Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MAKALAH MATA KULIAH KAPITA SELEKTA

“KONSEP DASAR DAN TEORI ETIKA”

Dosen Pengampu:

Dra. Nina Nurhasanah, M. Pd.

Disusun Oleh:

Alisha Putri Najla

NIM 1107620174

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA


2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Setiap manusia mengidamkan kehidupan yang bahagia. Untuk mencapainya,
manusia berusaha sekuat akal budi untuk mendayagunakan dalam menjalani hidupnya.
Ada manusia yang mampu mencapai kebahagiaan jasmani, seperti terpenuhinya
kebutuhan ekonomi, ada juga yang tercapai kebahagiaan rohani, seperti terpenuhinya
kebutuhan psikis, dan ada manusia yang tercapai kebahagiaan keduanya walaupun
dalam keadaan tidak berimbang. Idealnya adalah tercapainya kebahagiaan jasmani dan
rohani secara berimbang baik. Kebahagiaan sempurna adalah kebahagiaan yang secara
umum dapat memuaskan manusia, dan anggota dalam suatu komunitas ekosistem, baik
jasmani, psikis, dan rohani yang menjadi tujuan akhir kehidupan manusia. Untuk
memenuhi kebutuhan itu, salah satu ilmu yang bisa digunakan adalah etika. Dimana
manfaat etika, salah satunya untuk mencapai kebahagiaan sempurna melalui kebenaran
filosofis yang menjadi landasan sistem dalam berinteraksi secara harmonis.
Persoalan etika merupakan persoalan yang berhubungan dengan eksistensi
manusia dalam segala aspeknya baik sebagai individu maupun masyarakat, baik dalam
hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, maupun lingkungan alam, serta
melingkupi berbagai bidang. Dalam hubungannya dengan semua itu –terutama antara
sesama manusia, sering memunculkan konflik. Konflik itu bisa saja terjadi adanya
perbedaan kepentingan, maupun pandangan ideologis. Namun demikian, manusia
sebagai makhluk berakal selalu merindukan kebaikan untuk dirinya, orang lain dan
alam sekitar. Berakal itu yang membuat manusia mampu menciptakan etika. Yaitu nilai
idealnya dari satu interaksi interpersonal maupun sosial, kebaikan tertinggi yang
dijadikan standar untuk berperilaku. Dibuatlah suatu kaidah, prinsip tentang kebaikan
agar tidak hanya menjadi acuan untuk dirinya sendiri, tetapi juga perilaku orang lain.
Selain itu, di era cepatnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahua n,
termasuk di dalamnya perkembangan ilmu- ilmu sosial kemanusiaan serta media dan
teknologi informasi komunikasi yang begitu pesat terutama media digital secara relatif
mendekatkan jarak antara satu wilayah dengan wilayah lain yang sangat memudahka n
penggunanya untuk berinteraksi dengan siapa pun. Berkembangnya teknologi di era
digital menghasilkan terobosan-terobosan baru media sosial dan semacamnya.
Beberapa aplikasi telah diciptakan demi membantu komunikasi manusia saat
ini, dalam berkomunikasi tentunya di perlukan etika dengan moral yang ada demi
terciptanya kenyamanan dalam bersosial media, tetapi kerap kali pengguna social
media melupakan etika tersebut, seperti menggunakan komunikasi dengan tata bahasa
yang kurang baik dan sopan, melanggar privasi sesame pengguna social media,
menyebarkan aib pengguna lain dan menjadikan itu semua sebagai candaan. Hal itu
disebabkan karena para pengguna masih dianggap belum dapat membatasi dan menjaga
perilaku mereka di dunia digital, selain itu kurangnya rasa tanggung jawab pengguna
terhadap konsekuensi perilaku yang mereka lakukan. Oleh sebab itu diperlukan
kesadaran diri dalam menggunakan media sosial dan internet dengan bijak agar tidak
membuat ketidaknyamanan pengguna lain. Jadi, etika komunikasi secara sederhana
adalah acuan atau pola ukur tindakan-tindakan manusia yang dijalankan secara norma
yang ada dalam berkomunikasi guna menjaga kenyamanan dan keamanan sesama
pengguna alat komunikasi.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu etika/kesusilaan?
2. Apa saja yang termasuk aliran dasar etika?
3. Apa yang dimaksud dengan etika terapan?
4. Hubungan apa yang dimiliki etika terapan dengan etika konkret(kasuistik)?
5. Hubungan apa yang dimiliki etika terapan dengan pendekatan multidisipliner?
6. Bagaimana etika ilmu/teknologi kontemporer di abad ke-21?

C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan etika/kesusilaan
2. Mendeskripsikan macam-macam aliran dasar etika
3. Mendeskripsikan hubungan etika terapan dengan etika konkret(kasuistik)
4. Mendeskripsikan hubungan etika terapan dengan pendekatan multidisipliner
5. Mendeskripsikan etika ilmu/teknologi kontemporer di abad ke-21
BAB II

PEMBAHASAN

A. Etika/Kesusilaan
Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani kuno ethos. Kata ethos dalam bentuk
tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; pada rumput, kandang;
kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta
etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi
terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (284-322 SM)
sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, kita membatasi diri pada asal-
usul kata ini, maka “etika” berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan.1
Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai- nilai atau norma-norma moral yang
menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
a. Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral. Misalnya kode etik.
b. Etika merupakan ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Etika baru menjadi
ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai- nilai tentang
yang dianggap baik atau buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu
masyarakat –seringkali tanpa disadari–menjadi bahan refleksi bagi suatu
penelitian sistematis dan metodis. Etika dalam hal ini sama dengan filsafat
moral2
Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tingkah laku moral dapat dihampir i
berdasarkan atas tiga macam pendekatan, yaitu: Etika Deskriptif, Etika Normatif, dan
Metaetika.
a. Etika deskriptif adalah cara melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas seperti:
adat kebiasaan, anggapan tentang baik atau buruk, tindakan yang diperbolehka n
atau tidak. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individ u,
kebudayaan atau sub-kultur tertentu. Oleh karena itu etika deskriptif ini tidak
memberikan penilaian apa pun, ia hanya memaparkan. Etika deskriptif lebih bersifat
netral. Misalnya: Penggambaran tentang adat mengayau kepala pada suku primitif.
b. Etika normatif mendasarkan pendiriannya atas norma. Ia dapat mempersoa lka n
norma yang diterima seseorang atau masyarakat secara lebih kritis. Ia bisa
mempersoalkan apakah norma itu benar atau tidak. Etika normatif berarti sistem-
sistem yang dimaksudkan untuk memberikan petunjuk atau penuntun dalam
mengambil keputusan yang menyangkut baik atau buruk. Etika normatif ini dibagi
menjadi dua, yaitu:

1 Mokh. Sya’roni, “ETIKA KEILMUAN: Sebuah Kajian Filsafat Ilmu”, Teologia Vol. 25 No.1, 2014, hlm. 6-7.
Diakses dari https://journal.walisongo.ac.id/index.php/teologia/article/view/346/315
2 Ibid, hlm. 9.
1) Etika umum, yang menekankan pada tema-tema umum seperti: Apa yang
dimaksud norma etis? Mengapa norma moral mengikat kita? Bagaima na
hubungan antara tanggungjawab dengan kebebasan?
2) Etika khusus, upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip etika umum ke dalam
perilaku manusia yang khusus. Etika khusus juga dinamakan etika terapan.
c. Metaetika, yaitu kajian etika yang ditujukan pada ungkapan-ungkapan etis. Bahasa
etis atau bahasa yang dipergunakan dalam bidang moral dikaji secara logis.
Metaetika menganalisis logika perbuatan dalam kaitan dengan “baik” atau “buruk”.
Perkembangan lebih lanjut dari metaetika ini adalah filsafat analitik.3

B. Aliran Dasar Etika/Kesusilaan


1. Hedonisme
Hedonisme bertolak dari pendirian bahwa menurut kodratnya manusia
mengusahakan kenikmatan, yang dalam bahasa Yunani disebut “hedone”; dari kata
inilah timbul istilah “hedonisme”. Secara negatif usaha ini terungkap dalam sikap
menghindari rasa sakit, dan secara positif terungkap dalam sikap mengejar apa saja
yang dapat menimbulkan rasa nikmat. Namun hedonisme tidak sekadar menetapkan
kenyataan kejiwaan ini, melainkan juga berpendapat bahwa kenikmatan benar-
benar merupakan kebaikan yang paling berharga atau yang tertinggi bagi manusia,
sehingga dengan demikian adalah baik baginya apabila mengusahakan kenikmata n.
Seseorang dikatakan baik bila perilakunya dibiarkan ditentukan oleh pertanyaan
bagaimana caranya agar dirinya memperoleh kenikmatan yang sebesar-besarnya;
dengan bersikap dengan itu ia bukan hanya hidup sesuai dengan kodratnya,
melainkan juga memenuhi tujuan hidupnya.
Keberatan terhadap aliran ini tidak dapat dihindari, karena seperti telah
dikatakan, hedonisme menjadikan tujuan hidup tergantung pada keadaan lahir ia h,
sedangkan kesusilaan berarti penentuan diri sendiri. Dengan kata lain, sifat susila
suatu perbuatan tidak tergantung pada banyaknya kenikmatan yang dihasilkannya,
melainkan tergantung pada kecenderungan batiniah yang merupakan asalnya. Di
samping itu dalam hedonisme lenyaplah hubungan dengan pihak lain, yang
merupakan ciri pengenal bagi kesusilaan. Setiap orang mengusahakan kenikmata n
bagi dirinya masing- masing; barang siapa mengatakan bahwa orang seharusnya
juga memberikan kenikmatan bagi orang lain, berarti mengakui ukuran yang
berbeda dari ukuran kenikmatan. Dan bila ia tambahkan bahwa pengabdian kepada
sesama manusia itu kalau perlu dengan mengorbankan kenikmatan bagi diri sendiri,
maka sebagai seorang hedonis ia sepenuhnya akan mengalami pertentangan dengan
dirinya sendiri.
2. Utilisme
Aliran dijabarkan dari kata Latin “utilis”, yang berarti bermanfaat. Utilis me
mengatakan bahwa ciri pengenal kesusilaan ialah manfaat suatu perbuatan. Suatu
perbuatan dikatakan baik, jika membawa manfaat, dikatakan buruk, jika

3 Mokh. Sya’roni, Op.cit., hlm. 9-10.


menimbulkan mudarat. Utilisme tampil sebagai sistem etika yang telah
berkembang, bahkan juga sebagai pendirian yang agak bersahaja mengenai hidup.
Paham ini mengatakan bahwa orang baik ialah orang yang membawa manfaat, dan
yang dimaksudkannya ialah agar setiap orang menjadikan dirinya membawa
manfaat yang sebesar-besarnya. Tetapi dalam kenyataannya sesuatu yang
bermanfaat tidak pernah berdiri sendiri; sesuatu hal senantiasa bermanfaat bagi
sesuatu hal yang lain. Umpamanya, suatu obat bermanfaat untuk memulihka n
kesehatan, sebuah kitab bermanfaat untuk dibaca, sejumlah barang tertentu
bermanfaat bagi pertanian, dan sebagainya. Begitu pula kebalikannya, hal-hal yang
merugikan.

3. Deontologi
Terdapat pandangan lain sistem etika lain yang tidak mengukur baik tidaknya
suatu perbuatan berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan maksud
si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Kita bisa mengatakan juga bahwa
sistem ini tidak menyoroti tujuan yang dipilih bagi perbuatan atau keputusan kita,
melainkan semata-mata wajib tidaknya perbuatan dan keputusan kita. Teori yang
dimaksudkan ini biasanya disebut deontologi (kata Yunani deon berarti: apa yang
harus dilakukan; kewajiban).
Yang menciptakan sistem moral ini adalah filsuf besar dari Jerman, Immanue l
Kant (1724-1804). Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya
hanyalah kehendak yang baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau
dengan syarat. Kesehatan, kekayaan, atau inteligensi, misalnya, adalah baik, jika
digunakan dengan baik oleh kehendak manusia, tapi jika dipakai oleh kehendak
yang jahat semua hal itu bisa menjadi jelek sekali. Bahkan keutamaan-keuta maa n
bisa disalahgunakan oleh kehendak yang jahat.4

C. Etika Terapan
Etika terapan merupakan suatu istilah baru, tapi sebetulnya yang dimaksudkan
dengannya sama sekali bukan hal baru dalam sejarah filsafat moral. Istilah “etika
khusus” sekarang masih dipakai dalam arti yang sebenarnya sama dengan “etika tera-
pan”. Bagaimana pun juga, sekarang filsafat moral-khususnya dalam bentuk etika
terapan mengalami suatu masa kejayaan. 5
Etika terapan menitikberatkan pembahasan pada aspek aplikatif dari suatu teori
etika yang ada. Etika terapan bersifat praktis yang memperlihatkan sisi kegunaan dari
penerapan teori etika pada tindakan konkrit manusia. Pesatnya perkembangan etika
serta kemajuan berbagai macam ilmu memicu kemunculan etika terapan. Salah satu
produk dari etika terapan ini adalah etika profesi yang berkaitan erat dengan profesi
manusia dalam dunia kerja yang dituntut untuk professional. Dalam dunia kerja,

4 Mokh. Sya’roni, Op.cit., hlm. 11-14.


5 Ide Bagus Suta, “BIOETIKA DALAM HINDU: Studi Kasus Fenomena Bayi Tabung di Bali”, DHARMASMRTI Vol.
XV No. 28, 2016, hlm. 2. Diakses dari https://ejournal.unhi.ac.id/index.php/dharmasmrti/article/view/56/33
manusia dipandang perlu untuk berpegang pada value yang telah sepakati dan
ditetapkan. 6
Kesadaran akan perlunya etika dalam kaitannya dengan tanggung jawab profesi
muncul pada abad ke-20 ketika orang mulai sadar bahwa ilmu pengetahuan tidak bisa
berjalan sendiri. Klaim ilmu pengetahuan yang netral atau bebas nilai (free value) dan
objektif menyeret manusia modern untuk melihat manusia dan lingkungan alam sebatas
objek kajian semata. Suatu objek yang bisa dimanipulasi kembali dengan berbagai
rekayasa mereka. Dari sinilah orang kembali melihat etika, suatu yang lebih praktis
untuk mengarahkan bagaimana manusia bertindak, bersikap, dan mengambil keputusan
yang humanis dengan kondisi yang ada.
Tujuan mengkaji etika terapan adalah untuk mengetahui perbedaan-perbedaan
perangai manusia yang baik maupun yang buruk dalam konteks kehidupan praktis di
masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini dikarenakan agar manusia dapat
memegang teguh perangai-perangai yang baik dan menjauhkan dari perangai-peranga i
yang buruk sehingga tercipta tata tertib dalam pergaulan masyarakat, tidak saling
membenci, curiga-mencurigai antara satu dengan yang lain, karena semua adalah
makhluk Allah yang bersama-sama mewujudkan kehidupan yang harmonis dalam
bingkai tauhid7

D. Etika Terapan yang Mencakup Etika Konkret(Kasuistik)


Selain sifatnya yang multidisipliner, satu ciri lain dari etika terapan adalah
sifatnya yang kasuistik. Dengan kasuistik dimaksudkan usaha memecahkan kasus-
kasus konkret di bidang moral dengan menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum.
Jadi, kasuistik ini sejalan dengan maksud umum etika terapan. Dalam etika tera-pan
sekarang ini kasuistik menduduki terhor-mat lagi. Uraian-uraian tentang etika terapan
kerap kali disertai dengan pembahasan kasus. Suatu bidang lain dimana kasuistik sudah
lama dipraktekkan adalah hukum. 8
Dengan kasuistik, ditujukan agar mudah dalam memecahkan kasus-kaksus
konkret di bidang moral dengan menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum. Jadi,
kasuistik sejalan dengan maksud umum etika terapan. Tidak mengherankan bila dalam
suasana yang menandai zaman kita sekarang, timbul minat baru untuk kasuistik. Jika
kita memandang sejarah etika, kasuistik mempunyai suatu tradisi panjang dan kaya

6 Vaesol Wahyu Eka Irawan, “Etika Normatif dan Terapan:Urgensi Etika Ilmiah, Profesi dalam Pendidikan”,
MUNAQASYAH Jurnal Ilmu Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 3 No. 1, 2020, hlm 124. Diakses dari
http://ejournal.stib.ac.id/index.php/mnq/article/view/100/85
7 Mibtadin, “Etika Dalam Diskursus Pemikiran Islam dari Wacana Menuju Islamologi Terapan“ ,SUHUF Vol. 31
No. 1, 2019, hlm. 103-104. Diakses dari https://journals.ums.ac.id/index.php/suhuf/article/vi ew/9007/4876
8 Ide Bagus Suta, Op.cit., hlm. 2.
yang sebenarnya sudah dimulai dengan pengertian Aristoteles mengenai etika sebagai
ilmu praktis.9

E. Etika Terapan dan Pendekatan Multidisipliner


Etika terapan memiliki ciri khas, salah satu diantaranya adalah kerjasama erat
antara etika dan ilmu- ilmu lain. Etika terapan tidak bisa dijalankan dengan baik tanpa
kerjasama itu. Karena ia harus membentuk pertimbangan tentang bidang-bidang yang
sama sekali di luar keahliannya. Karena itu, pelaksanaan etika terapan berkaitan dengan
pendekatan multidisipliner, suatu pendekatan yang melibatkan berbagai ilmu
sekaligus.10
Multidisipliner adalah penggabungan beberapa disiplin untuk bersama-sama
mengatasi masalah tertentu. Pendekatan multidisipliner (multidisciplinary approach)
ialah pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan menggunakan tinjaua n
berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan. Ilmu-ilmu yang relevan digunaka n
bisa dalam rumpun Ilmu-Ilmu Kealaman (IIK), rumpun Ilmu-Ilmu Sosial (IIS), atau
rumpun Ilmu-Ilmu Humaniora (IIH) secara alternatif. Penggunaan ilmu- ilmu dalam
pemecahan suatu masalah melalui pendekatan ini dengan tegas tersurat dikemukakan
dalam suatu pembahasan atau uraian termasuk dalam setiap uraian sub-sub uraiannya
bila pembahasan atau uraian itu terdiri atas sub-sub uraian, disertai kontribus inya
masing- masing secara tegas bagi pencarian jalan keluar dari masalah yang dihadapi.
Ciri pokok atau kata kunci dari pendekatan multidisipliner ini adalah multi (banyak
ilmu dalam rumpun ilmu yang sama). 11

F. Etika dan Ilmu/Teknologi Kontemporer di Abad ke-21


Kecenderungan perubahan dan inovasi dalam dunia pendidikan terus terjadi dan
berkembang dalam memasuki abad ke-21 sekarang ini. Perubahan tersebut antara lain:
lebih mudah dalam mencari sumber belajar, lebih banyak pilihan untuk menggunaka n
dan memanfaatkan TIK, makin meningkatnya peran media dan multimedia dalam
kegiatan pembelajaran, waktu belajar lebih fleksibel, penggunaan pembelajaran
berbasis komputer (CBI), computer assisted instruction (CAl), penggunaan media
televisi/video, mobile learning, e-learning, learning management system, kurikulum
on-line, e-library, model belajar dengan sistem individual learning, acuan kompetensi
terutama bukan dari lembaga pendidikan persekolahan dengan ijazah, tetapi lebih

9 K. Bertens, Etika (Jakarta: Penerbit PT Gramedi a Pustaka Utama, 2007), hlm. 272. Diakses dari
https://books.google.co.id/books?hl=en&lr=&id=wSTf79ehWuAC&oi=fnd&pg=PR9&dq=etika+terapan+kasuisti
k&ots=TOMIvmmPCB&sig=KcLTsbdhHM6a5s -6Tl1plD4IIIw&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false
10 Ibid, hlm. 272-273.
11 Setya Yuwana Sudikan, “Pendekatan Interdisipliner, Multidisipliner, dan Transdisipliner dalam Studi Sastra”,
Jurnal Ilmiah Bahasa Sastra dan Pembelajarannya Vol. 2 No. 1, 2015, hlm. 4. Diakses dari
https://journal.unesa.ac.id/index.php/paramasastra/article/view/1496/1011
dikembangkan melalui standardisasi, akreditasi, dan sertifikasi oleh kelompok -
kelompok profesi.12
Seperti teknologi lain yang telah hadir ke muka bumi ini, TIK juga hadir dengan
dialektika. Selain membawa banyak potensi manfaat, kehadiran TI juga dapat
membawa masalah. Khususnya Internet, penyebaran informasi yang tidak mungk in
terkendalikan telah membuka akses terhadap informasi yang tidak bermanfaat dan
merusak moral. Karenanya, penyiapan etika siswa juga perlu dilakukan. Etika yang
terinternalinasi dalam jiwa siswa adalah firewall terkuat dalam menghadang serangan
informasi yang tidak berguna.13
Pada abad ke-21 perbincangan mengenai era digital marak diperbincangkan di
segala bidang. Selain berdampak pada penerapan pembelajaran yang banyak
memanfaatkan teknologi, materi pembelajaran juga semakin berkembang seperti pada
etika. Di era ini terdapat tata cara berkomunikasi dan bersikap di dunia digital yang
disebut etika digital. Etika digital terdiri dari kata etika yang artinya sikap, prilaku dan
tata kerama seseorang, digital diartikan sebagai sistem dan perangkat teknologi yang
digunakan. Jadi bila disimpulkan etika digital adalah sikap, prilaku dan tata kerama
seseorang dalam memanfaatkan sistem digital untuk berbagai keperluan dan
kepentingan. Etika digital memberikan kenyamanan dalam berinteraksi di media
digital. Etika digital bukan hanya cakap dalam penggunaan alat teknologi juga memilik i
mampu melakukan proses mediasi secara produktif (Kusumastuti et al., 2021). 14
Beberapa kenakalan remaja yang sering dilakukan di dunia digital yaitu
penyebaran hoax, cyberbullying, body shaming, pelanggaran Hak kekayaan intelektua l
(HKI) (Septanto, 2018) (Hidajat et al., 2015) (Gani & Jalal, 2021) (Irawati, 2019).
Beberapa alasan remaja melakukan tindak sebagai penyebar hoax disebabkan oleh: (1)
Bangga menjadi yang pertama kali penyebar berita; (2) Suka berbagi informasi; (3)
Malas membaca; (4) Gemar mencari sensasi; (5) Tidak sengaja menyebarkan berita
hoax dan (6) mengikuti trend. Beberapa penyebab terjadinya cyberbullying disebabkan
oleh: (1) Pesatnya perkembangan teknologi sehingga memudahkan orang menjatuhka n
orang lain; (2) Perilaku remaja yang suka meniru; (3) Lemahnya kontrol sosial.
Beberapa penyebab terjadinya body shaming disebabkan oleh: (1) Selalu berfikir
negatif; (2) orang yang lebih kaya/berkuasa lebih punya kuasa untuk melakukannya;
(3) perempuan yang memiliki kekurangan dari bentuk tubuhnya; (4) Kurang
Pemahaman tentang body shaming bahwa itu adalah tindakan yang salah. Hal ini
menjadi permasalahan di kalangan remaja saat ini. Sebagian remaja melakukannya
tanpa merasa bersalah. Padahal bagi pihak korban hal ini dapat menyebabkan dampak

12 Euis Anih, “Modernisasi Pembelajaran di Perguruan Tinggi Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi” ,
JUDIKA (Jurnal Pendidikan UNSIKA) Vol. 4 No. 2, 2016, hlm. 2. Diakses dari
https://journal.unsika.ac.id/index.php/judika/article/view/391
13 Ibid, hlm. 11.
14 Terttiaavini dan Tedy Setiawan Saputra, “Literasi Digital Untuk Meningkatkan Etika Berdigital bagi Pelajar di
Kota Palembang”, Jurnal Masyarakat Mandiri Vol.6 No. 3, 2022, hlm. 2156. Diakses dari
http://journal.ummat.ac.id/index.php/jmm/article/view/8203/pdf#
psikis yang sulit disembuhkan dan bahkan bisa berakibat kehilangan nyawa
(Rahmawati & Chozanah, 2021) (Britto, 2021).15
Hal ini sudah tidak wajar dilakukan oleh remaja, karena dapat menimbulka n
gangguan psikis bagi korban dan dampak yang lebih serius seperti korban jiwa. Hal ini
merupakan tindakan kejahatan yang melanggar Undang-Undang (Sakban et al., 2019)
(Paat, 2020). Berdasarkan data dari KPI bahwa sejak tahun 2016-2022 jumlah kasus
anak korban bullying di media sosial berjumlah 361 orang dan anak pelaku bullying di
media sosial 360 kasus (Sekretariat KPAI, 2021). Hal ini sangat memprihatinkan. 16
Pelanggaran etika remaja ini harus menjadi perhatian kita bersama. Sebagai
insan akademisi dengan latar pendidikan dan pengalaman yang berbeda dapat berperan
aktif menuntaskan masalah remaja. Literasi digital dapat mempengaruhi psikologi
remaja untuk cerdas menggunakan media digital (Pratiwi & Pritanova, 2017). . Literasi
digital juga merupakan salah satu upaya pemerintah dan civitas akademika untuk
kemajuan generasi bangsa dalam rangka mencerdaskan beretika digital bagi remaja
Indonesia (Silvana & Cecep, 2018)17

15 Ibid, hlm. 2156-2157.


16 Ibid.
17 Ibid.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Etika berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan. Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tentang tingkah laku moral dapat
dihampiri berdasarkan atas tiga macam pendekatan, yaitu: Etika Deskriptif, Etika
Normatif, dan Metaetika. Aliran dasar etika terbagi menjadi hedonisme, utilisme, dan
deontologi. Dalam etika, kita mengenal etika terapan. Etika terapan menitikbera tka n
pembahasan pada aspek aplikatif dari suatu teori etika yang ada. Etika terapan memilik i
ciri khas, salah satu diantaranya adalah kerjasama erat antara etika dan ilmu- ilmu lain.
Karena itu, pelaksanaan etika terapan berkaitan dengan pendekatan multidisipliner,
suatu pendekatan yang melibatkan berbagai ilmu sekaligus. Selain sifatnya yang
multidisipliner, satu ciri lain dari etika terapan adalah sifatnya yang kasuistik. Dengan
kasuistik dimaksudkan usaha memecahkan kasus-kasus konkret di bidang moral
dengan menerapkan prinsip-prinsip etis yang umum.
Seiring berkembangnya zaman yang semakin mengarah pada teknologi dan
digital, memberikan dampak tidak hanya pada pelaksanaan pembelajaran saja namun
adanya materi atau istilah baru dalam pembelajarannya. Dalam etika, istilah baru
tersebut dikenal dengan etika digital. Etika digital memberikan kenyamanan dalam
berinteraksi di media digital. Etika digital bukan hanya cakap dalam penggunaan alat
teknologi juga memiliki mampu melakukan proses mediasi secara produktif.

B. Saran
Terkait dengan hal diatas yang telah dibahas, saya menyarankan beberapa hal
untuk diperhatikan, seperti:
1. Sebaiknya seluruh masyarakat dapat memahami etika lebih dalam dan
menerapkannya dalam kehidupan. Sudah seharusnya sebagai makhluk hidup, kita
berperilaku sesuai etika.
2. Dengan melihat perkembangan teknologi digital yang semakin pesat, guru sebagai
pendidik dapat lebih mengajarkan etika berdigital, terutama pada siswa SD karena
di masa itulah mereka mudah meniru dan terjerumus ke dalam situasi yang salah
namun mereka anggap benar.
DAFTAR PUSTAKA

Anih, E. (2016). Modernisasi Pembelajaran di Perguruan Tinggi Berbasis Teknologi


Informasi dan Komunikasi, JUDIKA (Jurnal Pendidikan UNSIKA) 4(2), 2-11. Diakses
dari https://journal.unsika.ac.id/index.php/judika/article/view/391
Irawan, V. (2020). Etika Normatif dan Terapan: Urgensi Etika Ilmiah, Profesi dalam
Pendidikan. MUNAQASYAH: Jurnal Ilmu Pendidikan Dan Pembelajaran, 3(1), 124.
Diakses dari http://ejournal.stib.ac.id/index.php/mnq/article/view/100
Mibtadin. (2019). Etika Dalam Diskursus Pemikiran Islam dari Wacana Menuju Islamolo gi
Terapan. Suhuf, 33(1), 103-104.
Sudikan, S. Y. (2015). PENDEKATAN INTERDISIPLINER, MULTIDISIPLINER, DAN
TRANSDISIPLINER DALAM STUDI SASTRA. Paramasastra : Jurnal Ilmiah
Bahasa Sastra Dan Pembelajarannya, 2(1), 4.
https://doi.org/10.26740/paramasastra.v2n1.p%p
Suta, I. (2016). BIOETIKA DALAM HINDU. Dharmasmrti: Jurnal Ilmu Agama Dan
Kebudayaan, 15(28), 1-17. https://doi.org/10.32795/ds.v15i28.56
Sya'roni, M. (2016). ETIKA KEILMUAN: Sebuah Kajian Filsafat Ilmu. Jurnal Theologia,
25(1), 251-261. doi:https://doi.org/10.21580/teo.2014.25.1.346
Terttiaavini, dkk. (2022). Literasi Digital Untuk Meningkatkan Etika Berdigital Bagi Pelajar
Di Kota Palembang, Jurnal Masyarakat Mandiri 6(3), 2156-2157. Diakses dari
http://journal.ummat.ac.id/index.php/jmm/article/view/8203/pdf

Anda mungkin juga menyukai