Anda di halaman 1dari 15

ETIKA KEPERAWATAN DAN HUKUM KESEHATAN

“KONSEP ETIKA MORAL DAN HUKUM”

Oleh :

Kelas : 1B Sarjana Terapan Keperawatan


Nama Anggota :
1. Ayu Laksmi Padma Yoni (P07120220078)
2. Ida Ayu Oka Punia Adnyaswari (P07120220079)
3. Ni Ketut Juliartini (P07120220080)
4. Ni Kadek Dian Rosita Dewi (P07120220081)
5. Ni Komang Enggi Tri Meriska (P07120220082)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan berkah dan rahmatnya bagi kelancaran pembuatan makalah untuk pemenuhan
nilai mata kuliah Etika Keperawatan dan Hukum Kesehatan. Judul makalah ini adalah
“Konsep Etika Moral dan Hukum”
Makalah ini dapat diselesaikan berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak.
Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada yang terhormat :
1. I Nyoman Ribek, S.Kep., M.Pd selaku dosen yang mengajar di mata kuliah
Kebutuhan Dasar Manusia, yang telah memberi dorongan, motivasi,, dan petunjuk-
petunjuk kepada penulis.
2. Pihak keluarga yang telah membantu dan memberi dorongan moril maupun materiil
yang juga sangat membantu dalam proses penulisan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi materi
maupun teknik penulisannya, mengingat terbatasnya pengetahuan dan kemampuan yang
penulis miliki oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun penulis harapkan
demi sempurnanya makalah ini dan semoga bermanfaat bagi pembaca.

Denpasar, 8 Januari 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................


DAFTAR ISI ..............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 ..........................................................................................................Latar Belakang
1.2 ..........................................................................................................Rumusan Masalah
..........................................................................................................
1.3 ..........................................................................................................Tujuan Penulisan
..........................................................................................................
1.4 ..........................................................................................................Manfaat Penulisan
..........................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
2.1 ..........................................................................................................Pengertian Etika,
Moral dan Hukum ...........................................................................
2.2 ..........................................................................................................Konsep Etika
2.3 ..........................................................................................................Konsep Moral
2.4 .......................................................................................................... Etika dan Hukum
..........................................................................................................

BAB III PENUTUP


3.1 ..........................................................................................................Kesimpulan
3.2 ..........................................................................................................Saran ....

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Etika, Moral dan Hukum


1. Pengertian Etika
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethos” menurut Araskar David (1978)
berarti “kebiasaan”, “model perilaku”atau “standar” yang diharapkan dan kriteria
tertentu untuk suatu tindakan. Sedangkan dalam bentuk jamak (ta etha) berarti
adat kebiasaan; dengan kata lain etika diartikan sebagai ilmu tentang apa yang
biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.Menurut Kamus Webster, Etika
adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang apa yang baik dan buruk secara
moral.Penggunaan istilah etika dewasa ini banyak diartikan sebagai“motif atau
dorongan” yang mempengaruhi suatu perilaku manusia (Suhaemi, 2003 ).Potter
dan Perry (1997) menyatakan bahwa etika merupakan terminologi dengan
berbagai makna, etika berhubungan dengan bagaimana seseorang harus bertindak
dan bagaimana mereka melakukan hubungan dengan orang lain. Menurut Ismani
(2001)Etika adalah : Ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana
sepatutnya manusia hidup didalam masyarakat yang menyangkut aturan – aturan
dan prinsip – prinsip yang menentukan tingkah laku yang benar yaitu baik dan
buruk serta kewajiban dan tanggung jawab.
Dengan demikian etika dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang
adat istiadat, kebiasaan yang baik dan buruk secara moral serta motif atau
dorongan yang mempengaruhi perilaku manusia dalam berhubungan dengan
orang lain yang berdasarkan pada aturan-aturan serta prinsip yang mengandung
tanggung jawab moral.
Etika berhubungan dengan hal yang baik dan tidak baik ,peraturan untuk
perbuatan atau tindakan yang mempunyai prinsip benar atau salah, prinsip
moralitas karena etika mempunyai tanggung jawab moral.
Filosofi etika adalah refleksi analisis dan evaluasi dari kebaikan dan
keburukan dari tingkah laku manusia.Ahli Filosofi menerjemahkan etika sebagai
suatu studi formal tentang moral. Etika disebut juga filsafat moral yang
merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang tindakan manusia.Etika sendiri
diartikan sebagai filosofi moral, yaitu ilmu yang menilai tentang suatu hubungan
yang berarti untuk suatu tujuan manusia; hal ini akan melibatkan konflik, pilihan
dan suara hati.Etika lebih menekankan pada bagaimana manusia harus bertindak
dan bukan pada keadaan manusia. Tindakan manusia itu ditentukan oleh
bermacam-macam norma, diantaranya norma hukum, norma moral, norma agama
dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan perundang-
undangan, norma agama berasal dari agama, norma moral berasal dari suara hati
dan norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari (Hasyim, dkk, 2012).

2. Pengertian Moral
Moral Adalah pengetahuan atau wawasan yang menyangkut budi pekerti
manusia yang beradab. Moral juga berarti ajaran yang baik, buruknya perbuatan
dan kelakukan. Moralisasi yaitu uraian “pandangan dan ajaran” tentang
perbuatan serta kelakukan yang baik. Demoralisasi yaitu kerusakan moral.
Istilah moral berasal dari bahasa latin mores yang berarti adat kebiasaan atau
cara hidup. (Gunarsa, 1986) Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai
tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi. (Shaffer, 1979) Moral
merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur prilaku individu dalam
hubunganya dengan masyarakat. Moral merupakan tindakan manusia yang
bercorak khusus yang didasarkan kepada pengertiannya mengenai baik dan
buruk. Morallah yang membedakan manusia …
Moral merupakan realitas dari kepribadian pada umumnya bukan hasil
perkembangan pribadi semata, akan tetapi adalah merupakan tindakan atau
tingkah laku seseorang. Moral tidaklah bisa sipisahkan dari kehidupan
beragama. Di dalam agama Islam perkataan moral identik dengan akhlak.di
mana kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab jama’ dari “khulqun” yang
menurut bahasa berarti budi pekerti.
Moral merupakan norma yang sifatnya kesadaran atau keinsyafan terhadap
suatu kewajiban melakukan sesuatu atau suatu keharusan untuk meninggalkan
perbuatan – perbuatan tertentu yang dinilai masyarakat melanggar norma –
norma. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa suatu kewajiban dan norma moral
sekaligus menyangkut keharusan untuk bersikap bersopan santun. Baik sikap
sopan santun maupun penilaian baik – buruk terhadap sesuatu, keduanya sama –
sama bisa membuat manusia beruntung dan bisa juga merugikan. Disini terdapat
kesadaran akan sesuatu perbuatan dengan memadukan kekuatan nilai
intelektualitas dengan nilai – nilai moral. Nilai – nilai intelektualitas merupakan
sumber pertimbangan terhadap sesuatu yang benar dan yang salah, sedangkan
nilai – nilai moral merupakan sumber pertimbangan suasana hati tentang
kebaikan dan keburukan. Jika seseorang dapat membedakan dan mampu
memilih kesetangkupan antara yang baik dan yang benar dengan yang buruk dan
ditemukan.

3. Pengertian Hukum
Pengertian hukum secara umum adalah seluruh aturan tingkah laku
berupa kaidah/norma baik tertulis maupun tidak tertulis yang dapat
mengatur dan menciptakan tata tertib dimasyarakat yang harus ditaati oleh
setiap anggota masyarakat.
Dalam pengertian lain, Hukum adalah sebuah aturan norma-norma
yang berisikan petunjuk mengenai mana yang boleh dilakukan dan mana
yang tidak boleh dilakukan manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Hukum berkaitan dengan keadilan, kewibawaan ketaatan dan aturan
norma-norma dalam kehidupan untuk mengendalikan perilaku manusia,
menjaga ketertiban dan keadilan, serta mencegah terjadinya kekacauan.
Pengertian Hukum Menurut Para Ahli
1. Menurut Samidjo, pengertian Hukum adaah himpunan
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, berisikan suatu
perintah, larangan atau ijin untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam
kehidupan masyarakat.
2. Menurut Satjipto Rahardjo, Hukum adalah karya manusia
berupa norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah
laku.
3. Menurut J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto,
Hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang
dibuat oleh badan-badan resmi berwajib, yang menentukan
tingkah laku
4. Menurut KBBI, Pengertian hukum adalah undang undang,
peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat yang
dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah.

2.2 Konsep Etika


Etika perlu dipahami sebagai satu cabang filsafat yang membahas moralitas,
atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Satu perumusan lain etika
adalah ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral. Akan tetapi, ada berbagai cara
untuk mempelajari moralitas atau berbagai pendekatan ilmiah tentang tingkah laku
moral. Selanjutnya kita mengikuti pembagian bidang etika atas tiga pendekatan yang
lazim, yaitu: etika deskriptif, etika normatif, dan metaetika (Bertens, 2005: 15-21).
1. Etika Deskriptif
Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya: adat
kebiasaan, anggapan-anggapan tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang
terdapat pada individu-individu tertentu, dalam berbagai kebudayaan atau subkultur
tertentu, dalam suatu periode sejarah, dan sebagainya. Karena etika deskriptif hanya
melukiskan, maka tidak memberi penilaian. Misalnya, etika deskriptif melukiskan
adat mengayau kepala yang ditemukan dalam masyarakat yang disebut primitif, tetapi
tidak memberikan penilaian moral bahwa adat semacam itu dapat diterima atau harus
ditolak.
Pendekatan etika deskriptif ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial, seperti: antropologi
budaya, psikologi, sosiologi, sejarah, dan sebagainya. Berbagai studi terkenal tentang
perkembangan kesadaran moral dalam hidup seorang manusia oleh psikolog Swiss
Jean Piaget (1896-1980) dan psikolog Amerika Lawrence Kohlberg (1917-1988)
merupakan contoh bagus mengenai etika deskriptif ini. Berbagai studi sosiologis yang
dilakukan banyak negara tentang masalah prostitusi dapat disebut sebagai contoh lain
lagi. Akan tetapi, karena ilmu-ilmu sosial masih berumur agak muda dibandingkan
dengan filsafat, maka tidak mengherankan bila sebelum ilmu-ilmu sosial muncul
pendekatan ini sering dipraktikkan dalam rangka filsafat. Setelah mencapai
kemandirian, ilmu-ilmu sosial tidak perlu bekerja di bawah naungan filsafat. Salah
satu perbedaan pokok antara filsafat dan ilmu-ilmu lain (termasuk ilmu-ilmu sosial)
bersifat empiris, artinya membatasi diri pada pengalaman indrawi, sedangkan filsafat
melampaui tahap empiris. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa etika deskriptif ini
sebenarnya termasuk ilmu empiris, dan bukan filsafat.
Sekalipun antara etika deskriptif dan etika filsafati tidak dapat disejajarkan, namun
keduanya berhubungan erat. Filsuf yang mempraktikkan etika, membutuhkan
pengetahuan luas dan mendalam tentang moralitas dalam berbagai konteks budaya,
agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Misalnya, seorang ahli etika ingin
mengadakan penelitian yang berbobot tentang masalah korupsi, maka ia perlu
mengetahui terlebih dahulu bagaimana korupsi berfungsi dalam masyarakatnya
sendiri dan dalam masyarakat-masyarakat lain, baik pada masa sekarang maupun
masa lalu. Dengan kata lain, sebelum mengemukakan pandangan filosofisnya tentang
masalah korupsi, ada baiknya terlebih dahulu mengetahui pandangan sosiologis dan
historis tentang masalah itu. Sebaliknya, seorang antropolog, psikolog, sosiolog, atau
sejarawan yang menyoroti fenomena moral, sebaiknya mempunyai pengetahuan
cukup mendalam tentang teori etika. Sekiranya ia mengenal sedikit etika dalam arti
filsafat moral, penelitiannya tentang masalah moral akan lebih terarah dan lebih
berbobot.

2. Etika Normatif
Etika normatif merupakan bagian terpenting dari etika dan bidang di mana
berlangsung diskusi paling menarik tentang masalah moral. Etika normatif dalam hal
ini tidak bertindak sebagai penonton netral, seperti halnya dalam etika deskriptif,
melainkan melibatkan diri dengan mengemukakan penilaian tentang perilaku
manusia. Filsuf etika normatif bukan sekedar melukiskan adat mengayau yang pernah
terdapat dalam kebudayaan pada masa lalu, melainkan menolak adat tersebut karena
bertentangan dengan martabat manusia.
Demikian pula, etika normatif bukan hanya membatasi diri dengan
memandang fungsi prostitusi dalam suatu masyarakat, melainkan menolak prostitusi
sebagai suatu lembaga yang bertentangan dengan martabat wanita, biarpun dalam
praktik belum tentu dapat diberantas sampai tuntas. Penilaian itu dibentuk atas dasar
norma-norma. Misalnya, norma bahwa “martabat manusia harus dihormati”.
Etika normatif disebut bersifat preskriptif (memerintahkan), yaitu menentukan
benar tidaknya tingkah laku atau anggapan moral. Sehubungan dengan itu, etika
normatif mengemukakan berbagai argumentasi mengapa berlaku harus disebut baik
atau buruk, dan mengapa suatu anggapan moral dapat dianggap benar atau salah.
Berbagai argumentasi tersebut bertumpu pada norma-norma atau prinsip-prinsip etis
yang dianggap tidak dapat ditawar-tawar. Oleh karena itu, etika normatif bertujuan
merumuskan prinsip- prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan dengan cara
rasional dan dapat digunakan dalam praktik.

3. Etika Pluralism
Pluralisme berasal dari kata plural dan isme, plural yang berarti banyak
(jamak), sedangkan isme berarti paham. Jadi pluralism adalah suatu paham atau teori
yang menganggap bahwa realitas itu terdiri dari banyak substansi.1
Dalam perspektif ilmu sosial, pluralism yang meniscayakan adanya diversitas dalam
masyarakat memiliki dua ‚wajah‛, konsesus dan konflik. Consensus mengandaikan
bahwa masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda itu akan survive
(bertahan hidup) karena para anggotanya menyepakati hal-hal tertentu sebagai aturan
bersama yang harus ditaati, sedangkan teori konflik justru memandang sebaliknya
bahwa masyarakat yang berbeda-beda itu akan bertahan hidup karena adanya konflik.
Teori ini tidak menafikkan adanya keharmonisan dalam masyarakat. Keharmonisan
terjadi bukan karena adanya kesepakatan bersama, tetapi karena adanya pemaksaan
kelompok kuat terhadap yang lemah.
Pluralitas merupakan realitas sosiologi yang mana dalam kenyataannya
masyarakat memang plural. Plural pada intinya menunjukkan lebih dari satu dan isme
adalah sesuatu yang berhubungan dengan paham atau aliran. Dengan demikian
pluralisme adalah paham atau sikap terhadap keadaan majemuk atau banyak dalam
segala hal diantaranya sosial, budaya, politik dan agama

2.3 Konsep Moral

Praktik keperwatan termasuk etika keperawatan, mempunyai berbagai dasar


penting, seperti advokasi, akuntabilitas, loyalitas,kepedulian, rasa haru, dan
menghormati martabat manusia. Di antara berbagai pernyataan ini yang lazim
termaktub dalam standar pkratik keperawatan dan telah menjadi bahan kajian dalam
waktu lama adalah advokasi; responsibilitas dan akuntabilitas, dan loyalitas (Fry,
1991)

1. Advokasi
Istilah advokasi sering digunakan dalam konteks hukum yang terkaitan dengan
upaya melindungi hak manusia sebagai mereka yang tidak mampu membela diri.
Arti advokasi menurut American Nurses Association/ ANA (1985) adalah
“melindungi klien atau masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan keselamatan
praktik tidak sah yang tidak kompeten dan melanggar etika yang dilakukan oleh
siapapun”.
Fry (1987) mendefinisikan advokasi sebagai dukungan aktif terhadap setiap
hal yang memiliki penyebab atau dampak penting. Definisi ini mirip dengan yang
dinyatakan Gadow (1983) bahwa “advokasi merupakan dasar falsafah dan ideal
keperawatan yang melibatkan bantuan perawat secara aktif kepada individu secara
bebas menentukan nasibnya sendiri.” Posisi perawat yang mempunyai pekerjaan
jam kerja  sampai 10 atau 12 jam memungkinkannya yang mempunyai banyak
waktu untuk mengadakan hubungan baik dan mengetahui keunikan klien sesbagai
manusia holistik sehingga berposisi sebagai advokasi klien (Curtin,1986). Pada
dasarnya, peran perawat sebagai advokat klien adalah memberi informasi dan
memberi bantuan kepada klien atas keputusan apa pun yang dibuat klien; memberi
informasi berarti menyediakan penjelasan atau informasi sesuai dengan kebutuhan
klien; memberi bantuan mengandung dua peran, yaitu peran aksi dan peran
nonaksi.
Dalam menjalankan peran aksi, perawat memberi keyakinan kepada klien
bahwa mereka mempunyai hak dan tanggung jawab dalam menentukan pilihan
atau keputusan sendiri dan tidak tertekan dengan pengaruh orang lain, sedangkan
peran nonaksi mengandung arti pihak advokat seharusnya menahan diri untuk
tidak memengaruhi keputusan klien (Kohnke, 1982). Dalam menjalan kan peran
sebagai advokat, perawat harus menghargai klien sebagai individu yang memiliki
berbagai akrakteristik. Dalam hal ini, perawat memberikan perlindungan terhadap
martabat dan nilai manusiawi klien selama dalam keadaan sakit.

2. Akuntabilitas dan Responsibilitas


Perawat profesional harus mampu menerima responsibilitas dan akuntabilitas
atas asuhan keperawatan yang telah ia berikan.
Responsibilitas (tanggung jawab) adalah eksekusi terhadap tugas yang
berhubungan dengan peran tertentu dari perawat. Pada saat memberikan obat,
perawat bertanggung jawab untuk mengkaji kebutuhan klien dalam
memberikannya dengna aman dan benar, dan mengevaluasi respons klien terhadap
obat tersebut. perawat yang selalu bertanggung jawab dalam melakukan
tindakannya akan mendapatkan kepercayaan dari klien atau dari profesi lainnya.
Perawat yang bertanggung jawab akan tetap kompeten dalam pengetahuan dan
keterampilan serta selalu menunjukkan keinginan untuk bekerja berdasarkan kode
etiik profesinya.

Akuntabilitas (tanggung gugat) dapat menjawab segala hal yang


berhubungan dengan tindakan seseorang. Perawat bertanggung jawab terhadap
dirinya sendiri, klien, profesi, sesama karyawan dan masyarakat. jika memberi
dosis obat yang salah kepada klien, perawat tersebut dapat digugat oleh klien yang
menerima obat, oleh dokter yang memberikan tugas delegatif, dan oleh
masyarakat yang menuntut kemampuan profesionalnya. Agar dapat bertanggung
gugat, perawat harus bertindak profesional serta berdasarkan kode etik profesinya.
Dengan demikian, jika suatu kesalahan atau penyimpangan, perawat dapat segera
melaporkannya dan melakukan perawatan untuk mencegah cedera lebih lanjut.
Akuntabilitas dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas perawat dalam melakukan
praktik keperawatan.

Akuntabilitas merupakan konsep yang sangat penting dalam praktik


keperawatan. Akuntabilitas mengandung arti dapat mempertanggungjawabkan
suatu tindakan yang dilakukan dan dapat menerima konsekuensi dari tindakan
tersebut (Kozier, Erb, 1991), Fry (1990) menyatakan bahwa akuntabilitas
mengandung dua komponen utama, yaitu tanggung jawab dan tanggung gugat. Ini
berarti bahwa tindakan yang dilakukan perawat dilihat dari praktik kperawatan,
kode etik, dari undang-undang dapat dibenarkan atau absah. Akuntabilitas dapat
dipandang dalam suatu kerangka sistem hierarki, dimulai dari tingkat individu,
tingkat institusi/ profesional, dan tingkat sosial (Sullivan, Decker, 1988).

Pada tingkat individu atau tingkat klien, akuntabilitas direfleksikan dalam


proses pembuatan keputusan etik perawat, kompetensi, komitmen dan integritas.
Pada tingkat institusi akuntabilitas direfleksikan dalam pernyataan falsafah dan
tujuan bidang keperawatan atau audit keperawatan. Pada tingkat profesional,
akuntabilitas direfleksikan dalam standar praktik keperawatan. Pada tingkat sosial,
direfleksikan dalam undang-undang yang mengatur praktik keperawatan.

3. Loyalitas

Loyalitas merupakan suatu konsep yang meliputi simpati, peduli dan


hubungan timbal balik terhadap pihak yang secara profesional berhubungan
dengan perawat. Ini berarti pertimbangan nilai dan tujuan orang lain sebagai nilai
dan tujuan sendiri. Hubungan profesional dipertahankan dengan cara menyusun
tujuan bersama, menepati janji, menentukan masalah dan prioritas, serta
mengupayakan pencapaian kepuasan bersama (Jameton, 1984, Fry 1991).

Untuk mencapai kualitas asuhan keperawatan yang tinggi dan hubungan


berbagai pihak yang harmonis, loyalitas harus dipertahankan oleh setiap perawat
baik loyalitas kepada klien, teman sejawat, rumah sakit maupun profesi. Untuk
mewujudkan ini, AR, Tabbner (1981; lihat Cresia, 1991) mengajukan berbagai
argumentasi:

1. Masalah klien tidak boleh didiskusikan oleh klien lain dan perawat
harus bijaksana bila informasi dari klien harus didiskusikan secara
profesional
2. Perawat harus menghindari pembicaraan yang tidak bermanfaat dan
berbagai persoalan yang berkaitan dengan klien, rumah sakit atau
pekerja rumah sakit, harus didiskusikan dengan umum (terbuka dengan
masyarakat)
3. Perawat harus menghargai dan memberi bantuan kepad teman sejawat.
Kegagalan dalam melakukan hal ini dapat menurunkan penghargaan dan
kepercayaan masyarakat kepada tenaga kesehatan
4. Pandangan masyarakat terhadap profesi keperawatan ditentukan oleh
kelakuan anggota profesi atau perawat. Perawat harus menunjukkan
loyalitasnya kepada profesi dengan berperilaku secara tepat pada saat
bertugas.

2.4 Etika dan Hukum


Hukum merupakan himpunan peraturan tertulis bagi tindakan yang
diperintahkan di bawah pengendalian otoritas legal dan mempunyai kekuatan yang
mengikat secara legal. Hukum bersifat lebih dari sekedar aturan tidak tertulis, yang
harus ditaati oleh orang di bawah yurisdiksi maupun orang yang menjadi subjek bagi
sanksi atau konsekuensi legal. Hukum merupakan ungkapan serius dari kehendak
kekuasaan tertinggi satu otoritas (Suresh & Raghavan, 2005: 10-11).
Hukum berbeda dengan etika. Etika dapat didefinisikan oleh hakim sebagai
“mengetahui perbedaan antara apa yang seharusnya anda lakukan (ought) secara
benar dan apa yang anda lakukan (is) secara benar”. Etika melibatkan bukan hanya
aturan tertulis hukum melainkan juga semangat dari aturan tersebut. Etika tidak
dikodifikasi dalam kitab, yang dikodifikasi adalah moral. Etika bukan hanya berkaitan
dengan perilaku, melainkan berkaitan dengan motif dan karakter. Etika menyusun
standar yang lebih tinggi daripada standar hukum. Hukum mendiktekan standar
minimum bagi perilaku yang disyaratkan bagi orang oleh masyarakatnya, sedangkan
etika melampaui persyaratan minimum tersebut.
Hukum berasal dari prinsip-prinsip moralitas, tetapi bukan sebaliknya.
Moralitas berkaitan dengan karakter, yang mengarahkan perilaku bukan oleh tindakan
legislatif maupun kekuasaan melainkan diarahkan oleh kesadaran dan hati nurani
untuk menaati prinsip-prinsip umum tentang perilaku yang benar. Moralitas adalah
keyakinan dalam pikiran yang lepas dari bukti legal maupun hukum positif. Hukum
pada dasarnya untuk melindungi masyarakat, sedangkan etika dan moralitas pada
dasarnya untuk mempertahankan masyarakat pada tingkat yang lebih tinggi.
Etika berkaitan dengan nilai-nilai manusia. Nilai-nilai manusia sering kali
direfleksikan dalam yurisprudensi dan hukum. Teori legal senantiasa berkaitan
dengan moralitas. Moralitas ini mengakui bahwa hukum dapat digunakan untuk
kebaikan atau keburukan. Hukum bersifat baik bila adil dan diturunkan dari hukum
kodrat. Seseorang terikat secara moral untuk menaati hukum yang adil, tetapi ia tidak
terikat untuk menaati hukum yang tidak adil. Hukum dikembangkan oleh manusia dan
tidak otomatis patut mendapat respek.
Peranan hukum dalam penegakan moralitas merupakan dilema lain dalam
etika tentang hubungan antara hukum dan etika. Hukum berinteraksi dengan opini
moral. Terdapat konflik antara kesadaran individual dan hukum. Haruskah moralitas
ditulis sebagai aturan dan ditegakkan dengan hukum? Ketika hukum dan kesadaran
berkonflik, manakah yang harus ditaati? Hukum berasal dari keyakinan moral,
keyakinan moral manakah yang harus dimasukkan dalam kode legal? Siapakah yang
memutuskan keyakinan moral manakah yang harus dimasukkan dalam hukum: hakim,
masyarakat, atau keduanya?
Terdapat banyak kasus dalam etika dan hukum di mana isu-isu konseptual
sangat krusial. Salah satu pertanyaan krusial dalam debat mengenai aborsi adalah
apakah fetus itu “pribadi manusia”. Keberadaan seorang dewasa normal tidak
dipertanyakan sebagai pribadi, tetapi bagaimana halnya dengan fetus? Bila kita
mengatakan bahwa fetus adalah “potensi manusia”, apakah kita ingin mengatakan
bahwa “potensi manusia” memiliki hak-hak sebagai manusia aktual?
Pernyataan moral dan etika harus dibedakan dari hukum. Fakta bahwa satu
tindakan diperbolehkan secara legal tidak menentukan tindakan tersebut
diperbolehkan secara moral dan etis. Bayangkan seorang insinyur menemukan bahwa
pabriknya melepaskan zat ke atmosfer yang belum diatur dalam AMDAL. Bayangkan
setelah sang insinyur membaca literatur ilmiah, diindikasikan polutan tersebut
menyebabkan masalah pernafasan dan mungkin menyebabkan masalah kesehatan lain
yang serius. Haruskah ia membeberkan informasi ini kepada otoritas? Apapun
pandangan anda mengenai masalah ini, jelas bahwa fakta pelepasan zat diperbolehkan
secara legal, tetapi bukan berarti benar dilakukan secara moral setelah diketahui akan
menyebabkan kerusakan. Mengetahui risiko tindakan tidak sepenuhnya
menyelesaikan isu tersebut.
Persoalan legalitas tidak mengandaikan moralitas, tidak legal tidak
mengandaikan tidak bermoral. Pelepasan sejumlah kecil zat kimia ke atmosfer dapat
menjadi tindakan tidak legal, karena dapat melanggar standar polusi, tetapi seseorang
dapat membuat argumentasi kuat bahwa kasus tersebut menjadi tindakan yang tidak
bermoral dan standarnya terlalu ketat sehingga gagal untuk menyeimbangkan
keuntungan dan kerugian dengan cara rasional.

Diagram Vena Hubungan antara Hukum dan Moralitas.


Pada diagram di atas, bidang tengah yang disaput menggambarkan tindakan
yang legal dan moral. Bidang sebelah kiri memuat tindakan yang legal tetapi tidak
bermoral, dan bidang sebelah kanan berkaitan dengan tindakan moral tetapi tidak
legal.

Anda mungkin juga menyukai