Anda di halaman 1dari 41

APA ITU ETIKA?

Oleh: Yusuf Siswantara, S.S., M. Hum

LEMBAGA PENGEMBANGAN HUMANIORA


UNPAR 2019
2
DAFTAR ISI

Bab 1. Apa itu Etika? 5


1. Pendahuluan: Etika, Etiket, Moral 5
2. Etika sebagai Ilmu Pengetahuan 15
3. Etika sebagai filsafat moral 21
4. Metodologi Etika sebagai Ilmu Moralitas. 23
5. Etika sebagai ilmu Praktis 29
6. Relevansi Etika 30
a) Pluralitas moral & Pendirian sikap ................................. 31
b) Masalah Etika baru.................................................................. 31
c) Modernitas & Transformasi masyarakat ................... 32
d) Perubahan Sosial dan Ideologi ...................................... 32
e) Keagamaan ................................................................................. 32
7. Tujuan atau Manfaat Belajar Etika 33
8. Kesimpulan 35
9. Kasus dan pendalaman 35

3
4
Bab 1. Apa itu Etika?

1. Pendahuluan: Etika, Etiket, Moral


Dalam hidup keseharian, kita sering dibingungkan
dengan istilah etika dalam poster atau tulisan di tempat
umum. Dalam poster “Etika Batuk”, tertulis berbagai
anjuran dan tatacara bantuk di tempat umum; poster
‘Etika Pejalan kaki” berisi tentang aturan bagaimana
orang berjalan kaki”. Tulisan poster tersebut senada
dengan berbagai ungkapan orang. Misalnya:
‘tindakanmu tidak etis’, ‘ucapanmu tidak bermoral’. Apa
yang sebenarnya dimaksud dengan ‘etika’? Apakah
etika sama dengan etiket? Untuk itu, kita akan
memperjelas pengertian etika dan membuat pembeda
yang jelas antara ‘etika’ dengan ‘etiket’ dan ‘moral’
karena sering kali menjadi rancu dalam penggunaannya.
Sebelum lebih lanjut berbicara tentang istilah-istilah di
atas, kita sadari bahwa ketiga istilah mengarah pada
satu hal: tindakan manusia. Tindakan manusia adalah
segala sesuatu yang bisa diperbuat oleh manusia dalam
perjalanan hidupnya, entah hanya sesekali atauapun
berulang-ulang. Untuk rentang waktu tertentu, tindakan-
tindakan mengalami pengulangan dan pengulangan
tindakan akan menghasilkan sebuah kebiasaan atau
adat.
Suatu kebiasaan tindakan bisa jadi hanya dilakukan
oleh satu dua orang saja. Dalam konteks pribadi,
kebiasaan ini bersifat individu (perorangan); kita bisa

5
mengatakannya sebagai watak seseorang. Tetapi, bisa
jadi, sebuah tindakan dilakukan secara kolektif dan
bersifat masif. Pengulangan tindakan yang bersifat
kolektif dan masif ini dapat dikatakan sebagai kebiasaan
sosial (masyarakat) atau adat; artinya, tindakan itu
dilakukan oleh hampir semua anggota masyarakat.
Lorenz Bagus menyebut adat, istiadat, atau kebiasaan
sebagai moralis-mos, moris (Latin), dimana istilah ini
ekuivalen dengan kata ethos, ethikos.1 Artinya, secara
etimologis, moral sama dengan etika (walau dari bahasa
berbeda).2 Atau, kita bisa menyimpulkan ‘etika dan
moral itu sinonim.3 Sampai di sini, untuk sementara, kita
sepakati bahwa ‘etika’ dan ‘moral’ cenderung
mengarah ke konsep sama, yaitu kebiasaan, adat,
istiadat.
Adat atau kebiasaan masyarakat, sekali lagi,
merupakan pengulangan tindakan-tindakan kolektif
sejauh diterima dan disepakati oleh seluruh atau
sebagian besar (mayoritas) anggota masyarakat.
Anggota masyarakat akan menghidupi. Untuk
memastikan terjaganya kesepakatan tersebut,
masyarakat akan meneruskan kebiasaan kolektif tersebut
kepada generasi berikutnya. kelestarian dan keutuhan
kebiasaan kolektif akan diformulasikan melalui ajaran-
ajaran lisan. Artinya, ajaran-ajaran lisan dari leluhur pun
1 Bagus, Lorenz, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996) 217 &
672-678.
2 Bertens, K., ETIKA , (Jakarta: Gramedia, 2000). 7
3 Dewantara, Agustinus W, Filsafat Moral, Pergumulan Etis
Keseharian Hidup Manusia, (Yogyakarta: Kanisius,2017). 3

6
menjadi rumusan adat-kebiasaan. Sementara itu, di sisi
kelembagaan, rumusan adat atau kebiasaan kolektif
hadir dalam aturan adat, hukum, dan perundang-
undangan.
Perumusan dan penerusan nilai pun mengindikasikan
pentingnya sebuah nilai yang ingin dipertahankan.
Sementara itu, kebiasaan kolektif mengisyaratkan
adanya nilai-nilai yang dianggap baik oleh anggota
masyarakat. Di dalam masyarakat, nilai-nilai disusun
sedemikian rupa sehingga menjadi sistem nilai.
Dalam masyarakat, nilai yang tersimpan dalam
tindakan tentunya mengarah pada hal ‘baik’, dalam
tahapan atau tingkatannya entah sekedar sopan-santun
sampai dengan baik-buruk sebagai manusia. Dengan
begitu, semua tindakan mempunyai nilai yang dihidupi
dalam susunan nilai-nilai. Nilai sopan-santun mendasari
tindakan-tindakan yang berhubungan dengan tata-
krama dalam relasi sosial. Sementara itu, nilai ‘baik
sebagai manusia’ mendasari tindakan dengan nilai-nilai
tentang ‘baik-buruk’ manusia sebagai manusia.
Dengan penjelasan di atas, peristilahan terkait erat
dengan makna yang terkandung di dalamnya. Ada tiga
komponen yang terkait: tindakan manusia, nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, serta formulasi atau perumusan
nilai-nilai dalam norma dan aturan. Dalam tiga konsep
tersebut, kita bisa meletakkan peristilahan: etika dan
moral.
Tentang etika (dan moral), K. Bertens menjelaskan
bahwa ada tiga pengertian etika: nilai, kumpulan norma,

7
dan ilmu. Pertama, etika dipahami sebagai ‘sistem nilai’.
Sistem nilai ini menjadi pegangan perorangan atau
kelopok dalam sistem tindakan dan perilakunya. Perlu
disampaikan bahwa nilai ini tertanam dalam diri, dihidupi,
atau dirumuskan oleh anggota masyarakat. Kedua, etika
berarti ‘kumpulan nilai dan asas’. Contohnya adalah
kode etik. Ketiga, etika dipahami sebagai ‘ilmu tentang
yang baik dan buruk’. Sebagai ilmu pengetahuan, etika
melakukan distansi atas objek penelitiannya, yaitu
tindakan manusia, nilai-nilai, dan norma moral. Oleh
karenanya, etika juga disebut sebagai filsafat (tentang)
moral.
Dengan pemahaman di atas, kita bisa
membandingkan pemahaman tentang istilah ‘etika’ dan
‘moral’. Bertens menjelaskan bahwa etika dan moral
merupakan istilah yang mempunyai irisan konsep dan
pemahaman. Irisan konsep tersebut terdapat pada
konsep ‘sistem nilai’ dan ‘norma (nilai dan asas)’. Beliau
menegaskan bahwa istilah ‘moral’ dan ‘etika’
mempunyai wilayah pemahaman sama, dalam konsep,
yaitu nilai dan norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam negatur tingkah
lakunya. Dengan begitu, ungkapan ‘pencuri tidak
bermoral’ berarti juga ‘pencuri tidak mengikuti nilai dan
norma yang baik’. Untuk pengertian yang sama, kita bisa
mengatakannya dengan ungkapan ‘pencuri itu tidak
beretika’.
Walaupun mempunyai irisan konseptual, istilah ‘etika’
dan ‘moral’ mempunyai pembeda yang cukup jelas.

8
Bertens menegaskan bahwa ‘etika akan menjadi ilmu,
bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai
tentang yang baik dan buruk) yang bisa saja diterima
dalam suatu masyarakat (sering kali tanpa disadari)
menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematik
dan metodologis’. Dengan demikian, etika adalah ilmu
tentang moral atau filsafat moral.4
Melalui jalur lain, Piet Go juga menjelaskan bahwa
ungkapan “etika merupakan ilmu moral” merupakan
pembeda etika dan moral. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa
dari segi keilmuan, etika merupakan bagian dari filsafat
yaitu filsafat praktis, dan secara metodologi berdasarkan
penalaran dan kekuatan akal budi. Sementara itu, dalam
tradisi Katolik, istilah moral dipakai dimana secara
metodologis bersumber atau mendasarkan diri pada
wahyu.5
Di samping dari sisi keilmuan, etika dan moral bisa
dibedakan dari segi taraf (kecenderungan). Menurutnya,
etika lebih bernuansa teoritis dan moral lebih bernuansa
praktis dalam konteks praksis.6 Masalahnya adalah
batasan teoris dan praksis dalam masyarakat sangat tipis.
Masalah ‘keadilan’ merupakan masalah teoretis karena

4 Bertens, K., ETIKA (Jakarta, Gramedia, 2000) 6


5 Piet Go, Teologi Moral Dasar (Malang, Dioma, 2007) 12-13.
Catatannya: peristilahan dari Piet Go mempunyai latar
belakang Teologi Moral.
6 Catt: Pendapat ini dikeluarkan oleh Piet Go dalam konteks
penjelasan Teologi Moral Dasar. Dari ungkapan ‘moralnya bejat
dan bukan etikanya bejat’, disimpulkan bahwa etika
menyangkut teori, sedangkan untuk praktif dipakai istilah moral.

9
menghadirkan banyak konsep dan gagasan tentang
‘apa itu adil’, tetapi juga sekaligus praksis dalam
berbagai masalah ketidak-adilan. Maka, pembedaan
jenis ini tidak bisa terlalu ketat atau tidak cukup kuat
sebagaimana perbedaan keduanya dari segi peristilahan
(etika-ethos, Yunani dan moralis-mos, moris, Latin).7 Apa
kesimpulannya?
1) Etika dan moral mempunyai irisan konsep dan
pemahaman, yaitu sama-sama kumpulan nilai dan
sistem norma.
2) Etika berbeda dengan moral dalam sifat keilmuan.
Moral adalah kumpulan nilai dan norma yang berisi
baik dan buruk. Etika bisa diartikan secara khusus
sebagai ilmu pengetahuan yang meneliti dan
merefleksikan nilai dan norma moral. Maka, setiap
orang perlu bermoralitas, tetapi tidak setiap orang
perlu beretika. Mengapa? Sebab, moralitas berisi
tuntutan dan pedoman tindakan baik yang penting
bagi hidup manusia; etika merupakan pemikiran
sistematis tentang moralitas. Jika moralitas berujung
pada perbuatan baik melalui pedoman norma nilai
moralnya, etika berujung pada ‘suatu pengertian
(kognitif) yang lebih mendasar dan kritis tentang nilai,
norma, dan tindakan moral.8

7 Bagus, Lorenz, op. Cit., 672-678.


8 Magnis-Suseno, Dr Franz, Etika Dasar Masalah-masalah pokok
Filsafat Moral (Yogayakrta: Kanisius, 1987), 15

10
Kita telah melakukan pembedaan antara etika dan
moral. Untuk memahami etika, kita juga harus berusaha
memperjelas perbedaan antara etika dan etiket.
Kerancuan penggunaan istilah-istilah tersebut terjadi
sehubungan dengan konsep yang juga kabur atau bias.
Maka, perlu kembali ditegaskan bahwa selain
berhubungan dengan sifat ilmiah dan norma, istilah
‘etika’ berkaitan dengan nilai-nilai tentang baik-buruk
suatu perbuatan. Nilai tersebut terkandung dan sekaligus
terungkap dalam tindakan-tindakan moral. Dalam
pemahaman ini, suatu tindakan akan bersifat ‘baik atau
tidak baik’ selalu dihubungkan dengan nilai yang ingin
diungkapkan dari tindakan tersebut. Dengan kata lain,
etika melihat tidak hanya sekedar wujud tindakannya,
tetapi menelusup lebih dalam dan berusaha menemukan
nilai di balik tindakan. Itulah sebabnya Bertens
menyatakan bahwa etika menyangkut masalah apakah
suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak dan bahwa
norma etis tidak terbatas pada ‘cara’ perbuatan itu
dilakukan tetapi menyangkut ‘perbuatan itu sendiri’.
Dengan pemahaman di atas, kita bisa membuat
distingsi masalah etika dan etiket dalam kasus ‘makan
dengan tangan kiri’. Kasus ini lebih menyangkut masalah
cara-nya makan. Halnya berbeda dengan kasus
‘perampok sopan’ berikut ini!9

9 Contoh ini adalah pola umum yang diambil dari berbagai


kejadian perampokan dalam beberapa sumber berikut ini.
a) “Perampok yang meminta maaf ke korban” di
https://www.merdeka.com/peristiwa/perampok-sopan-
minta-maaf-ke-korban-saat-beraksi.html

11
“Alkisah, seorang perampok datang ke sebuah toko.
Ia datang dengan sopan dan baik sebagaimana
pengunjung lainnya. Ia tidak berteriak-teriak sehingga
para pengunjung merasa takut. Ia hanya datang dan
berdiri di belakang kasir, meletakkan pistol di punggung,
dan memintanya mengumpulkan semua uang transaksi.
Bahkan, ia pun menghibur dan menenangkan sang kasir
yang ketakutan. Terakhir, sebelum keluar, ia berpamitan
baik-baik dengan tersenyum ramah”.
Dalam kasus yang tentunya ekstrim ini, dengan jelas,
kita bisa mendapatkan gambaran jelas, perbedaan
antara etiket dan etika. Cara merampok dari perampon
tersebut tentunya baik dan sopan; jadi, secara etiket, ia

b) Penjahat sopan di jepang, minta izin sebelum merampok di


https://kumparan.com/@kumparannews/penjahat-sopan-di-
jepang-minta-izin-sebelum-merampok-1539498981814998821
c) Perampok Sopan, sebelum beraksi minta maaf dan janji
akan kembalikan uang di
https://www.republika.co.id/berita/senggang/unik/11/02/09/
163153-rampok-sopan-sebelum-beraksi-minta-maaf-dan-janji-
akan-kembalikan-uang
d) Minta Izin Dulu, Tak Dapat Hasil Malah Serahkan Diri ke Polisi
di https://belitung.tribunnews.com/2018/10/19/perampok-
sopan-mau-merampok-minta-izin-dulu-tak-dapat-hasil-malah-
serahkan-diri-ke-polisi
e) Perampok Sopan, Minta Maaf Sambil Todong Pistol dan
Gasak Uang dari Kasir Bank. Lih:
https://medan.tribunnews.com/2017/09/09/perampok-sopan-
minta-maaf-sambil-todong-pistol-dan-gasak-uang-dari-kasir-
bank

12
tidak bermasalah. Tetapi, perbuatan ‘merampok’
mengandung nilai yang ‘tidak baik’; maka, tindakan
tersebut tidak benar secara etis.
Konsekuensi pertama dari nilai dan cara adalah
kehadiran pihak lain. Kehadiran berarti menyangkut
relasionalitas atau ‘saya berhubungan dengan’. Karena
menyangkut cara melakukan suatu tindakan, etiket
sangat terkait-erat dengan kehadiran pihak lain. Bahkan,
pihak lain bisa jadi menjadi kriteria penilaian suatu
tindakan. Kejadian ‘mandi telanjang’ menjadi kasus yang
secara etiket akan bersifat sopan atau tidak sopan.
Penilaian sopan akan diberikan jika kejadian tersebut
dilakukan tanpa orang lain; dan bersifat tidak-sopan jika
orang lain hadir.10 Sementara itu, karena menyangkut
nilai, kehadiran pihak lain tidak menjadi faktor penilaian
etis. Tindakan ‘membunuh’ atau ‘mencuri’ tetap akan
dinilai ‘tidak-baik’, entah ada orang atau tidak ada
orang. Penilaian yang sama akan diberikan kepada
seorang penyontek, entah diketahui atau tidak diketahui
orang.11 Hal ini terjadi karena ‘menyontek’, ‘membunuh’,

10 Kasus ini tentunya dimaksudkan dalam kondisi umum sebab


dalam kondisi khusus, kasus ini akan bernilai lain. Contohnya,
seseorang sakit, tidak bisa membersihkan diri, dan harus dibantu
untuk mandi. Contoh lain adalah seorang ibu memandikan
anaknya sendiri.
11 Istilah ‘kehadiran orang lain’ tentunya tidak hanya berarti
‘hadir-ada’, tetapi bisa diperluas dalam arti ‘diketahui orang
lain’. Pemahaman ‘kehadiran orang lain’ ini tentunya
diletakkan dalam konteks umum. Maksudnya, ‘membunuh’
tentunya terjadi jika ada minimal 2 pihak atau lebih. Satu pihak
membunuh dan pihak lain dibunuh. Peristiwa ‘membunuh’ pasti

13
dan ‘mencuri’ mengandung nilai tidak baik, tidak peduli
hadir-tidaknya pihak lain.
Dari unsur ‘kehadiran orang lain’, kita bisa memahami
bahwa etiket lebih melihat sisi eksternal yang terindera
(apa yang terdengar dan terlihat) dan bahwa etika
cenderung melihat manusia dari sisi internal. Kasus
‘perampok sopan’ memberikan kejelasan dua sisi ini. Ia
berlaku sopan; baik secara tampilan luaran. Tetapi,
perbuatannya tidak baik karena di dalam perbuatannya
mengandung sifat ‘merugikan orang lain’.
Konsekuensi kedua dari cara dan nilai adalah sifat
etika dan etiket. Cara adalah suatu kesepakatan yang
dilakukan oleh dan berlaku dalam suatu kelompok.
Karena itu, etiket bersifat relatif; tindakan yang dinilai
sopan di satu budaya, bisa jadi dinilai tidak-sopan di
budaya lain. Lain halnya dengan nilai moral! Nilai moral
lebih bersifat universal, bagi siapapun, dimanapun, dan
kapanpun. Maka, etika lebih bersifat pasti (absolut) dan
unviersal.12 ‘Jangan membunuh” merupakan perintah etis
yang tidak bisa ditawar; jika dilanggar, perbuatan itu
tentunya akan dinyatakan ‘tidak-baik’ di manapun
tindakan itu dilakukan.

mengandaikan hadirnya pihak lain, tetapi peristiwa membunuh


itu diketahui pihak ketiga atau tidak.
12 Istilah ‘absolut’, di sini, tentunya tidak dimaksudkan sebagai
mutlak. Yang ingin dikatakan adalah bahwa etika lebih bersifat
‘tetap’ atau ‘tidak relatif’ dibandingkan dengan etiket yang
‘relatif’.

14
2. Etika sebagai Ilmu Pengetahuan
Seluruh umat manusia, dalam hidupnya, pastilah
melakukan banyak kegiatan. Salah satunya adalah
memasak (nasi). Dalam keadaan normal, aktivitas ini
tentunya bisa dilakukan oleh siapapun. Jika mau, orang
bisa belajar memasak dan sekaligus mempraktikkan cara
memasak (nasi). Setelah belajar, seorang ibu mampu
memasak untuk anak dan suami di rumah. Lain halnya
dengan si X. Karena bakat-nya (kemampuan alamiah),
setelah belajar dari orang tuanya, ia bisa pandai
memasak dan bahkan memasak dengan baik dan
benar. Kemampuan memasak diperoleh dan bisa
diaktualisasikan.
Karena kemampuannya, banyak orang ingin belajar
dari si-X. Dan karena keinginan banyak orang dan demi
efektivitas dalam membantu orang belajar, si-X menyusun
langkah-langkah dasar cara memasak dalam sebuah
buku saku. Dalam perjalanan waktu, karena banyaknya
orang yang belajar darinya, si-X membuat langkah-
langkah yang relatif lengkap tentang apa saja yang
harus dikuasai bagi orang yang ingin bisa memasak
secara benar, mulai tahap awal sampai tahap mahir. Ia
juga belajar dan mengembangkan cara mengajari atau
metodologi pengajaran; membuat tahap-tahap atau
kelas-kelas; memberikan masukan dan penilaian kepada
siswa; memberikan tanda kelulusan per tahap/level klas;
memberikan ijazah kepada siswa yang menamatkan
semua proses. Si-X telah membuat lembaga pendidikan.

15
Memasak merupakan kegiatan harian yang bisa
dilakukan demi kebutuhan badan, berubah menjadi
kegiatan yang dipelajari secara terstruktur, sistematik, dan
dirancang secara sadar. Pada awalnya, orang
melakukan aktivitas ‘memasak’ sebagai bagian dari
aktivitas dirinya. Dalam perkembangannya, orang
melakukan distansi dan menempatkan ‘memasak’
sebagai objek yang dipelajari. Aktivitas ‘memasak’
dipecah-pecah dalam bagian-bagiannya dan disusun
sedemikian sistematis sehingga terurai secara detail dan
terstruktur. Memasak bukan hanya sebuah aktivitas
manusia tetapi berubah menjadi sebuah objek di
hadapan manusia dalam sebuah disiplin ilmu.
Memasak tentunya tidak perlu dinilai: apakah baik
atau tidak baik. Artinya, memasak itu sendiri bersifat
netral, dan tidak berhubungan dengan baik atau buruk.
Jenis tindakan ini disebut sebagai tindakan amoral dalam
arti ‘tidak mempunyai relevansi etis’. Selain memasak,
tindakan amoral ini, misalnya, adalah ‘turun tangga
dengan kaki kanan atau kiri’, ‘minum teh menggunakan
gelas atau cangkir’. Semua tindakan tersebut tidak
langsung bisa dinilai secara moral. Namun, tindakan
‘memasak di dapur pengungsian’ tentunya bersifat mulia
atau baik dan tindakan ‘memasak dengan menambah
racun di dalamnya’ bersifat buruk. Mengapa disebut
atau dinilai demikian (baik atau buruk)? Dan, apakah
yang dimaksud dengan istilah ‘baik’ dan ‘tidak-baik’?
Orang pun boleh bertanya: manakah yang buruk,
‘memasak’-nya atau ‘menambah racun’?

16
Semua pertanyaan ini menjadi sebuah tanda bahwa
tindakan manusia yang bisa dinilai baik-buruk menjadi
sebuah objek yang bisa diurai dan dianalisa untuk
kemudian dipaparkan dan disajikan dalam sebuah
struktur dan sistematikan tertentu. dengan demikian,
tindakan dan sifat baik-buruk sudah menjadi objek
sebuah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan merupakan pembentukan asosiatif
yang menjejaringkan konsep dan pemikiran sebagai
kebenaran koherensif serta memvalidasikan kebenaran
tersebut dengan kenyataan. Ilmu pengetahuan
menjelaskan prinsip kausalitas secara terstruktur dan
sistematik atas sebuah kajian.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, manusia
melakukan banyak tindakan. Tindakan tersebut bisa
bersifat amoral (netral & tanpa perlu dihubungkan
dengan ‘baik-buruk’), tetapi ada juga yang bisa bersifat
etis (berkaitan dengan ‘baik-buruk), atau bahkan bersifat
immoral (tidak-baik, tidak-bermoral, melawan moralitas).
Terhadap tindakan-tindakan tersebut, kita bisa menelaah
dan menilainya. Dalam konteks ini, tindakan bukan lagi
‘kita melakukan sesuatu’, tetapi merupakan suatu objek
penelitian.
Etika merupakan sebuah ilmu pengetahuan. Sebagai
sebuah ilmu, etika mempunyai objek penelitian, baik itu
material ataupun formal.13

13 Objek material adalah objek atau hal yang menjadi fokus


penelitian; sementara itu, objek formal merupakan sudut

17
Objek material Etika adalah “segala hal yang
bersangkut paut dengan tingkah laku manusia sejauh
berhubungan dengan nilai moral (baik-buruk)”, atau
tingkah laku manusia atau ‘keseluruhan perilaku manusia
dalam perbuatannya’.14 Singkatnya, objek material etika
adalah tindakan moral manusia.
Tindakan moral ini mempunyai unsur-unsur konstitutif
yang sangat penting dalam penilaian etis. Maksud dari
unsur-unsur konstitutif adalah berbagai elemen yang
menjadi bagian integral dari sebuah tindakan. Melalui
unsur-unsur ini, suatu tindakan moral bisa dinilai secara
moral; dan perubahan unsur akan mempengaruhi
penilaian moral atas tindakan.
Unsur-unsur konstitutif tersebut, antara lain, adalah:
pelaku, motivasi, tujuan, akibat, lingkungan atau
kesempatan yang mempengaruhi. Pelaku Unsur ‘pelaku’
mengacu pada ‘usia, status sosial, kesehatan, psikologis;
motivasi dan tujuan adalah daya dorong dalam diri
orang atas suatu perbuatan. Lingkungan dan
kesempatan mengacu pada faktor-faktor eksternal yang
berpengaruh secara langsung atau tidak langsung
terhadap suatu perbuatan terjadi.
Objek formal adalah sudut pandang yang dipakai
untuk meneliti objek material-nya. Pemikiran kritis dan
mendalam menjadi objek formal Etika. Terhadap

pandang yang digunakan atau dipakai dalam melakukan


penelitian objek material.
14 Dewantara, Agustinus W, Filsafat Moral, Pergumulan Etis
Keseharian Hidup Manusia, Kanisius: 2017, hlm. 3

18
tindakan manusia, etika akan melihat dan
menganlisanya secara filosofis-kritis. Karena objek
kajiannya (tindakan dan peristiwa) adalah konkrit (bukan
konseptual), hal ini tentunya tidak menutup diri dari
berbagai sumbangan ilmu-ilmu lain sejauh berkaitan;
misalnya: sosiologi, antropologi budaya, dan teologi”.15
Sekali lagi, Etika menggunakan “refleksi kritis yang
mendalam secara sitematis dan metodis tentang tingkah
laku manusia.” Dari sisi ini pun, kita bisa menempatkan
etika sebagai ilmu dengan sudut pandang refleksi kritis,
metodis, dan sistematis (objek formal) tentang tingkah
laku manusia, sejauh berkaitan dengan norma moral
(objek material).16
Akhirnya, Bertens pun merumuskan: etika merupakan
ilmu (pengetahuan) yang menyelidiki tingkah laku moral.
Etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas
atau tentang ‘manusia sejauh berkaitan dengan
moralitas’.

3. Pembagian Bidang Etika


Selain mempunyai unsur formal dan material, sebagai
ilmu pengetahuan, etika dibagi dalam dua bagian, yaitu:
etika umum dan etika khusus.
Etika umum berfokus atau membahas tentang teori
atau topik-topik yang berkaitan dengan konsep-konsep

15 Dewantara, Agustinus W, Filsafat Moral, Pergumulan Etis


Keseharian Hidup Manusia (Yogyakarta, Kanisius: 2017). 2
16 K. Bertens, ETIKA, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2000). 24

19
dasar etika (suara hati, kebebasan moral, dsb).
Sedangkan, Etika khusus membahas permasalahan etis-
konkret dan menerapkan konsep-konsep etis dalam
kenyataan hidup keseharian. Oleh karena itu, etika
khusus disebut juga etika terapan.17

Kita bisa membagi etika terapan dalam Etika Pribadi


(karena bicara permasalahan pribadi) dan Etika Sosial
(karena topik atau fokus penelitiannya berkaitan dengan
masalah sosial). Hanya saja, pembagian ini tidak bisa
dipertahankan karena 1) seorang pribadi pun adalah
anggota masyarakat, dan 2) masalah pribadi sering kali
terlepas dari masalah komunitas (sosial).

Contohnya, kasus bunuh diri bisa dimasukkan dalam


‘etika pribadi’. Hanya saja, kasus ini tidak berdiri sendiri,
melainkan berkaitan dengan orang lain; misalnya,
bullying, stress karena kalah caleg (calon legislatif), dll.
Kasus lain adalah aborsi; masuk kasus pribadi atau sosial?
Tidak! Tindakannya bisa dilakukan oleh satu orang, tetapi
latar belakang tindakan tentunya kompleks, menyangkut
pandangan etis, paradigma kehormatan, pandangan
masyarakat, dll.18

Kita juga bisa melihat fokus bidang etika. Ada dua


bidang telaah yang pesat berkembang dalam etika,
yaitu 1) suatu profesi (etika kedokteran, etika politik, etika
bisnis), dan 2) suatu masalah (etika lingkungan hidup,
pencemaran lingkungan, diskriminasi, nuklir).

17 K. Bertens, op.cit., 18-19


18 K. Bertens, ETIKA, (Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: 2000). 272

20
Kita juga bisa memilah etika dalam 4 bidang utama,
yaitu: 1) etika kedokteran dan 2) etika bisnis (profesi), dan
3) etika perang-damai, serta 4) etika lingkungan hidup.

Kita pun bisa membagi etika dalam tiga bagian: 1)


makroetika (masalah yang menyangkut suatu bangsa:
ekonomi dan keadilan, lingkungan; 2) mikroetika
(membicarakan pertanyaan etis pada individu, seperti
kewajiban dokter ke pasien; 3) mesoetika (menyoroti
masalah etis yuang berkitan dengan suatu kelompok
atau profesi; misalnya kode etik.19

4. Etika sebagai filsafat moral


Tuduhan bahwa etika merupakan ilmu ‘dewa’ yang
mengawang-awang karena tidak relevan dan
kontekstual, tentunya tidak berdasar. Etika sebagai ilmu,
sebagaimana sudah dijelaskan, merupakan gerak lanjut
dari kegiatan dalam hidup sehari-hari. Dengan demikian,
etika tidak bisa dilepaskan dari kejadian dan
pengalaman hidup keseharian. Kejadian dan persoalan
etis yang terjadi itu menjadi nutrisi atau sarana
mempertegas dan memperjelas konsep-konsep.
Sebaliknya, konsep-konsep akan menunjukkan
‘kesaktian’-nya jika ia mampu diterapkan dan digunakan
dalam persoalan dan masalah etis yang konkrit terjadi.
Secara material, etika membahas persoalan tindakan
moral sebagai ciri khas manusia. Dan, sebagai ilmu, etika
bekerja saat ia merefleksikan tindakan manusia sejauh

19 K. Bertens, op.cit., 270

21
berhubungan dengan moralitas tersebut. Secara formal
atau normatif, refleksi kritis (filosofis) merupakan kekhasan
disiplin ilmu Etika dibandingkan dengan behavioral
sciences (ilmu tentang tingkah laku), semisal: psikologi
dan sosiologi. Maka, tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa etika merupakan refleksi ilmiah tentang tingkah
laku manusia dari sudut baik buruk atau norma.20
Sebagai cabang filsafat, etika mempunyai karakteristik
khas yang tidak dimiliki oleh cabang filsafat lainnya. Pada
awal lahirnya, filsafat dimulai dengan pertanyaan: baik-
buruknya tindakan. Tema etis ini terus berkembang
sejalan dengan sejarah filsafat.21 Etika merupakan ilmu
fisafat, tetapi etika bukanlah ilmu empiris. Ilmu empiris
mendasarkan diri pada observasi fakta-fakta dan
merumuskan hukum ilmiah, dimana hal-hal tesebut tidak
terjadi di filsafat. Ilmu filsafat mendasarkan diri pada
kekuatan pikiran atau rasio dan jangkauan refleksinya
tidak terbatas pada fakta-fakta yang terindrawi. Karakter
ini pulalah yang dimiliki Etika.
Di awal, disinggung bahwa etika berkaitan erat
dengan kejadian masyarakat. Hal ini harus diperjelas
bahwa sebagai filsafat moral, etika memang
berhadapan dengan kenyataan dan masalah-masalah
etis, tetapi etika tidak berhenti pada masalah dan

20 K. Bertens, Etika (Jakarta: Gramedia, 2000) 25


21 Tentang sejarah Etika, bisa dilihat dalam:
Lawrence C. Becker., A History of Western Ethics (Routledge:
2003)
Albert R. Jonsen, A Short History of Medical Ethics, (Oxford
University Press, 2000)

22
kenyataan konkrit. Seperti halnya filsafat berusaha
mencari dasar di balik gejala konkret, etika pun
mempertanyakan persoalan etis secara terus-menerus.
Sebagaimana filsafat bekerja tidak terbatas pada
pengalaman indrawi, etika juga melampaui masalah etis.
Kemampuan tersebut mengindikasikan bahwa rung
lingkup kajiannya pun luas.
Bidang kajian etika seharusnya cukup luas dan lebar
sebab bidang kajian etika tidak sebatas moralitas.
Beberapa contoh akan ditampilkan. Misalnya, filsafat seni
mempertanyakan ‘apa itu seni’, dan filsafat hukum
tentang ‘apa itu hukum’. Etika, sebagai filsafat moral,
juga mempertanyakan ‘apa itu moral’. Tetapi, apakah
filsafat moral hanya bicara soal apa itu moral? Tentunya,
bidang kajian etika sebagai filsafat moral, bukan hanya
sekedar ‘apa itu moral’. Pertanyaan ini hanyalah salah
satu bahasan. Tugas Etika yang lebih besar lagi adalah
‘apa yang harus dilakukan’. Bertens menegaskan bahwa
jika filsafat bicara tentang ‘apa itu ada’, etika bicara
tentang ‘apa yang harus dilakukan’.

5. Metodologi Etika sebagai Ilmu Moralitas.


Metodologi atau langkah-langkah berkaitan dengan
jenis keilmuan. Untuk itu, kita akan melihat jenis-jenis Etika
sebagai ilmu moral. K. Bertens membagi etika dalam 3
jenis:22
1. Etika Deskriptif

22 K. Bertens, op.cit., 15-19.

23
Etika Deskriptif menggambarkan tingkah laku moral
dalam arti luas: adat kebiasaan, anggapan tentang baik
dan buruk, tindakan yang diperbolehkan atau tidak
diperbolehkan. Etika deskriptif mempelajari moralitas
yang ada pada individu-individu tertentu atau
masyarakat, dalam suatu budaya, dalam periode sejarah
tertentu.
Etika Deskriptif tidak menilai secara moral. Apakah
aborsi itu boleh atau tidak boleh, tidak dibicarakan oleh
Etika Deskriptif. Etika Deskriptif menggambarkan aborsi
dari aneka budaya (misalnya) dan dari perjalanan
sejarahnya. Ia tidak memeriksa apakah norma itu sendiri
benar atau tidak benar.
Sekarang, tugas Etika Deskriptif ini dijalankan oleh
antropologi, psikologi, sosiologi, atau sejarah. Contoh
tokoh yang menjalankan fungsi ini adalah psikolog Swiss
Jean Piaget dan Psikolog Amerika Lawrence Kohlberg
tentang perkembangan kesadaran moral.23
2. Etika Normatif

23 Hasil penelitannya akan kita bahas dalam bagian selanjutnya


tentang tahap-tahap perkembangan moral.
Uraian penelitian dapat dilihat dalam:
William M. Kurtines & Jacob L. Gerwitz, Morality, Moral Behavior
and Moral Development, (John Wiley & Sons: 1985)
(diterjemahkan dalam Moralitas, Perilaku Moral, dan
Perkembangan Moral, UI Press, 1992). hal. 65.
Anne Colby dan Lawrence Kohlberg menguraikan hasil
penelitian tahapan perkembangan moral dalam korelasi
dengan usia (perkembangan mental).

24
Etika Normatif melibatkan diri dalam penilaian moral
tentang suatu norma moral. Ia tidak hanya memandang
dan bersikap netral sebagai penonton. Contonya,
prostitusi diberi penilaian etis dalam konteks boleh atau
tidak boleh. Etika Normatif meninggalkan sikap netral dan
memegang norma. Dengan demikian, Etika Normatif
tidak bersifat deskriptif melainkan preskriptif
(=memerintah), tidak melukiskan tetapi menentukan
benar tidaknya tindakan atau anggapan norma moral.24
Etika Normatif berusaha mencari argumentasi dan
alasan mengapa tindakan atau norma moral itu baik
atau buruk. Pada titik akhirnya, argumentasi itu akan
bertumpu pada prinsip etis yang paling dasar. Etika
Normatif bertujuan merumuskan prinsip etis, yang dapat
dipertanggung-jawabkan secara rasional. Etika Normatif,
selanjutnya, dapat dibedakan menjadi dua: etika khusus
dan etika umum (akan dibahas di lain kesempatan).
3. Meta-Etika
Sebagai ilmu, etika juga berfungsi atau menempati
posisi sebagai Meta-etika. (Meta, Yunani, berarti melebihi
ata melampaui). Maksudnya, etika (sebagai meta-etika)
tidak lagi berbicara tentang moralitas secara langsung,
melainkan memeriksa ucapan dan kata dalam konteks
etis. Meta-etika bergerak pada tataran bahasa-etis.
Sekilas, bahasa dalam etika tidak berbeda jauh dari
bahasa keseharian. Tetapi, kalau ditelaah, terdapat ciri
khusus dari bahasa etis. Contoh tokoh adalah George

24 K. Bertens, op.cit., 18.

25
Moore, filsuf Inggris. Ia menelaah satu kata ‘baik’ dengan
(misalnya) ‘donor organ tubuh itu baik secara moral’ dan
‘mobil itu masih dalam keadaan baik’. Etika normatif dan
meta-etika sering dibahas bersama-sama. Pada saat
meneliti masalah etis (etika normatif), mau tidak mau, kita
harus menelaah arti kata (meta-etika).
Penjelasan di atas adalah jenis-jenis etika sebagai ilmu
moral yang tentunya akan mempunyai metodologinya
sendiri-sendiri.
Metodologi (Methodology-Inggris; methodos-Yunani;
methodus-Latin) terdiri dari meta (setelah, mengikuti),
hodos (jalan), dan logos (kata, ajaran, rasio, ilmu).
Metodologi berarti cara yang didefinisikan secara jelas
dan sistematis untuk mencapai suatu tujuan.25
Metodologi sering hanya diidentikkan dengan penelitian
ilmiah yang eksak dalam ilmu pasti. Kalau begitu,
metodologi etika menjadi asing dan agak aneh. Oleh
karena itu, sebaiknya kita mulai dari yang sudah umum
diterima.

Secara umum, orang tahu metode Induksi dan


Deduksi.
Induksi (Induction, inggris) berasal dari in (dalam) dan
ducere (mengantar); diterjemahkan pertama kali oleh
Cicero. Artinya adalah metode yang digunakan untuk
menarik kesimpulan dari data penelitian.Atau, penarikan
kesimpulan berangkat dari suatu bagian dari

25 Bagus, Lorenz, op.cit., 628

26
keseleuruhan, dari contoh kusus ke pernyataan umum
tentangnya; dari individual ke universal. Orang sering
mengatakannya dengan ‘metode penarikan dari
kongkret ke teori.
Sementara itu, deduksi (deduction, inggris) berasal dari
de (dari) dan ducere (mengantar). Artinya adalah
metode penarikan dari teori ke telaah konkrit. Beberapa
pengertian lainnya adalah a) penalaran dari suatu
kebenaran umum ke suatu hal (contoh) khusus dari
kebenaran itu, b) proses dalam membuat implikasi logis
dari pernyataan atau premis menjadi eksplisit, c) proses
penarikan kesimpulan dari pernyataan dimana tercapai
suatu kesimpulan yang pasti betul dengan aturan
logika.26
Sehubungan dengan metodologinya, etika
menggunakan kedua teori di atas. Perlu diperhatikan
bahwa metode deduksi dan metode induksi berbeda
sama sekali. karenanya, dalam penggunaannya, etika
mengalami dilema.
a) Di satu sisi, sebagai disiplin filsafat yang meneliti
praktis atau tindakan manusia, mau tidak mau, etika
harus menggunakan metode induktif. Sebab, jika tidak, ia
akan terlepas dari situasi manusia yang konkret. b) Tetapi,
sebagai disiplin normatif, etika harus menggunakan
metode deduktif, yaitu bertolak dari prinsip moral dan
mengaplikasikannya dalam situasi konkret. Jadi, Etika

26 Bagus, Lorenz, op.cit., 149

27
menggunakan dua pendekatan atau metode sekaligus
dan bersamaan, baik induktif maupun deduktif.
Setelah tahu metode yang digunakan etika, kita akan
melihat tiga bentuk metode etika, yaitu: etika deskriptif,
etika normatif, dan meta-etika.
1. Metode Fenomenologis
Metode fenomenologi digunakan pada etika deskriptif.
Dengan metode fenomenologi ini, para fenomenolog
berusaha mendeskripsikan sesuatu sebagaimana ia
muncul dalam kesadaran. Jika etika menggunakan
metode fenomenologis, hal itu berarti bahwa etika
menggambarkan apa adanya dan bagaimana sebuah
norma muncul dan terjadi dalam masyarakat.
2. Metode Kritis
Metode Kritis digunakan dalam etika normatif. Metode
Kritis menyelidiki paham filsafat moral. Meneliti sistem dan
teori yang sudah ada. Yang diteliti ialah asumsi dasarnya
entah bisa diterima atau tidak. Diteliti juga asas dan
prinsip yang dianut; koherensi normanya, yaitu
persesuaian atau keselarasan satu bagian dengan
bagian yang lain sehingga membentuk satu kesatuan
norma yang utuh. Kalau ternyata satu teori tidak konsisten
maka perlu dicari dimana letak kesalahannya. Kalau
etika menggunakan metode kritis, artinya Etika mengkritisi
norma moral yang ada dalam masyarakat.
3. Metode Metaetis.
Metode metaetis digunakan dalam meta-etika.
Metode Metaetis meneliti pengertian moral supaya

28
diungkapkan dalam bahasa dan ungkapan yang tepat
dan jelas. Jika etika menggunakan metode ini, artinya
bahwa Etika meneliti dan menyelidiki pengungkapan
atau pembahasaan norma moral supaya bersih dari
bahasa yang rancu dan kabur artinya.
Jika kita kaitkan dengan jenis etika sebagai ilmu dan
metodologinya, maka kita akan menemukan skema
berikut:
Etika Deskriptif → Metode Fenomenologi
Etika Normatif → Metode Kritis
Meta-Etika → Metode Meta-etika
Selanjutnya, jika kita belajar etika, manakah metode
yang dipakai? Dalam hal ini, etika banyak menggunakan
metode kritis. Dalam menghadapi masalah, etika
mengamati kejadian dan peristiwa, meneliti anggapan
dan pemikiran, menjernihkan kerancuan, serta menuntut
pertanggung jawaban. Dengan demikian, etika tidak
memberikan ajaran, melainkan memeriksa segala
permasalahan moral dengan muara akhir:
pertanggungjawaban moral.
Dalam pendekatan kritis, Etika akan membutuh
dukungan berbagai bidang, termasuk bahasa.

6. Etika sebagai ilmu Praktis


Mengetahui tidak sama dengan melakukan.27
Pengetahuan benar tentang bidang etika secara

27 K. Bertens, op. cit. 28

29
otomatis tidak otomatis akan disusul oleh perilaku yang
benar. Hanya saja, pengetahuan etis akan menjadi unsur
penting dalam mencapai kematangan dan perilaku etis.
Sebagai ilmu filsafat, etika bergerak dalam wilayah
intelektual; tetapi objek kajiannya bersifat konkrit dan
berhubungan dengan hidup kita. Etika bisa dimengerti
sebagai ilmu praktis dalam arti bahwa etika bertanya
apa yang harus dilakuan (kongkrit & praktis) dan
berhubungan dengan tindakan manusia.
Etika sebagai ilmu praktis bukanlah berarti bahwa
semuanya akan selesai dengan etika. Sebab,
mengetahui etika bukanlah garansi bertindak etis dan
pengetahuan benar tidak otomatis akan membuat
tindakan manusia benar pula. Tentunya, hal ini
berbenturan dengan intelektualisme etis dari Sokrates.
Walaupuan demikian, kata Bertens, pengetahuan etis
tetap penting sebagai prasyarat atau faktor utama bagi
pendewasaan etis yang lebih baik dan mendasar.
Dari sisi permasalahan etis, jika dianggap sebagai ilmu
praktis, etika tidak serta merta memberikan usulan atau
jalan keluar dari masalah etis. Walaupun demikian, etika
memungkinkan orang untuk mencari berbagai alternatif
etis dari persoalan etis yang sedang dihadapi. Artinya,
apapun solusi yang diambil diharapkan mempunyai
dasar dan argumentasi yang mendalam secara etis.

7. Relevansi Etika28

28 K. Bertens, op. cit. 29-35

30
Dalam sosial masyarakat, banyak orang bertanya: apa
relevansinya dengan dunia? Bertens menyebutkan ada
tiga relevansi etika dan dunia modern.
a) Pluralitas moral & Pendirian sikap
Zaman revolusi industri 4.0 merupakan segala lini dan
sendi kehidupan terkoneksi dengan kecepatan yang
semakin meningkat. Sekat-batas pun sudah menjadi tipis
dan hampir hilang sebab ruang dan waktu teratasi;
wilayah privasi terekspos dengan cepat dan mudahnya.
Selain koneksitas, aliran informasi tidak terbendung.
Produsen informasi pun bergerak horisontal-jejaring dari
pada vertikal top-down. Media mainstream masih
memainkan peran dan menjadi pedoman informasi,
tetapi media lainnya pun mengambil peran yang cukup
besar dalam membuat opini publik (misalnya). Dari sisi
personal, banjir informasi mengandaikan kemampuan
filterisasi informasi, analisa data, serta menilai peristiwa.
Etika sebagai bagian dari filsafat memberikan fondasi
sikap yang cukup kuat untuk proses filterisasi dan
pengolahan informasi.
b) Masalah Etika baru
Kita mungkin masih melihat masalah etika dalam
kasus ‘korupsi, membunuh, mencuri, dan sebagainya’.
Sekarang, kita menghadapi masalah-masalah baru
dalam dunia etika.
Salah satunya adalah kehadiran robot dan artifisial
intelegent, hoax dan pemalsuan (teks, gambar, audio,
video), persoalan etis dalam dunia maya (cyber-ethics).

31
Di depan semua masalah-masalah baru ini, kita bertanya:
apa yang harus dilakukan?
c) Modernitas & Transformasi masyarakat
Modernitas telah membawa perubahan besar,
bukan hanya masalah fisik (kendaraan bermotor,
elektronik, dan plastik), tetapi juga masalah cara berpikir
(rasionalisme, individualisme, nasinonalisme, sekularisme,
materialisme, kepercayaan akan kemajuan,
konsumerisme, dan lainnya). Sistem ini mengubah pola
pikir dan pola tindakan di seluruh pelosok tanah air.
Inilah masa transformasi atas nilai-nilai tradisional.
Etika membantu untuk membedakan antara apa yang
hakiki dan apa yang boleh saja berubah. Dengan
demikian kita tetap sanggup untuk mengambil sikap-
sikap yang dapat kita pertanggung-jawabkan.

d) Perubahan Sosial dan Ideologi


Dalam setiap perubahan sosial, ada ketidak-pastian
dalam hidup. Oleh karena itu, akan ada pihak-pihak
yang menawarkan sistem ideologi di tengah kekacauan
sistem nilai.
Etika dipelajari dalam rangka menjernihkan dan
mengkritisi semua pandangan baru tersebut untuk
sampai pada kesimpulan: YA atau TIDAK terhadap
sebuah pandangan ideologi.

e) Keagamaan
Setiap agama pasti mempunyai sistem nilai atau
moralitas. Untuk pengembangan sistem tersebut, Etika

32
sangat dibutuhkan untuk memberikan dorongan dan
dukungan terhadap penghidupan nilai dan moral
tersebut.

8. Tujuan atau Manfaat Belajar Etika


Pertanyaannya tetap: apa manfaat belajar etika?
Beberapa hal yang bisa diambil sebagai manfaat belajar
etika adalah sebagai berikut.
Pertama, Kita tahu berbagai pandangan etis dan
tentunya bisa memanfaatkan pengetahuan itu. Dengan
pengetahuan tersebut, kita dimungkinkan untuk kritis dan
analitis terhadap berbagai perubahan.
Kedua, Belajar mengenal masalah-masalah etis. Kalau
tidak belajar etika, kita mengalami kesulitan untuk
mengetahui masalah etis di sekitar kita. Dengan tahu, kita
menjadi sadar bahwa hidup ini banyak masalah etis.
Ketiga, kita tentunya menghadapi masalah etis.
Dengan belajar, kita kiranya tahu pertimbangan-
pertimbangan dan keputusan apa yang harus dibuat.
Dengan begitu, kita tidak asal memutuskan; sebaliknya,
memutuskan dengan dasar yang jelas dan benar. Saya
bisa menambahkan juga soal pendirian. Artinya, belajar
etika membantu kita untuk membuat pendirian pribadi
saat menghadapi pilihan-pilihan.
Keempat, Kita belajar kritis. Dalam perkuliahan, saya
sering memberi contoh bagaimana ke-kritis-an bisa
dilatih. Dengan bersikap kritis, kita akan berani
mengambil jarak dan menilai suatu trend, mode,

33
kebiasaan baru, produk baru, dll. Contohnya, sekarang ini
sedang trend ipad atau jenis hp-tablet lainnya. Akankah
kita mengganti hp lama dengan smartphone? Atau,
pada saat awal munculnya FB (Facebook), saya
bertanya: haruskah saya mempunyai FB? Mengapa?

34
9. Kesimpulan
Pertanyaan pokok bagian ini adalah apa itu etika?
Jawabannya adalah:
a) Etika bukanlah etiket dan moralitas. Sementara etiket
bersadar pada cara tindakan, etika berdasar pada
nilai tindakan. Sementara moral berarti nilai dan
kumpulan norma, etika berarti ilmu pengetahuan
(selain nilai dan kumpulan norma).
b) Etika adalah sebuah disiplin filsafat yang mempelajari
tindakan manusia, dipandang dari segi kewajiban
moral serta baik-buruk, benar-salah tindakan itu
sehubungan dengan penyempurnaan diri sebagai
manusia. Tindakan manusia menjadi objek kajian;
filsafat (pikirian kritis) & moralitas (baik-buruk) menjadi
ciri/kekhasan (sudut pandang) yang digunakan etika
dalam menelaah tindakan manusia; terakhir,
‘kesempurnaan manusia sebagai manusia’ merupakan
tujuan kegiatan etika.

10. Kasus dan pendalaman


Kita telah mengetahui pengertian etika, entah secara
etimologis ataupun sebagai ilmu. Sekarang, kita akan
menghadapi suatu kasus untuk mengerti etika dan
memahami pentingnya etika.

35
Seorang Pria dengan Sopan Minta Izin untuk Merampok
Supermarket29
OGORI CITY, KOMPAS.com - Tata krama mutlak
diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Namun,
bagaimana jika tata krama itu dilakukan oleh
perampok yang hendak menjarah supermarket?
Kejadiannya berlangsung di Ogori, Prefektur Fukuoka,
Jepang. Pria tersebut meminta izin sebelum
menyerahkan diri kepada polisi. Pelaku yang tak
disebutkan identitasnya itu masuk ke supermarket pukul
01.40 waktu setempat pekan lalu (5/10/2018). Dia
langsung menuju meja kasir dan bertanya kepada
manajer supermarket. "Saya berniat merampok tempat
ini. Apakah Anda bersedia bekerja sama?" tanya dia.
Karena pertanyaannya itu, si manajer supermarket
terkejut dan langsung menolak. Pelaku berbalik dan
keluar tanpa mengambil apapun. Berdasarkan
keterangan polisi, si pelaku datang ke pos penjagaan
dan mengakui upayanya untuk merampok
supermarket lima menit kemudian. Polisi yang awalnya
juga terkejut kemudian melakukan penggeledahan,
dan menemukan pisau dapur yang belum sempat
ditarik untuk mengancam manajer supermarket. "Kami

29 Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Seorang


Pria dengan Sopan Minta Izin untuk Merampok Supermarket",
Penulis : Ardi Priyatno Utomo
Editor : Ardi Priyatno Utomo
https://internasional.kompas.com/read/2018/10/13/10151551/se
orang-pria-dengan-sopan-minta-izin-untuk-merampok-
supermarket.

36
langsung menahan pria itu dan memberikan pasal
perampokan. Namun, kami masih mendalami motif
sesungguhnya," terang sumber kepolisian. Sejumlah
media Jepang memberitakan, diduga pria tersebut
melakukan perampokan karena sejak awal dia berniat
untuk ditangkap polisi.

Pertanyaan Refleksi-nya adalah:


a) Tindakan apakah yang sebenarnya terjadi?
Rumuskan dalam 1 kalimat saja!
b) Sebutkan semua unsur-unsur konstitutif dari tindakan
tersebut?
c) Bagaimana Anda membuat penilaian atas
perbuatan tersebut, dengan memperhatikan unsur-
unsur konstitutif tindakan tersebut?
d) Jika Anda adalah Hakim, apa keputusan yang Anda
ambil (jika kasus itu dibawa ke pengadilan)?
e) Buatlah refleksi dengan menjawab: bagaimana
menurut Anda, bagaimana kaitan (relevansi) mata
kuliah Etika dengan bidang studi Anda saat ini (atau
profesi Anda di masa mendatang?

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Dewantara, S.S., M. Hum, Dr. Agustinus W., Filsafat


Moral, Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia,
Kanisius: Yogyakarta, 2017
2. Albert R. Jonsen, A Short History of Medical Ethics,
Oxford University Press, 2000.
3. Artikel: Creating a Climate for Long-term Ecological
and organizational Sustainable, oleh A. Arnoud &
D.L.Rhoades, dalam: Eddi N. Laboy dkk (Ed),
Environmental Management, Sustainable
Development and Human Health, CRC Press.,
London, UK, 2009.
4. Artikel: Etika Ekonomi (Bisnis) dalam Menghadapi
Pasar Bebas, dalam Jurnal Ekonomi dan
Manajemen Vol 8. Nomor 2, Juni 2007.
5. Bertens, K, ETIKA, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta,
2000
6. Charles Foster, Choosing Life, Choosing Death, The
Tyranny of Autonomy in Medical Ethics and Law,
Oxford and Portland, Oregon, 2009.
7. Charles Foster, Choosing Life, Choosing Death, The
Tyranny of Autonomy in Medical Ethics and Law,
Oxford and Portland, Oregon: 2009, terkhusus pada
Bab 3: Whose Autonomy?hlm. 21-30.
8. Christopher Dowrich & Lucy Frith, General Practice
and Ethics, Routledge, London, 1999.
9. Dosen Etika Unpar, Etika Dasar dan Terapan, Seri
Etika No. 1, 2005 (Diktat tidak terpublikasi)

38
10. Eddie N. Laboy-Nieves, cs., Environmental
Management, Sustainable Development and
Human Health, CRC Press, 2009.
11. Guillermo de la Dehesa, Winners and Losers in
Globalization, Blackwell Publishing Ltd, hlm. 1
12. K. Bertens, ETIKA BIOMEDIS, Yogyakarta, Kanisius,
2011
13. K. Bertens, ETIKA, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,
2000
14. Karl Homann, cs (Ed), Globalisation and Business
Ethics, Ashgate, 2007
15. Keraf, Dr. A. Sonny, Etika Bisnis, Kanisius, Yogyakarta,
1998, hlm.187-188
16. Magnis-Suseno, Dr. Franz, 13 TOKOH ETIKA,Kanisius,
Yogyakarta, 1997
17. Magnis-Suseno, Dr. Franz, ETIKA DASAR,Kanisius,
Yogyakarta, 1987.
18. Mikhel Dua, Filsafat Etkonomi, Upaya Mencari
Kesejahteraan Bersama,Kanisius, Yogyakarta 2008.
19. Robert Audi (ed), The Cambridge Dictionary of
Philosophy (second edition), Cambridge University
Press, 1999.
20. Tim Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia,
Jakarta, Pusat Bahasa, 2008.
21. Tony Schirato & Jen Webb, Understanding
Globalization, SAGE Publication, 2003
22. Velasquez, Manuel G., Etika Bisnis., Yogyakarta,
ANDI, 2005.

39
Catatan:

40
41

Anda mungkin juga menyukai