PEMBAHASAN
2.1 Patofisiologi Thalasemia
1. Definisi Thalasemia
3. Patofisiologi Thalasemia
Penyakit thalasemia disebabkan oleh adanya kelainan/perubahan/mutasi padagen globin
alpha atau gen globin beta sehingga produksi rantai globin tersebut berkurang atau tidak ada.
Didalam sumsum tulang mutasi thalasemia menghambat pematangan sel darah merah
sehingga eritropoiesis abnormal menurun dan mengakibatkan anemia berat. Akibatnya
produksi Hb berkurang dan sel darah merah mudah sekali rusak atau umurnya lebih pendek
dari sel darah normal (120 hari), (Kliegman,2012).
Hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah, mengandung zat besi (Fe). Kerusakan
sel darah merah pada penderita thalasemia mengakibatkan zat besi akan tertinggal di dalam
tubuh. Pada manusia normal, zat besi yang tertinggal dalam tubuh digunakan untuk
membentuk sel darah merah baru. Pada penderita thalasemia, zat besi yang ditinggalkan sel
darah merah yang rusak itu menumpuk dalam organ tubuh seperti jantung dan hati (lever).
Jumlah zat besi yang menumpuk dalam tubuh atau iron overload ini akan mengganggu
fungsi organ tubuh. Penumpukan zat besi terjadi karena penderita thalasemia memperoleh
suplai darah merah dari transfusi darah. Penumpukan zat besi ini, bila tidak dikeluarkan,
akan sangat membahayakan karena dapat merusak jantung, hati, dan organ tubuh lainnya,
yang pada akhirnya bisa berujung pada kematian (Kliegman,2012).
4. WOC Thalasemia
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Thalasemia terdapat dua, yaitu secara screening test dan definitive test.
1. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai gangguan
Thalasemia (Wiwanitkit, 2007).
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada
kebanyakkan Thalasemia kecuali Thalasemia α silent carrier. Pemeriksaan apusan
darah rutin dapat membawa kepada diagnosisThalasemia tetapi kurang berguna
untuk skrining.
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit. Secara dasarnya
resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida dikurangkan dikira. Studi
yang dilakukan menemui probabilitas formasi pori-pori pada membran yang regang
bervariasi mengikut order ini: Thalasemia < kontrol < spherositosis. Studi OF
berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah dilakukan dan berdasarkan satu
penelitian di Thailand, sensitivitinya adalah 91.47%, spesifikasi 81.60, false positive
rate 18.40% dan false negative rate 8.53%. (Hockenberry & Wilson, 2009).
c. Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya dapat
mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai diagnostik. Maka
metode matematika dibangunkan (Hockenberry & Wilson, 2009)
2. Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan berbagai jenis tipe hemoglobin di dalam
darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-
3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan kadar ini tinggi sedangkan neonatus bisa
mencapai 80%). Nilai abnormal bisa digunakan untuk diagnosis Thalassemia
seperti pada Thalassemia minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H:
Hb A2 <2% dan Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada negara tropikal
membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J
(Wiwanitkit, 2007).
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb C.
Pemeriksaan menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC) pula
membolehkan penghitungan aktual Hb A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C atau
Hb E. Metode ini berguna untuk diagnosa Thalassemia β karena bisa
mengidentifikasi hemoglobin dan variannya serta menghitung konsentrasi dengan
tepat terutama Hb F dan Hb A2. (Wiwanitkit, 2007)
c. Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis Thalassemia.
Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe Thalassemia malah dapat
juga menentukan mutasi yang berlaku.
9. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Suriadi, 2001) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain:
1. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari pemberian transfusi
darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi yang disebut
hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian deferoxamine
(Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi dari dalam tubuh (iron chelating
agent). Deferoxamine diberikan secar intravena, namun untuk mencegah hospitalisasi
yang lama dapat juga diberikan secara subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
2. Splenectomy: dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan meningkatkan
rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen (transfusi).
3. Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian tambahan
asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari tambahan zat besi dan
obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan
bisa menyebabkan keracunan. Pada bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan
pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih dalam tahap penelitian.
4. Menurunkan atau mencegah hemosiderosis dengan pemberian parenteral obat penghelasi
besi (iro chelating drugs), de feroksamin diberikan subkutan dalam jangka 8-12 jam
dengan menggunakan pompa portabel kecil (selamat tidur), 5-6 malam/minggu.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler
yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2 dan
kebutuhan.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan
untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi nutrien yang
diperlukan untuk pembentukan sel darah merah normal.
d. Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi dan
neurologis.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat, penurunan
Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
f. Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber informasi.
3. Intervensi Keperawatan
1. Dx 1 Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen
seluler yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
Kriteria hasil :
a) Tidak terjadi palpitasi
b) Kulit tidak pucat
c) Membran mukosa lembab
d) Keluaran urine adekuat
e) Tidak terjadi mual/muntah dan distensil abdomen
f) Tidak terjadi perubahan tekanan darah
g) Orientasi klien baik.
Rencana keperawatan / intervensi :
Kulit utuh.
Intervensi :
a) Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, aritema
dan ekskoriasi.
b) Ubah posisi secara periodik.
c) Pertahankan kulit kering dan bersih, batasi penggunaan sabun.
Rasional :
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Kliegman Behrman. (2012). Ilmu Keperawatan Anak edisi 15, Alih Bahasa Indonesia, A.
Samik Wahab. Jakarta : EGC.
Nurarif, Amin Huda., & Hardhi, Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Dia
gnosa Medis & Nanda Nic Noc. Yogyakarta: Media Ction Publishing.