai “Konsep Etika,
Konsep Sains, Konsep Etika Keilmuan, dan Peran Etika dalam Sains”.
Tim Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memerlukan banyak perbaikan dan saran
dari pembaca untuk lebih meningkatkan mutu makalah sehingga dapat dijadikan sebagai
referensi dalam pembelajaran mata kuliah terkait.

Malang, November 2022

Tim Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………... 1

Daftar Isi ………………………………………………………………….. 2

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………….... 3


a. Latar Belakang ………………………………………………… 3
b. Rumusan Masalah ……………………………………………... 4
c. Tujuan …………………………………………………………. 4

BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………. 5


a. Konsep Dasar Filsafat Ilmu ………………………………………... 5
b. Prinsip dan Sistematika Filsafat Ilmu ……………………………… 8
a) Prinsip Ontologi …………………………………………….... 8
b) Prinsip Epistemologi …………………………………………. 9
c) Prinsip Aksiologi …………………………………………….. 17

BAB III PENUTUP ………………………………………………………. 30

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 31


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan salah satu ciptaan Tuhan yang diberikan akal untuk berpikir.
Secara harfiah hal inilah yang membuat manusia selalu berpikir, ingin melakukan suatu
kegiatan, dan memiliki rasa keingintahuan terhadap sesuatu (Tafsir, 2010). Manusia
merupakan makhluk pencari kebenaran, dimana manusia tidak akan pernah puas dengan
satu kebenaran, sehingga manusia akan terus menggali dan mencari suatu kebenaran yang
telah didapatkannya. Proses mencari suatu kebenaran ini dikenal dengan filsafat. Menurut
Plato, filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran yang sesungguhnya karena
kebenaran yang mutlak hanya berasal dari Tuhan (Suaedi, 2016).
Pengetahuan atau ilmu merupakan bagian esensial dari eksistensi manusia untuk
aktivitas berpikir. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilmu merupakan pengetahuan
tentang suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut metode tertentu yang
digunakan untuk menjelaskan gejala dibidang pengetahuan. Ilmu pengetahuan atau sains
adalah suatu pengetahuan ilmiah yang memiliki dasar pembenaran yang dapat dibuktikan
dengan metode ilmiah dan teruji dengan cara kerja ilmiah, sistematis, intersubjektif. Ilmu
bersifat universal, communicable, dan progresif (Nasution, 2016).
Perkembangan pengetahuan dan teknologi saat ini tidak melunturkan keinginan
manusia untuk mencari dan mendalami suatu kebenaran. Manusia terus mencari
kebenaran berdasarkan teori yang telah ada untuk membuktikan teori baru. Salah satu
cara yang digunakan dengan melakukan penelitian bersifat ilmiah untuk menemukan
solusi dari permasalahan yang ingin dipecahkan berlandaskan pada ilmu (Suaedi, 2016).
Penelitian secara ilmiah selalu terkait dengan proses membaca dan proses
penemuan karya ilmiah. Proses membaca karya ilmiah terlebih dahulu harus mengenali
objek yang akan dibaca, karena masing-masing karya memiliki pola pikir atau kerangka.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka pembahasan ini difokuskan untuk memahami
filsafat ilmu, prinsip dan sistematis filsafat ilmu. Fokus pada kerangka pikir inilah yang
dikenal dengan filsafat ilmu. Filsafat ilmu merupakan suatu landasan tegaknya ilmu
pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan makalah yang telah kami susun dan sesuai dengan latar belakang di atas,
maka yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsep etika?
2. Bagaimanakah konsep sains?
3. Bagaimanakah konsep etika keilmuan?
4. Bagaimanakah peran etika dalam sains?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah kami susun, maka tujuan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui dan memahami konsep etika.
2. Mengetahui dan memahami konsep sains.
3. Mengetahui dan memahami konsep etika keilmuan.
4. Mengetahui dan menerapkan peran etika dalam sains.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Etika
1. Pengertian Etika
Secara etimologi kata “etika” berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata
yaitu Ethos dan ethikos. Ethos berarti sifat, watak kebiasaan, tempat yang biasa.
Ethikos berarti susila, keadaban, kelakuan dan perbuatan yang baik (Lorens,
2000:217). Etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang
baik, baik pada diri seseorang atau kepada masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini
dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Kebiasaan hidup yang baik
ini lalu dibekukan dalam bentuk kaidah, aturan atau norma yang di sebarluaskan,
dikenal, dipahami, dan diajarkan secara lisan dalam masyarakat. Kaidah, norma atau
aturan ini pada dasarnya, menyangkut baik-buruk perilaku manusia. Atau, etika
dipahami sebagai ajaran yang berisikan perintah dan larangan tentang baik-buruknya
perilaku manusia, yaitu perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus
dihindari (Keraf, 2002:2)
Selain itu juga pengertian etika adalah cabang ilmu filsafat yang membicarakan
nilai dan moral yang menentukan perilaku seseorang/ manusia dalam hidupnya. Etika
merupakan sebuah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang
menentukan dan terwujud dalam sikap serta pola perilaku hidup manusia baik sebagai
pribadi maupun sebagai kelompok. Dari beberapa pengertian diatas dapat di
simpulkan bahwa etika adalah suatu ilmu yang membahas tentang arti baik dan
buruk, benar dan salah kemudian manusia menggunakan akal dan hati nuraninya
untuk mencapai tujuan hidup yang baik dan benar sesuai dengan tujuan yang
dikehendaki.
Etika sering diidentikkan dengan moral (atau moralitas). Namun, meskipun sama-
sama terkait dengan baik-buruk tindakan manusia, etika dan moral memiliki
perbedaan pengertian. Moralitas lebih condong pada pengertian nilai baik dan buruk
dari setiap perbuatan manusia itu sendiri, sedangkan etika berarti ilmu yang
mempelajari tentang baik dan buruk. Jadi bisa dikatakan, etika berfungsi sebagai teori
tentang perbuatan baik dan buruk (Haidar, 2005: 189-190). Menurut KBBI, filsafat
etika yaitu:
a. Ilmu tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk dan tentang
hak dan kewajiban moral.
b. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak.
c. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Jadi, filsafat etika adalah cabang ilmu filsafat yang mempelajari tingkah laku
manusia yang baik dan buruk. Dasar filsafat etika yaitu etika individual sendiri.
Menurut hukum etika, suatu perbuatan itu dinilai dari 3 tingkat, yaitu
(Burhanudin,2000):
a. Tingkat pertama: semasa belum lahir menjadi perbuatan, yakni berupa rencana
dalam hati atau niat.
b. Tingkat kedua: perbuatan nyata atau pekerti.
c. Tingkat ketiga: akibat atau hasil dari perbuatannya itu = baik atau buruk.
Dengan demikian, pandangan baik dan buruk, dan hakikat nilai dalam kehidupan
manusia sangat tergantung pada tiga hal mendasar yaitu:
a. Cara berpikir yang melandasi manusia dalam berprilaku.
b. Cara berbudaya yang menjadi sendi berlakunya norma sosial.
c. Cara merujuk kepada sumber-sumber nilai yang menjadi tujuan pokok dalam
bertindak.
2. Macam-Macam Etika
Dalam menelaah ukuran baik dan buruk suatu tingkah laku yang ada dalam
masyarakat Keraf, 1991:23) menggolongkan etika kedalam dua macam yaitu:
a. Etika Deskriptif
Etika deskriptif merupakan usaha menilai tindakan atau prilaku berdasarkan pada
ketentuan atau norma baik buruk yang tumbuh dalam kehidupan bersama di
dalam masyarakat. Kerangka etika ini pada hakikatnya menempatkan kebiasaan
yang sudah ada di dalam masyarakat sebagai acuan etis. Suatu tindakan seseorang
disebut etis atau tidak. Tergantung pada kesesuaiannya dengan yang dilakukan
kebanyakan orang.
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku
manusia, serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu
yang bernilai. Artinya etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara
apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang
terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa
tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu
masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat
bertindak secara etis. Contohnya: Mengenai masyarakat Jawa yang mengajarkan
tatakrama berhubungan dengan orang yang lebih tua dari pada kita.
b. Etika Normatif
Kelompok ini mendasarkan diri pada sifat hakiki kesusilaan bahwa di dalam
perilaku serta tanggapan- tanggapan kesusilaannya, manusia menjadikan norma-
norma kesusilaan sebagai panutannya. Etika menetapkan bahwa manusia
memakai norma-norma sebagai panutannya, tetapi tidak memberikan tanggapan
mengenai kelayakan ukuran-ukuran kesusilaan. Sah atau tidaknya norma- norma
tetap tidak dipersoalkan yang di perhatikan hanya berlakunya. Etika normatif
tidak dapat sekedar melukiskan susunan-susunan formal kesusilaan. Etika
normatif menunjukkan prilaku manakah yang baik dan prilaku manakah yang
buruk. Yang demikian ini kadangkadang yang disebut ajaran kesusilaan,
sedangkan etika deskriptif disebut juga ilmu kesusilaan. Yang pertama senantiasa
merupakan etika material. Etika normatif memperhatikan kenyataan-kenyataan,
yang tidak dapat di tangkap dan diverifikasi secara empirik. Etika yang berusaha
menelaah dan memberikan penilaian suatu tindakan etis atau tidak, tergantung
dengan kesesuaiannya terhadap norma-norma yang sudah dilakukan dalam suatu
masyarakat. Norma rujukan yang digunakan untuk menilai tindakan wujudnya
bisa berupa tata tertib, dan juga kode etik profesi. Intinya yaitu etika normatif
berorientasi pada idealitas sikap dan pola perilaku yang seharusnya dilakukan
seseorang. Etika normatif memuat norma-norma yang mendasari tingkah laku
manusia sehingga perilakunya tidak keluar dari bingkai norma yang telah ada.
Keberadaan etika normatif diharapkan dapat mendorong manusia bertindak baik
(Muktapa, 2021). Contohnya: Etika yang bersifat individual seperti kejujuran,
disiplin, dan tanggung jawab.
c. Etika Deontologi
Etika Deontologi adalah suatu tindakan dinilai baik buruk berdasarkan apakah
tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Dengan kata lain, suatu tindakan
dianggap baik karena tindakan itu memang baik pada dirinya sendiri, sehingga
merupakan kewajiban yang harus kita lakukan. Sebaliknya suatu tindakan dinilai
buruk secara moral karena tindakan itu memang buruk secara moral sehingga
tidak menjadi kewajiban untuk kita lakukan. Bersikap adil adalah tindakan yang
baik, dan sudah kewajiban kita untuk bertindak demikian. Etika deontologi sama
sekali tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut: baik atau buruk. Akibat
dari suatu tindakan tidak pernah diperhitungkan untuk menentukan kualitas moral
suatu tindakan. Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi,
kemauan baik dan watak yang kuat untuk bertindak sesuai dengan kewajiban.
Etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik.
Jadi, etika Deontologi yaitu tindakan dikatakan baik bukan karena tindakan itu
mendatangkan akibat baik, melainkan berdasarkan tindakan itu baik untuk dirinya
sendiri.
d. Etika Teleologi
Etika Teleologi menilai baik buruk suatu tindakan berdasarkan tujuan atau akibat
dari tindakan tersebut. suatu tindakan dinilai baik kalau bertujuan baik dan
mendatangkan akibat baik. Jadi, terhadap pertanyaan, bagaimana harus bertindak
dalam situasi kongkret tertentu, jawaban teleologi adalah pilihlah tindakan yang
membawa akibat baik. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa etika teleologi
lebih bersifat situasional dan subyektif. Kita bisa bertindak berbeda dalam situasi
yang lain tergantung dari penilaian kita tentang akibat dari tindakan tersebut.
demikian pula, suatu tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan norma dan
nilai moral bisa di benarkan oleh kita teleologi hanya karena tindakan itu
membawa akibat yang baik.
Suatu tindakan dikatakan baik jika tujuannya baik dan membawa akibat
yang baik dan berguna. Dari sudut pandang “apa tujuannya”, etika teleologi
dibedakan menjadi dua, yaitu:
a. Teleologi Hedonisme (hedone = kenikmatan) yaitu tindakan yang bertujuan
untuk mencari kenikmatan dan kesenangan.
b. Teleologi Eudamonisme (eudemonia = kebahagiaan) yaitu tindakan yang
bertujuan mencari kebahagiaan yang hakiki.
e. Etika Keutamaan
Etika keutamaan tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan. Juga, tidak
mendasarkan penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal.
Etika keutamaan lebih mengutamakan pengembangan karakter moral pada diri
setiap orang. Dalam kaitan dengan itu, sebagaimana dikatakan Aristoteles, nilai
moral ditemukan dan muncul dari pengalaman hidup dalam masyarakat, dari
teladan dan contoh hidup yang diperlihatkan oleh tokoh-tokoh besar dalam suatu
masyarakat dalam menghadapi dan menyikapi persoalan-persoalan hidup ini.
Dengan demikian, etika keutamaan sangat menekankan pentingnya sejarah
kehebatan moral para tokoh besar dan dari cerita dongeng ataupun sastra kita
belajar tentang nilai dan keutamaan, serta berusaha menghayati dan
mempraktekkannya seperti tokoh dalam sejarah, dalam cerita, atau dalam
kehidupan masyarakat. Tokoh dengan teladannya menjadi model untuk kita tiru.
Etika keutamaan sangat menghargai kebebasan dan rasionalitas manusia, karena
pesan moral hanya di sampaikan melalui cerita dan teladan hidup para tokoh lalu
membiarkan setiap orang untuk menangkap sendiri pesan moral itu. Juga setiap
orang dibiarkan untuk menggunakan akal budinya untuk menafsirkan pesan moral
itu, artinya, terbuka kemungkinan setiap orang mengambil pesan moral yang khas
bagi dirinya, dan melalui itu kehidupan moral menjadi sangat kaya oleh berbagai
penafsiran.
B. Konsep Sains
Kata sains berasal dari bahasa latin ” scientia ” yang berarti pengetahuan.memandang dan
mengamati keberadaan (eksistensi) alam ini sebagai suatu objek. Berdasarkan Webster New
Collegiate Dictionary definisi dari sains adalah pengetahuan yang diperoleh melalui
pembelajaran dan pembuktian atau pengetahuan yang melingkupi suatu kebenaran umum dari
hukum – hukum alam yang terjadi misalnya didapatkan dan dibuktikan melalui metode ilmiah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sains berarti(1) ilmu teratur (sistematis) yang dapat diuji
kebenarannya; (2) ilmu yang berdasarkan kebenaran atau kenyataan semata (fisika, kimia dan
biologi).

Sains pada prinsipnya merupakan suatu usaha untuk mengorganisasikan dan


mensistematisasikan common sense, suatu pengetahuan yang berasal dari pengalaman dan
pengamatan dalam kehidupan sehari-hari dan dilanjutkan dengan suatu pemikiran secara cermat
dan teliti dengan menggunakan berbagai metode yang biasa dilakukan dalam penelitian ilmiah
(observasi, eksperimen, survey, studi kasus dan lain-lain. Istilah common sense sering
dianalogikan dengan good sense, karena seseorang dapat menerima dengan baik. Jadi, kaitannya
dengan sains, sains beranjak dari common sense, dari peristiwa sehari-hari yang dialami manusia
namun terus dilanjutkan dengan suatu pemikiran yang logis dan teruji. Sains merupakan suatu
metode berpikir secara objektif. Tujuannya menggambarkan dan memberi makana pada dunia
yang faktual.

Sains adalah gambaran yang lengkap dan konsisten tentang berbagai fakta pengalaman dalam
suatu hubungan yang mungkin paling sederhana (simple possible terms). Sains dalam hal ini
merujuk kepada sebuah sistem untuk mendapatkan pengetahuan yang dengan menggunakan
pengamatan dan eksperimen untuk menggambarkan dan menjelaskan fenomena – fenomena
yang terjadi di alam. Bahasa yang lebih sederhana, sains adalah cara ilmu pengetahuan yang
didapatkan dengan menggunakan metode tertentu.Sains dengan definisi diatas seringkali disebut
dengan sains murni, untuk membedakannya dengan sains terapan, yang merupakan aplikasi sains
yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan manusia. ilmu sains biasanya diklasifikasikan

menjadi dua yaitu : Natural sains atau Ilmu pengetahuan Alam Sosial sains atau ilmu
pengetahuan sosial.

Contoh dari begitu banyak pembagian bidang – bidang sains, khususnya natural sains atau
IPA yaitu : BIOLOGI (Biology) : Anatomi,biofisika,genetika, Ekologi, Fisiologi, taksonomi,
virulogi, zoologi, dan lain-lain. KIMIA (Chemistry) : Kimia Analitik, Elektrokimia, Kimia
organik, kimia anorganik, ilmu material, kimia polimer, thermokimia, Fisika (Physics) :
Astronomi, fisika nuklir, kinetika, dinamika, fisika material, optik, mekanika quantum,
thermodinamika Ilmu Bumi (Earth Science) : Ilmu lingkungan, geodesi, geologi, hydrologi,
meteorologi, paleontologi, oceanografi.

Sejarah membuktikan bahwa dengan metode sains telah membawa manusia pada kemajuan
dalam pengetahuan. Randall dan Buchker mengemukakan beberapa ciri umum sains: Hasil sains
bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama,artinya hasil sains yang lalu dapat digunakan
untuk penyelidikan hal yang baru, dan tidak memonopoli. Setiap orang dapat memanfaatkan
hasil penemuan orang lain. Hasil sains kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan
karena yang menyeidikinya adalah manusia. Sains bersifat objektif ,artinya prosedur kerja atau
cara penggunaan metode sains tidak tergantung kepada siapa yang menggunakan, tidak
tekrgantung pada pemahaman secara pribadi. Ralph Ross dan Ernest Van den Haag
mengemukakan ciri-ciri sains, yaitu: 1) bersifat rasional (hasil dari proses berpikir dengan
menggunakan rasio atau akal), 2) bersifat empiris (pengalaman oleh panca indra), 3) bersifat
umum (hasil sains bisa digunakan oleh semua orang tanpa terkecuali), 4) bersifat akumulatif
(hasil sains dapat dipergunakan untuk dijadikan objek penelitian berikutnya).

Konsepsi siswa tentang sains sangat dipengaruhi oleh pandangan guru tentang sains. Secara
sederhana sains dapat berarti sebagai tubuh pengetahuan (body of knowledge) yang muncul dari
pengelompokkan secara sistematis dari berbagai penemuan ilmiah sejak zaman dahulu, atau
biasa disebut sains sebagai produk. Produk yang dimaksud adalah fakta-fakta, prinsip-prinsip,
model-model, hukum-hukum alam, dan berbagai teori yang membentuk semesta pengetahuan
ilmiah.Sains juga bisa berarti suatu metode khusus untuk memecahkan masalah, atau biasa
disebut sains sebagai proses. Sains sebagai proses ini sudah terbukti ampuh memecahkan
masalah ilmiah yang juga membuat sains terus berkembang dan merevisi berbagai pengetahuan
yang sudah ada.

Selain itu sains juga bisa berarti suatu penemuan baru atau hal baru yang dapat digunakan
setelah kita menyelesaikan permasalahan teknisnya, yang biasa disebut sebagai teknologi.
Teknologi merupakan suatu sifat nyata dari aplikasi sains, suatu konsekuensi logis dari sains
yang mempunyai kekuatan untuk melakukan sesuatu. Sehingga biasanya salah satu definisi
popular tentang sains termasuk juga teknologi di dalamnya.
Sejarah perkembangan sains menunjukkan bahwa sains berasal dari penggabungan dua
tradisi tua, yaitu tradisi pemikiran filsafat yang dimulai oleh bangsa Yunani kuno serta tradisi
keahlian atau keterampilan tangan yang berkembang di awal peradaban manusia yang telah ada
jauh sebelum tradisi pertama lahir. Filsafat memberikan sumbangan berbagai konsep dan ide
terhadap sains sedangkan keahlian tangan memberinya berbagai alat untuk pengamatan alam.
Sains modern bisa lahir dari perumusan metode ilmiah yang disumbangkan Rene Descartes yang
menyodorkan logika rasional dan deduksi serta oleh Francis Bacon yang menekankan
pentingnya eksperimen dan observasi.

Sumbangan konsep dan ide dalam sains terbukti telah banyak mengubah pandangan manusia
terhadap alam sekitarnya. Contoh yang paling terkenal adalah teori relativitas dari Albert
Einstein. Teori relativitas umum ini misalnya telah mengubah pandangan orang secara drastis
akan sifat kepastian waktu serta sifat massa yang dianggap tetap. Disamping kekuatan konsep
dan ide, melalui keampuhan alat dan telitinya pengamatan, kegiatan sains juga terbukti menjadi
pemicu berbagai revolusi ilmiah. Pengamatan bintang-bintang oleh Edwin Hubble melalui
teleskop di Gunung Wilson pada tahun 1920-an misalnya, membawa beberapa implikasi seperti
adanya galaksi lain selain Bimasakti dan adanya penciptaan alam semesta secara ilmiah dengan
makin populernya teori ledakan besar (Big Bang).

Teori-teori dalam sains terus berkembang dengan pesatnya. Suatu teori adalah suatu
konstruksi yang biasanya dibuat secara logis dan matematis yang bertujuan untuk menjelaskan
fakta ilmiah tentang alam sebagaimana adanya. Suatu teori yang baik harus mempunyai syarat
lain selain dapat menjelaskan, yaitu dapat memberikan adanya prediksi; contohnya dengan
pertanyaan: Bila saya melakukan hal ini apa yang terjadi? sebagai contoh, teori kuno yang
menyatakan alam ini terdiri dari empat unsur yaitu tanah, udara, api dan air memenuhi syarat
dapat menjelaskan komposisi alam, namun gagal bila mencoba memperkirakan dari mana semua
unsur itu berasal dan bagaimana interaksinya dalam mahluk hidup.

Namun terkadang teori juga tidak bisa berbuat banyak karena konsekuensinya terlalu rumit
bahkan untuk sekedar diramalkan. Untuk mengatasi hal ini para ilmuwan mengembangkan apa
yang disebut dengan model. Model merupakan penyederhanaan dari suatu teori yang
menjelaskan alam semesta misalnya secara lebih mudah akan satu aspek tertentu, namun
menghilangkan aspek lainnya. Perkembangan teori atom memberikan kita contoh nyata tentang
tentatifnya suatu teori dalam ilmu pengetahuan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini disebabkan
karena teori-teori atau hukum-hukum alam dalam sains adalah suatu generalisasi atau
ekstrapolasi dari pengamatan, dan bukan pengamatan itu sendiri. Sedangkan pengamatan itu
sendiri selalu tidak akurat atau tidak menjelaskan semua aspek yang seharusnya diamati. Apa
yang dijelaskan dengan model atom Thomson contohnya, hanya berdasar pengamatan dari
percobaan sinar katoda saja; model ini direvisi oleh Rutherford setelah dia membuktikan
keberadaan inti. Sehingga unsur ketidakpastian dan kerelatifan menjadi hal yang penting dalam
ilmu pengetahuan modern yang membuatnya terus berkembang.

Kelebihan sains yaitu: Sains telah memberikan banyak sumbangannya bagi umat manusia,
misalnya dalam perkembangan sains dan teknologi kedokteran, sains dan teknologi komunikasi
dan informasi.dan Dengan sains dan teknologi memungkinkan manusia dapat bergerak atau
bertindak dengan cermat dan tepat, efektif dan efisien karena sains dan teknologi merupakan
hasil kerja pengalaman, observasi, eksperimen dan verifikasi. Sedangkan kelemahan sains
bersifat objektif, menyampingkan penilaian yang bersifat subjektif. Sains menyampingkan tujuan
hidup, sehingga dengan demikian sains dan teknologi tidak bisa dijadikan pembimbing bagi
manusia dalam menjalani hidup ini. Sains membutuhkan pendamping dalam operasinya.
Menurut Albert Einstein, "Sains tanpa agama lumpuh, dan agama tanpa sains adalah buta
(Science without religion is lame, religion without sains is blind)".

Pada zaman ini, di barat filsafat khususnya metafisika dianggap bukanlah sebagai sains.
Sebagaimana yang dikatakan August Comte, bahwa filsafat dalam bentuk metafisika adalah fase
kedua dalam perkembangan manusia, setelah agama yang disebut sebagai fase
pertamanya.Adapun yang disebut dengan fase ketiga atau fase yang paling modern dalam
perkembangan manusia adalah sains yang bersifat positivistik ( yang dapat dilihat oleh indra
lahir manusia ). Dan karena sains merupakan perkembangan terakhir fase ketiga maka manusia
modern harus meninggalkan fase-fase sebelumnya yang dianggap sudah kuno seperti fase
agama, teologis dan metafisika filosofis jika ingin tetap bisa dikatakan sebagai manusia modern.

Berbeda dengan apa yang terjadi dibarat, dalam tradisi ilmiah Islam filsafat tetap
dipertahankan hingga kini dalam posisi ilmiahnya yang tinggi sebagai sumber atau basis bagi
ilmu-ilmu umum yang biasa kita sebut sebagai sains, yakni cabang-cabang ilmu yang berkaitan
dengan dunia empiris, dunia fisik.Dalam tradisi Islam, Filsafat adalah induk dari semua ilmu
yang menelaah ilmu rasional (aqliyyah) seperti metafisika, fisika dan matematika. Adapun sains
dalam tradisi ilmiah Islam adalah termasuk kedalam kelompok ilmu rasional dibawah ilmu-ilmu
fisik, sehingga mau tidak mau sains harus tetap menginduk kepada filsafat, khususnya kepada
metafisika filsafat. Alih-alih sains dikatakan terlepas dari filsafat sebagaimana yang disinyalir
oleh August Comte, filsafat justru dipandang sebagai induk dari sains. Selain sebagai basis
metafisik ilmu (sains), filsafat juga bisa dijadikan sebagai basis moral bagi ilmu dengan alasan
bahwa tujuan menuntut ilmu dari sudut aksiologis adalah untuk memperoleh kebahagiaan bagi
siapa saja yang menuntutnya.Filsafat, khususnya Metafisika adalah ilmu yang mempelajari sebab
pertama atau Tuhan, yang menempati derajat tertinggi dari objek ilmu. Oleh karena itu sudah
semestinyalah jika metafisika dijadikan basis etis peneletian ilmiah karena ilmu ini akan
memberikan kebahagiaan kepada siapa saja yang mengkajinya.

1. Perbedaan filsafat dan sains

Sains atau science dalam bahasa inggris, berasal dari bahasa latin scientia yang berarti
“mengetahui” merujuk ke metodologi sistematik yang bertujuan menggali informasi akurat
mengenai fakta dan berusaha memodelkannya. Dari model tersebut manusia berusaha
memprediksi apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Tentu saja prediksi yang dibuat
harus dapat diandalkan, kuantitatif, dan konkrit.

Perbedaan yang paling mendasar antara filsafat dan sains adalah cara mengambil kesimpulan.
Filsafat berusaha mencari kebenaran atas suatu hipotesa hanya dengan kekuatan berfikir. Sains
bertumpu pada data-data yang telah diambil dan diverifikasi. Oleh karena itu keluaran yang
dihasilkan juga berbeda tipe. Teori-teori keluaran filsafat bersifat Kualitatif dan Subjektif.
Sedangkan sains menghasilkan output yang Kuantitatif dan Objektif.

Terdapat perbedaan yang hakiki antara filsafat dan sains, diantaranya:

a. Sains bersifat analisis dan hanya menggarap salah satu pengetahuan sebagai objek
formalnya. Filsafat bersifat synopsis, artinya melihat segala sesuatu dengan menekankan
secara keseluruhan, karena keseluruhan mempunyai sifat tersendiri yang tidak ada pada
bagian-bagiannya.
b. Sains bersifat deskriptif tentang objeknya agar dapat menentukan fakta-fakta, netral
dalam arti tidak memihak pada etik tertentu.Filsafat tidak hanya menggambarkan sesuatu
melainkan membantu manusia untuk mengambil putusan-putusan tentang tujuan, nilai-
nilai dan tentang apa-apa yang harus diperbuat manusia. Filsafat tidak netral karena,
faktor subjektif memegang peranan yang penting dalam filsafat.
c. Sains mengawali kerjanya dengan bertolak dan suatu asumsi yang tidak perlu diuji, sudah
diakui dan diyakini kebenarannya. Filsafat bisa merenungkan kembali asumsi-asumsi
yang telah ada untuk diuji ulang kebenarannya. Jadi, filsafat dapat meragukan setiap
asumsi yang ada, dimana oleh sains telah diakui kebenarannya.
d. Sains menggunakan eksperimentasi terkontrol sebagai metode yang khas. Verfikasi
terhadap teori dilakukan dengan cara menguji dalam praktek berdasarkan metode sains
yang empiris.Selain menggunakan teori, filsafat dapat juga menggunakan hasil sains,
dilakukan dengan menggunakan akal pikiran yang didasarkan pada pengalaman insani.

Jadi, sains berhubungan dan mempersoalkan fakta-fakta yang faktual, diperoleh dengan
menggunakan eksperimen, observasi dan verifikasi, hanya berhubungan dengan sebagian aspek
kehidupan di dunia ini. Sedangkan filsafat mencoba menghubungkan dengan keseluruhan
pengalaman, untuk memperoleh suatu pandangan yang lebih komprehensif dan bermakna
tentang sesuatu.

Secara umum manusia berpikir induktif, yaitu dari hal khusus ke umum, dan relatif membuat
asumsi-asumsi yang mendukung hipotesanya. Data bersifat kebalikannya, yaitu membatasi ruang
cakupan teori dan mengerucutkan hipotesa sehingga menjadi teorema yang khusus. Karenanya
filsafat juga menghasilkan teori-teori yang Umum dan Eksperimental, sedangkan keluaran sains
bersifat Spesial dan Empiris.

Walaupun berbeda, filsafat dan sains tetap memiliki sifat-sifat ilmu yaitu temporal,
sistematis, rasional, kritis, dan logis. Temporal artinya bersifat sementara, teori apapun di dunia
ini jika ada teori pengganti yang lebih baik atau lebih global akan ditinggalkan. Sistematis,
rasional, kritis, dan logis adalah cara manusia berpikir. Keempat sifat itu adalah setting default
otak manusia. Bila satu saja ditinggalkan, teori yang dihasilkan tidak akan bertahan.

Bagaimanapun juga ada beberapa hal yang tidak bisa dicover metode sains secara indah.
Disinilah metode filsafat berperan. Ilmu sosial dan psikologi contohnya. Data yang diambil
seringkali terlalu acak untuk dapat dianalisis dengan metode ilmiah. Maka dari itu intuisi dan
pemikiran manusia yang notabene merupakan metode filsafat banyak berperan disana.
2. Titik Temu Filsafat dan Sains
a. Banyak ahli filsafat yang termasyhur yang telah memberikan sumbangannya terhadap
perkembangan sains modern, seperti Leibnitz yang menemukan kalkulus diferensial, Ibnu
Kholdun yang telah memberikan sumbangannya terhadap perkembangan ilmu kedokteran
dan Auguste Comte yang disebut Bapak Sosiologi yang mempelopori perkembangan
ilmu sejarah dan sosiologi.
b. Filsafat dan sains keduanya menggunakan metode berpikir reflektif dalam menghadapi
fakta dunia.
c. Filsafat dan sains keduanya menunjukan sikap kritis dan terbuka dan memberikan
perhatian yang tidak berat sebelah terhadap kebenaran.
d. Filsafat dan sains keduanya tertarik terhadap pengetahuan yang terorganisir dan tersusun
secara sistematis.
e. Sains membantu filsafat dalam mengembangkan sejumlah bahan deskriptif dan faktual
serta esensial bagi pemikiran filsafat.
f. Sains mengoreksi filsafat dengan menghilangkan sejumlah ide-ide yang bertentangan
dengan pengetahuan ilmiah.
g. Filsafat merangkum pengetahuan yang terpotong, yang menjadikan beraneka macam
sains yang berbada serta menyusun bahan tersebut ke dalam suatu pandangan tentang
hidup dan dunia yang lebih menyeluruh dan terpadu.

C. Konsep Etika Keilmuan


Etika mempunyai sifat yang sangat mendasar, yaitu sifat kritis. Etika
mempersonalkan norma-norma yang dianggap berlaku, menyelidiki dasar norma itu,
mempersoalkan hak dari setiap lembaga seperti orang tua, negara, dan agama untuk
memberi perintah atau larangan yang harus ditaati. Hak dan wewenang untuk menuntut
ketaatan dari lembaga tersebut dan perlu dibuktikan. Dengan demikian, etika menuntut
orang bersikap rasional terhadap semua norma. Sehingga etika akhirnya membantu
manusia menjadi lebih otonom. Dengan demikian, etika dibutuhkan sebagai pengantar
pemikiran yang keritis, yang dapat membedakan antara yang sah dan yang tidak sah,
membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar. Dengan demikian, etika memberi
kemungkinan kepada kita untuk mengambil sikap sendiri serata ikut menentukan arah
perkembangan masyarakat. Menurut Bakhtiar, Amsal (2005) tanggung jawab keilmuan
menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu
pengetahuan dan teknologi harus memerhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga
ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum dan generasi mendatang. Pada
hakikatnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan
memperkokoh ekosistem manusia bukan menghancurkan ekosistem tersebut.
Istilah moral berasal dari bahasan latin mos (jamaknya mores), yang berarti adap
atau cara hidup. Etika dan moral sama maknanya, tetapi dalam pemakaiannya sehari-hari
ada sedikit perbedaan. Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dimulai, sedangkan
etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. Dalam akhlak terdapat beberapa
nilai luhur yang bersifat universal, yaitu kejujuran, kebaikan, kebenaran, rasa malu,
kesucian diri, kasih sayang, hemat, dan sederhana.
Menyelesaikan krisis moral yang diakibatkan oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi di atas, diperlukan seorang ilmuan yang baik sehingga segala tindakan yang
dilakukan akan selalu dipikirkan baik buruknya menurut etika moral. Seorang ilmuan
harus memiliki sikap ilmiah untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ada banyak
pendapat ahli yang mengungkapkan masalah ini, tetapi sedikitnya ada beberapa sikap
yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan, antara lain:
1. Seorang ilmuan harus bersikap selektif terhadap segala informasi dan realita yang
dihadapinya;
2. Seorang imuwan sangat menghargai terhadap segala pendapat yang dikemukakan
oleh orang lain, oleh para ilmuwan lainnya, memiliki keyakinan yang kuat terhadap
kenyataan maupun terhadap alat indera serta budi, adanya sikap yang positif terhadap
setiap pendapat atau teori terdahulu telah memberikan inspirasi bagi terlaksananya
penelitian dan pengamatan lebih lanjut;
3. Selain adanya sikap positif, seorang ilmuwan juga memiliki rasa tidak puas terhadap
penelitian yang telah dilakukan sehingga dia terdorong untuk terus melakukan riset
atau penelitian;
4. Seorang ilmuwan harus memiliki akhlak atau sikap etis yang selalu berkehendak
untuk mengembangkan ilmu untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk
pembangunan bangsa dan negara. Akhlak dan sikap etis dalam mengembangkan ilmu
untuk memiliki sopan santun ilmiah yaitu dengan berhati-hati dalam mengeluarkan
pendapat, dan kalau ternyata dia salah maka harus segera menyadari dan
mengklarifikasi kesalahan tersebut. Akhlak dan etis ini bias juga meliputi tanggung
jawab ilmuwan seperti objektif, sikap skeptif, kesabaran intelektual, kesederhanaan,
tidak ada rasa pamrih, dan bersikap selektif.
Betapa pentingnya bagi seorang ilmuwan suatu kepekaan besar terhadap
konsekuensikonsekuensi etis ilmunya. Sebab dialah orang yang dapat mengikuti dari
dekat perkembangan-perkembangan yang konkret. Tanggung jawab moral seorang
ilmuwan tidak dapat terlepas dari integritas ilmuwan tersebut, agar menjadi ilmuwan
yang sejati. Ciri seorang ilmuwan sejati yaitu integritas ilmuwan tersebut, agar menjadi
ilmuwan yang sejati. Ciri seorang ilmuwan sejati yaitu integritas yang tinggi dan rasa
keterlibatan dan tanggung jawab yang menyeluruh terhadap pekerjaan yang digelutinya.
Hendaknya ciri-ciri ini dan ciri-ciri lain seperti keuletan, kejujuran, dan kerendahan hati
menghadapi hasil-hasil ilmuwan yang lainnya hendaknya dipertahankn dan dibina.
Manusia dalam perkembangannya juga memiliki tujuan untuk mewujudkan
kehidupan yang lebih baik. Selama manusia berusaha meningkatkan kehidupannya, baik
untuk meningkatkan pengetahuannya, meningkatkan kualitas kepribadiannya, serta
keterampilan atau kemampuannya secara sadar atau tidak sadar selama itu juga
pendidikan dalam hidup manusia terus berjalan (Munib, A., 2015). Dalam rangka
meningkatkan kualitas hidup maka manusia akan terus berburu pengalaman baru, oleh
karena itulah pendidikan merupakan proses yang berlangsung sepanjang hayat. Dengan
kata lain pendidikan memiliki makna lebih luas jika dibandingan dengan sekolah,
mengingat prosesnya berlangsung sejak manusia tersebut dilahirkan hingga manusia
tersebut meninggal dunia. Tuntutan kebutuhan yang beraneka ragam membuat manusia
harus semakin mengembangkan pengetahuannya agar mampu mengatasi segala
permasalahan hidup dengan tidak melanggar norma-norma etis yang berlaku. Etika
keilmuan menjadi dasar bagi manusia agar dapat menangkal dampak buruk akibat tidak
terpenuhinya kebutuhan. Manusia modern dengan segala kompelksitasnya juga
memerulak perkembangan keilmuan sehingga dapat mendorong produktivitas manusia
sebagai makhluk individu dan sosial.
D. Peran Etika dalam Sains
BAB III
KESIMPULAN

1. Konsep etika yaitu suatu ilmu yang membahas tentang arti baik dan buruk, benar dan
salah kemudian manusia menggunakan akal dan hati nuraninya untuk mencapai tujuan
hidup yang baik dan benar sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Etika terdiri dari 3
macam yaitu etika deskriptif yaitu etika mengenai fakta secara apa adanya, yakni
mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan
realitas yang membudaya. Etika normatif memuat norma-norma yang mendasari tingkah
laku manusia sehingga perilakunya tidak keluar dari bingkai norma yang telah ada. Etika
Deontologi adalah suatu tindakan dinilai baik buruk berdasarkan apakah tindakan itu
sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika keutamaan sangat menekankan pentingnya
sejarah kehebatan moral para tokoh besar dan dari cerita dongeng ataupun sastra kita
belajar tentang nilai dan keutamaan, serta berusaha menghayati dan mempraktekkannya
seperti tokoh dalam sejarah, dalam cerita, atau dalam kehidupan masyarakat.
2. Konsep-konsep keilmuan yang dikembangkan manusia dipertanyakan kepentingan
praktisnya. Pengembangan ilmu yang tidak disertai moral akan menghancurkan
kehidupan umat manusia. Terdapat dua kelompok sikap mengenai hubungan antara ilmu
dengan moral. Pertama, kelompok yang masih tetap menghendaki agar ilmu bebas nilai
dengan istilah netral terhadap nilai. Mereka hanya berurusan dengan penemuan ilmuwan
saja, sedangkan penggunaannya terserah pada yang akan menggunakannya., apakah
untuk tujuan yang baik atau tujuan yang buruk. Sebaliknya yang kedua, kelompok yang
melihat pengalaman penggunaan ilmu yang merusak kehidupan umat manusia, maka
aplikasi dari ilmu harus memperhatikan asas moral. Tanggung jawab moral menyangkut
pemikiran bahwa ilmuwan tidak lepas dari tanggung jawab aplikasi ilmu yang
dikembangkan. Di mana ilmu harus diaplikasikan untuk hal-hal yang benar, bukan untuk
merusak umat manusia.
3.

DAFTAR RUJUKAN

Bachtiar, Amsal. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Burhanuddin, S. (2000). Etika Individual. Jakarta: Asdi Mahasatya.


Haidar, B. (2005). Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan.
Keraf, A. S. (1991). Etika Bisnis Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur. Yogyakarta:
Kasnisius.
Keraf, A. S. (2002). Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Lorens, B. (2000). Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia pustaka.
Muktapa, M. I. (2021). Implikasi Filsafat Ilmu dan Etika Keilmuan dalam Pengembangan Ilmu
Pengetahuan Modern. Jurnal BELAINDIKA (Pembelajaran Dan Inovasi Pendidikan), 3(2),
20–29. https://doi.org/10.52005/belaindika.v3i2.73
Munib, A. (2015). Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: Pusat Pengembangan MKU/MKDK-
LP3 Universitas Negeri Semarang .

Gleick (1993). Genius, Richard Feynman and Modern Physics. New York :  Knopf Doubleday
Publishing Group
Irawan. (2008). Pengantar Singkat Ilmu Filsafat. Bandung: Intelekia Pratama.
Prasetya. (2000). Filsafat Pendidikan. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Sadullah, Uyoh. (2007). Pengantar filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Anda mungkin juga menyukai