Disusun Oleh :
Kelompok 1
Wassalamualaikum Wr. Wb
Pekanbaru, 03 Desember 2021
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
K. Bartens, Etika (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), h. 15
2
en.wikipedia.org/wiki/philosophy
2
Sifat dasar etika adalah sifat kritis, karenanya etika bertugas3:
1. Untuk mempersoalkan norma yang dianggap berlaku. Di selidikinya
apakah dasar suatu norma itu dan apakah dasar itu membenarkan ketaatan
yang dituntut oleh norma itu terhadap norma yang dapat berlaku.
2. Etika mengajukan pertanyaan tentang legitimasinya, artinya norma
yang tidak dapat mempertahankan diri dari pertanyaan kritis dengan
sendirinya akan kehilangan haknya.
3. Etika mempersoalkan pula hak setiap lembaga seperti orang tua,
sekolah, negara, dan agama untuk memberikan perintah atau larangan
yang harus ditaati.
4. Etika memberikan bekal kepada manusia untuk mengambil sikap
yang rasional terhadap semua norma.
5. Etika menjadi alat pemikiran yang rasional dan bertanggung jawab
bagi setiap ahli dan bagi siapa saja yang tidak mau diombang-ambingkan
oleh norma-norma yang ada.
Etika sering disebut filsafat moral. Etika merupakan cabang filsafat yang
berbicara mengenai tindakan manusia dalam kaitannya dengan tujuan utama
hidupnya. Etika membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah laku dan
tindakan manusia serta sekaligus menyoroti kewajiban-kewajiban manusia. Etika
mempersoalkan bagaimana manusia seharusnya berbuat atau bertindak.
Tindakan manusia ditentukan oleh macam-macam norma. Etika menolong
manusia untuk mengambil sikap terhadap semua norma dari luar dan dari dalam,
supaya manusia mencapai kesadaran moral yang otonom.
Etika menyelidiki dasar semua norma moral. Dalam etika biasanya
dibedakan antara “etika deskriptif” dan “etika normatif”. Etika deskriptif
memberikan gambaran dari gejala kesadaran moral, dari norma dan konsep etis.
Etika normatif tidak berbicara lagi tentang gejala, melainkan tentang apa yang
sebenarnya harus merupakan tindakan manusia. dalam etika normatif, norma
dinilai dan setiap manusia ditentukan.4
3
Darji Darmodiharjo & Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 263
4
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, Edisi Pertama (Jakarta: Prenadamedia Group,
2009), h. 174-175
3
2.2 Etika Komunikasi
Dalam berbagai kesempatan, komunikasi diperlihatkan sebagai ilmu yang
berhubungan dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang lain. Ini
menandakan bahwa komunikasi menyentuh berbagai macam bidang kehidupan
manusia. komunikasi juga menyentuh aspek ilmu dalam bidang komunikasi. Apa
yang terjadi apabila nilai, gagasan, dan ide komunikasi justru tidak
dikomunikasikan.
Etika komunikasi mencoba untuk mengolaborasi standar etis yang
digunakan oleh komunikator dan komunikan. Setidaknya ada 7 perspektif etika
komunikasi5 yang bisa dilihat dalam perspektif yang bersangkutan, yaitu:
1. Perspektif politik. Dalam perspektif ini, etika untuk mengembangkan
kebiasaan ilmiah dalam praktek berkomunikasi, menumbuhkan bersikap adil
dengan memilih atas dasar kebebasan, pengutamaan motivasi, dan
menanamkan penghargaan atas perbedaan.
2. Perspektif sifat manusia. Sifat manusia yang paling mendasar adalah
kemampuan berpikir dan kemampuan menggunakan simbol. Ini berarti bahwa
tindakan manusia yang benar-benar manusiawi adalah berasal dari nasionalitas
yang sadar akan apa yang dilakukan dan dengan bebas untuk memilih
melakukannya.
3. Perspektif biologis. Komunikasi adalah proses transaksi dialogal dua arah.
Sikap dialogal adalah sikap setiap partisipan komunikasi yang ditandai oleh
kualitas keutamaan, seperti keterbukaan, kejujuran, kerukunan, intensitas, dan
lain-lainnya.
4. Perspektif situasional. Faktor situasional adalah relevansi bagi setiap
penilaian moral. Ini berarti bahwa etika memperhatikan peran dan fungsi
komunikator, standar khalayak, derajat kesadaran, tingkat urgensi pelaksanaan
komunikator, tujuan dan nilai khalayak, standar khalayak untuk komunikasi
etis.
5. Perspektif religious. Kitab suci atau habit religious dapat dipakai sebagai
standar mengevaluasi etika komunikasi. Pendekatan Al Kitabiyah dalam agama
membantu manusia untuk menemukan pedoman yang kurang lebih pasti dalam
setiap tindakan manusia.
6. Perspektif Utilitarian. Standar utilitarian untuk mengevaluasi cara dan tujuan
komunikasi dapat dilihat dari adanya kegunaan, kesenangan, dan kegembiraan.
7. Perspektif legal. Perilaku komunikasi yang legal, sangat disesuaikan dengan
peraturan yang berlaku dan dianggap sebagai perilaku yang etis.
Dalam proses komunikasi terdapat dua sisi yang tidak pernah terlepaskan,
yakni kebebasan dan tanggung jawab. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara
kedua sisi tersebut maka proses komunikasi pun tidak akan berjalan sesuai dengan
harapan dan aturan yang seharusnya. Oleh sebab itu perlu adanya suatu kontrol
yang mampu menjadi barometer sekaligus sebagai penyeimbang kedua sisi
tersebut. Maka dalam hal ini diperlukan adanya etika dalam berkomunikasi.
Ketika kebebasan dan tanggung jawab menjadi suatu hal yang prinsipil,
maka etika dalam berkomunikasi pun menjadi suatu kepentingan yang sifatnya
5
Ibid, h. 185-186
4
mendesak untuk diterapkan. Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari hal
terebut, yaitu:6
1. Media memiliki kekuasaan penuh dalam mempengaruhi dan
memberikan efek yang dahsyat terhadap publik. Media mampu
membentuk sebuah opini dan perbincangan publik, bahkan media
mampu merubah paradigma dan pola pikir publik. Padahal, apa yang
disampaikan media belum tentu berisikan suatu fakta pasti, sebab media
sangat mungkin dan mudah memanipulasi suatu berita yang
disampaikannya. Oleh sebab itu diperlukan suatu etika yang diharapkan
dapat memberikan hak perlindungan terhadap publik yang lemah,
sehingga media masih berada dalam kontrol yang stabil dan berjalan
sesuai arah yang eharusnya dijalaninya.
2. Dalam praktik komunikasi, media memiliki hak dan kebebasan dalam
mengekspresikan apapun yang disorotnya. Namun demikian, bukan
berarti media bisa berjalan seenaknya tanpa ada batasan sedikitpun. Ada
tanggung jawab yang harus dijadikan sebagai landasan. Maka dalam hal
ini media tidak hanya melakukan monopoli kritik sedangkan ia tidak
mau dikritik. Media tidak berhak untuk menggolongkan setiap kritik
sebagai suatu bentuk pembatasan dan pengebirian kebebasan pers.
3. Sering terjadi kesalahan dalam logika instrumental, yakni logika yang
hanya mempertahankan kredibilitas pers di depan publik dengan
mengabaikan nilai dan makna. Kepentingan hanya berdasarkan nilai
saing sehingga selalu berusaha tampil lebih awal meskipun dengan
informasi yang belum tentu benar dan dipahami oleh kalangan pers itu
sendiri. Terkadang memang sulit mendamaikan hak publik akan
informasi yang benar dan kepentingan perusahaan pers, sebab alangan
pers sering mendapat tekanan dari pimpinan atau pemegang saham
perusahaan.
6
Haryatmoko, etika komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan dan Pornografi, Yogyakarta:
Kanisius, 2007, h. 38.
7
Rosady Ruslan, Etika Kehumasan Konsepsi & Aplikasi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001),
h. 32
5
Istilah etiket berasal dari etiquette (Perancis) yang berarti dari awal suatu
kartu undangan yang biasanya dipergunakan semasa raja-raja di Perancis
mengadakan pertemuan resmi, pesta, dan resepsi untuk kalangan para elit kerajaan
atau bangsawan. Dalam pertemuan tersebut telah ditentukan atau disepakati
berbagai peraturan atau tata karma yang harus dipatuhi, seperti cara berpakaian,
cara duduk, cara bersalaman, cara berbicara, dan cara bertamu dengan sikap serta
perilaku yang penuh dengan sopan santun dalam pergaulan formal atau resmi.
Etiket merupakan sejumlah peraturan kesopanan yang tidak tertulis namun
harus diketahui, diperhatikan dan ditaati dalam kehidupan bermasyarakat. Etiket
juga berisi sejumlah aturan yang lama mengenai tingkah laku perorangan dalam
masyarakat beradab berupa tata cara formal atau tata krama lahiriah untuk
mengatur hubungan antar pribadi sesuai dengan status sosialnya.
Pengertian etiket dan etika sering kali dicampuradukkan, padahal kedua
istilah tersebut memberikan arti yang berbeda walaupun ada persamaannya. Istilah
etika sebagaimana dijelaskan sebelumnya berkaitan dengan moral (mores),
sedangkan kata etiket berkaitan dengan nilai sopan santun, tata karma dalam
pergaulan formal. Persamaannya adalah mengenai perilaku manusia secara
normatif yang etis. Artinya, memberikan pedoman atau norma-norma tertentu
yaitu bagaimana seharusnya seseorang itu melakukan perbuatan dan tidak
melakukan sesuatu perbuatan.8
A. Perbedaan Etika dan Etiket
Kadang dalam kehidupan sehari-hari, batas antara etika dan etiket bisa
sangat tipis. Padahal dua terminologi tersebut sangat berbeda satu sama lain,
meskipun disana-sini tetap masih ada persamaan antara etika dengan etiket.
Persamaannya adalah bahwa etika dan etiket menyangkut tindakan dan
perilaku manusia, etika dan etiket mengatur perilaku manusia secara normatif.
Sementara ini ada beberapa perbedaan pokok antara etika dan etiket9,
yaitu:
1. Etika menyangkut cara perbuatan yang harus dilakukan oleh seorang atau
kelompok tertentu. Etiket memberikan dan menunjukkan cara yang tepat
dalam bertindak. Sementara itu, etika memberikan norma tentang
perbuatan itu sendiri. Ketika menyangkut apakah suatu perbuatan bisa
dilakukan antara ya dan tidak.
2. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan sosial. Jadi, etiket selalu berlaku
jika ada orang lain. Sementara itu, etika tidak memperhatikan orang lain.
3. Etiket bersifat relatif. Dalam arti bahwa terjadi keragaman dalam
menafsirkan perilaku yang sesuai dengan etiket tertentu. Etika jauh lebih
bersifat mutlak, prinsip etika bisa sangat universal dan tidak bisa ada
proses tawar-menawar.
4. Etiket hanya menyangkut segi lahiriah saja. Sementara, etika lebih
menyangkut aspek internal manusia. Dalam hal etiket, orang bisa munafik.
Tetapi dalam hal dan perilaku etis, manusia tidak bisa bersifat kontradiktif.
8
Ibid, h. 46-47
9
Darji Darmodiharjo & Shidarta h. 257
6
2.4. Hubungan Filsafat dan Etika
Filsafat ialah seperangkat keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap, cita-cita,
aspirasi-aspirasi dan tujuan-tujuan, nilai-nilai dan norma-norma, aturan-aturan dan
prinsip etis. Menurut Sidney Hook, filsafat juga pencari kebenaran, suatu
persoalan nilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan nilai untuk melaksanakan
hubungan-hubungan kemanusiaan secara benar dan juga berbagai pengetahuan
tentang apa yang buruk atau baik untuk memutuskan bagaimana seseorang harus
memilih dan bertindak dalam kehidupannya.
Hubungan etika dengan filsafat menurut Ibnu Sina adalah seperti indera
bersama, estimasi dan rekoleksasi yang menolong jiwa manusia untuk
memperoleh konsep-konsep dan ide-ide dari alam sekelilingnya.
Etika filsafat merupakan ilmu penyelidikan bidang tingkah laku manusia
yaitu mengenai kewajiban manusia, perbuatan baik-buruk dan merupakan ilmu
filsafat tentang perbuatan manusia. Immanuel kant berpendapat bahwa manusia
mempunyai perasaan etika yang tertanam dalam jiwa dan hati sanubarinya. Orang
merasa bahwa ia mempunyai kewajiban untuk menjauhi perbuatan buruk dan
menjalankan perbuatan baik. Etika filsafat merupakan suatu tindakan manusia
yang bercorak khusus, yaitu didasarkan kepada pengertiannya mengenai baik dan
buruk.
Etika sebagai cabang ilmu filsafat sebenarnya ialah yang membedakan
manusia daripada makhluk tuhan lainnya dan menempatkannya bila telah menjadi
tertib pada derajat diatas mereka.
Florence Kluckholn, mengindentifikasikan sejumlah orientasi nilai yang
tampaknya berkaitan dengan masalah kehidupan dasar:10
10
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi hal. 175
7
Nilai-nilai mempunyai tingkatan-tingkatan seperti:
1.Nilai-nilai akhir atau abstrak, seperti: demokrasi, keadilan, persamaan,
kebebasan, kedamaian, dan kemajuan sosial, serta perwujudan diri dan
penentuan diri.
2.Nilai-nilai tingkat menengah, seperti: kualitas keberfungsian manusia/
pribadi, keluarga yang baik, pertumbuhan, peningkatan kelompok dan
masyarakat yang baik.
3.Nilai-nilai tingkat ketiga merupakan nilai-nilai instrumental atau
operasional yang mengacu kepada ciri-ciri perilaku dari lembaga sosial
yang baik, pemerintah yang baik, dan orang professional yang baik.
Misalnya dapat dipercaya, jujur, dan memiliki disiplin diri.
4.Nilai-nilai dan norma-norma yang telah diinternalisasikan kedalam diri
individu, akan menjadi kerangka referensi individu tersebut, sebagai
prinsip-prinsip etik. Prinsip-prinsip etik tersebut menjadi dasar orientasi
dan petunjuk bagi kita dalam mengatasi masalah-masalah kehidupan
menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Prinsip etik tersebut
membantu pula mengatur dan memberikan makna dan kesatuan yang bulat
terhadap kepribadian kita: motivasi kita dalam memilih perilaku kita,
tujuan-tujuan dan gaya hidup, serta memungkinkan kita memperoleh
landasan pembenaran dan pengambilan keputusan terhadap tindakan yang
kita lakukan.11
11
Ibid, h. 176-177
12
en.wikipedia.org/wiki/ethics
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat menjadi referensi bagi semua pihak untuk dapat
lebih mengembangkan ilmu pengetahuan dan dapat pula mengerti dan paham
akan Etika dan Filsafat Komunikasi.Kritik dari kalian juga dapat membantu
makalah dari kelompok kami sehingga menjadi lebih baik.
9
DAFTAR PUSTAKA
10