Anda di halaman 1dari 18

2.1.

KONSEP TEORI THALASEMIA


A. Definisi Thalasemia
Thalasemia merupakan gangguan sintesis hemoglobin (Hb), khususnya rantai
globin, yang diturunkan. Penyakit genetik ini memiliki jenis dan frekuensi terbanyak
di dunia. Thalasemia mempengaruhi kemampuan dalam menghasilkan hemoglobin
yang berakibat pada penyakit anemia. Hemoglobin adalah suatu protein dalam sel
darah merah yang mengangkut oksigen dan nutrisi lainnya ke sel-sel lainnya dalam
tubuh. Thalasemia merupakan penyakit kongenetal herediter yang diturunkan secara
autosomal berdasarkan kelainan hemoglobin , dimana satu atau dua rantai Hb kurang
atau tidak terbentuk secara sempurna sehingga terjadi anemia hemolitik.Kelainan
hemolitik ini mengakibatkan kerusakan pada sel darah merah di dalam pembuluh
darah (Kliegam,2012).
Thalasemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan
masuk ke dalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan oleh
gangguan sistem hemoglobin akibat mutasi di dalam ataudekat gen globin. Mutasi gen
globin ini dapat menimbulkan dua perubahan rantai globin, yakni perubahan struktur
rangkaian asam amino acid sequence rantai globin tertentu, disebut hemoglobinopati
struktural, Perubahan kecepatan sintesis atau kemampuan produksi rantai globin
tertentu disebut Thalasemia. Thalasemia adalah penyakit yang diturunkan kepada
anaknya.Anak yang mewarisi gen Thalasemia dari satu orang tua dan gen normal dari
orang tua yang lain adalah seorang pembawa (carriers). Anak yang mewarisi Anak
yang mewarisigen Thalasemia dari kedua orangtuanya akan menderita Thalasemia
sedangsampai berat (Nurarif, 2013).

A. Etiologi Talasemia Pada Anak


Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan yang tidak dapat ditularkan.
Banyak diturunkan oleh pasangan suami isteri yang mengidap thalassemia dalam sel –
selnya / Faktor genetik (Suriadi, 2001). Thalassemia bukan penyakit menular
melainkan penyakit yang diturunkan secara genetik dan resesif. Penyakit ini
diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta yang terletak pada
kromosom 11. Pada manusia kromosom selalu ditemukan berpasangan. Gen globin
beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk hemoglobin.
Bila hanya sebelah gen globin beta yang mengalami kelainan disebut pembawa sifat
thalassemia-beta.
Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal/sehat, sebab masih
mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi dengan baik).
Seorang pembawa sifat thalassemia jarang memerlukan pengobatan.Bila kelainan gen
globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita thalassemia
(Homozigot/Mayor). Kedua belah gen yang sakit tersebut berasal dari kedua orang tua
yang masing-masing membawa sifat thalassemia. Pada proses pembuahan, anak
hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya.
Bila kedua orang tuanya masing-masing pembawa sifat thalassemia maka
pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa kemungkinan.Kemungkinan pertama
si anak mendapatkan gen globin beta yang berubah(gen thalassemia) dari bapak dan
ibunya maka anak akan menderita thalassemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat
sebelah gen thalassemia dari ibu atau ayah maka anak hanya membawa penyakit ini.
Kemungkinan lain adalah anak mendapatkan gen globin beta normal dari kedua
orangtuanya.
Sedangkan menurut (Suriadi, 2001) Penyakit thalassemia adalah penyakit
keturunan yang tidak dapat ditularkan.banyak diturunkan oleh pasangan suami isteri
yang mengidap thalassemia dalam sel – selnya / Faktor genetik. Jika kedua orang tua
tidak menderita Thalassaemiatrait/pembawasifat Thalassaemia, maka tidak mungkin
mereka menurunkanThalasaemia trait/pembawa sifat Thalasaemia atau Thalasaemia
mayor kepada anak-anak mereka. Semua anak-anak mereka akan mempunyai darah
yang normal.Apabila salah seorang dari orang tua menderita Thalassaemia trait atau
pembawa sifat Thalassaemia sedangkan yang lainnya tidak, maka satudi banding dua
(50%) kemungkinannya bahwa setiap anak-anak mereka akan menderita
Thalassaemia trait atau pembawa sifat Thalassaemia, tidak seorang diantara anak-
anak mereka akan menderita Thalassaemia mayor. Orang dengan Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia adalah sehat, mereka dapat menurunkan sifat-sifat
bawaan tersebut kepada anak-anaknya tanpa adayang mengetahui bahwa sifat-sifat
tersebut ada di kalangan keluarga mereka.
Apabila kedua orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat
Thalassaemia, maka anak-anak mereka mungkin akan menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia atau mungkin juga memilikidarah yang normal, atau
mereka mungkin juga menderita Thalassaemia mayor (Samuel, 2010).
B. Klasifikasi Talasemia Pada Anak
Thalasemia dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis hemoglobin yang
mengalami gangguan menjadi Thalasemia alfa dan beta. Sedangkan berdasarkan
jumlah gen yang mengalami gangguan, thalasemia diklasifikasikan menjadi (Samuel,
2010):
1. Thalasemia minor (Trait)
Thalasemia minor merupakan keadaan yang terjadi pada seseorang
yang sehat namun orang tersebut dapat mewariskan gen Thalasemia pada
anak-anaknya. Thalasemia trait sudah ada sejak lahir dan tetap akan ada
sepanjang hidup penderita. Penderita tidak memerlukan transfusi darah
dalam hidupnya.

2. Thalasemia Intermedia
Thalasemia intermedia merupakan kondisi antara Thalasemia mayor
dan minor. Penderita Thalasemia ini mungkin memerlukan transfusi darah
secara berkala, dan penderita Thalasemia jenis ini dapat bertahan hidup
sampai dewasa.

3. Thalasemia Mayor
Thalasemia jenis ini sering disebut Cooley Anemia dan terjadi apabila
kedua orang tua mempunyai sifat pembawa Thalasemia (Carrier). Anak-
anak dengan Thalasemia mayor tampak normal saat lahir, tetapi akan
menderita kekurangan darah pada usia 3-18 bulan. Penderita Thalasemia
mayor akan memerlukan transfusi darah secara berkala seumur hidupnya
dan dapat meningkatkan usia hidup hingga 10-20 tahun. Namun apabila
penderita tidak dirawat penderita Thalasemia ini hanya bertahan hidup
sampai 5-6 tahun (Hockenberry & Wilson, 2009).
Thalasemia mayor biasanya menjadi bergejala sebagai anemia
hemolitik kronis yang progresif selama 6 bulan kehidupan. Transfusi darah
reguler diperlukan pada penderita ini untuk mencegah kelemahan yang
amat dan gagal jantung yang disebabkan oleh anemia (Hockenberry &
Wilson, 2009).
C. Tanda Dan Gejala
Tanda dan gejala Thalasemia sangat bervariasi tergantung pada jenis dan
tingkat keparahannya. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dapat
memberikan beberapa petunjuk untuk diagnosis atau pemeriksaan lanjutan yang
dibutuhkan.
Tanda dan gejala yang sering muncul antara lain:
1. Kulit
Kulit dapat menunjukkan pucat karena anemia dan ikterus karena
hiperbilirubinemia akibat hemolisis intravaskular.
Pasien biasanya melaporkan kelelahan karena anemia sebagai gejala pertama
yang muncul. Pemeriksaan ekstremitas dapat menunjukkan ulserasi. Deposisi
besi kronis akibat transfusi berulang dapat menyebabkan kulit berwarna
perunggu.
2. Muskuloskeletal
Ekspansi hematopoiesis ekstramedular menghasilkan kelainan tulang wajah
dan tulang kerangka lainnya dan penampilan yang dikenal sebagai wajah
chipmunk.
3. Jantung
Deposisi besi pada miosit jantung akibat transfusi kronis dapat mengganggu
irama jantung, dan akibatnya adalah berbagai aritmia. Karena anemia kronis,
gagal jantung juga dapat terjadi.
4. Perut
Hiperbilirubinemia kronis dapat menyebabkan pengendapan batu empedu
bilirubin dan bermanifestasi sebagai nyeri kolik yang khas pada kolelitiasis.
Hepatosplenomegali dapat terjadi akibat deposisi besi kronis dan juga dari
hematopoiesis ekstramedular pada organ-organ ini. Infark limpa atau
autophagy terjadi akibat hemolisis kronis karena pengaturan hematopoiesis
yang buruk.
5. Hati
Keterlibatan hati adalah temuan umum pada thalassemia, terutama karena
transfusi dalam jangka waktu panjang dan terus menerus.
Gagal hati kronis atau sirosis dapat terjadi akibat deposisi besi kronis atau
hepatitis virus terkait transfusi.
6. Tingkat Pertumbuhan Lambat
Anemia dapat menghambat laju pertumbuhan anak, dan thalasemia dapat
menyebabkan keterlambatan pubertas. Perhatian khusus harus difokuskan
pada pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan usianya.
7. Endokrinopati
Kelebihan zat besi dapat menyebabkan pengendapan di berbagai sistem organ
tubuh dan mengakibatkan penurunan fungsi masing-masing sistem.
Pengendapan zat besi di pankreas dapat menyebabkan diabetes melitus, di
kelenjar tiroid atau paratiroid masing-masing dapat menyebabkan
hipotiroidisme dan hipoparatiroidisme.
Deposisi pada persendian menyebabkan artropati kronis. Di otak, zat besi
lebih sering menumpuk di substansia nigra dan bermanifestasi sebagai
penyakit Parkinson dini dan berbagai masalah lainnya.

D. Manifestasi Klinik Talasemia Pada Anak


Thalassemia memiliki gejala yang mirip terapi beratnya bervariasi,sebagian
besar mengalami gangguan anemia ringan (Samuel, 2010) :
1. Thalasemia minor (thalasemia heterogen), umumnya hanya memiliki
gejala berupa anemia ringan sampai sedang dan mungkin bersifat
asimtomatik dan sering tidak terdeksi.
2. Thalasemia mayor, pada umumnya menampakkan manifestasi klinis pada
usia 6 bulan, setelah efek Hb 7 menghilang, anemia, demam, yang tidak
dapat dijelaskan, cara makan yang buruk, penurunan BB dan pembesaran
limpa.
3. Gejala lain penderita
Thalasemia ialah jantung mudah berdebar-debar,karena oksigen yang
dibawah tersebut kurang, maka jantung juga akan berusaha bekerja lebih
keras sehingga jantung penderita akan mudah berdebar-debar, dan semakin
lama jantung akan bekerja lebih keras sehingga lebih cepat lelah. Sehingga
terjadi lemah jantung, limfa penderita menjadi besar dikarenakan
pengahancuran darah terjadi disana, dan selain itu sumsum tulang
belakang juga bekerja lebih keras berusaha mengkompensasi kekurangan
Hb, sehingga tulang menjadi tipis dan rapuh. Jika ini terjadi pada muka
tulang hidung maka wajah akan berubah bentuk, batang hidung akan
hilang atau melesak kedalam (fasise cookey) ini merupakan salah satu
tanda khas penderita thalassemia. (Hockenberry &Wilson, 2009)
4. Perubahan pada tulang karena hiperaktivitas sumsum merah berupa
deformitas dan fraktur spontan, terutama pada kasus yang tidak atau
kurang mendapat tranfusi darah. Deformitas tulang, disamping
mengakibatkan muka mongoloid, dapat menyebabkan pertumbuhan
berlebihan tulang prontal dan zigomatin serta maksila, serta pertumbuhan
gigi biasanya buruk.
5. Pada anak lemah, pucat, perkembangan fisik tida sesuai umur, berat badan
kurang, perut membuncit. Jika pasien tidak sering mendapat tranfusi darah
kulit menjadi kelabu serupa dengan besi akibat penimbunan besi dalam
jaringan kulit.
6. Pada hapusan darah tepi di dapatkan gambaran hipokrom
mikrositik,anisositosis, polklilositosis, dan adanya sel target (fragmentasi
dan banyak sel normoblas).
7. Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi
(IBC) menjadi rendah dan dapat mencapai nol.
8. Kadar bilirubin dalam serum meningkat, karena kerusakan parankim hati
oleh hemosiderosis.

E. Patofisiologi Talasemia Pada Anak


Penyakit thalasemia disebabkan oleh adanya kelainan/perubahan/mutasi
padagen globin alpha atau gen globin beta sehingga produksi rantai globin tersebut
berkurang atau tidak ada. Didalam sumsum tulang mutasi thalasemia menghambat
pematangan sel darah merah sehingga eritropoiesis abnormal menurun dan
mengakibatkan anemia berat. Akibatnya produksi Hb berkurangdan sel darah merah
mudah sekali rusak atau umurnya lebih pendek dari seldarah normal (120 hari),
(Kliegman,2012).
Hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah, mengandung zat besi(Fe).
Kerusakan sel darah merah pada penderita thalasemia mengakibatkan zat besi akan
tertinggal di dalam tubuh. Pada manusia normal, zat besi yang tertinggal dalam tubuh
digunakan untuk membentuk sel darah merah baru.Pada penderita thalasemia, zat besi
yang ditinggalkan sel darah merah yangrusak itu menumpuk dalam organ tubuh
seperti jantung dan hati (lever). Jumlah zat besi yang menumpuk dalam tubuh atau
iron overload ini akan mengganggu fungsi organ tubuh. Penumpukan zat besi terjadi
karena penderita thalasemia memperoleh suplai darah merah dari transfusi
darah.Penumpukan zat besi ini, bila tidak dikeluarkan, akan sangat membahayakan
karena dapat merusak jantung, hati, dan organ tubuh lainnya, yang
padaakhirnya bisa berujung pada kematian (Kliegman,2012)

F. Komplikasi Talasemia Pada Anak


Komplikasi jangka panjang sebagai akibat dari hemokromatosis
dengankerusakan sel resultan yang dapat mengakibatkan (Hockenberry &
Wilson,2009):
1. Splenomegali.
2. Komplikasi skeletal, seperti menebalan tulang kranial, pembesaran
kepala,tulang wajah menonjol, maloklusi gigi, dan rentan terhadap fraktur
spontan.
3. Komplikasi jantung, seperti aritmia, pericarditis, CHF (Gagal Jantung) dan
fibrosis serat otot jantung.
4. Penyakit kandung empedu, termasuk batu empedu.
5. Pembesaran hepar dan berlanjut menjadi sirosis hepatis.
6. Perubahan kulit, seperti ikrerus dan fragmentasi coklat akibat defisit zat
besi.
G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Thalasemia terdapat dua, yaitu secara screening test dan
definitive test.
1. Screening test Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui
sebagaigangguan Thalasemia (Wiwanitkit, 2007).
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada
kebanyakkan Thalasemia kecuali Thalasemia α silent carrier.Pemeriksaan
apusan darah rutin dapat membawa kepada diagnosis Thalasemia tetapi
kurang berguna untuk skrining.
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit.Secara
dasarnya resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida
dikurangkan dikira. Studi yang dilakukan menemui probabilitas formasi pori-
pori pada membran yang regang bervariasi mengikut order ini: Thalasemia <
kontrol < spherositosis. Studi OF berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik
telah dilakukan dan berdasarkan satu penelitian di Thailand, sensitivitinya
adalah 91.47%,spesifikasi 81.60, false positive rate 18.40% dan false negative
rate8.53%. (Hockenberry & Wilson, 2009)
c. Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya dapat
mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai diagnostik.
Maka metode matematika dibangunkan(Hockenberry & Wilson, 2009)
2. Definitive testa.
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan berbagai jenis tipehemoglobin di dalam
darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah Hb A1 95-98%, Hb
A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan kadar ini tinggi sedangkan
neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal bisa digunakan untuk diagnosis
Thalassemia seperti pada Thalassemia minor Hb A2 4-5.8% atau HbF 2-5%,
Thalassemia Hb H: Hb A2 <2% dan Thalassemia mayor HbF 10-90%. Pada
negara tropikal membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S
dan Hb J (Wiwanitkit, 2007).
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb C.
Pemeriksaan menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC)
pula membolehkan penghitungan aktualHb A2 meskipun terdapat kehadiran
Hb C atau Hb E. Metode ini berguna untuk diagnosa Thalassemia β karena
bisa mengidentifikasihemoglobin dan variannya serta menghitung konsentrasi
dengantepat terutama Hb F dan Hb A2. (Wiwanitkit, 2007)
c. Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis Thalassemia.
Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe Thalassemia malah
dapat juga menentukan mutasi yang berlaku.

H. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Suriadi, 2001) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain:
1. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari
pemberian transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya
penumpukan zat besi yang disebut hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat
dicegah dengan pemberian deferoxamine (Desferal), yang berfungsi untuk
mengeluarkan besi dari dalam tubuh (iron chelating agent). Deferoxamine
diberikan secar intravena, namun untuk mencegah hospitalisasi yang lama
dapat juga diberikan secara subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
2. Splenectomy: dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan
meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen
(transfusi).
3. Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian
tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus
menghindari tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif
(misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan
keracunan. Pada bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan
pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih dalam tahap
penelitian.
4. Menurunkan atau mencegah hemosiderosis dengan pemberian parenteral
obat penghelasi besi (iro chelating drugs), de feroksamin diberikan
subkutan dalam jangka 8-12 jam dengan menggunakan pompa portabel
kecil (selamat tidur), 5-6 malam/minggu.

I. Komplikasi
Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
thalasemia:
1. Komplikasi jantung
Kerusakan jantung akibat terlalu banyak zat besi dapat menyebabkan
penurunan kekuatan pompa jantung, gagal jantung, aritmia atau detak jantung
yang tidak beraturan, dan terkumpulnya cairan di jaringan jan tung. Ada
beberapa pemeriksaan rutin yang harus dilakukan penderita thalasemia beta
mayor, yaitu pemeriksaan tiap enam bulan sekali untuk memeriksa fungsi
jantung, dan setahun sekali pemeriksaan menyeluruh untuk memeriksa
konduki aliran listrik jantung menggunakan electrocardiogram oleh dokter
spesialis jantung. Perawatan untuk meningkatkan fungsi jantung dapat
dilakukan dengan terapi khelasi yang lebih men yeluruh dan mengonsumsi
obat penghambat enzim konversi angiotensin.
2. Komplikasi pada tulang
Sumsum tulang akan berkembang dan memengaruhi tulang akibat
tubuh kekurangan sel darah merah yang sehat. Komplikasi tulang yang dapat
terjadi adalah sebagai berikut:
1) Nyeri persendian dan tulang
2) Osteoporosis
3) Kelainan bentuk tulang
4) Resiko patah tulang meningkat jika kepadatan tulang menjadi rendah
3. Pembesaran limpa
Pemebesaran limpa terjadi karena limpa sulit untuk mendaur ulang sel
darah yang memilki bentuk tidak nirmak dan berakibat kepda meningaktnya
jumlah darah yang ada dalam limpa, membuat limpah tumbuh lebih beasr.
Transfusi darah yang bertujuan meningkatkan sel darah yang sehat akan
menjadi tidak efektif jika limpa telah membesar dan menjadi terlalu aktif, serta
mulai mengahancurkan sel darah yanf sehta. Splenectomy atau operasi
pengangkatan limpa merupakan satu-satunya cara untuk mengatasi masalah
ini.
4. Komplikasi pada hati
Kerusakan hati akibat terllau bnyak zat besi dapat menyebabkan
terjadinya beberapa hal, seperti fibrosis atau pembesaran hati, sirosis hati atau
penyakit degeneratif kronis di mana sl-sel hti normal menjadi rusak, llau
digantikan oleh jaringan parut, serta hepatitis . oleh karena itu, penderita
infeksi hati dapat dilakukan dengan mengonsumsi obat antivirus, sedangkan
mencegah kerusakan hati yang lebih parah dapat dilakukan dengan khelasi.
5. Komplikasi pada kelenjar hormon
Sistem hormon diluar oleh kelenjar pituitari yang sangat sensitif
terhadap zat besi. Para penderita thalasemia beta mayor., walaupun telah
melakukan tetapi khelasi, dapat mengalami gangguan system hormon.
Perawatan dengan terapipergantian hormon mungkin diperlukan untuk
mengatasi pertumbuhan dan amsa pubertas yangbterhambat akibat kelenjar
pituitari yang rusak. Ada beberapa komplikasi pada kelenjar horomn yang
dapat terjadi usai pubertas seperti berikut:
1) Kelenjar tiroid-hipertiroidisme atau hipotiroidisme
2) Pankreas-diabetes
Pemeriksaasn dengn mengukur berat badan dan tinggi badan harus dilakukan
anak-anak penderita thalasemia tiap enam bulan sekali untuk mengukur
pertumbuhannya.

2.2. ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Meliputi nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin,asal suku bangsa,
nama orang tua, pekerjaan orang tua. Thalsemia banyak dijumpai pada bangsa
sekitar laut tengah, pada thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas terilihat saat
anak berumur kurang 1tahun dan tanda gejala minor biasanya pada anak yang
berumur sekitar 4-6 tahun.

2. Keluhan utama
b. Riwayat kesehatan sekarang :
Biasanya saat pengkajian klien tampak pucat, mengeluh badan lemas dan
pusing, sesak nafas. Keluhan lemas bertambah bila klien banyak beraktivitas
yang terlalu capek.
c. Riwayat kesehatan masa lalu:
Ada juga pasien yang sebleumnya sudah terdiagnosa Thalasemia misalnya
sekitar 3 bulan lalu, sebelum terdiagnosa thalasemia secara pasti klien akan
terlihat pucat dan lemes tanpa disertai tanda seperti pendarahan, panas atau
memar memar dan sebagainya. Sehingga harus dibawa atau dirujuk untuk
berobat.
d. Riwayat kesehatan keluarga:
Karena merupakan penyakit menurun, maka perlu dikaji apakah orang tua
yang menderita thalasemia. Apabila kedua orang tua menderita thalasemia,
maka anakanya berisiko me nderita thalasemia mayor. Oleh karen itu,
konseling pranikah sebeleumnya perlu dilakukan karena berfungsi mengethaui
adanya penyakit yang mungkin disebabkan oleh keturunan.
e. Riwayat ibu saat hamil
Selama masa kehmailan, hendaknya perlu dikaaji secra mendalam adanya
gfaktor risiko thalasemia. Sering orang tua merasa bahwa dirinya sehat.
Apabila diduga faktor risiko, maka ibu perlu diberitahukan mengenai risiko
yang mungkin dialami oleh anaknya nanti setelah lahir. Untuk memastikan
diagnosis, maka ibu segera dirujuk ke dokter.

3. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum:
Anak biasanya terlihat lemah dan kurang bergairah serta tidak selincah anak
seusianya yang normal.
b. Kepala dan bentuk muka
Anak yang belum/tidak mendapatkan pengobatan mempunyai bentuk khas,
yaitu kepala membesar dan bentuk mukanya adalah mongoloid, yaitu hidung
pesek tanpa pangkal hidung, jarak kedua mata lebar dan tulang dahi terlihat
lebar.
c. Mata dan konjungtiva terlihat pucat kekuningan
d. Mulut dan bibir terlihat kehitaman
e. Dada, pada inspeksi terlihat bahwa dada sebelah kiri menonjol akibat adanya
pembesaran jantung yang disebabkan oleh anemia kronik.
f. Perut: kelihatan membuncit dan pada perabaan terdapat pembesaran limpa dan
hati (hepatosplemagali)
g. Pertumbuhan fisik: terlalu kecil untuk umumnya dan BB nya kurang dari
normal. Ukuran fisik anak terlihat lebih kecil bila dibandingkan dengan anak
lain seusianya.
h. Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertasi ada
keterlambatan kematangan seksual, misalnya tidak adanya pertumbuhan
rambut pada keiak, pubis atau kumis. Bahkan anak tidak dapat mecapai tahap
adolesense karena adanya anemia kronik.
i. Kulit : warna kulit pucat kekuning-kuningan. Jika anak sering mendapat
transfusi darah, maka warnah kulit menjadi kelabu seperti besi akibat adanya
penimbunan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis).
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu oenilaian klinis mengenai respon klien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehiduoan yang di alaminya. Baik yang
berlangsung actual mapun potensial. Berikut adalah diagnosa keperawatan yang
muncul terhadap situasi yang berkaitan dengan thalasemia:
1. Pola nafas tidak efektif b.d posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru dan
penurunan energi
2. Intoleransi aktivitas b.d ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen
3. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan konsentrasi hemoglobin
4. Resiko infeksi b.d ketidak adekuatan pertahanan tubuh sekunder
5. Resiko gangguan integritas kulit/jaringan b.d prubahan sirkulasi
6. Gangguan tumbuh kembang b.d efek ketidakmampuan fisik

C. Intervensi keperawatan

Diagnosa keperawatan SLKI/ Tujuan SIKI/Intervensi

Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan Observasi :


b.d posisi tubuh yang tindakan perawatan 1. Monitor frekuensi, irama,
menghambat ekspansi diharapkan pola nafas kedalaman dan upaya
paru dan penurunan klien membaik 2. Monitor pola nafas
energi Kriteria hasil: (seperti bradipnea,
 Frekuensi nafas takipnea, hiperventlasi,
membaik kusmaul,ataksik)
 Fungsi paru 3. Palpasi kesimetrisan
dalam batas ekspansi paru
normal 4. Auskultasi bunyi nafas
 TTV Terapeutik:
dalammbatas
normal 1. Monitor oksigen
terapeutik
2. Posisikan semi fowler
3. Berikan oksigen jika
perlu
Intoleransi aktivitas b.d Setelah dilakukan Observasi:
ketidak seimbangan tindakan keperawatan 1. Identifikasi gangguan
antara suplai dan diharapkan toleransi fungsi tubuh
kebutuhan oksigen aktivitas meningkat yangmengakibatkan lelah
Kriteria hasil: 2. Kaji kemampuan pasein
 Keluhan lelah untuk melakukan
menurun aktivitas
 Persaan lemah 3. Monitor kelelahan fisik
menurun dan emosional
 Tenaga 4. Catat respon terhadap
meningkat aktivitas
Terpeutik:
1. Sediakan lingkungan
nyaman dan rendah
stimulus
2. Berikan aktivitas ditraksi
yang menyenangkan
3. Fasilitasi duduk di sisi
tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau
berjalan
4. Libatkan keluarga
Edukasi:
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
3. Pilih periode istirahat
dengan periode aktivitas

Perfusi perifer tidak Setelah dilakukan Observasi:


efektif b.d penurunan tindakan keperawatan 1. Periksa sirkulasi perifer
konsentrasi hemoglobin diharapkan perfusi (mis. Nadi parifer,
perifer meningkat edema, pengisian kapiler,
Kriteria hasil: wrana suhu, membrane
 Warna kulit index)
pucat menurun 2. Monitor panas,
 Pengisian kemerahan, nyeri, atau
kapiler bengkak pada extremitas.
membaik 3. Observasi adanya
 Akral membaik keterlambatan respoon

 Turgor kulit verbal, kebingungan atau

membaik gelisah
Terpeutik:
1. Lakukan pencegahan
infeksi
2. Hindari pemaikan benda-
benda yang berlebihan
suhunya (terlalu panas
atau dingin)
Edukasi:
1. Anjurkan mengcek air
mandi untuk menhindari
kulit terbakar
2. Anjurkan perawatan kulit
yang tepat (mis.
Melembabkan kulit
kering pada kaki)

D. EVALUASI KEPERAWATAN
Evaluasi keperawatan merupakan akhir dari rangkaian proses keperawatan
yang berguna apakah tujuan dari tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai
atau perlu pendekatan lain. Evaluasi keperawatan mengukur keberhasilan dari rencana
dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam mememnuhi kebutuhan
klien. Penilaian adalah tahap yang menentukan apakah tujuan tercapai. Evualasi selalu
berkaitan dengan tujuan yaitu pada kompinen kognitif, afektif, psikomotor, perubahan
fungsi dan tanda gejala yang spesifik.

2.3. WOC THALASEMIA


2.4. ANALISIS JURNAL

Judul Hubungan Usia Anak Penderita Thalasemia Dengan Frekuensi


Transfusi
Penulis Irdawati, Afifah Ayu Syaiful, Anis Haryani
volume 14 (2)
Jurnal Jurnal berita Ilmu Keperawatan
Tahun terbit 2021
Penerbit https://journals.ums.ac.id/index.php/BIK/article/download/11424/pdf
Tujuan Untuk mengetahui kaitan antara usia anak anak penderita thalasemia
dengan frekuensi transfusi
kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara usia anak dengan frekuensi transfusi. Terdapat
hubungan yang linear antara usia anak dengan kebutuhan transfusi
sesuai dengan kondisi memburuknya penyakit, perkembangan serta
pertumbuhan anak.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.Jakarta: EGC
Hockenberry, MJ., & Wilson, D. 2009. Wong’s esentials of pediatric nursing.Phidelphia:
Mosby Elseiver.
Kliegman Behrman. (2012). Ilmu Keperawatan Anak edisi 15, Alih Bahasa Indonesia,
A.SamikWahab. Jakarta : EGC.
Kliegam, Sylvia A dan Wilson, Hoffbrand. 2012. Patofisiologi: Konsep Klinis Edisi 6.
Jakarta: EGC.
Nurarif, Amin Huda., & Hardhi, Kusuma. 2013.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & Nanda Nic Noc Yogyakarta: MediaCtionPublishing.
Nursalam. 2007.Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional.
Edisi ke-2. Jakarta: Salemba Medika.
Rohmah, Nikmatur & Walid, Saiful. 2018.Dokumentasi Proses Keperawatan.Jember:
Universitas Muhammadiyah Jember.
Samuel, Pola Karta S. 2010.Thalasemia. Medan: MorphostLab E-BookPressSuriadi. 2001.
Keperawatan Medikal Bedal Thalasemia. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai