Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Etika memang bukanlah bagian dari Ilmu Pengetahuan (IP). Tetapi Etika lebih
merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan moralitas atau
perwujudan dalam bentuk perilaku yang baik (Akhlak mulia). Kendati demikian etika
tetaplah berperan penting dalam IP. Penerapan IP dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari
memerlukan adanya dimensi etis sebagai pertimbangan yang terkadang ikut berpengaruh
dalam proses perkembangan IP selanjutnya.

Dengan begitu tanggung jawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan
maupun penggunaan IP. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan IP harus
memperhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem,
bertanggung jawab pada kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal
karena pada dasarnya IP adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi
manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia dan bukan menjadikan manusia
menjadi budak teknologi dari IP itu sendiri. Keberadaan tanggung jawab etis tidak bermaksud
menghambat kemajuan IP.

Justru dengan adanya dimensi etis yang mengendalikan, kemajuan IP akan semakin
berlomba-lomba meningkatkan martabat manusia sebagai “tuan” teknologi dan bukan hamba
teknologi. Tanggung jawab etis juga diharapkan mampu menginspirasi, memacu,
memobilitasi, dan memotivasi manusia untuk mengembangkan IP yang tidak mencelakakan
manusia serta aman bagi lingkungan hidup.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Etika Keilmuan
1. Hubungan etika dengan ilmu

Etika mempunyai sifat yang sangat mendasar, yaitu sifat kritis. Etika mempersonalkan
norma-norma yang dianggap berlaku, menyelidiki dasar norma itu, mempersoalkan hak dari
setiap lembaga seperti orang tua,negara,dan agama untuk memberi perintah atau larangan
yang harus ditaati. Hak dan wewenang untuk menuntut ketaatan dari lembaga tersebut dan
perlu dibuktikan. Dengan demikian, etika menuntut orang bersikap rasional terhadap semua
norma. Sehingga etika akhirnya membantu manusia menjadi lebih otonom. Dengan
demikian, etika dibutuhkan sebagai pengantar pemikiran yang keritis, yang dapat
membedakan antara yang sah dan yang tidak sah, membedakan apa yang benar dan apa yang
tidak benar. Dengan demikian, etika memberi kemungkinan kepada kita untuk mengambil
sikap sendiri serata ikut menentukan arah perkembangan masyarakat.

Menurut Suriasumantri (1995: 233) ilmu dan etika mempunyai hubungan yang sangat
erat. Ada yang berpendapat bahwa sesungguhnya ilmu itu memiliki nilai dalam dirinya
sendiri. Ada dua paham yang berkaitan dengan nilai, pertama Pada zaman yunani dulu
aristoteles mengatakan bahwa ilmu tidak mengabdi pada pihak lain, ilmu dipelajari manusia
demi ilmu itu sendiri. Dengan ilmu orang banyak memperoleh pengertian tentang dirinya dan
alam di sekitarnya.

Pada abad ke-17 ilmu giat dikembangkan dan orang mulai mencari apa tujuan
sebenarnya dari ilmu tersebut. Jadi, fase yang sifatnya empiris rasional kemudian
berkembang menjadi fase eksperimental rasional. Kedua, paham pragmatis yang berpendapat
bahwa di dalam ilmu terdapat nilai yang mendorong manusia bersikap hormat pada ilmu.
Hormat ini mula-mula ditunjukkan hanya pada ilmu yang diterapkan pada kehidupan saja
karena nilai dari ilmu terletak pada penerapannya. Ilmu mengajarkan kebenaran yang
merupakan inti etika ilmu tetapi kebenaran itu ditentukan oleh derajad penerapan praktis dari
suatu ilmu.

2
2. Problem etika ilmu

Menurut Amsal bakhtiar (2007: 83) tanggung jawab keilmuan menyangkut kegiatan
maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus
memerhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga ekosistem, bertanggung jawab pada
kepentingan umum dan generasi mendatang. Pada hakikatnya ilmu pengetahuan dan
teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh ekosistem manusia bukan
menghancurkan ekosistem tersebut.

Manusia disebut etis ialah manusia yang secara utuh dan menyeluruh mampu
memenuhi hajad hidupnya dalam rangka mewujudkan keseimbangan antara kepentinngan
pribadi dan orang lain,nantara rohani denga jasmani dan sebagai makhluk ciptaan-Nya.

K. Bertens (2004:15-22) mengungkapkan bahwa kajian etika dapat dibagi menjadi dua,
sebagai berikut.

a. Etika deskriptip

Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat
kebiasaan, anggapan-anggapan tentank baik dan buruk, serta tindakan-tindakan yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan.

Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu tertentu, dalam
kebudayan atau subkultur yang tertentu,dalam suatu periode sejarah, dan sebagainya. Etika
deskriptif hanya melukiskan ,jadi tidak memberi penilaian.

b. Etika normatif

Etika normatif merupakan bagian terpenting dari etika dan bidang dimana berlangsung
diskusi yang paling menarik tentang masalah moral. Etika deskriptif hanya melukiskan
norma-norma dan tidak memeriksa apakah norma-norma tersebut benar atau tidak. Adapun
etika normatif meninggalkan sikap netral itu dengan mendasarkan pendiriannya atas norma
dan berani bertanya apakah norma-norma itu benar atau tidak.

Dapat dirumuskan bahwa etika normatif itu tidak deskriptif melainkan preskriptf
(memerintahkan), tidak melukiskan melainkan menentukan benar tidaknya tingkah lakun atau
anggapan moral. Pada akhirnya argumentasi-argumentasi itu bertumpu pada norma-norma
atau prinsip atis yang dianggap tidak dapat ditawar-tawar.

3
Secara singkat dapat dikatakan bahwa etika normatif bertujuan merumuskan prinsip-
prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan dengan cara rasional dan dapat digunakan
dalam praktik.

Etika normatif dibedakan menjadi dua yaitu etika umum dan etika khusus,sebagai
berikut.

1. Etika umum memandang tema umum, seperti apa itu norma etis? Jika ada banyak norma
etis, bagaimana hubungannya satu sama lain? Mengapa norma moral mengikat kita? Apa
itu nilai dan apakah kekhususan nilai moral? Bagaimana hubungan antara tanggumg
jawab manusia dan kebebasan? Tema-tema seperti itulah yang menjadi objek
penyelidikan etika umum.
2. Etika khusus berusaha menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum atas wilayah perilaku
manusia yang khusus dengan menggunakan suatu istilah yang lazim dalam konteks logika
dapat dikatakan juga bahwa dalam etika khusus itu premis normatif dikaitkan dengan
premis paktul untuk sampai pada suatu kesimpulan etis yang bersifat normatis juga. Etika
khusus memiliki tradisi panjang dalam sejarah filsafat moral.

Selain pembagian etika di atas, etika juga dapat dibedakan menjadi etika perangai dan
etika moral. Pertama, etika perangai adalah adat-istiadat atau kebiasaan yang
menggambarkan perangai manusia dalam hidup bermasyarakat di daerah-daerah tertentu,
pada waktu tertentu pula. Etika perangai tersebut diakui dan berlaku karena disepakati
masyarakat berdasrkan hasil penilaian pelaku.

Contoh etika perangai yaitu berbusana adat dan pergaulan muda-mudi. Kedua etika
moral berkenaan dengan kebiasaan berprilaku yang baik dan benar berdasarkan kodrat
manusia. Kebiasaan ini berasal dari kodrat manusia yang disebut moral. Contoh etika moral
menghormati orangtua, guru, membela kebenaran dan keadilan. Etika moral berwujud dalam
bentuk kehendak manusia berdasarkan kesadaran dan kesadaran adalah suara hati nurani.
Dalam kehidupan manusia selalu dikehendaki yang baik dan tidak baik, benar dan tidak
benar. Dengan demikian, ia mempertanggungjawabkan pilihan yang telah dipilihnya.

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara nilai moral dijadikan dasar hukum
positif yang diciptakan oleh penguasa. Apabila manusia melakukan pelanggaran etika berarti
dia berkehendak melakukan kejahatan, dengan sendirinya pula berkehendak untuk dihukum.

4
Dalam kehidupan masyarakat kita juga mengenal etika pribadi dan etika sosial. Untuk
mengetahui etika pribadi dan etika sosial, perhatikan contoh berikut.
a. Etika pribadi. Misalnya seseorang yang berhasil di bidang usaha (wiraswasta) dan
menjadi seseorang yang kaya raya (jutawan). Ia mempergunakan kekayaannya
untuk keperluan hal-hal yang tidak terpuji di mata masyarakat (mabuk-mabukan,
suka mengganggu ketentraman keluarga orang lain).
b. Etika sosial. Seorang pejabat pemerintah (negara) dipercaya untuk mengelola
keungan negara. Uang milik negara berasal dari rakyat dan untuk rakyat. Pejabat
tersebut ternyata melakukan penggelapan uang negara untuk kepentingan
pribadinya, dan tidak dapat mempertanggungjawabkan uang yang dipakainya itu
kepada pemerintah.

Etika tidak langsung membuat manusia menjadi lebih baik, etika merupakan sarana
untuk memperoleh orientasi kritis untuk berhadapan dengan berbagai moralitas yang
membingungkan. Orientasi etis diperlukan dalam mengambil sikap yang wajar dalam suasana
pluralisme. Pluralisme moral diperlukan karena beberapa alesan:

a. Pandangan moral yang berbeda-beda karena adanya perbedaan suku, daerah


budaya, dan agama yang hidup berdampingan;
b. Modernisasi membawa perubahan besar dalam struktur dan nilai kebutuhan
masyarakat yang akibatnya menantang pandangan moral tradisional;
c. Berbagai ideologi menawarkan diri sebagai penuntun kehidupan, masing-masing
dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup.

3. Ilmu dan Moral


Istilah moral berasal dari bahasan latin,mos (jamaknya mores), yang berarti adap atau
cara hidup. Etika dan moral sama maknanya, tetapi dalam pemakaiannya sehari-hari ada
sedikit perbedaan. Moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dimulai, sedangkan etika
dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. Menurut Sudarsono(2001) istilah etika, moral
dan akhlak sama.
Dalam akhlak terdapat beberapa nilai luhur yang bersifat universal, yaitu kejujuran,
kebaikan, kebenaran, rasa malu, kesucian diri, kasih sayang, hemat, dan sederhana. Perlu kita
simpulkan bahwa etika adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.

5
Dengan itu kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma etis
yang berlaku dalam masyarakat. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan
kebutuhan manusia dapat dilakukan dengan cepat dan mudah, dan dibidang ini juga memberi
kemudahan dalam bidang kesehatan, transportasi, pendidikan, dan komunikasi. Namun,
kemajuan ini juga membawa dampak negatif, yakni dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi ini dapat membuat manusia kehilangan arti kemanusiaan. Manusia sering
dihadapkan oleh situasi yang tidak manusiawi lagi, mereka terpenjara dalam kisi-kisi
teknologi yang merampas kemanusiaan dan kebahagiaan.
Pengertian moral dibedakan dengan pengertian kelaziman meskipun dalam praktik
kehidupan sehari-hari kedua pengertian itu tidak tampak jelas batas-batasnya. Kelaziman
adalah kebiasaan yang baik tanpa pikiran panjang dianggap baik, layak, sopan santun, tata
krama, dan sebagainya. Jadi, kelaziman itu merupakan norma-norma yang diikuti tanpa
berfikir panjang dianggap baik, yang berdasarkan kebiasaan atau tradisi.
Moral juga dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut.
a. Moral murni, yaitu moral yang terdapat pada setiap manusia, sebagai suatu
pengejawantahan dari pancaran Ilahi dan juga disebut hati nurani.
b. Moral terapan, adalah moral yang didapat dari ajaran berbagai ajaran filosofit,
agama, adat yang menguasai pemutaran manusia.

Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia. Jadi, bukan
mengenai baik-buruknya begitu saja, misalnya sebagai dosen, tukang masak, pemain bulu
tangkis atau penceramah, melainkan sebagai manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan
manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok
ukur untuk menetukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-
buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku tertentu dan terbatas.

Itulah kekhususan norma moral. Ada banyak macam norma yang harus kita
perhatikan. Ada norma-norma khusus yang hanya berlaku dalam bidang dan situasi khusus.
Misalnya aturan bahwa bola tidak boleh disentuh dengan tangan, hanya berlaku sewaktu kita
maen sepak bola dan kita bukan pula aturan agama hanya berlaku bagi anggota agama itu.
Peraturan tata tertib di kampus universal hanya berlaku selama kita berada di kampus itu.
Norma-norma itu semua bersifat khusus.

6
Norma umum ada tiga macam, yaitu norma-norma sopan santun, norma-norma
hukum, dan norma-norma moral. Norma-norma sopan santun menyangkut sikap lahiriah
manusia. Meskipun sikap lahiriah dapat mengungkapkan sikap hati sehingga mempunyai
kualitas moral, namun sikap lahiriah sendiri tidak bersifat moral. Orang yang melanggar
norma kesopanan karena kurang mengetahui tata krama di daerah itu, atau karena dituntut
oleh situasi (misalnya kita mendorong Ibu Lurah sampai jatuh ke sawah supaya tidak
tertabrak oleh truk yang remnya blong) tidak melanggar norma-norma moral.

Begipula halnya norma-norma hukum. Setiap masyarakat mengenal hukum. Norma-


norma hukum adalah norma-norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena
dianggap perlu demi keamanan ,keselamatan, dan kesejahteraan umum. Norma hukum adalah
norma yang tidak dibiarkan dilanggar.

Orang yang melanggar hukum, pasti akan dikenai hukuman sebagai sanksi. Akan
tetapi, norma hukum tidak sama dengan norma moral. Bisa terjadi bahwa demi tuntutan suara
hati, demi kesadaran moral, kita harus melanggar hukum. Kalaupun kita dihukum, hal itu
tidak berarti bahwa kita ini orang buruk. Hukum tidak dipakai untuk menjamin tertib umum.

Norma-norma moral adalah tolok-tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk


mengukur kebaikan seseorang. Maka dengan norma-norma moral kita betul-betul dinilai.
Itulah sebabnya penilaian moral selalu berbobot.

7
B. Sikap ilmuan

Untuk menyelesaikan krisis moral yang diakibatkan oleh ilmu pengetahuan dan
teknologi di atas, diperlukan seorang ilmuan yang baik sehingga segala tindakan yang
dilakukan akan selalu dipikirkan baik buruknya menurut etika moral. Seorang ilmuan harus
memiliki sikap ilmiah untuk menyelesaikan masalah tersebut. Ada banyak pendapat ahli yang
mengungkapkan masalah ini, tetapi sedikitnya ada beberapa sikap yang perlu dimiliki oleh
para ilmuwan, antara lain:

1. Seorang ilmuan harus bersikap selektif terhadap segala informasi dan realita yang
dihadapinya;
2. Seorang imuwan sangat menghargai terhadap segala pendapat yang dikemukakan
oleh orang lain, oleh para ilmuwan lainnya, memiliki keyakinan yang kuat terhadap
kenyataan maupun terhadap alat indera serta budi, adanya sikap yang positif terhadap
setiap pendapat atau teori terdahulu telah memberikan inspirasi bagi terlaksananya
penelitian dan pengamatan lebih lanjut;
3. Selain adanya sikap positif, seorang ilmuwan juga memiliki rasa tidak puas terhadap
penelitian yang telah dilakukan sehingga dia terdorong untuk terus melakukan riset
atau penelitian;
4. Seorang ilmuwan harus memiliki akhlak atau sikap etis yang selalu berkehendak
untuk mengembangkan ilmu untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk
pembangunan bangsa dan negara. Akhlak dan sikap etis dalam mengembangkan ilmu
untuk memiliki sopan santun ilmiah yaitu dengan berhati-hati dalam mengeluarkan
pendapat, dan kalau ternyata dia salah maka harus segera menyadari dan
mengklarifikasi kesalahan tersebut. Akhlak dan etis ini bias juga meliputi tanggung
jawab ilmuwan seperti objektif, sikap skeptif, kesabaran intelektual, kesederhanaan,
tidak ada rasa pamrih, dan bersikap selektif.

8
C. Kesadaran Moral

Kesadaran manusia unuk melaksanakan cita-cita dalam nilai dan norma, didorong
oleh pandangan hidup atau agama yang disebut kesadaran moral. Kesadaran moral muncul
apabila kita harus memutuskan sesuatu yang menyangkut hak atau kebahagian orang lain.
Menurut Franz Magnis Suseno, unsur-unsur pokok dalam kesadaran moral menunjukkan ada
tiga unsur dalam kesadaran moral, yaitu sebagai berikut.

1. Mengungkapkan kesadaran bahwa kewajiban moral itu bersifat mutlak,


2. Mengungkapkan rasionalitas kesadaran moral,
3. Mengungkapkan segi tanggung jawab subjektif.

Agar unsur kesadaran moral dapat kita wujudkan, kita harus memahami moral itu
sendiri.menurut W. Huki (1981) kita dapat memahami moral dengan tiga cara, yaitu sebagai
berikut.

1. Moral sebagai tingkah laku hidup manusia, yang mendasarkan diri pada kesadaran
bahwa ia terikat oleh keharusan unuk mencapai yang baik sesuai dengan nilai dan
norma yang berlaku dalam lingkungannya.
2. Moral sebagai perangkat ideal-ideal tentang tigkah laku hidup, dengan warna dasar
tertentu yang dipegang oleh sekelompok manusia di dalam suatu lingkungan kultural
tertentu.
3. Moral adalah ajaran tentang tingkah laku hidup yang baik berdasarkan pandangan
hidup atau agama tertentu.

Menurut Conny R.Semiawan (1992: 177) tanggung jawab moral ilmuwan merupakan
refleksi dari kewajiban (moral imperative). Kewajiban moral adalah kewajiban yang
mengikat batin seseorang lepas dari pendapat masyarakat, teman, maupun atasan. Hal
tersebut bukan berarti tanggung jawab moral terpisah secara absolut dari tanggung jawab
sosial seorang ilmuwan, hanya saja tanggung jawab moral sifatnya lebih personil.

Betapa pentingnya bagi seorang ilmuwan suatu kepekaan besar terhadap konsekuensi-
konsekuensi etis ilmunya. Sebab dialah orang yang dapat mengikuti dari dekat
perkembangan-perkembangan yang konkret.

9
Tanggung jawab moral seorang ilmuwan tidak dapat terlepas dari integritas ilmuwan
tersebut, agar menjadi ilmuwan yang sejati. Ciri seorang ilmuwan sejati yaitu integritas
ilmuwan tersebut, agar menjadi ilmuwan yang sejati. Ciri seorang ilmuwan sejati yaitu
integritas yang tinggi dan rasa keterlibatan dan tanggung jawab yang menyeluruh terhadap
pekerjaan yang digelutinya. Hendaknya ciri-ciri ini dan ciri-ciri lain seperti keuletan,
kejujuran, dan kerendahan hati menghadapi hasil-hasil ilmuwan yang lainnya hendaknya
dipertahankn dan dibina.

Konsep-konsep keilmuan yang dikembangkan manusia dipertanyakan kepentingan


praktisnya. Untuk itu, manusia memikirkan aplikasi dari konsep-konsep yang telah dibangun.
Penerapan konsep ilmiah dalam keperluan praktis kemudian dikenal sebagai teknoligi. Dari
perkembangan tersebut kembali manusia berpikir perlunya moral dalam aplikasi ilmu, karena
manfaat ilmu bersifat relative, yaitu tergantung pada sisi mana melihnya.

Pengembangan ilmu yang tidak disertai moral akan menghancurkan kehidupan umat
manusia. Dalam Soetriono dan Hanafie (2007:129) menyebutkan bahwa terdapat dua
kelompok sikap mengenai hubungan antara ilmu dengan moral. Pertama, kelompok yang
masih tetap menghendaki agar ilmu bebas nilai dengan istilah netral terhadap nilai. Mereka
hanya berurusan dengan penemuan ilmuwan saja, sedangkan penggunaannya terserah pada
yang akan menggunakannya., apakah untuk tujuan yang baik atau tujuan yang buruk.

Sebaliknya yang kedua, kelompok yang melihat pengalaman penggunaan ilmu yang
merusak kehidupan umat manusia, maka aplikasi dari ilmu harus memperhatikan asas moral.
Tanggung jawab moral menyangkut pemikiran bahwa ilmuwan tidak lepas dari tanggung
jawab aplikasi ilmu yang dikembangkan. Di mana ilmu harus diaplikasikan untuk hal-hal
yang benar, bukan untuk merusak umat manusia.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Etika memang bukanlah bagian dari Ilmu Pengetahuan (IP). Etika lebih merupakan
sarana untuk memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan moralitas atau perwujudan
dalam bentuk perilaku yang baik (Akhlak mulia). Kendati demikian etika tetaplah berperan
penting dalam IP. Penerapan IP dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari memerlukan
adanya dimensi etis sebagai pertimbangan yang terkadang ikut berpengaruh dalam proses
perkembangan IP selanjutnya.

Dengan begitu tanggung jawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan
maupun penggunaan IP. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengembangkan IP harus
memperhatikan kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem,
bertanggung jawab pada kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal
karena pada dasarnya IP adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi
manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia dan bukan menjadikan manusia
menjadi budak teknologi dari IP itu sendiri. Keberadaan tanggung jawab etis tidak bermaksud
menghambat kemajuan IP.

Justru dengan adanya dimensi etis yang mengendalikan, kemajuan IP akan semakin
berlomba-lomba meningkatkan martabat manusia sebagai “tuan” teknologi dan bukan hamba
teknologi. Tanggung jawab etis juga diharapkan mampu menginspirasi, memacu,
memobilitasi, dan memotivasi manusia untuk mengembangkan IP yang tidak mencelakakan
manusia serta aman bagi lingkungan hidup.

11
DAFTAR PUSTAKA

Filsafat imu: suatu kajian dalam dimensi ontologis, epistemologis, dan Aksiologis/A.
Susanto;--Cet.3.—Jakarta:Bumi AKSARA,2013

Achmadi, Asmoro. 2005. Filsafat ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Adisusilo, Sutarji. 1982. Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta:


Kanisius.

Anshari, Endang Saifuddin. 1987. Ilmu, Filsafat dan Agama Cet. VII. Surabaya: PT.
Bina Ilmu.

Arifin, M. 2003. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Bachtiar, Amsal. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Badudu, JS., dan Zain, Sutan Mohammad. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Cet. III. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Bakker, Anton. 1984. Metode-Metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Bakker, Anton dan Zubair, Ahmad Charris. 1994. Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius

12

Anda mungkin juga menyukai