Anda di halaman 1dari 17

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Patofisiologi Thalasemia
1. Definisi Thalasemia

Thalasemia merupakan gangguan sintesis hemoglobin (Hb), khususnya rantai globin,


yang diturunkan. Penyakit genetik ini memiliki jenis dan frekuensi terbanyak di dunia.
Thalasemia mempengaruhi kemampuan dalam menghasilkan hemoglobin yang berakibat
pada penyakit anemia. Hemoglobin adalah suatu protein dalam sel darah merah yang
mengangkut oksigen dan nutrisi lainnya ke sel-sel lainnya dalam tubuh. Thalasemia
merupakan penyakit kongenetal herediter yang diturunkan secara autosomal berdasarkan
kelainan hemoglobin , dimana satu atau dua rantai Hb kurang atau tidak terbentuk secara
sempurna sehingga terjadi anemia hemolitik. Kelainan hemolitik ini mengakibatkan
kerusakan pada sel darah merah di dalam pembuluh darah (Kliegam,2012).
Thalasemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan masuk ke
dalam kelompok hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan oleh gangguan sistem
hemoglobin akibat mutasi di dalam atau dekat gen globin. Mutasi gen globin ini dapat
menimbulkan dua perubahan rantai globin, yakni perubahan struktur rangkaian asam amino
acid sequence rantai globin tertentu, disebut hemoglobinopati struktural, Perubahan
kecepatan sintesis atau kemampuan produksi rantai globin tertentu disebut
Thalasemia.Thalasemia adalah penyakit yang diturunkan kepada anaknya. Anak yang
mewarisi gen Thalasemia dari satu orangtua dan gen normal dari orangtua yang lain adalah
seorang pembawa (carriers). Anak yang mewarisi gen Thalasemia dari kedua orangtuanya
akan menderita Thalasemia sedang sampai berat (Nurarif, 2013).

2. Etiologi Talasemia Pada Anak


Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan yang tidak dapat ditularkan. Banyak
diturunkan oleh pasangan suami isteri yang mengidap thalassemia dalam sel – selnya/ Faktor
genetik (Suriadi, 2001). Thalassemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang
diturunkan secara genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut
sebagai gen globin beta yang terletak pada kromosom 11. Pada manusia kromosom selalu
ditemukan berpasangan. Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu
komponen pembentuk hemoglobin. Bila hanya sebelah gen globin beta yang mengalami
kelainan disebut pembawa sifat thalassemia-beta.
Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal/sehat, sebab masih mempunyai 1
belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi dengan baik). Seorang pembawa sifat
thalassemia jarang memerlukan pengobatan. Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua
kromosom, dinamakan penderita thalassemia (Homozigot/Mayor). Kedua belah gen yang
sakit tersebut berasal dari kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat thalassemia.
Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya dan
sebelah lagi dari ayahnya.
Bila kedua orang tuanya masing-masing pembawa sifat thalassemia maka pada setiap
pembuahan akan terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama si anak
mendapatkan gen globin beta yang berubah (gen thalassemia) dari bapak dan ibunya maka
anak akan menderita thalassemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen
thalassemia dari ibu atau ayah maka anak hanya membawa penyakit ini. Kemungkinan lain
adalah anak mendapatkan gen globin beta normal dari kedua orang tuanya.
Sedangkan menurut (Suriadi, 2001) Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan
yang tidak dapat ditularkan.banyak diturunkan oleh pasangan suami isteri yang mengidap
thalassemia dalam sel – selnya / Faktor genetik. Jika kedua orang tua tidak menderita
Thalassaemia trait/pembawasifat Thalassaemia, maka tidak mungkin mereka menurunkan
Thalasaemia trait/pembawa sifat Thalasaemia atau Thalasaemia mayor kepada anak-anak
mereka. Semua anak-anak mereka akan mempunyai darah yang normal.
Apabila salah seorang dari orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat
Thalassaemia sedangkan yang lainnya tidak, maka satu dibanding dua (50%)
kemungkinannya bahwa setiap anak-anak mereka akan menderita Thalassaemia
trait/pembawa sifat Thalassaemia, tidak seorang diantara anak-anak mereka akan menderita
Thalassaemia mayor. Orang dengan Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia adalah
sehat, mereka dapat menurunkan sifat-sifat bawaan tersebut kepada anak-anaknya tanpa ada
yang mengetahui bahwa sifat-sifat tersebut ada di kalangan keluarga mereka.
Apabila kedua orang tua menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia, maka
anak-anak mereka mungkin akan menderita Thalassaemia trait/pembawa sifat Thalassaemia
atau mungkin juga memiliki darah yang normal, atau mereka mungkin juga menderita
Thalassaemia mayor (Samuel, 2010).

3. Patofisiologi Thalasemia
Penyakit thalasemia disebabkan oleh adanya kelainan/perubahan/mutasi padagen globin
alpha atau gen globin beta sehingga produksi rantai globin tersebut berkurang atau tidak ada.
Didalam sumsum tulang mutasi thalasemia menghambat pematangan sel darah merah
sehingga eritropoiesis abnormal menurun dan mengakibatkan anemia berat. Akibatnya
produksi Hb berkurang dan sel darah merah mudah sekali rusak atau umurnya lebih pendek
dari sel darah normal (120 hari), (Kliegman,2012).
Hemoglobin yang terdapat dalam sel darah merah, mengandung zat besi (Fe). Kerusakan
sel darah merah pada penderita thalasemia mengakibatkan zat besi akan tertinggal di dalam
tubuh. Pada manusia normal, zat besi yang tertinggal dalam tubuh digunakan untuk
membentuk sel darah merah baru. Pada penderita thalasemia, zat besi yang ditinggalkan sel
darah merah yang rusak itu menumpuk dalam organ tubuh seperti jantung dan hati (lever).
Jumlah zat besi yang menumpuk dalam tubuh atau iron overload ini akan mengganggu
fungsi organ tubuh. Penumpukan zat besi terjadi karena penderita thalasemia memperoleh
suplai darah merah dari transfusi darah. Penumpukan zat besi ini, bila tidak dikeluarkan,
akan sangat membahayakan karena dapat merusak jantung, hati, dan organ tubuh lainnya,
yang pada akhirnya bisa berujung pada kematian (Kliegman,2012).
4. WOC Thalasemia

5. Klasifikasi Talasemia Pada Anak


Thalasemia dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis hemoglobin yang mengalami
gangguan menjadi Thalasemia alfa dan beta. Sedangkan berdasarkan jumlah gen yang
mengalami gangguan, thalasemia diklasifikasikan menjadi (Samuel, 2010) :
1. Thalasemia minor (Trait)
Thalasemia minor merupakan keadaan yang terjadi pada seseorang yang sehat namun
orang tersebut dapat mewariskan gen Thalasemia pada anak-anaknya. Thalasemia trait
sudah ada sejak lahir dan tetap akan ada sepanjang hidup penderita. Penderita tidak
memerlukan transfusi darah dalam hidupnya.
2. Thalasemia Intermedia
Thalasemia intermedia merupakan kondisi antara Thalasemia mayor dan minor. Penderita
Thalasemia ini mungkin memerlukan transfusi darah secara berkala, dan penderita
Thalasemia jenis ini dapat bertahan hidup sampai dewasa.
3. Thalasemia Mayor
Thalasemia jenis ini sering disebut Cooley Anemia dan terjadi apabila kedua orangtua
mempunyai sifat pembawa Thalasemia (Carrier). Anak-anak dengan Thalasemia mayor
tampak normal saat lahir, tetapi akan menderita kekurangan darah pada usia 3-18 bulan.
Penderita Thalasemia mayor akan memerlukan transfusi darah secara berkala seumur
hidupnya dan dapat meningkatkan usia hidup hingga 10-20 tahun. Namun apabila
penderita tidak dirawat penderita Thalasemia ini hanya bertahan hidup sampai 5-6 tahun
(Hockenberry & Wilson, 2009). Thalasemia mayor biasanya menjadi bergejala sebagai
anemia hemolitik kronis yang progresif selama 6 bulan kehidupan. Transfusi darah
reguler diperlukan pada penderita ini untuk mencegah kelemahan yang amat dan gagal
jantung yang disebabkan oleh anemia (Hockenberry & Wilson, 2009).

6. Manifestasi Klinik Talasemia Pada Anak


Thalassemia memiliki gejala yang mirip terapi beratnya bervariasi, sebagian besar
mengalami gangguan anemia ringan (Samuel, 2010) :
1.Thalasemia minor (thalasemia heterogen) umumnya hanya memiliki gejala berupa anemia
ringan sampai sedang dan mungkin bersifat asimtomatik dan sering tidak terdeksi.
2.Thalasemia mayor, pada umumnya menampakkan manifestasi klinis pada usia 6 bulan,
setelah efek Hb 7 menghilang, anemia, demam, yang tidak dapat dijelaskan, cara makan
yang buruk, penurunan BB dan pembesaran limpa.
3. Gejala lain penderita Thalasemia ialah jantung mudah berdebar-debar, karena oksigen
yang dibawah tersebut kurang, maka jantung juga akan berusaha bekerja lebih keras
sehingga jantung penderita akan mudah berdebar-debar, dan semakin lama jantung akan
bekerja lebih keras sehingga lebih cepat lelah. Sehingga terjadi lemah jantung, limfa
penderita menjadi besar dikarenakan pengahancuran darah terjadi disana, dan selain itu
sumsum tulang belakang juga bekerja lebih keras berusaha mengkompensasi kekurangan
Hb, sehingga tulang menjadi tipis dan rapuh. Jika ini terjadi pada muka tulang hidung
maka wajah akan berubah bentuk, batang hidung akan hilang atau melesak kedalam
(fasise cookey) ini merupakan salah satu tanda khas penderita thalassemia. (Hockenberry
& Wilson, 2009)
4. Perubahan pada tulang karena hiperaktivitas sumsum merah berupa deformitas dan
fraktur spontan, terutama pada kasus yang tidak atau kurang mendapat tranfusi darah.
Deformitas tulang, disamping mengakibatkan muka mongoloid, dapat menyebabkan
pertumbuhan berlebihan tulang prontal dan zigomatin serta maksila, serta pertumbuhan
gigi biasanya buruk.
5. Pada anak lemah, pucat, perkembangan fisik tida sesuai umur, berat badan kurang, perut
membuncit. Jika pasien tidak sering mendapat tranfusi darah kulit menjadi kelabu serupa
dengan besi akibat penimbunan besi dalam jaringan kulit.
6. Pada hapusan darah tepi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik, anisositosis,
polklilositosis, dan adanya sel target (fragmentasi dan banyak sel normoblas).
7. Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi (IBC) menjadi
rendah dan dapat mencapai nol.
8. Kadar bilirubin dalam serum meningkat, karena kerusakan parankim hati oleh
hemosiderosis.

7. Komplikasi Talasemia Pada Anak


Komplikasi jangka panjang sebagai akibat dari hemokromatosis dengan kerusakan sel
resultan yang dapat mengakibatkan (Hockenberry & Wilson, 2009):
1. Splenomegali.
2. Komplikasi skeletal, seperti menebalan tulang kranial, pembesaran kepala, tulang wajah
menonjol, maloklusi gigi, dan rentan terhadap fraktur spontan.
3. Komplikasi jantung, seperti aritmia, pericarditis, CHF (Gagal Jantung) dan fibrosis serat
otot jantung.
4. Penyakit kandung empedu, termasuk batu empedu.
5. Pembesaran hepar dan berlanjut menjadi sirosis hepatis.
6. Perubahan kulit, seperti ikrerus dan fragmentasi coklat akibat defisit zat besi.

8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Thalasemia terdapat dua, yaitu secara screening test dan definitive test.
1. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai gangguan
Thalasemia (Wiwanitkit, 2007).
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada
kebanyakkan Thalasemia kecuali Thalasemia α silent carrier. Pemeriksaan apusan
darah rutin dapat membawa kepada diagnosisThalasemia tetapi kurang berguna
untuk skrining.
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit. Secara dasarnya
resistan eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida dikurangkan dikira. Studi
yang dilakukan menemui probabilitas formasi pori-pori pada membran yang regang
bervariasi mengikut order ini: Thalasemia < kontrol < spherositosis. Studi OF
berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik telah dilakukan dan berdasarkan satu
penelitian di Thailand, sensitivitinya adalah 91.47%, spesifikasi 81.60, false positive
rate 18.40% dan false negative rate 8.53%. (Hockenberry & Wilson, 2009).
c. Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya dapat
mendeteksi mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai diagnostik. Maka
metode matematika dibangunkan (Hockenberry & Wilson, 2009)
2. Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan berbagai jenis tipe hemoglobin di dalam
darah. Pada dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-
3%, Hb F 0.8-2% (anak di bawah 6 bulan kadar ini tinggi sedangkan neonatus bisa
mencapai 80%). Nilai abnormal bisa digunakan untuk diagnosis Thalassemia
seperti pada Thalassemia minor Hb A2 4-5.8% atau Hb F 2-5%, Thalassemia Hb H:
Hb A2 <2% dan Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada negara tropikal
membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J
(Wiwanitkit, 2007).
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb C.
Pemeriksaan menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC) pula
membolehkan penghitungan aktual Hb A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C atau
Hb E. Metode ini berguna untuk diagnosa Thalassemia β karena bisa
mengidentifikasi hemoglobin dan variannya serta menghitung konsentrasi dengan
tepat terutama Hb F dan Hb A2. (Wiwanitkit, 2007)
c. Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis Thalassemia.
Molecular diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe Thalassemia malah dapat
juga menentukan mutasi yang berlaku.

9. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Suriadi, 2001) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain:
1. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari pemberian transfusi
darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi yang disebut
hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian deferoxamine
(Desferal), yang berfungsi untuk mengeluarkan besi dari dalam tubuh (iron chelating
agent). Deferoxamine diberikan secar intravena, namun untuk mencegah hospitalisasi
yang lama dapat juga diberikan secara  subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
2. Splenectomy: dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan meningkatkan
rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen (transfusi).
3. Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian tambahan
asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari tambahan zat besi dan
obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan
bisa menyebabkan keracunan. Pada bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan
pencangkokan sumsum tulang. Terapi genetik masih dalam tahap penelitian.
4. Menurunkan atau mencegah hemosiderosis dengan pemberian parenteral obat penghelasi
besi (iro chelating drugs), de feroksamin diberikan subkutan dalam jangka 8-12 jam
dengan menggunakan pompa portabel kecil (selamat tidur), 5-6 malam/minggu.

2.2 Asuhan Keperawatan

Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Masalah Talasemia


1. Pengkajian
a. Asal Keturunan / Kewarganegaraan
Thalasemia banyak dijumpai pada bangsa di sekitar laut Tengah (Mediteranial)
seperti Turki,Yunani, dll. Di Indonesia sendiri, thalasemia cukup banyak dijumpai
pada anak, bahkan merupakan penyakit darah yang paling banyak diderita.
b. Umur
Pada penderita thalasemia mayor yang gejala klinisnya jelas, gejala telah terlihat sejak
anak berumur kurang dari 1 tahun, sedangkan pada thalasemia minor biasanya anak a
kan dibawa ke RS setelah usia 4 tahun.
c. Riwayat Kesehatan 
Anak-anak cenderung mudah terkena infeksi saluran pernapasan atas atau infeksi
lainnya. Inidikarenakan rendahnya Hb yang berfungsi sebagai alat transport.
d. Pertumbuhan dan Perkembangan
Seirng didapatkan data adanya kecenderungan gangguan terhadap tumbang sejak
masih bayi.Terutama untuk thalasemia mayor, pertumbuhan fisik anak, adalah kecil
untuk umurnya dan adanya keterlambatan dalam kematangan seksual, seperti tidak
ada pertumbuhan rambut pubis dan ketiak, kecerdasan anak juga mengalami
penurunan. Namun pada jenis thalasemia minor,sering terlihat pertumbuhan dan
perkembangan anak normal.
e. Pola Makan
Terjadi anoreksia sehingga anak sering susah makan, sehingga BB rendah dan tidak
sesuai usia.
f. Pola Aktivitas
Anak terlihat lemah dan tidak selincah anak seusianya. Anak lebih banyak
tidur/istirahat karena anak mudah lelah.
g. Riwayat Kesehatan Keluarga
Thalasemia merupakan penyakit kongenital, jadi perlu diperiksa apakah orang tua
juga mempunyai gen thalasemia. Jika iya, maka anak beresiko terkena talasemia
mayor.
h. Riwayat Ibu Saat Hamil (Ante natal Core - ANC)
Selama masa kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam adanya faktor
resikotalasemia. Apabila diduga ada faktor resiko, maka ibu perlu diberitahukan
resiko yang mungkinsering dialami oleh anak setelah lahir
i. Data Keadaan Fisik Anak Thalasemiaa. 
1) KU = lemah dan kurang bergairah, tidak selincah anak lain yang seusia. 
2) Kepala dan bentuk muka. Anak yang belum mendapatkan pengobatan
mempunyai bentuk khas, yaitu kepala membesar dan muka mongoloid (hidung
pesek tanpa pangkal hidung), jarak mata lebar, tulang dahi terlihat lebar.
3) Mata dan konjungtiva pucat dan kekuningan
4) Mulut dan bibir terlihat kehitaman
5) Dada, Pada inspeksi terlihat dada kiri menonjol karena adanya
pembesaran jantung dan disebabkan oleh anemia kronik.
6) Perut, Terlihat pucat, dipalpasi ada pembesaran limpa dan hati (hepatospek
nomegali)
7) Pertumbuhan fisiknya lebih kecil daripada normal sesuai usia, BB di bawah
normal
8) Pertumbuhan organ seks sekunder untuk anak pada usia pubertas tidak tercapai
dengan baik. Misal tidak tumbuh rambut ketiak, pubis ataupun kumis
bahkan mungkin anak tidak dapat mencapai tapa odolense karena adanya anemia
kronik.
9) Kulit, Warna kulit pucat kekuningan, jika anak telah sering mendapatkan tranfusi
warna kulitakan menjadi kelabu seperti besi. Hal ini terjadi karena adanya
penumpukan zat besi dalam jaringan kulit (hemosiderosis)

2. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler
yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai O2 dan
kebutuhan.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kegagalan
untuk mencerna atau ketidakmampuan mencerna makanan/absorbsi nutrien yang
diperlukan untuk pembentukan sel darah merah normal.
d. Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan sirkulasi dan
neurologis.
e. Resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat, penurunan
Hb, leukopenia atau penurunan granulosit.
f. Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber informasi.
3. Intervensi Keperawatan
1. Dx 1 Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen
seluler yang diperlukan untuk pengiriman O2 ke sel.
Kriteria hasil :
a) Tidak terjadi palpitasi
b) Kulit tidak pucat
c) Membran mukosa lembab
d) Keluaran urine adekuat
e) Tidak terjadi mual/muntah dan distensil abdomen
f) Tidak terjadi perubahan tekanan darah
g) Orientasi klien baik.
Rencana keperawatan / intervensi :

a. Awasi tanda-tanda vital, kaji pengisian kapiler, warna kulit/ membran


mukosa, dasar kuku.
b. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi (kontra indikasi pada pasien
dengan hipotensi).
c. Selidiki keluhan nyeri dada, palpitasi.
d. Kaji respon verbal melambat, mudah terangsang, agitasi, gangguan memori,
bingung.
e. Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan, dan tubuh hangat
sesuai indikasi.
f. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium, Hb, Hmt, AGD, dll.
g. Kolaborasi dalam pemberian transfusi.
h. Awasi ketat untuk terjadinya komplikasi transfusi. Rasional:
a) Indikator umum status sirkulasi dan keadekuatan sirkulasi
b) Untuk mengetahui ststus kesadaran pasien
c) Untuk mensuplai kebutuhan organ tubuh
2. Dx. 2 intoleransi aktivitas berhubungan degnan ketidak seimbangan antara suplai
O2 dan kebutuhan.
Kriteria hasil :
Menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi, misalnya nadi, pernapasan
dan Tb masih dalam rentang normal pasien.
Intervensi :
a) Kaji kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas, catat kelelahan dan
kesulitan dalam beraktivitas.
b) Awasi tanda-tanda vital selama dan sesudah aktivitas.
c) Catat respin terhadap tingkat aktivitas.
d) Berikan lingkungan yang tenang.
e) Pertahankan tirah baring jika diindikasikan.
f) Ubah posisi pasien dengan perlahan dan pantau terhadap pusing.
g) Prioritaskan jadwal asuhan keperawatan untuk meningkatkan istirahat.
h) Pilih periode istirahat dengan periode aktivitas.
i) Beri bantuan dalam beraktivitas bila diperlukan.
j) Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, tingkatkan aktivitas sesuai
toleransi.
k) Gerakan teknik penghematan energi, misalnya mandi dengan duduk.
Rasional:
a) Menentukan kemampuan atau kebutuhan klien
b) Aktifitas pengalihan dapat membantu anak mlakukan aktivitas sesuai
kemampuan
c) Istirahat yang cukup berguna untuk mempercepat pemulihan
kemanpuan anak

3. Dx. 3 perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


kegagalan untuk mencerna / ketidakmampuan mencerna makanan / absorbsi
nutrien yang diperlukan untuk pembentukan sel darah merah normal.
Kriteria hasil :

a) Menunjukkan peningkatan berat badan/ BB stabil.


b) Tidak ada malnutrisi. Intervensi :
a) Berikan makanan yang bergisi.
b) Berikan minuman yang bergisi misalnya susu
d) Beri makanan sedikit tapi sering.
e) Berikan suplemen atau vitamin pada anak
f) Berikan lingkungan yang menyenangkan Rasional :
a) Untuk memenuhi kebutuhan tubuh dan mempercepat pemuluhan
b) untuk memenuhi kebutuhan kalori
c) merangsang nafsu makan
d) memudahkan absorsi makanan
e) meningkatkan nafsu makan

4. Dx. 4 Resiko terjadi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan


sirkulasi dan novrologis.
Kriteria hasil :

Kulit utuh.

Intervensi :

a) Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gangguan warna, aritema
dan ekskoriasi.
b) Ubah posisi secara periodik.
c) Pertahankan kulit kering dan bersih, batasi penggunaan sabun.
Rasional :

a. Memberikan informasi dasar tentang peneneman dan kemungkinan petunjuk


tentang sirkulasi darah.
b. Menurunkan risiko infeksi infrak.
c. Gerakan jaringan dibawa dapat merubah posisi dan dapat mempengharui
penyembuhan optimal.
d. Perbaikan nutrisi akan mempercepat penyembuhan luka pada anak
e. Mengurangi jumlah Fe dalam tubuh.
f. Untuk mengi,bangi jumlah Fe yang tinggi dalam darah

5. Dx. 5. resiko infeksi berhubungan dengan pertahanan sekunder tidak adekuat:


a) Kriteria hasil :

a. Tidak ada demam


b. Tidak ada drainage purulen atau eritema
c. Ada peningkatan penyembuhan luka Intervensi :
a) Pertahankan teknik septik antiseptik pada prosedur perawatan.
b) Dorong perubahan ambulasi yang sering.
c) Tingkatkan masukan cairan yang adekuat.
d) Pantau dan batasi pengunjung.
e) Pantau tanda-tanda vital.
f) Kolaborasi dalam pemberian antiseptik dan antipiretik.
6. Dx. 6. Kurang pengetahuan tentang prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan salah interpretasi informasi dan tidak mengenal sumber
informasi.
a) Kriteria hasil :
a. Menyatakan pemahaman proses penyakit, prosedur diagnostika rencana
pengobatan.
b. Mengidentifikasi faktor penyebab.
c. Melakukan tindakan yang perlu/ perubahan pola hidup.
Intervensi :
a. Berikan informasi tentang thalasemia secara spesifik.
b. Diskusikan kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe dan beratnya
thalasemia.
c. Rujuk ke sumber komunitas, untuk mendapat dukungan secara
psikologis.
d. Konseling keluarga tentang pembatasan punya anak/ deteksi dini
keadaan janin melalui air ketuban dan konseling perinahan:
mengajurkan untuk tidak menikah dengan sesama penderita thalasemia,
baik mayor maupun minor.
e. Berikan informasi tentang thalasemia secara spesifik.
f. Diskusikan kenyataan bahwa terapi tergantung pada tipe dan beratnya
thalasemia.
g. Rujuk ke sumber komunitas, untuk mendapat dukungan secara
psikologis.
h. Konseling keluarga tentang pembatasan punya anak/ deteksi dini
keadaan janin melalui air ketuban dan konseling perinahan:
mengajurkan untuk tidak menikah dengan sesama penderita thalasemia,
baik mayor maupun minor.
4. Evaluasi
Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan oksigenasi ke sel-sel ditandai
dengan pasien mengatakan kepala terasa pusing, warna kulit pucat, bibir tampak kering,
nadi 70x/menit, R:45x/menit.

DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Hockenberry, MJ., & Wilson, D. 2009. Wong’s esentials of pediatric nursing. Phidelphia: Mosby


Elseiver.

Kliegman Behrman. (2012). Ilmu Keperawatan Anak edisi 15, Alih Bahasa Indonesia, A.
Samik Wahab. Jakarta : EGC.

Kliegam, Sylvia A dan Wilson, Hoffbrand. 2012. Patofisiologi : Konsep Klinis Edisi 6. Jakarta:


EGC. 

Nurarif, Amin Huda., & Hardhi, Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Dia
gnosa Medis & Nanda Nic Noc. Yogyakarta: Media Ction Publishing. 

Samuel, Pola Karta S. 2010. Thalasemia. Medan: MorphostLab E-BookPress

Suriadi. 2001. Keperawatan Medikal Bedal Thalasemia. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai