Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

Moral dan Sistem Filsafat Moral

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

FILSAFAT UMUM

DOSEN PENGAMPU: Drs. H. Tata Mohamad Fatah M. Pd.

Disusun oleh kelompok 2

2 PBS A
Nurbaeti (211420013)
Imamah Hastiati Hajidah (211420021)

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

UIN SULTAN MAULANA HASANUDDIN SERANG BANTEN

2021/2022

i
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT

yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami di beri

kesempatan dalam menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok

untuk mata kuliah Filsafat Umum, dengan judul “Moral dan Sistem Filsafat

Moral”.

Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita curahkan untuk junjungan Nabi

agung kita yakni Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjuk

Allah SWT kepada kita semua.

Selain itu Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak

terlepas dari bantuan banyak pihak yang dengan tulus memberikan do‟a, saran dan

kritik sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata

sempurna dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami

miliki.Oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran serta masukan

bahkan kritik yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya, kami berharap

semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan dunia

pendidikan.

Serang, 8 Maret 2022

Penulis

ii
Daftar Isi

Halaman Judul ..................................................................................................... i

Kata Pengantar .................................................................................................... ii

Daftar Isi .............................................................................................................. iii

BAB 1 Pendahuluan............................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................ 2

BAB 2 Pembahasan.............................................................................................. 3

A. Pengertian Moral dan Filsafat Moral........................................................... 3


B. Macam- Macam Moral dan Filsafat Moral.................................................. 5
C. Tujuan Moral ............................................................................................. 7
D. Sistem Filsafat Moral ................................................................................. 8

BAB 3 Penutup..................................................................................................... 21

A. Kesimpulan ................................................................................................ 21
B. Saran .......................................................................................................... 21

Daftar Pustaka ..................................................................................................... 22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Moral merupakan suatu peraturan yang sangat penting ditegakkan pada suatu
masyarakat karena dapat menjadi suatu rambu-rambu dalam kehidupan serta
pelindung bagi lingkungan tersebut. Moral dihasilkan dari perilaku intelektual,
emosi, atau hasil berfikir setiap manusia yang pada hakekatnya merupakan
aturan dalam kehidupan untuk menghargai dan dapat membedakan tentang
benar dan yang salah berlaku dalam suatu masyarakat. Bila orang membicarakan
moral seseorang maka yang dibicarakan ialah kebiasaan, tingkah laku atau
perbuatan orang atau kelompok masyarakat. Moralisasi dimaksudkan usaha
menyampaikan ajaranajaran moral tersebut, sehingga aturan-aturan, tingkah laku
dan perbuatan yang telah disepakati oleh seluruh masyarakat untuk dihayati dan
dilestarikan oleh anggota masyarakat maupun penerusnya, maka hal-hal yang
dianut dan dijadikan aturan tingkah laku tersebut dinamakan nilai-nilai moral. 1

Filsafat moral merupakan kajian ilmu yang secara garis besar membahas
tentang macam macam teori etika.Dalam teori etika terdapat dua pembagian
diantaranya teleologis dan deontologis.Teori teleologis menentukan baik
buruknya suatu tindakan dari baik buruknya akibat yang menjadi
tujuannya.Berbeda dengan etika teleologis,etika deontologis berpandangan
bahwa moralitas suatu tindakan melekat pada tindakan itu sendiri bukan
finalitasnya. Filsafat etika atau moral yaitu ilmu yang dipake dalam nilai norma
moral yang menjadi pegangan seseorang dalam mengatur tingkah lakunya.2

1
http://eprints.ums.ac.id/30983/2/04._BAB_I.pdf (diakses pada tanggal 9 maret 2022 ).
2
Mg. Aang ,”Filsafat Moral”,2016, hal. 2,( diakses pada
https://ang99site.wordpress.com/2016/06/16/filsafat-moral/ tanggal 9 maret 2022).

1
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud moral dan filsafat moral?


2. Bagaimana Sistem Filsafat Moral?
3. Apa saja macam-macam Moral dan Filsafat Moral?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui apa itu yang dimaksud moral dan s filsafat moral.


2. Mengetahui bagaimana sistem filsafat moral.
3. Mengetahui macam-macam Moral dan Filsafat Moral.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Moral dan Filsafat Moral (Etika)

Pengertian moral adalah ajaran mengenai baik buruknya suatu perbuatan


maupun perilaku, serta berkaitan erat dengan akhlak yang dimiliki masyarakat.
Di dalam kehidupan, terdapat indikasi seseorang dapat dianggap bermoral, yaitu
apabila memiliki kesadaran untuk menerima serta melaksanakan peraturan yang
berlaku, kemudian bersikap atau bertingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai
moral yang dijunjung tinggi dalam masyarakat 3.

Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti tempat tinggal yang
biasa, padang rumpt, kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara
berpikir. dalam bentuk jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir
inilah terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk
menunjukkan filsafat moral. Etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan
atau ilmu tentang adat kebiasaan. Ada juga kata moral dari bahasa Latin yang
artinya sama dengan etika.4
Secara istilah etika memunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai dan norma-
norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Arti ini bisa disebut sistem nilai. Misalnya etika
Protestan, etika Islam, etika suku Indoan. Kedua, etika berarti kumpulan asas
atau nilai moral (kode etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti,
dll. Ketiga, etika berati ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu
bila kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau penelitian
sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan filsafat moral.
3
Dosen Sosiologi.com,” Pengertian Moral, Macam, Tujuan, dan Contohnya di Masyarakat,”
2022,hal. 1(diakses pada https://dosensosiologi.com/pengertian-moral/ tanggal 9 maret 2022).
4
Evia Yunita,” Filsafat Moral (Etika),” 2016, ( diakses pada
https://eviayunita.wordpress.com/2016/12/26/filsafat-moral-etika tanggal 9 maret 2022).

3
Amoral berarti tidak berkaitan dengan moral, netral etis. Immoral berarti tidak
bermoral, tidak etis. Etika berbeda dengan etiket. Yang terakhir ini berasal dari
kata Inggris etiquette, yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya cukup
tajam, antara lain: etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan, etika
menunjukkan norma tentang perbuatan itu. Etiket hanya berlaku dalam
pergaulan, etika berlaku baik baik saat sendiri maupun dalam kaitannya dengan
lingkup sosial. etiket bersifat relatif, tergantung pada kebudayaan, etika lebih
absolut. Etiket hanya berkaitan dengan segi lahiriyah, etika menyangkut segi
batiniah.
Moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, menjadi ciri
yang membedakan manusia dari binatang. Pada binatang tidak ada kesadaran
tentang baik dan buruk, yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus dan
tidak pantas dilakukan. Keharusan memunyai dua macam arti: keharusan
alamiah (terjadi dengan sendirinya sesuai hukum alam) dan keharusan moral
(hukum yang mewajibkan manusia melakukan atau tidak melakukan sesuatu).

a. Pengertian Moral Menurut Para Ahli


Adapun definisi moral menurut para ahli, antara lain adalah sebagai berikut;

1. Russel Swanburg, Menurut Russel Swanburg, moral bermakna sebagai


suatu pernyataan dari ide, gagasan, maupun pemikiran yang berhubungan
dengan dorongan yang menggelegak pada diri seseorang dalam bekerja dan
berfungsi sebagai aspek yang membangkitkan perilaku seseorang tersebut 5.
2. Elizabeth B. Hurlock, Menurut Elizabeth B. Hurlock, pengertian moral
adalah suatu tatanan kebiasaan, kebudayaan dan adat istiadat yang berlaku
dari suatu peraturan berorientasi pada perilaku yang telah menjadi kebiasaan
bagi masyarakat dalam suatu makna kebudayaan.

5 Dosen Sosiologi.com,” Pengertian Moral, Macam, Tujuan, dan Contohnya di Masyarakat,”


2022, hal. 2(diakses pada https://dosensosiologi.com/pengertian-moral/ tanggal 9 maret 2022).

4
3. Maria J. Wantah, Menurut Maria J Wantah, pengertian moral adalah
sesuatu yang berkaitan erat dengan kemampuan dalam menentukkan nilai
benar atau salah serta baik atau buruknya suatu perilaku yang melekat pada
diri setiap individu yang hidup dalam suatu masyarakat.

4. Imam Sukardi, Menurut Imam Sukardi, pengertian moral adalah


karakteristik yang melekat sebagai sesuatu yang mengandung nilai-
nilai kebaikan yang dijunjung tinggi dalam masyarakat berdasarkan sistem nilai
yang diterapkan bersama.

B. Macam-macam Moral dan Filsafat Moral (Etika)


- Moral Ketuhanan

Moral Ketuhanan dimaknai sebagai semua hal yang berkaitan dengan


keagamaan atau kepercayaan, sebagai macam moral yang bersifat religius
bersumberkan dari ajaran agama tertentu dan memiliki pengaruh yang relatif
terhadap diri seseorang.6

Moral ketuhanan dapat diwujudkan dengan beragam hal yang dijumpai


dalam kehidupan, misalnya melaksanakan ajaran agama yang dianut dengan
taat. Contoh; menghargai sesama manusia, menghargai agama atau keyakinan
yang berlainan, dan hidup berdampingan dengan rukun antar umat yang berbeda
keyakinan.

- Moral Ideologi dan Filsafat

Moral ideologi dan filsafat merupakan moral yang berhubungan dengan


semangat kebangsaan, kepatuhan serta kesetiaan kepada bangsa dan negara,
dengan mencapai tujuan yang hendak dicapai secara bersamaan.

- Moral Etika dan Kesusilaan

Moral bentuk etika dan kesusilaan bermakna segala sesuatu yang


berkaitan dengan aspek kesopaan dan kesusilaan yang dijunjung tinggi oleh
6
Ibid, hal 3

5
masyarakat pada wilayah tertentu, serta secara meluas mengacu pada fondasi
bangsa dan negara dari perspektif kebudayaan.

- Moral Disiplin dan Hukum

Moral Disiplin dan Hukum bermakna segala sesuatu yang berkaitan dengan
ketentuan pada tata aturan secara profesional dan hukum yang berlaku di
masyarakat dan juga secara meluas mencakup negara.

Moral disiplin dan hukum, dapat dicontohkan misalnya melakukan


kegiatan berdasarkan tata peraturan yang berlaku. Misalnya: selalu
menggunakan perlengkapan berkendara secara lengkap sebagai kewajiban yang
harus ditaati, serta mematuhi rambu-rambu lalu lintas ketika berkendara di jalan
raya.

- Etika deskriptif
Hanya melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat
kebiasaan suatu kelompok, tanpa memberikan penilaian. Etika deskriptif
memelajari moralitas yang terdapat pada kebudayaan tertentu, dalam periode
tertentu. Etika ini dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial: antropologi, sosiologi,
psikologi, dll, jadi termasuk ilmu empiris, bukan filsafat. 7
- Etika normatif
Etika yang tidak hanya melukiskan, melainkan melakukan penilaian
(preskriptif: memerintahkan). Untuk itu ia mengadakan argumentasi, alasan-
alasan mengapa sesuatu dianggap baik atau buruk. Etika normatif dibagi
menjadi dua, etika umum yang memermasalahkan tema-tema umum, dan etika
khusus yang menerapkan prinsip-prinsip etis ke dalam wilayah manusia yang
khusus, misalnya masalah kedokteran, penelitian. Etika khusus disebut juga
etika terapan.
- Metaetika ,Meta berati melampaui atau melebihi.

7
Evia Yunita,” Filsafat Moral (Etika),” 2016, ( diakses pada
https://eviayunita.wordpress.com/2016/12/26/filsafat-moral-etika tanggal 9 maret 2022).

6
Yang dibahas bukanlah moralitas secara langsung, melainkan ucapan-ucapan
kita di bidang moralitas. Metaetika bergerak pada tataran bahasa, atau
memelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis. Metaetika dapat ditempatkan
dalam wilayah filsafat analitis, dengan pelopornya antara lain filsuf Inggris
George Moore (1873-1958). Filsafat analitis menganggap analisis bahasa
sebagai bagian terpenting, bahkan satu-satunya, tugas filsafat.
Salah satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah the
is/ought question, yaitu apakah ucapan normatif dapat diturunkan dari ucapan
faktual. Kalau sesuatu merupakan kenyataan (is), apakah dari situ dapat
disimpulkan bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought).
Dalam dunia modern terdapat terutama tiga situasi etis yang menonjol.
Pertama, pluralisme moral, yang timbul berkat globalisasi dan teknologi
komunikasi. Bagaimana seseorang dari suatu kebudayaan harus berperilaku
dalam kebudayaan lain. ini menyangkut lingkup pribadi. Kedua, masalah etis
baru yang dulu tidak terduga, terutama yang dibangkitkan oleh adanya temuan-
temuan dalam teknologi, misalnya dalam biomedis. Ketiga, adanya kepedulian
etis yang universal, misalnya dengan dideklarasikannya HAM oleh PBB pada 10
Desember 1948.

C . Tujuan Moral

Moral memiliki beberapa tujuan yang sebagai berikut:

1. Untuk menjamin terwujudnya harkat dan martabat pada diri seseorang

Keberadaan moral salah satunya berfungsi untuk menjamin harkat dan


martabat yang melekat pada seseorang, yang kemudian dapat mewujudkan nilai-
nilai kemanusiaan yang memperhatikan aspek keadilan serta menghargai
individu lain dalam kehidupan. 8

2. Sebagai landasan manusia agar bersikap dan bertindak dengan didasari


nilai- nilai kebaikan

8
Ibid.

7
Keberadaan moral dan etika dapat bermanfaat sebagai landasan atau acuan
agar tidak bersikap semena- mena, serta memperhatikan nilai- nilai kebaikan
kepada sesama dengan beragam perbedaan, seperti perbedaan kepentingan
ataupun kebudayaan.

3. Untuk menjaga keharmonisan hubungan sosial antar manusia dalam


kehidupan

Fungsi moral berperan sebagai landasan kepercayaan yang ditanamkan


terhadap sesama. Selain itu dengan moral dapat mendorong rasa saling
menghormati dan menghargai, yang bertujuan untuk menciptakan
9
keharmonisan hubungan sosial antar manusia dalam kehidupan.

4. Menciptakan kehidupan manusia lebih bahagia, baik secara rohani


maupun jasmani

Dengan mengoptimalkan fungsi moral,masyarakat mematuhi segala


peraturan dengan berlandaskan pada nilai- nilai kebaikan sehingga tidak ada rasa
menyesal, tekanan- tekanan, konflik batin, dan perasaan bersalah atau berdosa
karena berbuat tidak sesuai norma yang ada.

D. Sistem Filsafat Moral

beberapa sistem filsafat moral Berbagai aliran untuk menentukan ukuran


baik HEDONISME, EUDEMONISME, UTILITARISME, DEONTOLOGI.

1. HEDONISME

HEDONISME Yunani “ Hedone” = baik apa yg memuaskan keinginan kita, apa


yg meningkatkan kuantitas kesenangan atau kenikmatan dlm diri kita Dalam
10
hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam ; manusia menurut
kodratnya mencari kesenangan & berupaya menghindari
ketidaksenangan Sebagai ukuran tindakan baik adalah hedone ; kenikmatan &

9
Ibid.
10
Budi Sanjaya Saragih,”Sistem Filsafat Moral”,2011,hal. 1.( diakses pada
https://zaysaragih.blogspot.com/2011/11/sistem-filsafat-moral.html tanggal 9 Maret 2022).

8
kepuasan rasa “Tingkah laku atau perbuatan yang melahirkan kebahagiaan dan
kenikmatan/kelezatan”. Ada tiga sudut pandang dari faham ini yaitu

hedonisme individualistik/egostik hedonism yang menilai bahwa jika


suatu keputusan baik bagi pribadinya maka disebut baik, sedangkan jika
keputusan tersebut tidak baik maka itulah yang buruk; hedonism
rasional/rationalistic hedonism yang berpendapat bahwa kebahagian atau
kelezatan individu itu haruslah berdasarkan pertimbangan akal sehat;
dan universalistic hedonism yang menyatakan bahwa yang menjadi tolok ukur
apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk adalah mengacu kepada akibat
perbuatan itu melahirkan kesenangan atau kebahagiaan kepada seluruh makhluk.

Hedonisme adalah sebuah aliran filsafat Yunani – dicetuskan oleh


Aristipos dan Epikuros – yang bertujuan menghindari kesengsaraan dan
penderitaan dengan menikmati kebahagiaan hidup duniawi sebanyak mungkin.
Ketika kekaisaran Romawi menguasai Eropa dan Afrika, muncullah semboyan
baru hedonisme, yaitu carpe direm, yang berarti „raihlah kenikmatan sebanyak
mungkin selagi engkau hidup‟. Sejak itu dalam hedonisme kebahagiaan
dimaknai sebagai kenikmatan duniawi semata-mata.

Seiring perkembangan zaman dan teknologi, maka kebutuhan manusia


pun semakin bertambah dan beragam. Dan ketika tumbuh juga kebutuhan untuk
dipandang sebagai manusia eksklusif, yang kemudian dianggap sebagai harga
mati maka yang terjadi adalah serangan virus hedonis yang meluas, hingga ke
kalangan remaja sekalipun. Mereka – sering tanpa mempedulikan kemampuan
orang tua – terseret, atau dengan sengaja menenggelamkan diri, dalam arus
hedonisme. Terutama kalangan remaja perkotaan. 11

Tengok saja, betapa banyaknya remaja yang lalu lalang di mall atau
pusat-pusat keramaian dengan telepon genggam model mutakhir di tangan,
dengan pakaian dan aksesoris serba mahal, dengan gestur yang membahasakan
eksklusifitas diri, berbelanja barang-barang mewah yang mahal dan bermerk.

11
Ibid, hal. 2.

9
Sudah nyaris menjadi suatu hal yang dimahfumi memang, tapi bukan berarti
tidak perlu dicermati dan disikapi dengan benar – agar remaja kita tidak menjadi
hedonis-hedonis yang mendewakan segala jenis kenikmatan duniawi. Perlu
diingat bahwa hedonisme sangat dekat dengan narkoba dan perilaku seks bebas.

Sebenarnya hedonisme memiliki aspek negatif dan positif, namun orang


lebih banyak melihat aspek negatifnya, karena gaya hidup hedonis nampaknya
hanya sebuah hal yang berkutat seputar sensasi saja. Ada dua level hedonisme,
yaitu level individual dan level sosial. Jika berada dalam level individual, maka
masih dapat dikatakan positif, karena bagaimanapun setiap orang berhak untuk
mendapatkan kebahagiaan. Terutama jika didahului dengan sebuah usaha dan
kerja keras. Hedonisme akan menjadi masalah jika sudah memasuki level sosial,
ketika lingkungan sekitar mengalami krisis dan sekian banyak kesulitan hidup,
tapi ada sebagian orang sibuk berfoya-foya dengan gaya yang super „wah„ –
berkesan tidak berempati pada kondisi sekitar. Dan hedonisme di kalangan
remaja terjadi terutama karena remaja belum memiliki filter diri yang baik,
masih belum memiliki banyak pengalaman, remaja juga berada dalam masa
pencarian diri sementara mereka belum memiliki mekanisme pengendalian diri
12
yang kuat, sehingga lebih rentan terpapar virus hedonisme. Kondisi ini
diperburuk oleh kehidupan perkotaan dengan ruangnya yang besar di mana
orang-orang yang tidak saling mengenal, sehingga keinginan untuk
menunjukkan identitas dan posisi diri semakin besar. Pada remaja, status
simbolnya adalah ingin tampil beda, tanpa berpikir apakah itu pantas atau tidak
untuk dirinya.

Wajar saja memang jika remaja ingin mencoba sesuatu yang baru,
bergaul, dan sebagainya. Namun semua itu harus memiliki batasan-batasan, dan
batasannya tidak dapat disamakan dengan yang dimiliki orang dewasa. Jika
remaja sudah melampaui batas, maka orang tua wajib menghentikannya. Dengan
menetapkan aturan-aturan baru yang mempersempit geraknya, sebaiknya

12
Ibid, hal. 2.

10
dilakukan secara bertahap namun tetap tegas. Misalnya mengurangi uang jajan,
menerapkan jam malam, dan sebagainya.

Remaja berada dalam periode yang sangat labil secara emosional dan
dunia mereka tengah bergeser dari keluarga menjadi lingkungan pergaulan.
Maka jika mereka „berbeda‟ dengan kelompoknya, mereka akan merasa tidak
nyaman, takut tidak diterima atau disebut „aneh‟ dan sebagainya. Orang tua
harus dapat mengarahkan pola pikir seperti itu agar mereka tidak terjerumus dan
menjadikan hedonisme sebagai gaya hidup.13

Orang tua adalah tokoh utama dalam pembentukan kepribadian seorang


remaja. Orang tua harus menanamkan nilai-nilai positif sejak dini pada anak.
Orang tua harus terbuka dan tidak memandang remeh kemampuan remaja-
remaja mereka dalam merespon keterbukaan tersebut. Dukungan yang kuat dari
keluarga akan membentuk pribadi yang kuat pula, sehingga menjadi tameng dari
hal-hal negatif di luar rumah. Dukungan dapat membuat anak merasa nyaman
dan memiliki self-esteem yang kuat.

Namun bila remaja kita terlanjur konsumtif, ada beberapa langkah yang dapat
dilakukan oleh para orang tua:

Berdialog. Komunikasi adalah kunci utama dalam terciptanya hubungan


yang harmonis antara anak dengan orang tua. Namun, masih banyak sekali
orang tua yang merasa tidak harus mendiskusikan segala seuatu dengan
anaknya. Sehingga yang terjadi adalah komunikasi satu arah, di mana tugas
tinggal mematuhi saja. Padahal larangan tanpa didasari alasan yang jelas dan
logis hanya akan memicu pemberontakkan dari si anak. Dengan berdiskusi
orang tua menjadi tahu apa yang dirasakan, diinginkan, dan dipikirkan oleh
anak. Dengan berbicara, anak juga menjadi tahu, mengerti, dan memahami
kondisi-kondisi yang tengah dialami orang tuanya.

13
Ibid, hal. 3

11
Pembatasan uang saku. Hedonisme identik dengan materi, oleh karena itu orang
tua harus dapat menetapkan batasan dengan cermat dan cerdas. Pembatasan ini
dimaksudkan agar anak tidak menjadi pribadi yang instan.Melakukan kegiatan
positif. Orang tua perlu mendorong anak melakukan kegiatan-kegiatan positif
yang dapat mengembangkan bakat dan potensi anak. Dengan demikian anak
lebih fokus untuk berprestasi.

Karena anak banyak menghabiskan waktunya di sekolah, maka pihak


sekolah – dalam hal ini para guru dan pendidik – juga memiliki peranan yang
besar. Diharapkan sekolah dapat menetapkan peraturan yang membuat anak-
anak berpenampilan sederhana dan sesuai dengan usia mereka. Misalnya
seragam sekolah untuk siswi tidak boleh pendek, sepatu dan tas tidak boleh
bermerk, tidak boleh membawa kendaraan bermotor dan barang-barang
elektronik yang mahal ke sekolah. Selain itu juga memberikan pelajaran budi
pekerti dan mewajibkan semua siswanya menabung di koperasi. Agar mereka
selalu diingatkan bahwa masa depan yang cerah tidak dapat diraih dengan
berfoya-foya, bahwa kebahagiaan sama sekali tidak identik dengan hedonisme.

Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa


kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para
penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan
tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena
mereka beranggapan hidup ini hanya 1x, sehingga mereka merasa ingin
menikmati hidup senikmat-nikmatnya. di dalam lingkungan penganut paham ini,
hidup dijalanani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang
tanpa batas. Dari golongan penganut paham ini lah muncul Nudisme (gaya hidup
bertelanjang). Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epikuris yang
menyatakan,"Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena besok
engkau akan mati."

12
2. EUDEMONISME (eudaimonia = kebahagiaan)

EUDEMONISME Yunani “ dalam setiap kegiatan manusia mengejar suatu


tujuan Impliksinya : tindakan dikatakan baik apabila bertujuan untuk kebaikan
/mempunyai tujuan yang baik . Ajarannya : yang baik bagi manusia adalah yang
mmebuat dia bahagia 14

Jalan pikirannya : manusia dalam bertindak ada dua tujuan :

- tujuan demi tujuan selanjutnya


- tujuan demi dirinya sendiri (kebahagian)

Menurut Aristoteles :

Kebahagiaan dicapai dalam melakukan sesuatu , yakni dengan mengembangkan


secara optimal segala potensi yang ada pada kita

Tindakan itu (tiga bentuk hidup) ialah :

- Hidup mencari nikmat


- Hidup berpolitik
- Hidup berfilsafat

Kritik : selai egois juga tidak mencukupi sebagai pertanggung jawaban moral
suatu tindakan.

Eudemonisme adalah suatu konsep etika yang dilahirkan Aristoteles


dengan menitiktekankan “kebahagiaan” sebagai tujuan tertinggi hidup manusia.
Perlu diingat, kebahagiaan dalam pemahaman Ariatoteles–serta pada umumnya
(untuk tidak dikatakan seluruhnya) filsuf Yunani pada masa itu tak sama dengan
apa yang dipahami mengenai kebahagiaan dalam arti sekedar “feeling happy”
seperti kebanyakan pemahaman orang saat ini, atau pun seperti bagaimana
Hedonisme memandangnya. Kebahagiaan ala Aristoteles adalah suatu keadaan
manusia di mana “yang seharusnya ada” memang “ada padanya”. Sederhananya,

14
Ibid, hal. 5

13
manusia bahagia adalah ia yang secara “das sein” mampu
menyelaraskan dengan apa yang menjadi “das sollen”-nya.

Aristoteles membagi tujuan menjadi dua: yang dicapai untuk sesuatu


yang lebih jauh lagi dan yang dicapai sebagai dirinya sendiri. Kebahagiaan, bagi
Aristoteles, merupakan satu-satunya tujuan hidup tertinggi yang berusaha
dicapai sebagai dirinya sendiri oleh manusia. Sebab setelah kebahagiaan, tidak
masuk akal manusia akan membutuhkan hal lain bagi dirinya. Namun
bagaimanakah seseorang dapat mencapai kebahagiaan itu?

Menurut Aristoteles, manusia akan mencapai kebahagiaan hanya jika ia


mampu mengaktualisasikan potensi khas manusianya, yakni dengan
berkontemplasi; memandang kebenaran. Namun kontemplasi saja tidak cukup.
Untuk mencapai kebahagiaan yang utuh, manusia–yang tidak hanya sebagai
makhluk individual, melainkan juga sebagai makhluk sosial (zoon politicon)-
harus juga menjalankan aktifitas dalam kerangka fungsi sosialnya dengan baik
(praxis). Dengan demikian kehidupan bersama yang baik sebagai syarat untuk
mencapai kebahagaiaan yang utuh itu dapat tercapai. Dalam rangka inilah
manusia memerlukan apa yang disebut sebagai keutamaan (aretẻ) yang
berfungsi untuk menentukan apa yang harus dilakukannya secara tepat.15

Keutamaan-keutamaan

a. Keutamaan Intelektual

Ada dua fungsi dari rasio menusia menurut Aristoteles, yakni untuk
mengenal kebenaran (bersifat universal) dan untuk mengetahui tindakan mana
yang tepat untuk dilakukan pada saat-saat tertentu (parsial). Dalam fungsinya
yang pertama itu, manusia akan mendapatkan kebijaksanaan teoretis yang
disebut Aristoteles sebagais o p h i a. Dengan sophia ini manusia akan mampu
mendapatkan pengetahuan mengenai kebenaran-kebenaran yang bersifat
universal dan tetap, seperti halnya hukum-hukum alam dan Allah. Pada titik

15
Ibid, hal. 5

14
16
inilah keutamaan intelektual itu memiliki porsi besarnya. Sementara dalam
fungsinya yang disebutkan terakhir, manusia akan mendapatkan suatup h r o n ẻ
s i s (kebijaksanaan praktis) yang berfungsi menuntun tindakannya ke arah yang
tepat.

b. Keutamaan Moral

Manusia memiliki tidak hanya akal-budi saja (khas manusia), melainkan


juga di dalam dirinya terdapat nafsu, keinginan, kebutuhan, dan lain sebagainya
yang turut berperan penting dalam mempengaruhi tindakannya. Dalam
melakukan tindakan- tindakannya, manusia tak jarang terjebak pada posisi yang
ekstrem. Misalkan saja kita memiliki sejumlah harta, kita dapat saja terlalu
sayang terhadap harta itu sehingga mengakibatkan kita kikir; atau sebaliknya,
kita dapat juga terlalu boros karena menganggap diri kita telah memiliki
sejumlah harta yang cukup atau bahkan lebih dari banyak. Dua sikap ekstrem
inilah yang harus dielakkan dari tindakan keseharian kita agar kita dapat
mencapai kehidupan yang baik. Sebagai jalan tengah dari tamsil mengenai dua
sikap ekstrem itu adalah kedermawanan. Kedermawanan bukan berarti
pemborosan, sekaligus tentu bukan kekikiran. Inilah yang dapat dicapai oleh
manusia dengan keutamaan moralnya berlandaskanp hronẻsis tadi.

Namun bagaimana seseorang dapat mengembangkan keutamaan


moralnya? Sebagaimana etika yang menurut Aristoteles tak mungkin diajarkan,
demikian pula keutamaan moral juga tidak. Keutamaan akan didapatkan
seseorang dari pengalaman kesehariannya dalam bertindak yang sesuai dan
berdasar kepada keutamaan itu sendiri.Sekilas kita mendapati suatu “lingkaran
setan” dari pernyataan ini. Namun yang dimaksudkan oleh Aristoteles di sini
adalah bahwa seseorang, pada awalnya, untukmencapai keutamaan itu dalam
dirinya sendiri haruslah mula-mula mengacu pada keutamaan “objektif”
(semacam aturan, norma) yang dianggap baik oleh orang banyak.

16
Ibid, hal. 7

15
Dari sini lambat laun ia akan mencapai keutamaan-keutamaan itu sebagai
suatu sikap watak yang melekat dalam dirinya sendiri, dengan tidak perlu lagi
mengacu terhadap aturan-aturan yang ada. keyakinan akan Ide-ide abadi yang
diusung oleh Plato. Menurut Plato, ketika manusia harus berbuat baik dan benar,
maka kebaikan dan kebenaran itu sebenarnya didapatkan sesuai dengan ide-ide
abadi yang kembali diingatnya melalui tahapan-tahapan pengalaman yang
dilaluinya (baca toeri pengenalan Plato). Dengan demikian, kebenaran (termasuk
dalam perkara tindakan manusia dalam pembahasan etika) telah memiliki suatu
gambaran objektifnya di alam Ide sana yang bernilai sebagai dirinya sendiri
tanpa dipengaruhi oleh otoritas rasio manusia yang–meminjam Heidegger-
“being there”, sangat bergantung terhadap konteks.

Aristoteles menyanggah pendirian itu. Menurutnya, hal-hal yang empiris


mampu diabstraksikan oleh manusia menjadi konsep-konsep universal tentang
substansi sesuatu tanpa harus adanya Ide-ide tentang hal itu sebelumnya. Di
sinilah peran aretai dianoetikai (keutamaan intelektual) manusia memainkan
perannya. Berangkat dari alasan itulah kemudian Aristoteles memberikan garis
tegas yang memotong sama sekali hubungan antarat h e o r i a denganp r a x i s.
Maka ditinjau dari sisi ini, dalam batasan tertentu kiranya kita bisa
mempertemukan Aristoteles dengan eksistensialisme 17.

Satu hal lagi yang sangat perlu ditekankan adalah pemaparan Aristoteles
mengenai Allah. Dalam hal ini jangan sekali-kali menjumbuhkan pemaknaan
Allah ala Aristoteles dengan apa yang dipahami oleh agama-agama “langit”,
meski pada kenyataannya Aristoteles juga seorang “monoteis” dalam arti yang
agak aneh, sebab dalam beberapa kesempatan ia masih menyebut “dewa-dewa”
(jamak). Monoteisme Aristoteles ini dapat dilihat dari gagasan-gagasannya yang
masyhur, seperti tentang Penggerak Pertama yang tak digerakkan (Causa Prima).

Gagasan tentang Causa Prima itu tadi kiranya sekaligus memberikan


penjelasan kepada kita bahwa dalam keyakinannya terhadap Yang Ada-Absolut
17
Ibid, hal. 8

16
(ilahi) itu bersifat deistis. Dalam hal ini, jika kita mencoba memandangnya dari
kacamata Islam (tentu sajaini tidak dilakukan atas dasar keinginan untuk
menghakimi Aristoteles) jelas tidak akan menemukan kesesuaiannya, mengingat
doktrin Islam menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta, dan dengan demikian
maka apa yang diciptakan-Nya tentulah memiliki permulaan dan penghabisan.
Aristoteles tidak demikian. Dalam metafisikanya ia menjelaskan bahwa alam
raya ini abadi, seperti abadinya Penggerak Pertama yang tak digerakkan itu.

Namun terlepas dari perdebatan metafisika itu, sebenarnya kita dapat


menggali banyak hal dari Aristoteles yang spiritnya senada dengan apa yang
dimiliki oleh agama-agama “langit” yang ada, khususnya Islam. Cara Aristoteles
memaknai kebahagiaan dengan sedemikian rupa; bahwa kebahagiaan adalah
bentuk akltualisasi diri dengan mendasarkan tindakan-tindakan keseharian
kepada keutamaan-keutamaan seperti yang telah dijelaskan, kiranya dapat dilihat
sebagai suatu nilai yang tidak berlebihan untuk disebut luar biasa dari
pencapaian filosofisnya.

Perlu diingat kembali, kebahagiaan ala Aristoteles sama sekali berbeda


dengan kesenangan dalam terminologi hedonisme. Aristoteles tidak melihat
kebahagiaan sebagai sesuatu yang harus dicapai oleh manusiah a n y a sebagai
individu (egois), melainkan kebahagiaan yang dicapai seseorang harus pula
bernilai bagi pencapaian kehidupan bersama yang baik. Artinya, tidak utuh
kebahagiaan seseorang selama ia tidak dapat mengaktualisasikan diri dalam
kehidupan sosial bersama lingkungan-masyarakatnya .

3. UTILITARISME ( Utilitas = berguna)

Prinsip utilitarisme adalah jelas & suatuèrasional tindakan dikatakan


baik jika bermanfaat atau berguna bagi orang lain Aliran ini banyak yang tidak
menerima karena apa yang bermanfaat bagi seseorang mungkin tidak
bermanfaat bagi orang lain. 18

18
Ibid, hal. 10

17
- Ajarannya : yang baik adalah yang membawa manfaat bagi orang banyak
- Keunggulannya : tidak bersifat egois, melainkan universal 19
- Kelemahannya : tidak menjamin keadilan dan hak-hak manusia

Anggapan bahwa klasifikasi kejahatan harus didasarkan atas kesusahan


atau penderitaan yang diakibatkannya terhadap terhadap para korban dan
masyarakat.

Menurut kodratnya manusia menghindari ketidaksenangan dan mencari


kesenangan. Kebahagiaan tercapai jika manusia memiliki kesenangan dan bebas
dari kesusahan.Karena menurut kodratnya tingkah laku manusia terarah pada
kebahagiaan, maka suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk, sejauh dapat
meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan semua orang Moralitas suatu
tindakanharus ditentukan dengan menimbang kegunaannya untuk mencapau
kebahagiaan umat manusia. (The greatest happiness of the greatest number)

4. DEONTOLOGI (deon = wajib)

merupakan suatu teori atau studi tentang kewajiban moral Moralitas dari
suatu keputusan etis yg sepenuhnya terpisah dari konsekuensinya Ex. Seorang
perawat yg berkeyakinan bahwa menyampaikan suatu kebanaran merupakan hal
yg sangat penting & tetap harus disampaikan, tanpa peduli apakah hal tersebut
mengakibatkan orang lain tersinggung atau bahkan syok . Ajarannya : baik
buruknya suatu tindakan tidak tergantung akibatnya, melainkan ada cara
bertindak yang begitu saja wajib atau dilarang.

Kelemahannya :

- Sifat mengharuskannya.
- Bisa fanatisme buta.
- Deontologis peraturan.

19
Ibid, hal. 10.

18
Ajarannya : norma moral berlaku begitu saja (menurut Immanuel kant, berlaku
imperatif katagoris)

Kesulitan :

- Tentang nilai suatu tindakan yang berasal dari suatu kecenderungan spontan
dan motif berbuat baik
- Tentang tanggung jawab manusia terhadap akibat dari suatu tindakan

Jalan keluar :

Immanul Kant : bertindaklah sedemikian rupa sehingga orang lainpun dapat


bertindak demikian

Willian D Ross : harus dibedakan kewajiban yang berlaku prima facie dan
kewajiban yang sebenarnya

Deontologis tindakan (disebut juga etika situasi)

Ajarannya :

- setiap situasi adalah unik


- Yang baik adalah yang baik dalam situasi tertentu
- Membedakan norma moral umum dan norma moral konkret

Kritik : tindakan sesuai dengan rasionalitas kesadaran moral

Kesimpulan : dari semua teori penting yang dibahas tidak terdapat satu sistem
pun sama sekali memuaskan, yang bisa menjadi jawaban satu-satunya atas
pertanyaan dasar kita.

Teori Deontologi, adalah teori yang dijelaskan secara logis oleh filsuf Jerman
yaitu Immanuel Kant. Kata deon berasal dari Yunani yang berarti kewajiban,
sehingga dapat dikatakan bahwa teori ini menekankan pada pelaksanaan
kewajiban. Suatu perbuatan akan baik apabila didasari atas pelaksanaan
kewajiban, jadi selama melakukan kewajiban sudah melakukan kebaikan, tanpa

19
memikirkan akibat atau konsekuensinya, atau dengan kata lain suara terbanyak
bukanlah ukuran untuk menentukan kebaikan.

Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelas¬kan tentang


pembahasan Etika, sebagai berikut: Terminius Techicus, bahwa etika dipelajari
untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan
manusia. Dan Manner dan Custom, Membahas etika yang berkaitan dengan tata
cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia (In herent in
human nature) yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah
laku atau perbuatan manusia. Etika dapat dijadikan sumber nilai dan agama
(bukan agamanya, tapi aksesoris dari implementasi agama tersebut)

Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok
perhatiannya; antara lain: 20

1. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan


sifat dari hak (The principles of morality, including the science of good and the
nature of the right).

2. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian


utama dari kegiatan manusia. (The rules of conduct, recognize in respect to a
particular class of human actions).

3. Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral seba¬gai


individual. (The science of human character in its ideal state, and moral
principles as of an individual).

4. Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty).

20
Ibid, hal. 11.

20
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pengertian moral adalah ajaran mengenai baik buruknya suatu perbuatan


maupun perilaku, serta berkaitan erat dengan akhlak yang dimiliki masyarakat.
Etika berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti tempat tinggal yang biasa,
padang rumpt, kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara berpikir.
dalam bentuk jamak ta etha artinya adat kebiasaan.

Secara istilah etika memunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai dan norma-
norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral
(kode etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga, etika
berati ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila kemungkinan-
kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau penelitian sistematis dan
metodis. Di sini sama artinya dengan filsafat moral.

Sistem Filsafat Moral beberapa sistem filsafat moral Berbagai aliran


untuk menentukan ukuran baik yaitu : HEDONISME, EUDEMONISME,
UTILITARISME, DEONTOLOGI.

B. Saran

Dalam Mempelajari Mengenai moral dan sistem filsafat moral kita

mengetahui kode etik dalam bersikap dan kita bisa lebih baik dalam berprilaku

dan bersikap di masyarakat. dan sebagai bahan evaluasi serta pembelajaran

untuk kita kedepannya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Aang,Mg.2016.Filsafat Moral.2016, hal. 2,


https://ang99site.wordpress.com/2016/06/16/filsafat- moral/ ,diakses pada tanggal
9 maret 2022.

Dosen Sosiologi.com.2022.Pengertian Moral, Macam, Tujuan, dan Contohnya di


Masyarakat. https://dosensosiologi.com/pengertian-moral/,
diakses pada tanggal 9 maret 2022.
http://eprints.ums.ac.id/30983/2/04._BAB_I.pdf ,diakses pada tanggal 9 maret
2022 .

Saragih, Budi Sanjaya.2011.Sistem Filsafat Moral.


https://zaysaragih.blogspot.com/2011/11/sistem-filsafat-moral.html , diakses pada
tanggal 9 Maret 2022).

Yunita,Evia .2016..Filsafat Moral (etika).


https://eviayunita.wordpress.com/2016/12/26/filsafat-moral-etika, diakses pada
tanggal 9 maret 2022).

22

Anda mungkin juga menyukai