Anda di halaman 1dari 7

TUGAS RESUME

DASAR-DASAR SAINS
“ETIKA KEILMUAN SAINTIS”

Oleh

Kelompok 1:
1. Anggun Apriliyani/23035129
2. Mutiara Cahya Afifah/23035024
3. Rafi Aufa Hakim/23035119
4. Zifana Natio Hutagalung/23035043

Dosen Pengampu :
Harman Amir, S.Si, M.Si

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023
ETIKA KEILMUAN SAINTIS

Pendahuluan

Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang memilikiciri ktiris, rasional, logis, objektif dan
terbuka. Pengetahuan memang telah membawa manusia ke arah perubahan yang sangat besar.
Namun, pengetahuan juga berpotensi menyebabkan masalah bagi manusia. Di sinilah letak tanggung
jawab ilmuwan. Perkembangan ilmu pengetahuan perlu suatu “rambu” agar penerapannya tetap
dalam koridor yang mementingkan kemaslahatan manusia. Manusia mampu berbuat apa saja dengan
ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Pertimbangannya tidak hanya pada apa yang dapat diperbuat
manusia, tetapi juga apa yang perlu atau harus dilakukan dengan tujuan kebaikan manusia. Di sinilah
etika memainkan peranan penting, sebagai tolak ukur baik dan buruk dalam kegiatan ilmiah mencari
ilmu pengetahuan.

A. Definisi Etika

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, etika berarti ilmu pengetahuan tentang asas-asa
akhlak atau moral. Menurut etimologi (ilmu tentang asal usul kata), etika berasa dari bahasa Yunani,
yaitu ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara terminologi etika didefinisikan sebagai: the
normatif science of the conduct of human being living societies. A science which judge this conduct to
be right or wrong and to be good or bad. Kata yang cukup dekat dengan “etika” adalah “moral”. Kata
terakhir ini berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat. Dalam
bahasa Inggris dan banyak bahasa lainnya, kata mores masih dipakai dalam arti yang sama. Jadi,
etimologi kata “etika” sama dengan etimologi kata “moral”, karena keduanya berasal dari kata yang
berarti adat kebiasaan. Jika dibandingkan, etika lebih banyak bersifat teori sedangkan moral lebih
banyak ke arah praktis. Etika memandang perilaku manusia secara universal, sedangkan moral secara
lokal. Etika menjelaskan ukuran baik dan buruk, moral menyataan ukuran baik dan buruk dalam bentuk
perilaku.

Secara umum, etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tingkah laku moral dapat dihampiri
berdasarkan atas duaa macam pendekatan, yaitu: Etika Deskriptif dan Etika Normatif.

a. Etika deskriptif, yaitu cara melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas seperti: adat
kebiasaan, anggapan tentang baik atau buruk, tindakan yang diperbolehkan atau tidak.
Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu, kebudayaan atau sub-
kultur tertentu. Oleh karena itu etika deskriptif ini tidak memberikan penilaian apa pun, ia
hanya memaparkan. Etika deskriptif lebih bersifat netral. Misalnya: Penggambaran
tentang adat mengayau kepala pada suku primitif.
b. Etika normatif, yaitu kajian terhadap ajaran norma baik buruk sebagai suatu fakta, tanpa
perlu mengajukan alasan rasional dibalik ajaran tersebut, cukup merefleksikan mengapa
hal itu menjadi keharusan. Etika normatif dapat mempersoalkan norma yang diterima
seseorang atau masyarakat secara lebih kritis. Ia bisa mempersoalkan apakah norma itu
benar atau tidak. Etika normatif berarti sistem-sistem yang dimaksudkan untuk
memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan yang menyangkut baik
atau buruk. Etika normatif ini dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Etika umum, yang berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia
bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori
etika dan prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam
bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik buruknya suatu tindakan. Etika
umum menekankan pada tema-tema umum seperti: Apa yang dimaksud norma
etis? Mengapa norma moral mengikat kita? Bagaimana hubungan antara
tanggung jawab dengan kebebasan?
2) Etika khusus, yang berbicara mengenai penerapan prinsip-prinsip moral dasar
dalam bidang kehidupan yang khusus. Dengan kata lain, etika khusus merupakan
upaya untuk menerapkan prinsipprinsip etika umum ke dalam perilaku manusia
yang khusus, sehingga etika khusus juga dinamakan etika terapan. Penerapan ini
bisa berwujud: bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam
bidang kehidupan dan kegiatan khusus yang saya lakukan yang didasari oleh cara,
teori, dan prinsip moral dasar? Bagaimana saya menilai perilaku saya dan orang
lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi kondisi
yang memungkinkan manusia bertindak etis. Intinya, etika khusus berkenaan
dengan cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tindakan, dan
teori dan prinsip moral dasar yang ada dibalik keputusan tersebut. Etika khusus ini
dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu etika individual yang menyangkut kewajiban
dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri; dan etika sosial, yaitu tentang
kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.

Etika memiliki manfaat tersendiri bagi kehidupan manusia bermasyarakat yaitu sebagai
berikut.

1) Menyediakan sarana untuk refleksi kritis terhadap perkembangan hidup


masyarakat yang semakin pluralistik yang menyajikan manusia pada banyak
pandangan moral yang beragam. Contoh: etika medis tentang masalah aborsi,
bayi tabung, kloning, donor organ dari jasad, dan lain-lain.
2) Mengubah cara berpikir masyarakat agar dapat menyesuaikan diri dengan
gelombang modernisasi yang melanda seluruh bidang kehidupan masyarakat.
Misalnya: cara berpakaian, cara bergaul, kebutuhan akan fasilitas hidup modern,
dan lain-lain.
3) Menyediakan dasar berpijak dalam menghadapi ideologi-ideologi asing yang
berpotensi mempengaruhi kehidupan masyarakat, agar tidak mudah terpancing
dan terprovokasi propaganda. Artinya, kita tidak boleh tergesagesa memeluk
pandangan baru yang belum jelas, namun tidak pula tergesa-gesa menolak
pandangan baru hanya lantaran karena belum terbiasa.
4) Menyediakan dasar kemantapan dalam iman dan kepercayaan yang dibutuhkan
umat beragaman sekaligus memperluas wasasan terhadap semua dimensi
kehidupan Masyarakat yang selalu berubah.

B. Etika Keilmuan

Etika keilmuan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat
dipertanggung jawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika
keilmuan adalah agar seorang ilmuan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu prinsip yang baik
dan menghindarkan diri dari hal-hal buruk ke dalam prilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi
ilmuan yang dapat mempertanggung jawabkan prilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan
kaidahkaidah, yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan yang seharusnya
dikerjakan, dan yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang
seharusnya terjadi. Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada “elemen-elemen”
kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat
utilitaristik (kegunaan). Hati nurani merupakan penghayatan tentang yang baik dan yang buruk dan
dihubungkan dengan perilaku manusia.

Ilmu pengetahuan dalam bahasa Latin (Scientia) berarti mempelajari atau mengetahui. Ilmu
pengetahuan berbeda dengan pengetahuan. Ilmu pengetahuan bisa berasal dari pengetahuan tetapi
tidak semua pengetahuan adalah ilmu. Menurut I.R. Poedjowijatno, ada beberapa syarat suatu
pengetahuan untuk dapat dikategorikan sebagai ilmu, yaitu sebagai berikut.

1) Memiliki objek material sasaran/ bahan kajian.


2) Memiliki metode, yaitu prosedur/ cara tertentu suatu ilmu dalam usaha mencari kebenaran.
3) Sistematis. Ilmu pengetahuan seringkali terdiri dari beberapa unsur tetapi merupakan satu
kesatuan. Ada hubungan, keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lain.
4) Universal. Ilmu diasumsikan berlaku menyeluruh, tidak meliput tempat atau waktu tertentu
saja. Ilmu diproyeksikan untuk berlaku seluas-luasnya.

I.R. Poedjowijatno juga mengemukakan sifat dari ilmu pengetahuan sebagai berikut:

1) Terbuka, dapat menerika kritik, sanggahan atau revisi baru dalam suatu dialog ilmiah
sehingga menjadi dinamis.
2) Milik umum, bukan milik individual tertentu termasuk pada penemu teori dan hukum.
Semua orang boleh menggunakannya, menguji kebenarannya, dan menyebarkannya.
3) Objektif, didukung fakta berupa kenyataan.
4) Relatif. Meski bersifat objektif, kebenaran dari suatu ilmu pengetahuan bersifat relatif atau
tidak mutlak, termasuk kebenaran ilmu alam. Tidak ada kebenaran yang absolut yang tidak
terbantahkan, tidak ada kepastian kebenaran. Yang ada adalah tingkat probabilitas yang
tinggi.

C. Sikap Ilmuwan

Penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis pada pertimbangan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Tanggungjawab keilmuan menyangkut
kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini berarti ilmuwan dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi harus memperhatikan kodrat dan martabat
manusia, menjaga ekosistem, bertanggung-jawab pada kepentingan umum, dan generasi mendatang,
serta bersifat universal karena pada hakikatnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk
mengembangkan dan memperkokoh ekosistem manusia bukan untuk menghancurkan ekosistem
tersebut.

Secara umum, sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan itu antara lain adalah:

1) Tidak ada rasa pamrih (disinterestedness), artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai
pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan pribadi;
2) Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu mengadakan
pemilihan terhadap pelbagai hal yang dihadapi. Misalnya hipotesis yang beragam, metodologi
yang masing-masing menunjukkan kekuatannya masing-masing, atau, cara penyimpulan yang
satu cukup berbeda walaupun masing-masing menunjukkan akurasinya;
3) Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indera
serta budi (mind),
4) Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti
(conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian,
5) Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap
penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset, dan riset sebagai
aktivitas yang menonjol dalam hidupnya, dan akhirnya:
6) Memiliki sikap etis (akhlaq) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk
kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan
negara.

Di sisi lain, ada beberapa sikap ilmiah yang harus dimiliki oleh seorang saintis sebagai individu yang
aktif bekerja dan berkarya di lingkungan akademis (berlaku untuk dosen dan mahasiswa), yaitu sebagai
berikut.

1) Menjunjung tinggi nilai kejujuran dan kebenaran.


Kejujuran dan kebenaran adalah nilai intrinsik dalam ilmu pengetahuan, sehingga actor
dalam ilmu pengetahuan dalam lembaga akademis harus turut menjunjung kedua nilai ini.
Kejujuran berkaitan dengan proses dalam kegiatan ilmiah, klaim kebenaran yang dihasilkan
dari proses ilmiah, maupun dalam penerapan suatu ilmu pengetahuan. Tanpa kejujuran,
kebenaran tidak akan diperoleh sebagaimana adanya. Padahal, motif dasar dari ilmu
pengetahuan adalah untuk memenuhi rasa ingin tahu akan pengetahuan yang benar. Jadi,
seorang ilmuwan harus bersikap jujur dan objektif dalam melaksanakan proses ilmiah dan
menyajikan hasilnya melalui cara berpikir yang logis. Kedua sikap ini akan menghasilkan
produk yang pemikiran berupa penjelasan yang lugas dan tidak bias akibat kepentingan
tertentu.
2) Bertanggung jawab.
Sikap ini mutlak dibutuhkan dalam seluruh kegiatan penelitian maupun dalam aplikasi
ilmu serta, di dalam aktivitas ilmiah di lingkungan akademik.
3) Setia.
Seorang ilmuwan setia pada profesi dan bidang ilmu yang ia tekuni. Ia harus setia
menyebarkan kebenaran yang diyakini meskipun ada resiko yang harus diterima dan dijalani.
4) Sikap ingin tahu.
Seorang ilmuwan tentu memiliki rasa ingin tahu (curiosity) yang kuat untuk menggali atau
mencari jawaban terhadap permasalahan yang ada disekelilingnya secara tuntas dan
menyeluruh, serta mengeluarkan gagasan dalam bentuk ilmiah sebagai bukti hasil kerja
mereka kepada dunia dan masyarakat awam.
5) Sikap kritis.
Bagi seorang ilmuwan, sikap kritis dan budaya bertanya dikembangkan untuk memastikan
bahwa kebenaran sejati bisa ditemukan. Oleh karena itu, semua informasi pada dasarnya
diterima sebagai input yang bersifat relative/ nisbi, kecuali setelah melewati suatu standard
verifikasi tertentu.
6) Sikap independen/ mandiri
Ilmuwan berpikir dan bertindak atas dasar suara kebenaran, dan oleh karenanya tidak bisa
dipengaruhi siapapun untuk berpendapat berbeda hanya karena ingin menyenangkan
seseorang atau pihak tertentu. Benar disampaikan benar, salah disampaikan salah meskipun
ada resiko.
7) Sikap terbuka
Ilmuwan harus bersikap terbuka dalam banyak hal, misalnya perbedaan pendapat dan
pemikiran baru yang dikemukakan orang lain. Seorang ilmuwan senantiasa berusaha
memperluas wawasan teoritis dan keterbukaannya kepada kemungkinan dan penemuan baru
dalam bidang keahliannya. Seorang ilmuwan akan mengedepankan sikap bahwa ilmu,
pengetahuan, dan pengalaman bersifat tidak terbatas dan akan senantiasa berkembang dari
waktu ke waktu. Artinya, ilmuwan harus selalu siap dengan perubahan dan hal-hal baru.
8) Sikap rela menghargai karya dan pendapat orang lain.
Sikap ini pada dasarnya berkaitan dengan sikap sebelumnya. Seorang ilmuwan
senantiasa bersedia berdialog secara kontinu dengan kolega atau masyarakat sekitar dalam
keterlibatan yang intentif dan sensitive terhadap isu-isu terkini.
9) Sikap berpandangan jauh ke depan.
Dengan kemampuan analisisnya, ilmuwan mampu memprediksi potensi-potensi
tertentu di bidangnya yang dapat membawa perubahan di masa depan. Ilmuwan juga dapat
bertindak sebagai change-maker, pembuat perubahan. Ilmuwan memiliki tanggung jawab
moral untuk mengubah masyarakat yang statis menjadi dinamis dengan pengetahuan,
sehingga ilmuwan akan berusaha dan berkreasi dalam bentuk nyata melalui hasil-hasil
pemikiran dan penelitian untuk mengubah kondisi masyarakat.

D. Etika Keilmuan dalam Konteks Keindonesiaan

Tradisi kegiatan ilmiah di Indonesia memang belum mapan sebagaimana tradisi di dunia Barat.
Justru itu masalah nilai dan ilmu ini harus dipahami sejak awal sebagai suatu koridor bagi kehidupan
ilmiah di Indonesia. Bangsa Indonesia mempunyai sistem nilai sendiri yang melandasi berbagai bidang
kehidupan termasuk kehidupan ilmiah. Pancasila sebagai core value dalam kehidupan ilmiah adalah
suatu imperative; keharusan. Ilmu dalam konteks pengujian, dalam proses dalam dirinya sendiri
memang harus bebas nilai, objektif rasional, namun di dalam proses penemuannya dan penerapannya
ilmu tidak bebas nilai. Ilmu harus memperhatikan nilai-nilai yang ada dan berlaku di masyarakat. Ilmu
harus mengemban misi yang lebih luas yaitu demi peningkatan harkat kemanusiaan. Ilmu harus
bermanfaat bagi manusia, masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia.

Namun demikian, tolak ukur manfaat itu tidak hanya sekedar manfaat pragmatis yang sesaat
atau untuk kepentingan tertentu, sehingga ilmu kehilangan idealismenya. Ilmu yang dikembangkan
harus tetap objektif bermanfaat bagi seluruh umat manusia dan tidak boleh bertentangan dengan nilai
Pancasila, yaitu nilai teositas, nilai humanitas, nilai integritas kebangsaan, nilai demokrasi dan nilai
keadilan sosial. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengandung makna bahwa manusia tidak hanya
semata-mata mengakui dan menghargi kemampuan rasionalitas manusia semata tetapi juga
menginsyafi bahwa ada kekuatan lain yang lebih besar.

Manusia tidak hanya dihargai karena aktivitas akalnya saja tetapi juga aspek-aspek lainnya. Sila
kemanusiaan yang adil dan beradab, mengandung makna bahwa ilmu pengetahuan harus
dikembalikan pada fungsi semula utuk kemanusiaan, tidak hanya untuk kelompok atau sektor tertentu.
Sila Persatuan Indonesia, mempuyai makna bahwa ilmu pengetahuan walaupun bersifat universal
harus juga mengakomodasikan yang lokal sehingga berjalan harmonis. Ilmu pengetahuan yang
dikembangkan tidak boleh menghancurkan dan membahayakan integritas nasional bangsa Indonesia.
Sila ke empat mengandung pengertian bahwa ilmu pengetahuan yang dikembangkan tidak boleh
hanya diputuskan atau dikendalikan segelintir orang. Berbagai pendapat para pakar di bidangnya harus
dipertimbangkan, sehingga menghasilkan suatu pertimbangan yang representatif untuk harus
mengakomodasi rasa keadilan bagi rakyat banyak. Ia tidak boleh mengabdi pada sekelompok kecil
masyarakat, apalagi hanya mengabdi pada kepentingan penguasa.
Kesimpulan

Ada hubungan erat antara etika dan ilmu. Ilmu yang berkembang pesat tidak dapat dilepaskan
dari etika, yaitu kajian tentang baik dan buruk dari ilmu pengetahuan tersebut. Ilmu sebagai bidang
yang otonom tidaklah bebas nilai. Ilmu selalu berkaitan dengan nilai-nilai etika terutama dalam
penerapan ilmu. Etika, sebagai salah satu cabang dalam Filsafat memberikan arahan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan sehingga tetap dapat memberi manfaat bagi manusia. Etika juga
memberikan kode etik atau standar perilaku bagi ilmuan dalam bekerja dan berkarya agar tetap
berpegang teguh pada prinsip dan tanggung jawab etis dalam menghadapi problematika keilmuan
yang muncul. Bagi warga negara Republik Indonesia, penghayatan terhadap nilai-nilai Pancasila
seharusnya dapat membantu membentuk kehidupan yang sejalan dengan tujuan ilmu pengetahuan.
Sebagai bagian dari komunitas masyarakat ilmiah, sudah seharusnya civitas akademik di perguruan
tinggi saling mengingatkan untuk senantiasa menerapkan etika keilmuan sebagai seorang saintis.

Anda mungkin juga menyukai