Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH ETIKA KEPERAWATAN DAN HUKUM KESEHATAN

TENTANG KONSEP ETIK KEPERAWATAN

DISUSUN OLEH:

ISRA HAYATI OKTAVIA LISNI

213310728

DOSEN :

Ners Idrawati Bahar S.Kep.,M.Kep

PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES PADANG

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena telah memberikan kesempatan pada penulis
untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul konsep etik keperawatan.
Makalah konsep etik keperawatan disusun guna memenuhi tugas Ibu Ners Idrawati Bahar
S.Kep.,M.Kep pada mata kuliah etika keperawatan dan hukum kesehatan di Poltekkes Kemenkes
Padang. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi
pembaca tentang konsep etik keperawatan di dalam etika keperawatan dan hukum kesehatan .

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Idrawati Bahar


S.Kep.,M.Kep selaku dosen mata kuliah etika keperawatan dan hukum kesehatan. Tugas yang
telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni
penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, 13 Januari 2022

Isra Hayati Oktavia Lisni

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................................................1
C. Tujuan.................................................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................3
A. Pengertian etik keperawatan.............................................................................................3
B. Teori ullitarianisme...........................................................................................................8
C. Teori deontologi……………………………………………………………………………………14

BAB III.....................................................................................................................................................15
PENUTUP................................................................................................................................................15
A. Kesimpulan........................................................................................................................15
B. Saran..................................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Etika Keperawatan adalah Etika (Yunani kuno: “ethikos“, berarti “timbul dari
kebiasaan”) adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi
mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti
benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab. Praktek keperawatan sebagai suatu pelayanan
profesional diberikan berdasarkan ilmu pengetahuan, menggunakan metodologi keperawatan dan
dilandasi kode etik keperawatan. Kode etik keperawatan mengatur hubungan antara perawat dan
pasien, perawat terhadap petugas, perawat terhadap sesama anggota tim kesehatan, perawat
terhadap profesi dan perawat terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air.

Pada hakikatnya keperawatan sebagai profesi senantiasa mangabdi kepada kemanusiaan,


mendahulukan kepentingan masyarakat diatas kepentingan pribadi, bentuk pelayanannya
bersifat humanistik, menggunakan pendekatan secara holistik, dilaksanakan berdasarkan pada
ilmu dan kiat keperawatan serta menggunakan kode etik sebagai tuntutan utama dalam
melaksanakan pelayanan/asuhan keperawatan. Dengan memahami konsep etik, setiap perawat
akan memperoleh arahan dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang merupakan tanggung
jawab moralnya dan tidak akan membuat keputusan secara sembarangan

B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan masalah yang terdapat pada makalah ini ialah :

1. Apakah itu pengertian dari konsep etik keperawatan?


2. Apa itu teori utillitarisanism
3. Apa itu teori deontology

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari etik keperawatan.
2. Untuk mengetahui apa itu teori utillitarisanism.
3. Untuk mengetahui apa itu teori deontologi.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian etik keperawatan

Istilah etika (ethice) berasal dari Bahasa Yunani yang berarti perilaku seseorang, adat
istiadat (kebiasaan), perasaan batin, watak, serta kecenderungan hati, untuk melakukan suatu
perbuatan. Selain itu, istilah etika juga dipahami sebagai kajian tentang tingkah laku manusia,
tentang apa itu baik atau buruk, benar atau salah, sengaja atau tidak. Menurut pakar filsafat
Mesir yang tersohor, Ahmad Amin (1983: 3), etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan
buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang
harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang seharusnya diperbuat.

Sementara Hamzah Ya’qub (1983: 12) menyatakan etika sebagai ilmu yang menyelidiki
mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh
yang dapat diketahui oleh akal pikiran. M. Amin Abdullah (2002: 15) mengartikan etika sebagai
ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk. Beliau selanjutnya menyatakan bahwa, etika
berfungsi sebagai teori perbuatan baik dan buruk, yang praktiknya dapat dilakukan dalam
disiplin filsafat.

Etika merupakan kata yang berasal dari Yunani, yaitu Ethos, yang menurut Araskar dan
David (1978) berarti kebiasaan atau model prilaku, atau standar yang diharapkan dan kriteria
tertentu untuk sesuatu tindakan, dapat diartikan segala sesuatu yang berhubungan dengan
pertimbangan pembuatan keputusan, benar atau tidaknya suatu perbuatan. Dictionary of Curret
English, AS Hornby mengartikan etika sebagai sistem dari prinsip-prinsip moral atau aturan-
aturan prilaku. Menurut definisi AARN (1996), etika berfokus pada yang seharusnya baik salah
atau benar, atau hal baik atau buruk. Sedangkan menurut Rowson, (1992).etik adalah Segala
sesuatu yang berhubungan/alasan tentang isu moral.

Karena sebagai suatu ilmu maka Etika terdiri atas berbagai macam-macam jenis dan juga
ragamnya diantaranya :

4
1. etika deskritif
Memberikan gambaran & ilustrasi tentang tingkah laku manusia ditinjau dari nilai-nilai
baik dan juga buruk serta hal-hal yang mana yang boleh dilakukan sesuai dengan norma etis,
yang dianut oleh masyarak
2. Etika Deskriptif.
Etika deskriptif yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasionalsikap
dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sbagai sesuatu yang
bernilai.
3. Etika normative
Membahas dan mengkaji ukuran baik, buruknya tindakan manusia, yang biasanya
dikelompokkan Etika normatif yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola
prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang
bernilai.
4. Etika Umum
Membahas berbagai macam berhubungan dengan kondisi manusia untuk bertindak etis
dalam mengambil berbagai macam kebijakan berdasarkan teori-teori dan juga prinsip-prinsip
moral.
5. Etika khusus
Etika yang terdiri dari etika sosial, etika individu & etika terapan, pengertiannya yaitu:
 Etika sosial adalah yang menekankan tanggung jawab sosial & hubungan antar sesama
manusia dalam aktivitas yang dilakukannya.
 Etika individu adalah lebih menekankan kepada kewajiban manusia sebagai pribadi.
 Etika terapan adalah etika-etika yang diterapkan pada sebuah profesi.

B. Teori utillitarisanism

Utilitarianisme Aliran utilitarian dicetuskan oleh filosof Inggris, yakni Jeremy Bentham
(1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Kata “utility” bermakna “berguna” atau
“kegunaan”. Menurut teori ini, suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat pada
masyarakat secara keseluruhan atau banyak orang, dan bukan pada satu atau dua orang saja.
Kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah, the greatest happiness of the

5
greatest number, yakni kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Jadi perbuatan yang
mengakibatkan orang banyak bahagia adalah perbuatan terbaik (Bertens 2000: 66).
Kenapa kita harus berlaku jujur dan tidak melakukan korupsi? Kaum utilitarian
menjawab, karena dengan berperilaku jujur maka pembangunan akan berjalan baik, sehingga
kualitas kesejahteraan masyarakat luas meningkat. Ini berarti kebahagiaan bagi sebagian besar
orang. Dengan demikian, doktrin utilitarianisme mempunyai watak yang sepenuhnya bersifat
kuantitatif, di mana satu-satunya tolok ukur perbedaan adalahnquantum kebahagiaan yang
ditimbulkan oleh tindakan yang berbeda-beda (Schmandt 2002: 445).Persoalan individu tidak
dipentingkan dalam aliran ini, malah individu perlu berkorban untuk kesenangan manusia
terbanyak. Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa aliran utilitarianisme sangat
menekankan pentingnya dampak atau
konsekwensi dari suatu perbuatan dalam menilai baik dan buruknya. Jika suatu perbuatan
mengakibatkan manfaat paling besar, dalam arti memajukan kesejahteraan, kebahagiaan, serta
kemakmuran bagi orang banyak maka itu adalah perbuatan baik. Namun, jika sebaliknya yang
terjadi maka itu adalah perbuatan buruk. Konsekwensi di sini amat dipentingkan, karena
menentukan seluruh kualitas moralnya. Dari segi ini, aliran utilitarianisme seringkali disebut
sebagai, “konsekuensialisme” (Bertens 2000: 67).Pada tahap ini, aliran utilitarian seringkali
dianggap membuka peluang lahirnya tindakan menghalalkan segala cara (ends always justify the
means), di mana orang bertindak dengan cara-cara yang jahat agar tujuannya tercapai.

Adapun tokoh penganut utilistis adalah Jeremy Bentham dan Rudolf von Jhering namun
demikian terdapat perbedaan diantara keduanya. Jeremy Bentham dikenal sebagai bapak
utilitarianisme individual, sedangkan Rudolf von Jhering adalah bapak utilitarianisme sosiologis.

Prinsip-prinsip dasar ajaran Bentham dapat dijelaskan sebagai berikut. Tujuan hukum
adalah hukum dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu, barulah kepada
orang banyak. ”the greatest happiness of the greatest number” (kebahagiaan yang sebesar-
besarnya dari sebanyak-banyaknya orang). Prinsip ini harus diterapkan secara kuatitatif, karena
kualitas kesenangan selalu sama. Untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan masyarakat
maka perundang-undangan harus mencapai empat tujuan:
(1) to provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup)

6
(2) to provide abundance (untuk memberikan nafkah makanan berlimpah)
(3) to provide security (untuk memberikan perlindungan)
(4) to attain equity (untuk mencapai persamaan).

Undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat


akan dinilai sebagai undang-undang yang baik. Lebih lanjut Bentham berpendapat bahwa
keberadaan negara dan hukum semata-mata sebagai alat untuk mencapai manfaat yang hakiki
yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. Ajaran Bentham yang sifat individualis ini tetap
memperhatikan kepentingan masyarakat, agar kepentingan idividu yang satu dengan individu
yang lain tidak bertabrakan maka harus dibatasi tidak terjadi homo homini lupus. Menurut
Bentham agar tiap-tiap individu memiliki sikap simpati kepada individu lainnya sehingga akan
tercipta kebahagiaan individu dan kebahagiaan masyarakat akan terwujud. Bentham
menyebutkan“The aim of law is the greatest happines for the greatest number”.

Bentham mengatakan bahwa yang baik adalah kesenangan atau kebahagiaan dan yang
buruk adalah penderitaan atau kesengsaraan. Kebaikan atau kebahagiaan di satu ranah berdiri
secara berhadapan dengan kesusahan dan kejahatan diranah lain. Keduanya selalu dalam kondisi
yang saling tarik-menarik. Keadaan yang mungkin yaitu satu akan mendominasi atau
mengalahkan yang lain dari sisi pengaruhnya terhadap kehidupan manusia. Untuk menciptakan
kondisi dimana kebahagiaan selalu lebih besar daripada kesengsaraan, maka manurut Betham
disinilah peran hukum.

Ukuran baik buruknya suatu perbuatan manusia tergantung pada perbuatan tersebut,
apakah dapat mendatangkan kebahagiaan atau tidak. Betham mengemukakan bahwa setiap
kejahatan harus disertai dengan hukuman-hukuman yang sesuai dengan kejahatan tersebut dan
hendaknya penderitaan yang dijatuhkan tidak lebih dari yang diperlukan untuk mencegah
terjadinya kejahatan.

Baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu
memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. untuk mencapai kebahagiaan bagi
masyarakat hukum harus: Memelihara kebaikan dan mencegah kejahatan, hukum sebagai alat

7
untuk menciptakan kondisi dimana kebahagiaan jauh lebih mewarnai kehidupan sebanyak
mungkin individu dalam masyarakat dibandingkan kesengsaraan, hukum harus berperan sebagai
penjaga keseimbangan dari berbagai kepentingan.

Penganut aliran Utilitarianisme selanjutnya adalah Rudolf von Jhering. Jhering juga
mengembangkan aspek-aspek dari Positivisme John Austin dan mengembangkannya dengan
prinsip-prinsip Utilitarianisme yang diletakan oleh Bentham hal tersebut memberi sumbangan
penting untuk menjelaskan ciri khas hukum sebagai suatu bentuk kemauan. Jhering mulai
mengembangkan filsafat hukumnya dengan melakukan studi yang mendalam tentang jiwa
hukum Romawi yang membuatnya sangat menyadari betapa perlunya hukum mengabdi tujuan-
tujuan sosial. Dasar filsafat Utilitarianisme Jhering adalah pengakuan tujuan sebagai prinsip
umum dunia yang meliputi baik ciptaan-ciptaan yang tidak bernyawa maupun yang bernyawa.

Bagi Jhering tujuan hukum adalah melindungi kepentingan-kepentingan yakni


kesenangan dan menghindari penderitaan, namun kepentingan individu dijadikan bagian dari
tujuan sosial dengan menghubungkan tujuan pribadi seseorang dengan kepentingan-kepentingan
orang lain. Dengan disatukannya kepentingan-kepentingan untuk tujuan yang sama maka
terbentuklah masyarakat, negara yang merupakan hasil dari penyatuan kepentingan-kepentingan
untuk tujuan yang sama itu. Menurut Jhering ada empat kepentingan-kepentingan masyarakat
yang menjadi sasaran dalam hukum baik yang egoistis adalah pahala dan manfaat yang biasanya
didominasi motif-motif ekonomi. Sedangkan yang bersifat moralistis adalah kewajiban dan cinta.
Hukum bertugas menata secara imbang dan serasi antara kepentingan-kepentingan tersebut.

Keseluruhan keinginan-keinginan tersebut oleh Jhering dibagi ke dalam tiga kategori,


sebagai berikut :

Di luar hukum (hanya milik alam) yang diberikan kepada manusia oleh alam dengan atau
tanpa usaha manusia (yakni hasil bumi)
Hukum campuran, yakni syarat-syarat kehidupan khusus untuk manusia. Dalam kategori
ini, kempat syarat-syarat pokok kehidupan sosial yakni perlindungan kehidupan, perkembangan

8
kehidupan, pekerjaan, dan perdagangan. Ini merupakan aspek-aspek khusus dari kehidupan
sosial, tetapi tidak tergantung dari paksaan hukum;
Sebaliknya, syarat-syarat hukum yang murni adalah yang seluruhnya tergantung dari
perintah hukum, seperti perintah untuk membayar utang atau pajak. Di lain pihak, tidak ada
undang-undang yang diperlukan untuk hal-hal seperti makan dan minum, atau pembiakan jenis-
jenis makhluk.
Di dalam positivisme hukum dinyatakan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa,
dalam arti perintah dari mereka yang memegang kekuasaan atau yang memegang kedaulatan,
dimana dibebankan untuk mengatur makhluk. Adapun aliran ini sampai pada kesimpulan bahwa
tujuan hukum yaitu menciptakan ketertiban masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Ini berarti hukum merupakan
cerminan perintah penguasa juga.

Jika penalaran utilitarianisme dituangkan dalam putusan hakim, maka putusan tersebut
tidak sekedar mengacu pada kepastian semata, melainkan juga kemanfaatan bagi pihak-pihak
terkait dalam arti luas. Secara teoritis, kepastian dan kemanfaatan tidak berada pada posisi
sederajat. Idealnya putusan hakim yang telah diberi muatan kemanfaatan ini adalah masukan
bagi para pembentuk hukum di lembaga legislatif. Utilitarianisme mensyaratkan adanya
kerjasama yang baik antara lembaga peradilan dan lembaga legislatif. Sekalipun demikian
bayangan ideal ini menjadi utopia karena utilitarianisme kerap membuat hakim diantara dua sisi
aksiologis yang berbeda.

Klaim positivisme hukum yang masih melekat pada pundak utilitarianisme membuat
hakim harus setia kepada bunyi rumusan norma positif dalam sistem perundang-undangan. Ini
harus dilakukan demi tujuan kepastian. Di sisi yang berbeda apabila hakim meyakini ada
ketidakmanfaatan dalam aplikasi untuk kasus yang dihadapinya, ia juga tidak dapat berbuat
banyak karena tujuan kemanfaatan adalah sekunder baginya. Oleh sebab itu, ruang gerak para
hakim yang utilitarian dibatasi oleh jenis norma positifnya.

9
C. Teori deontologi

Deontologi adalah sebuah istilah yang berasal dari kata Yunani ‘deon’ yang berarti
kewajiban dan ‘logos’ berarti ilmu atau teori. Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu
harus ditolak sebagai keburukan, deontologi menjawab, ‘karena perbuatan pertama menjadi
kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang’. Sejalan dengan itu, menurut etika
deontologi, suatu tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau
tidak dengan kewajiban. Karena bagi etika deontology yang menjadi dasar baik buruknya
perbuatan adalah kewajiban. Pendekatan deontologi sudah diterima dalam konteks agama,
sekarang merupakan juga salah satu teori etika yang terpenting.

Ada tiga prinsip yg harus dipenuhi :

1. Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan berdasarkan kewajiban.

2. Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari tindakan itu
melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan
itu, berarti kalaupun tujuan tidak tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik.

3. Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah hal yang niscaya dari tindakan
yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada hukum moral universal.

Dengan kata lain, suatu tindakan dianggap baik karena tindakan itu memang baik pada
dirinya sendiri, sehingga merupakan kewajiban yang harus kita lakukan. Sebaliknya, suatu
tindakan dinilai buruk secara moral sehingga tidak menjadi kewajiban untuk kita lakukan.
Bersikap adil adalah tindakan yang baik, dan sudah kewajiban kita untuk bertindak demikian.
Sebaliknya, pelanggaran terhadap hak orang lain atau mencurangi orang lain adalah tindakan
yang buruk pada dirinya sendiri sehingga wajib dihindari. Bagi Kant, Hukum Moral ini
dianggapnya sebagai perintah tak bersyarat (imperatif kategoris), yang berarti hukum moral ini
berlaku bagi semua orang pada segala situasi dan tempat.Perintah Bersyarat adalah perintah yang
dilaksanakan kalau orang menghendaki akibatnya, atau kalau akibat dari tindakan itu merupakan
hal yang diinginkan dan dikehendaki oleh orang tersebut.

10
Perintah Tak Bersyarat adalah perintah yang dilaksanakan begitu saja tanpa syarat
apapun, yaitu tanpa mengharapkan akibatnya, atau tanpa mempedulikan apakah akibatnya
tercapai dan berguna bagi orang tersebut atau tidak. Dengan demikian, etika deontologi sama
sekali tidak mempersoalkan akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Akibat dari suatu
tindakan tidak pernah diperhitungkan untuk menentukan kualitas moral suatu tindakan. Hal ini
akan membuka peluang bagi subyektivitas dari rasionalisasi yang menyebabkan kita ingkar akan
kewajiban-kewajiban moral.

Contoh: Misalkan kita tidak boleh mencuri, berdusta untuk membantu orang lain,
mencelakai orang lain melalui perbuatan ataupun ucapan, karena dalam Teori Deontologi
kewajiban itu tidak bisa ditawar lagi karena ini merupakan suatu keharusan. Atas dasar itu, etika
deontologi sangat menekankan motivasi, kemauna baik dan watak yang kuat untuk bertindak
sesuai dengan kewajiban. Bahkan menurut Kant, kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya
sendiri terlepas dari apa pun juga. Maka, dalam menilai tindakan kita, kemauan baik harus dinilai
paling pertama dan menjadi kondisi dari segalanya. Ada dua kesulitan yang dapat diajukan
terhadap teori deontologi. Pertama, dalam kehidupan sehari-hari ketika menghadapi situasi yang
dilematis, etika deontologi tidak memadai untuk menjawab pertanyaan bagaimana saya harus
bertindak dalam situasi konkret yang dilematis itu. Ketika ada dua atau lebih kewajiban yang
saling bertentangan, ketika kita harus memilih salah satu sambil melanggar yang lain, etika
deontologi tidak banyak membantu karena hanya mengatakan, bertindaklah sesuai dengan
kewajibanmu.Persoalan kedua, sebagaimana dikatakan oleh John Stuart Mill, para penganut
etika deontologi sesungguhnya tidak bisa mengelakkan pentingnya akibat dari suatu tindakan
untuk menentukan apakah tindakan itu baik atau buruk.para penganut etika deontologi secara
diam-diam menutup mata terhadap pentingnya akibat suatu tindakan supaya bias
memperlihatkan pentingnya nilai suatu tindakan moral itu sendiri.

Kedua persoalan tersebut tapi dapat dipecahkan, persoalan pertama dipecahkan oleh W.D
Ross dengan mengajukan prinsip prima facie. Menurut Ross, dalam kenyataan hidup ini, kita
menghadapi berbagai macam kewajiban moral bahkan bersamaan dalam situasi yang sama.
Dalam situasi seperti ini kita pertlu menemukan kewajiban yang terbesar dengan membuat

11
perbandingan antara kewajiban-kewajiban itu. Untuk itu, Ross memperkenalkan perbedaan
antara kewajiban prima facie dan kewajiban-kewajiban actual. Kewajiban prima facie adalah
kewajiban yang selalu harus dilaksanakan kecuali kalau bertentangan dengan kewajiban lain
yang sama atau lebih besar. Pandangan Adam Smith, mengenai persoalan kedua adalah suatu
tindakan dapat dinilai baik atau buruk berdasarkan motif pelakunya serta berdasarkan akibat atau
tujuan dari tindakan itu. Hanya saja dipihak lain, bagi Adam Smith, motif dan kemauan saja
tidak dengan sendirinya menentukan nilai suatu tindakan. Juga motif tidak dengan sendirinya
membebaskan seseorang dari kesalahan moral karena tindakannya.Misalnya, seseorang tanpa
sengaja membuang kulit pisang dipinggir jalan, kemudian kulit pisang itu menyebabkan
seseorang yang lain terjatuh hingga terluka bahkan menemui kematian, jelaslah melakukan suatu
tindakan yang salah secara moral, bukan karena motifnya untuk melukai atau membunuh,
melainkan karena tindakannya itu berakibat merugikan orang lain.

Ajaran pokok etika deontologis menurut Kant Etika deontologis adalah teori filsafat
moral yang mengajarkan bahwa sebuah tindakan itu benar kalau tindakan tersebut selaras dengan
prinsip kewajiban yang relevan untuknya. Akar kata Yunani deon berarti 'kewajiban yang
mengikat'. Istilah "deontology" dipakai pertama kali oleh C.D. Broad dalam bukunya Five Types
of Ethical Theory. Etika deontologis juga sering disebut sebagai etika yang tidak menganggap
akibat tindakan sebagai faktor yang relevan untuk diperhatikan dalam menilai moralitas suatu
tindakan. (non-consequentialist theory of ethics). Para penganut etika deontologis, seperti
Immanuel Kant (1724-1804) sebagai pelopornya misalnya, berpendapat bahwa norma moral itu
mengikat secara mutlak dan tidak tergantung dari apakah ketaatan atas norma itu membawa hasil
yang menguntungkan atau tidak. Misalnya norma moral "jangan bohong" atau "bertindaklah
secara adil" tidak perlu dipertimbangkan terlebih dulu apakah menguntungkan atau tidak,
disenangi atau tidak, melainkan selalu dan di mana saja harus ditaati, entah apa pun akibatnya.
Hukum moral mengikat mutalk semua manusia sebagai makhluk rasional.

Menurut paham etika deontologis, pendekatan etika teleologis (entah dalam bentuk
egoisme, eudaimonisme atau utilitarisme) yang menghubungkan kewajiban moral dengan akibat
baik atau buruk, justru merusak sifat moral. Tidak berbohong hanya kalau itu menguntungkan si
pelaku atau hanya bila itu membawa akibat baik yang lebih besar dari akibat buruknya, akan

12
merendahkan martabat moral. Menurut Kant, manusia baru bersikap moral sungguh-sungguh
apabila ia secara prinsipial tidak bohong, entah itu membawa keuntungan atau kerugian. Maka
kaidah etika deontologis bisa dirumuskan sebagai berikut: Betul-salahnya suatu sikap atau
tindakan tidak tergantung dari apakah sikap atau tindakan itu mempunyai akibat baik atau buruk,
melainkan apakah sesuai dengan norma-norma atau hukum moral atau tidak.

Tujuan filsafat moral menurut Kant adalah untuk menetapkan dasar yang paling dalam
guna menentukan keabsahan (validitas) peraturan-peraturan moral. Ia berusaha untuk
menunjukkan bahwa dasar yang paling dalam ini terletak pada akal budi murni, dan bukan pada
kegunaan, atau nilai lain. Moralitas baginya menyediakan kerangka dasar prinsip dan peraturan
yang bersifat rasional dan yang mengikat serta mengatur hidup setiap orang, lepas dari
tujuantujuan dan keinginan-keinginan pribadinya. Norma moral mengikat setiap orang di mana
pun dan kapan pun tanpa kecuali. Dasar moralitas mesti ditemukan dalam prinsip-prinsip akal
budi (rasio) yang dimiliki secara umum oleh setiap orang. Suatu sikap atau tindakan secara moral
betul hanya kalau itu sesuai dengan norma atau hukum moral yang dengan sendirinya mengikat
setiap orang yang berakal budi. Kant sangat menekankan pelaksanaan kewajiban moral demi
tugas itu sendiri dan bukan demi tujuan-tujuan lain. Kalimat pertama dalam bukunya
Grundlegung zür Metaphysik der Sitten (Prinsip-prinsip Dasar Metafisika Moral) adalah
pernyataan bahwa yang baik sungguhsungguh (tanpa syarat apa-apa) adalah kehendak baik. Ia
sangat menekankan kemurnian motivasi sebagai ciri pokok tindakan moral, dan kemurnian ini
nampak dari sikap mentaati kewajiban moral demi hormat terhadap hukum/norma yang
mengatur tingkah lakunya, bukan demi alasan lain. Inilah faham deontologis murni. Setiap orang
mesti bertindak tidak hanya sesuai dengan

tugas dan kewajibannya tetapi juga demi tugas dan kewajibannya tersebut. Pelaksanaan
tugas dan kewajiban moral karena itu dianggap menguntungkan untuk dirinya atau orang lain,
dianggap tidak ada kaitannya dengan moralitas. Karena tujuan menjaga kemurnian motivasi ini,
maka Kant memberikan norma dasar moral yang melulu bersifat formal. Ia tidak menunjukkan
apa yang secara konkret merupakan kewajiban manusia. Dengan kata lain, ia tidak memberi isi
material tentang hal yang mesti dilakukan oleh seorang pelaku moral dalam situasi konkret.
Norma dasar moral yang melulu bersifat formal itu dia sebut sebagai imperatif kategoris

13
(perintah yang mengikat mutlak setiap mahkluk rasional dan merupakan tujuan dalam dirinya
sendiri).

Rumusan pokok imperatif kategorisnya yang menegaskan prinsip universalisasi kaidah


tindakan berbunyi sebagai berikut: "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga prinsip atau kaidah
tindakanmu itu bisa sekaligus kau kehendaki sebagai kaidah yang berlaku umum". Sedangkan
rumusan keduanya yang menegaskan prinsip hormat terhadap manusia sebagai person atau
pribadi yang bernilai pada dirinya sendiri adalah: "Bertindaklah sedemikian rupa sehingga
engkau memperlakukan kemanusiaan entah dalam dirimu sendiri atau dalam diri orang lain
senantiasa sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, dan tidak pernah melulu sebagai sarana.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan yang disampaikan di atas dapat dikemukakan bahwa etika adalah
suatu kajian ilmiah tentang perilaku manusia dalam masyarakat, yakni suatu bidang yang
mendefenisikan perilaku manusia sebagai benar atau salah, baik atau buruk, patut atau tidak
patut. Etika menegaskan prinsip-prinsip perilaku yang perlu ditempuh individu agar bersesuaian
dengan kebajikan yang diterima. Kesadaran akan nilai-nilai tersebut perlu dipupuk secara terus
menerus. Dalam lingkup kehidupan sehari-hari, kita mengenal adanya berbagai macam pedoman
etika atau kode etik, mulai dari etika organisasi, lembaga-lembaga pemerintah dan swasta,
korporasi, sekolah, pesantren, serta profesi, yang menjadi pemandu bagi perilaku individu, atau
kelompok dalam organisasi atau profesi pekerjaan.

B. Saran

Kita sebagai hamba Allah SWT memiliki kewajiban untuk tunduk kepada-Nya dan
mentaati hukum serta aturan yang telah ditetapkan oleh-Nya. Maka dari itu agar kelak kita tidak
mendapatkan kesusahan melainkan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat, hendaknya
kita selalu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta segala
sesuatu yang madlarat yakni yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan manusia.

15
DAFTAR ISI

Bertens, K. 2005. Etika, Jakarta: Gramedia.

Graham, Gordon. 2015. Teori-Teori Etika, Terj. Irfan M. Zakkie, Bandung: Nusa Media.

PriharjoPriharjo, Robert, Pengantar Etika Keperawatan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta:


1995

Prasetyo, teguh dan Abdul Halim Barkatullah.2016. Filsafattt, Teori, dan Ilmu Hukum.
Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

Soejono Soekanto.1988. Pokok-Pokok Soosiologi Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Shidarta. 2013.Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum.Yogyakarta: Genta Genta

https://aistygirl91.wordpress.com/tag/konsep-etika-keperawatan

http://journal.unj.ac.id/unj/index.php/jmb/article/download/9093/6204/

1
2

Anda mungkin juga menyukai