Anda di halaman 1dari 15

pendidikan

Maandag 23 September 2013

ETIKA DAN SIKAP ILMIAH DALAM FILSAFAT ILMU


BAB I

Pendahuluan

A.    LATAR BELAKANG

Mempelajari filsafat berarti include mempelajari sederet tokoh ahli dan pikiran-pikiran yang
diproklamirkannya. Namun perlu ditegaskan pikiran-pikiran dimaksud adalah suatu pikiran yang disebut
pikiran filsafat. Karena tidak semua aktifitas berfikir tidak bisa disebut berfikir filsafat. Profesor Cecep
Sumarna dalam bukunya, Filsafat Ilmu dari Hakikat menuju  Nilai, telah memberikan batasan-batasan
suatu pikiran disebut berfikir filsafat, yaitu :

1. Radikal

2. Sistemik

3. Universal

Melalui berfikir filsafat seperti itulah banyak persoalan dan pertanyaan-prtanyaan dari yang ada
dan yang tidak ada tapi ada bisa dicarikan jawabannya. Dalam tataran ini cukup dimengerti apabila
produk pemikiran filsafat mempengaruhi dan menjadi idiologi suatu masyarakat dari yang terkecil
sampai dalam bentuknya yang paling besar yaitu Negara. Nalar ini dapat dilihat dari makna filsafat yang
diurmuskan kepada dua hal: Pertama,  filsafat sebagai teori dan, Kedua,  filsafat sebagai jalan hidup.

Dalam maknanya seperti itu, dapatlah dijelaskan bahwa filsafat telah memberikan konsep-kosep
metafisik dan kosmis yang bergerak di jagat raya ini dan merupakan dasar dari perenungan, pencarian
dalam filsafat. Sebagaiman telah menjadi dasar pemikiran filsafat, bahwa ada tiga hal besar dan cabang
utama dalam filsafat yaitu; ontology, efistimologi dan aksiologi.

Bagaimanakah persoalan filsafat ini memberi makna teoritis dan makna jalan hidup bagi
manusia dalam tulisan ini akan dicoba untuk menguraikannya, namun demikian pembahasan lebih
dikhususkan dalam persoalan aksiologinya. Berikut ini uraiannya.
BAB II

PEMBAHASAN

A.    ETIKA DALAM FILSAFAT ILMU

1.      Pengertian Etika

Etika adalah ilmu yang kritis . ia tidak boleh dicampurkan dengan sebuah system moralitas . Etika
adalah filsafat yang mempertanyakan dasar rasional system – system moralitas yang ada. Sebagai
refleksi kritis etika sebagai moralitas muncul pertama kali di Yunani . pada saat itu masyarakat Yunani
sedang mengalami semacam masa pancaroba social budaya . norma-norma dan nilai-nilai tradisional
mulai dipertanyakan . dalam situasi seperti itu kebutuhan akan etika timbul . Etika membantu dalam
mencari orientatasi terhadap norma-norma dan nilai-nilai yang ada , baik  yang tradisional ,maupun
yang baru yang menewarkan diri sebagai alternative atau saingan. [1]

Etika  juga ilmu yang membahas perbuatan manusia baik dan perbuatan buruk manusia sejauh
yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Etika disebut pula akhlak atau disebut pula moral. Apabila
disebut “akhlaq” berasal dari bahasa Arab. Apabila disebut moral berarti adat kebiasaan. Istilah moral
berasal dari bahsa Latin Mores.Tujuan mempelajari etika adalah untuk mendapatkan konsep yang sama
mengenai penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Etika biasanya
disebut ilmu pengetahuan normatif sebab etika menetapkan ukuran bagi perbuatan manusia dengan
penggunaan norma tentang baik dan buruk.

Menurut Sunoto (1982) etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatife. Etika
deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian,
tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat. Contohnya sejarah etika. Adapun etika normatif
sudah memberikan penialaian yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak harus
dikerjakan. Etika Normatif dapat dibagi menjadi dua yaitu etika umum dan etika khusus. Etika Umum
membicrakan  prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan
sebagainya. Etika Khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam
pekerjaan, dan sebagainya. [2]

Adapula yang mengajukan penggolongan filsafat kedalam tujuh persoalan, seperti H. De Vos sebagai
berikut:

1. Metafisika
2. Logika

3. Ajaran tentang ilmu pengetahuan

4. Filsafat alam Filsafat kebudayaan Filsafat sejarah

5. Etika[3]

Ahmad tafsir, membuat penggolongan filsafat dengan istilah sistematiak filsafat, menjelaskan
sistematika filsafat biasanya terbagi atas tiga cabang yaitu: Teori pengetahuan, teori hakikat dan teori
nilai (etika). Sebagai seorang islam,tentu saja pilihan etika adalah etika islam .hal ini bukan karena
konsekuensi iman saja tetapi juga karena etika Islam bukan sekedar teori tetapi juga pernah dipraktikkan
oleh sejumlah manusia dalam suatu zaman sehingga mereka muncul sebagai peyelemat dunia dan
pelopor peradaban . Etika Islam berbeda dengan etika lain , mempunyai sosok dalam diri Muhammad
SAW menjadi teladan yang indah dalam konteks etika islam (Rahmat 1989:160).[4]

Dari sejumlah fenomena alam yang teramati seorang ilmuan memiliki masalah mana yang patut
mendapatkan perhatian .bila masalah ini telah diidentifikasikan dan dirumuskan lebih lebih tegas, maka
dilakukan proses pengamatan dan pengamatan dan pengukuran ditarik kesimpulan yang boleh jadi
berbentuk pengujian teori. Bila teori ini digunakan untuk memecahkan masalah-masalah praktis atau
membimbing kegiatan operasional,maka berarti kita sudah masuk ke dalam penerapan ilmu,kita akan
melihat bahwa dalam seluruh tahap ini etika tidak dapat diabaikan ,tau dipinggirkan.

Dengan rumusan ruanglingkup filsafat sebagaimana diuraikan di atas, menjelaskan bahwa salah satu
kajian besar dalam filsafat adalah persoalan etika dan juga estetika, yang dalam beberapa hal sering pula
disepadankan dengan sopan santun atau moral.

2.   Macam-macam etika

Berbagai keterangan di atas, telah menjelaskan pemaknaan etika yang mencakupi tataran filosofis hal
ini karena etika adalah merupakan bagian kajian kefilsafatan. Dalam waktu yang bersamaan kajian tidak
bias dilakukan tanpa menyangkutkannya dengan tataran perksisnya yaitu tindakan manusia itu sendiri.
Dalam konteksnya yang seperti itu, studi etika atau fisafat moral ini, dikatagorikan kedalam rumusan-
rumusan sebagai berikut:

Cecep sumarna membagi kajian filsafat etika kedalam:

a. Etika normatif, etika yang mengkaji tentang baik buruknya tingkah laku.

b. Etika praktis,  kajian etika biasanya menyangkut soal tindakan yang harus dilakukan oleh manusia.[5] 
Louis O. Kattsoff bahkan telah megkatagorikan kajian filsafat etika ini menjadi tiga macam. 

a. Etika deskriptif, yaitu melukiskan predikat-predikat dan tanggapantanggapan kesusilaan yang telah
diterima dan dipergunakan

b. Etika Normatif, yaitu yang bersangkutan degan penyaringan ukuran-ukuran kesusilaan yang khas.

c. Etika praktis, yaitu menyangkut hal yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat berdasarkan pilihan
terbaik dalam melakukan suatu tindakan. Macam ini lebih mirip dengan apa yang disebut dengan etika
terapan.

3.      Aliran-Aliran Etika

        Ada beberapa teori etika, Endang saefuddin Anshari misalnya menyebutkan ada enam aliran
penting dalam persoalan etika yaitu:

1. Aliran etika Naturalisme, ialah aliran aliran yang beranggapan bahwa kebahagiaan manusia itu
didapatkan dengan menurutkan panggilan natura (fitrah) kejadian manusia sendiri.

2. Aliran etika hedonism, ialah aliran yang berpendapat bahwa perbuatan susila itu adalah perbuatan
yang menimbulkan hedone (kenikmatan dan kelezatan)

3. Aliran etka utilitarianisme ialah aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia itu ditinjau
dari besar kecil dan besarnya manfa’at bagi manusia.

4. Aliran etika idealism, yaitu aliran yang berpendirian bahwa perbuatan manusia janganlah terikat pada
sebab musabab lahir, tetapi haruslah berdasarkan pada prinsif kerohanian (idea) yang lebih tinggi.

5. Aliran etika vitalisme, yaitu aliran yang menilai baik dan buruknya perbuatan manusia itu ada tidak
adanya daya hidup (vital) yang maksimum mengendalikan perbuatan itu.

6. Aliran etika theologies, yaitu aliran yang berkeyakinan bahwa ukuran baik dan buruknya perbuatan
manusia itu dinilai dengan sesuai dan tidaknyasesuainya dengan perinah Tuhan (Theos=tuhan). Nilai
dalam hal ini ditentukan oleh Tuhan (Islam).

4.      Etika dan moral

Seperti banyak disinggung sebelumnya, ada penyepadanan antara etika dengan moral, norma-norma
dan juga etika. Penyepadanan ini seringkali ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Pada kenyataannya
pada masing-masing istilah khususnya moral dan etika terdapat perbedaan yang justru cukup signifikan.
Dalam buku Etika Islam Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani, K.Bertens seperti dikutip oleh
Amril M. menuliskan bahwa moral itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi
seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Seperti K.Bertans, Loren Bagus juga menuliskan bahwa moral diantaranya menyangkut persoalan
kegiatan-kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik-dan buruk, benar salah, tepat tidak tepat, atau
menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain.[6]]

Sama seperti pengertian di atas. Frans Magis Suseno, seperti di ulas oleh Cecep Sumarna
menjelaskan bahwa moral dengan etika itu berbeda. Moral lebih cenderung parsial dan biasanya dianut
dan diikuti oleh setiap komunitas masyarakat yang juga parsial  Lebih luas lagi dijelaskan bahwa moral
selalu mengacu pada benar salahnya manusia dalam melakukan tindakanperilakunya sebagai manusia.
Moral adalah bidang kehidupan diloihat dari segi kebaikan dan keburukannya sebagai manusia.

Sedangkan etika memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan moral. Etika atau filsafat
moral selain seorang dituntut dapat berprilaku sesuai dengan norma-norma atau nilai-nilai tertentu,
melainkan juga dituntut mampu mengetahui dan memahami system, alas an-alasan dan dasar-dasar
moral serta konsep-konsep secara rasional guna mencapai kehidupan yang lebih baik

Etika bedanya dari moral adalah merupakan konsepsi metaetika(pemikiran kritis yang mendasar
tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan mengenai moral), ia adalah ilmu bukan suatu ajaran,
etika tidak mengajarkan bagaimana bagaimana manusia hidup melainkan memberikan pengertian-
pengertian mengapa manusia harus mengakui suatu moral tertentu. Oleh karena itu disini letak
fungsinya etika yaitu untuk mensistematisasi moralitas atau dapat juga disebut metode untuk
memahami ajaran moral. Oleh karena itu yang dihasilkan etika bukan kebaikan secara langsung
melainkan suatu pengertian yang mendasar dan kritis.

B.   Sikap Ilmiah
Sikap ilmiah merupakan sikap yang harus dimiliki para ilmuan karena sikap ilmiah ini merupakan
suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Sikap adalah manifestasi
operasionalisasi jiwa. Berpikir termasuk tingkat kejiwaan manusia yang disebut kognisi yang terjadinya
adalah kerena adanya kesadaran dalam dirinya yang memiliki kekuatan rohaniah. Oleh karena berpikir
itu selalu mengarah dan diarahkan kepada suatu objek pemikiran, maka sikap ini merupakan
penampakan dasar pokok bagi pemikiran ilmiah. Jadi ilmiah ini dapat dikatakan sebagai manifestasi
operasionalisasi dari seseorang yang memiliki jiwa ilmiah. Dengan demikian jiwa ilmiah dapat diketahui
dari sikap ilmiahnya sebagai keseluruhan dan pengejawantahan jiwa ilmiah. Sikap ilmiah ini antara lain
Nampak pada sikap , yaitu:

1). Objektif

Sikap objektif ini diartikan sebagai sikap menyisihkan prasangka – prasangka pribadi (personal
bias) atau kecenderungan yang tidak beralasan. dengan kalimat lain, dapat melihat secara riil apa
asanya mengenai kenyataan objek. Karena dalam suatu penyelididikan yang dipentingkan adalah
objeknya, maka pengeruh subjek dalam membuat deskripsi, analisis dan hipotesis seharusnya
dilepaskan jauh-jauh. Walaupun tidaklah mungkin kita menemukan objektivitas yang absolute sebab
ilmu itu sendiri merupakan banyaknya akan ituk mewarnainya tetapi sikap objektif ini sekurang-
kurangnya , minimal dapat memperkecil pengaruh perasaannya sendiri dan mempersempit prangka
sikap tanpa pamrih. Sebab betapapun kecilnya pamrih yang tersertakan dalam suatu penijauan tentu
dapat memutar balikkan keadaan yang sebenarnya , bahkan menimbulkan arbitrarisme atau sliptisisme.

2). Serba relatif

Ilmiah tidak mempunyai maksud untuk mencari kebenaran mutlak. Ilmu tidak mendasarkan
kebenaran ilmiahnya atas beberapa postulat yang secara apriori dalam ilmu sering digunakan oleh teori-
teori lain. Dan terutama untuk mengugurkan teori-teori sebelumnya yang sudah diterima.

3). Skeptis

Adapun yang termasuk sikap skeptic adalah selalu ragu terhadap pernyataan –pernyataan yang
belum cukup kuat dasar bukti, fakta-fakta maupun persaksian- persaksian autoritas dengan diikuti sikap
untuk dapat menyusun pemikiran-pemikiran baru. Atau sikap ini diatikan juga sebagai sikap tidak cepat
puas dengan jawaban tunggal. Kemudian ditelitinya lagi guna membanding-bandingkan fenomena-
fenomena yang serupa tentang hokum alam, hipotesis, teori, dugaan, dan atau pendapat pendapat
bahkan yang lebih actual lagi .

4) . Kesabaran Intelektual

Sikap sanggup menahan diri dan kuat untuk tidak menyerah kepada tekanan-tekanan maupun
intimidasi agar kita menyatakan suatu pendirian ilmiah karena agar kita menyatakan suatu pendirian
ilmiah karena memang belum tuntas dan belum cukup lengkap hasil penelitian kita tentang sesuatu
objek kajian ilmiah adalah sikap utama ahli ilmu.

5). Kesederhanaan

Sebagai sikap ilmiah, maka kesederhanaan adalah sikap yang ditampilkan dalam cara berpikir,
mengemukakan pendapat dan cara pembuktian. Sikap sederhana adalah sikap tengah-tengah antara
kesombongan intelektual dan stagnasi atau antara superioritas. Termasuk sikap sederhana adalah sikap
terbuka bagi semua kritikan, berjiwa dan lapang dada, tidak emotif atau egosentris, rendah hati dan
tidak fanatik buta, tetapi penuh toleransi terhadap hal-hal yang diketahuinya maupun yang belum
diketahuinya.

6). Tidak Memihak pada Etik

Sikap tidak memihak pada etik dalam mempelajari ilmu maupun dalam dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan, artinya bahwa ilmu itu tidak mempunyai tujuan untuk pada akhirnya membuat penilaian
baik-buruk, karena hal itu adalah menjadi wewenang ilmu akhlak (Etika) yang menyangkut cara
bertingkah laku. Tetapi ilmu memiliki tugas untuk mengumukakan apa yang betul (true) dan apa yang
keliru (false) secara relative.

7). Menjangkau Masa Depan

Orang yang bersikap ilmoah itu mempunyai wawasan yang luas dan pandangan jauh ke depan
(perspektif) serta berorientasi kepada tugasnya. Perkembangan teknologi dan pesatnya kebudayaan
pada umumnya menarik perhatian para ilmuan dan karenanya ia berpandangan jauh ke masa depan.
Sikap ini mendorong dirinya untuk selalu bersikap penasaran dalam mencari kebenaran (true) dan tidak
puas dengan apa yangt ada padanya, juga tidak lekas berputus asa atau tidak kenal frustasi. Dia
senantiasa membuat hipotesis – hipotesis, analisis-analisis, atau ramalan-ramalan ilmuah, tentang
kemungkinan-kemungkinan itu bukan tentang kemutlakan-kemutlakan.

Hakikat ilmu tidak berhubungan dengan title profesi atau pangkat kedudukan tertentu. Hakikat
keilmuan ditentukan oleh cara berpikir seseorang yang dilakukan menurut persyaratan-persyaratan
keilmuan, namun demikian perlu diketahui bahwa ilmu pengetahuan hanya cukup mempelajari gejala
alam semesta ini, tata aturan dan hokum-hukumnya, tanpa perlu mendari asal dan sebab musabab
wujudnya dan dipandang sebagai suatu latihan dalam mencari menyusun, meresapkan dan menghayati
nilai-nilai dasar yang bersifat nisbi (relatif) dan sementara (tentatif).

Jadi filsafat ilmu tidak bermaksud memutlakkan ilmu, tetapi mengkaji secara mendalam hakikat ilmu
pengetahuan atau sains. dalam konteks ini, untuk mengetahui hakikat cara memperoleh pengetahuan
perlu mendalami kajian epistemology ilmu. Dalam hal ini epistemology merupakan bagian dari spectrum
kajian filsafat ilmu yang banyak mendapat perhatian para ilmuwan, karena berkenaan dengan hakikat
sumber dan cara memperoleh sains.[7]
  

KESIMPULAN……..

Etika adalah ilmu yang kritis . ia tidak boleh dicampurkan dengan sebuah system moralitas . Etika
adalah filsafat yang mempertanyakan dasar rasional system – system moralitas yang ada. Sebagai
refleksi kritis etika sebagai moralitas muncul pertama kali di Yunani . pada saat itu masyarakat Yunani
sedang mengalami semacam masa pancaroba social budaya . norma-norma dan nilai-nilai tradisional
mulai dipertanyakan . dalam situasi seperti itu kebutuhan akan etika timbul . Etika membantu dalam
mencari orientatasi terhadap norma-norma dan nilai-nilai yang ada , baik  yang tradisional ,maupun
yang baru yang menewarkan diri sebagai alternative atau saingan.

Sikap ilmiah merupakan sikap yang harus dimiliki para ilmuan karena sikap ilmiah ini merupakan
suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah. Sikap adalah manifestasi
operasionalisasi jiwa. Berpikir termasuk tingkat kejiwaan manusia yang disebut kognisi yang terjadinya
adalah kerena adanya kesadaran dalam dirinya yang memiliki kekuatan rohaniah. Oleh karena berpikir
itu selalu mengarah dan diarahkan kepada suatu objek pemikiran, maka sikap ini merupakan
penampakan dasar pokok bagi pemikiran ilmiah. Jadi ilmiah ini dapat dikatakan sebagai manifestasi
operasionalisasi dari seseorang yang memiliki jiwa ilmiah. Dengan demikian jiwa ilmiah dapat diketahui
dari sikap ilmiahnya sebagai keseluruhan dan pengejawantahan jiwa ilmiah.

[1] Franz Magnis-Suseno ,FILSAFAT sebagai ilmu kritis ,Yogyakarta,PENERBIT KANISIUS ,1992,hal 42.

[2] sunoto, FILSAFAT ILMU 1982, hllm. 6

[3] Kattsoff O Louis Pengantar Filsafat Aliih Bahasa Oleh Soejono Soemargono, (Jogjakarta: Tiara Wacana
Yogya 2003), Cet. Ke-8, H.344

[4] Prof.Dr.Syafaruddin,M.pd.,Filsafat Ilmu,Medan,ciptapustaka,2008,hal 181-184.

[5] M. Amril Etika Islam Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani, (Jogjakarta:Pustaka Pelajar
2002) Cet. Ke 2.

[6] M. Amril Etika Islam Telaah Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani, (Jogjakarta:Pustaka Pelajar
2002) Cet. Ke 2.

[7] Prof.Dr.Syafaruddin,M.Pd.,FILSAFAT ILMU,Bandung, citapustaka media printis,2008,hal 157-163.

Unknown om 08:24
Deel
Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking



Tuis

ETIKA ILMIAH
1. A.  Pendahuluan
Dunia, kini sedang dalam taraf gencar-gencarnya untuk penyebaran dan penerapan Ilmu Pengetahuan, ibarat
manusia sedang dalam masa remaja, sehingga sering kali belum memperhatikan rambu-rambu yang bersifat
mendasar. Meskipun telah banyak pula pandangan-pandangan kritis terhadap perkembangan teknologi yang tak
terkendali. Namun masih banyak yang secara ambisius ingin berteknologi tinggi tanpa memperhitungkan matang
dalam hal mental, sosial dan struktural. Akibatnya semakin sukar untuk membedakan antara yang baik dan yang
buruk dalam aplikasi Ilmu dan Teknologi.
Tanggung jawab ilmu pengetahuan dan teknologi menyangkut tanggung jawab terhadap hal-hal yang akan dan telah
diakibatkan Ilmu pengetahuan dan teknologi masa lalu. Penemuan-penemuan baru dalam Ilmu dan teknologi
terbukti ada yang mengubah suatu aturan baikk alam maupun manusia. Tanggung jawab dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi menyangkut problem etis (etika), karena menyangkut ketegangan-ketegangan antara realitas yang ada
dan realitas yang seharusnya ada.

Ilmu merupakan suatu cara berpikir tentang sesuatu objek yang khas dengan pendekatan tertentu sehingga
menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan ilmiah. Ilmiah dalam arti sistem dan struktur ilmu dapat
dipertanggungjawabkan secara terbuka, dengan kata lain haruslah dilakukan penelitian.

REPORT THIS AD

Mendengar kata penelitian, mungkin pertanyaan awal yang ada dalam benak kita dan setiap orang yang merasa
terusik dengan istilah “penelitian” adalah mengapa orang melakukan penelitian? pertanyaan sederhana dan
mendasar ini pada dasarnya tidak lepas dari sifat dasar manusia yang serba ingin tahu terhadap sesuatu yang
mengusiknya. Disamping itu, minimal ada empat sebab yang melatar belakangi orang melakukan penelitian menurut
Sukmadinata[1] yaitu Pertama, karena pengetahuan, pemahaman dan kemampuan manusia sangat terbatas
dibandingkan dengan lingkungannya yang begitu luas. Banyak hal yang tidak diketahui, dipahami, tidak jelas dan
mneimbulkan keraguan dan pertanyaan bagi dirinya. Ketidaktahuan, ketidakpahaman, dan ketidakjelasan seringkali
menimbulkan rasa takut dan rasa terancam. Kedua, manusia memiliki dorongan untuk mengetahui atau cariousity.
Manusia selalu bertanya, apa itu, bagaimana itu, mengapa begitu dan sebagainya. Bagi kebanyakan orang, jawaban-
jawaban sepintas dan sederhana mungkin sudah memberikan kepuasan, tetapi bagi orang-orang tertentu, para
ilmuwan, peneliti dan para pemimpin dibutuhkan jawaban yang lebih mendalam, lebih rinci dan lebih
komrehensif. Ketiga, manusia di dalam kehidupannya selalu dihadapkan kepada masalah, tantangan, ancaman,
kesulitan baik di dalam dirinya, keluarganya, masyarakat sekitarnya serta dilingkungan kerjanya. Masalah,
tantangan dan kesulitan tersebut membutuhkan penjelasan, pemecahan dan penyelesaian. Tidak semua masalah dan
kesulitan dapat segera dipecahkan. Masalah-masalah yang pelik, sulit dan kompleks membutuhkan penelitian untuk
pemecahan dan penyelesaiannya. Keempat, manusia merasa tidak puas dengan apa yang telah dicapai, dikuasai, dan
dimilikinya, ia selalu ingin yang lebih baik, lebih sempurna, lebih memberikan kemudahan, selalu ingin menambah
dan meningkatkan “kekayaan” dan fasilitas hidupnya.
Berangkat dari landasan berpikir di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya orang melakukan kegiatan
penelitian tiada lain disamping untuk memenuhi rasa ingin tahu terhadap sebuah gejala atau peristiwa juga untuk
memecahkan masalah secara ilmiah dan dapat diterima dengan logika kemanusiaan. Dari hasil penelitian itu pula
maka manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang bermakna bagi kehidupan ilmiah maupun kehidupan sosial.
Untuk itulah, dalam kerangka menjaga kemurnian hasil penelitian yang dilakukan serta untuk menjaga timbulnya
berbagai persoalan dari hasil penelitian yang dilakukan maka persoalan etika menjadi sebuah keniscayaan yang
harus diperhatikan dalam penelitian. Etika yang dimaksud, baik berupa etika sosial maupun etika ilmiah yang
berkaitan langsung dengan aspek penelitian.
1. B.    Pengertian Etika dan Ilmiah
Etika secara etimologi berasal dari kata Yunani, yakni ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Secara
terminologi, etika adalah cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam
hubungannya dengan baik buruk.[2] Sedangkan pengertian lainnya lagi, etika adalah ilmu yang membahas
perbuatan baik dan perbuatan manusia sejauh yang dapat  dipahami oleh pikiran manusia. Dalam bahasa Indonesia
kedua-duanya diterjemahkan dengan kesusilaan.[3] Etika disebut pula akhlak atau disebut pula moral.[4] Yang dapat
dinilai baik buruk adalah sikap manusia, yaitu yang menyangkut perbuatan, tingkah laku, gerakan, kata-kata, dan
sebaginya. Adapun motif, watak, dan suara hati sulit untuk dinilai. Tingkah laku yang dikerjakan dengan tidak sadar
tidak dapat dinilai baik buruknya. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk,
dan tanggung jawab.
REPORT THIS AD

Ruang lingkup etika meliputi bagaimana caranya agar dapat hidup lebih baik dan bagaimana caranya untuk berbuat
baik serta menghindari keburukan.[5] Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan
refleksi. itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan
tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang
normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.[6]
Mempelajari etika bertujuan untuk mendapatkan konsep yang sama mengenal penilaian baik dan buruk bagi semua
manusia dalam ruang dan waktu tertentu. Etika biasanya disebut ilmu pengetahuan normative sebab etika
menetapkan ukuran bagi perbuatan manusia dengan penggunaan norma tentang baik dan buruk.

Sedangkan yang dimaksud ilmiah yaitu bersifat ilmu; secara ilmu pengetahuan; memenuhi syarat (kaidah) ilmu
pengetahuan.[7] Dalam kamus ilmiah popular, ilmiah berarti keilmuan; ilmu pengetahuan; sains.[8]
1. C.    Etika Ilmiah
Ilmu filsafat sebagi usaha ilmiah dibagi menjadi beberapa cabang menurut lingkup bahasannya masing-masing.
Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Kelompok
pertama mempertanyakan segala sesuatu yang ada, sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia
bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Jadi filsafat teoritis mempertanyakan dan berusaha mencari jawabannya
tentang segala sesuatu, misalnya manusia, alam, hakikat realitas sebagai keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang
apa yang kita ketahui, tentang yang transenden, dan sebagainya. Dalam hal ini filsafat teoritis pun mempunyai
maksud dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis, karena pemahaman yang dicarinya untuk menggerakkan
kehidupan.

Eika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika
secara umum merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan
moral. Etika berkaitan erat dengan pelbagai masalah-masalah predikat nilai “susila” dan “tidak susila” “baik” dan
“buruk”.

Masalah dasar bagi etika khusus adalah bagaimana seseorang harus bertindak dalam bidang atau masalah tertentu,
dan bidang itu perlu ditata agar mampu menunjang pencapai kebaikan hidup manusia sebagai manusia. Menurut
Magnis Suseno[9], etika khusus dibagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika sosial, yang keduanya berkaitan
dengan tingkah laku manusia sebagai masyarakat. Etika individual membahas kewajiban manusia terhadap diri
sendiri dalam kaitannya dengan kedudukan manusia sebagai warga masyarakat. Etika social membicarakan tentang
kewajiban manusia sebagai anggota masyarakat atau umat manusia. Dalam masalah ini etika individual tidak dapat
dipisahkan dengan etika social, karena kewajiban terhadap diri sendiri dan sebagai anggota masyarakat atau umat
manusia saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Etika social menyangkut hubungan manusia-dengan manusia
lain baik secara langsung maupun dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, dan Negara), sikap kritis
terhadap pandangan-pandangan dunia, ideologi-ideologi maupun tanggung jawab manusia terhadap lingkungan
hidup. Jadi etika social tentang ilmuwan yang baik (etika ilmiah) adalah salah satu jenis etika khusus, disamping
etika-etika khusus lainnya, seperti etika profesi, etika politik, etika bisnis, dan lain sebagainya.
REPORT THIS AD

Etika sosial berfungsi membuat manusia menjadi sadar tentang tanggung jawabnya sebagai manusia dalam
kehidupannya sebagai anggota masyarakat, menurut semua dimensinya. Demikian juga etika profesi —yang
merupakan etika khusus dalam etika social—mempunyai tugas dan tanggung jawab kepada ilmu dan profesi yang
disandangnya. Dalam hal ini, para ilmuwan harus berorientasi pada rasa sadar akan tanggung jawab profesi dan
tanggung jawab sebagai ilmuan yang melatar belakangi corak pemikiran ilmiah dan sikap ilmiahnya.[10]
Para ilmuwan sebagai profesional di bidang keilmuan tentu perlu memiliki visi moral, yang dalam filsafat ilmu
disebut sebagai sikap ilmiah, yaitu suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang bersifat
objektif, yang bebas dari prasangka pribadi, dapat dipertanggungjawabkan secara sosial dan kepada Tuhan.

Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan.hal ini disebabkan oleh karena sikap ilmiah adalah suatu sikap yang
diarahklan untuk mencapai suatu pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan
bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari
prasangka pribadi dan dapat dipertanggung jawabkan secara sosial untuk melestarikan dan menyeimbangkan alam
semesta ini, serta dapat dipertangung jawabkan kepada Tuhan.artinya selaras dengan kehendak manusia dan
kehendak Tuhan.
Adapun sikap ilmiah yang perlu dimiliki oleh para ilmuwan sedikitnya ada enam, yaitu:

1. Tidak ada rasa pamrih (disinterstedness), merupakan sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan
ilmiah yang objektif dan menghilangkan pamrih.
2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan
terhadap segala sesuatu yang dihadapi.
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indera serta budi (mind).
4. Adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa
setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah
dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset. Dan riset atau penelitian merupakan aktifitas yang
menonjol dalam hidupnya.
6. Memiliki sikap etis (akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu bagi kemajuan ilmu dan
untuk kebahagiaan manusia.
Norma-norma umum bagi etika keilmuan sebagaimana yang telah dipaparkan secara normatif berlaku bagi semua
ilmuwan. Hal ini karena pada dasarnya seorang ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik,
sistem tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan ilmu yang dimaksud adalah
objektivitas yang berlaku secara universal dan komunal.

REPORT THIS AD

Penerapan dari ilmu membutuhkan dimensi etika sebagai pertimbangan dan yang mempunyai pengaruh pada proses
perkembangannya lebih lanjut. Tanggung jawab etika menyangkut pada kegiatan dan penggunaan ilmu. Dalam hal
ini pengembangan ilmu pengetahuan harus memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, keseimbangan
ekosistem, bersifat universal dan sebagainya, karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan
dan memperkokoh eksistensi manusia dan bukan untuk menghancurkannya. Penemuan baru dalam ilmu
pengetahuan dapat mengubah suatu aturan alam maupun manusia. Hal ini menuntut tanggung jawab etika untuk
selalu menjaga agar yang diwujudkan tersebut merupakan hasil yang terbaik bagi perkembangan ilmu dan juga
eksistensi manusia secara utuh.[11]
Suatu penemuan ilmiah selalu dimulai dengan berbagai penemuan ilmiah yang sebelumnya. Yang berarti bahwa,
suatu penemuan ilmiah mendorong untuk dilakukan penelitian lebih lanjut, atau membuka peluang bagi penemuan
ilmiah yang lainnya. Demi tujuan popularitas dan ketenaran dalam waktu secepat mungkin, tidak sedikit dalam
waktu sejarah penelitian ilmiah terjadi plagiasi, atau bahkan lebih parah dari pada plagiasi, pengetikan ulang hasil
penelitian orang lain. Plagiasi ilmu jelas merupakan suatu perbuatan ilmiah yang sama sekali tidak etis, yakni
ketidak jujuran ilmiah.

Ilmuwan dituntut lebih pada perilaku etisnya dalam berilmu daripada rumusan penemuan ilmiah. Rumusan
penemuan ilmiah tidak akan dilahirkan secara murni dan original, apabila orang mengklim hasil penemuan ilmiah
orang lain sebagai hasil penemuan ilmiahnya. Oleh karena itu, syarat-syarat etis sebagai ilmuan adalah berlaku jujur
dan fair dalam penelitian ilmiah, memposisikan keunikan penelitian dengan menelusuri penelitian-penelitian yang
sudah ada sebelumnya, tidak melakukan klaim bahwa penemuan ilmiahnya adalah satu-satunya teori yang harus
diikuti karena setiap penemuan ilmiah dimungkinkan mengandung kesalahan, dan tidak menafsirkan data-data
penelitian seenaknya sendiri menurut kepentingan pribadi semata dengan mengorbankan kepentingan objek
ilmiahnya.[12]
Yang terpenting dari sebuah nilai adalah bukan nilai, melainkan kebenaran. Sehingga dalam kaitan ini, etika
sebenarnya tidak termasuk dalam kajian ilmu dan juga anak kandungnya teknologi secara langsung yang bersifat
otonom. Namun demikian, dalam aspek penggunaan atau penerapan ilmu dan teknologi untuk kepentingan
kehidupan manusia dan ekologi, etika memiliki peran yang sangat menentukan tidak hanya bagi perkembangan ilmu
dan teknologi selanjutnya, tetapi juga bagi keberlangsungan eksistensi manusia dan ekologi. Dengan demikian, etika
lebih merupakan suatu dimensi pertanggungjawaban moral dari ilmu.

1. D.  Penutup
Jadi intinya etika ilmiah itu dapat disimpulkan sebagai sikap seorang ilmuwan dalam mempertanggung jawabkan
hasil penelitiannya dalam hal ilmu pengetahuan, yang mana di dalamnya terdapat aturan-aturan (etika) dari
penelitian tersebut.

REPORT THIS AD

Diperlukan etika ilmiah untuk membatasi pengaruh buruk ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap manusia. Etika
ilmiah yang umum meliputi ilmu pengetahuan yang murni maupun yang dipakai serta etika khusus yang merupakan
spesialisasi dan profesi. Etika ilmiah merupakan sebagian dari fungsi ilmu pengetahuan, sehingga karena pembagian
tugas dan fungsi antara berbagai disiplin dan profesi inilah etika juga terbagi- bagi.

Etika ilmiah akan melandasi setiap kegiatan “responsible scientific inquiries” atau penerawangan ke alam pencarian
ilmu pengetahuan yang bertanggung jawab bagi pembangunan kemasyarakatan. Melalui teropong ilmiahnya seorang
saintis adalah pencari kebenaran. Sifat dan sikap yang utama keberhasilan pencarian kebenaran melalui metoda ilmu
pengetahuan ialah kejujuran. Hanya dengan temuan-temuan ilmiah melalui kultivasi sifat kejujuran dan etika ilmiah
dalam memilih antara mana yang baik yang perlu diteliti melalui metoda ilmiah, dan teknologi yang mungkin
berdampak buruk yang harus dihindari pengembangannya, maka pembinaan ilmu pengetahuan dan teknologi kita
akan berkembang dan berguna bagi mendatangkan kesejahteraan kepada segenap masyarakat kita.
 
Daftar Pustaka
Magnis, Frans von., “Etika Umum” Jogjakarta : Yayasan Kanisius, 1975
Magnis Suseno, kuasa dan Moral, Gramedia, Jakarta, 1988.
Pius A Partanto, dkk., Kamus Ilmiah Populer, Arkaloka, Surabaya, 1994.
Suriassumantri jujun s, Filsafat Ilmu sebuah pengantar populer. PT Pancarita Indra Graha. Yogyakarta: 2007.
Sukmadinata, “Metode Penelitian Pendidikan” Bandung : Remaja Rosdakarya, 2008.
Surajiyo, Drs., Ilmu Filsafat, Cet. Ke-2, Bumi Aksara, Jakarta, 2007.
Sudarsono, S.H. M.Si., Drs.,  Ilmu Filsafat, Cet. Ke-2, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu. Liberty. Yogyakarta: 2007
http://kangdidin.blogspot.com/2010/01/etika-penemuan-ilmiah.html, accessed 28 September 2011.
http://udn-blog.blogspot.com/2011/06/konsep-etika-ilmu-dan-metode-ilmiah.html, accessed 28 September 2011
http://id.wikipedia.org/wiki/arti_Ilmiah, accesed, 29 September 2011.

[1] Sukmadinata, “Metode Penelitian Pendidikan” Bandung : Remaja Rosdakarya, 2008., h.


[2] Drs. Surajiyo, Ilmu Filsafat, Cet. Ke-2, Bumi Aksara, Jakarta, 2007, h. 88.
[3] Magnis, Frans von. 1975, “Etika Umum” Jogjakarta : Yayasan Kanisius.
[4] Drs. Sudarsono, S.H. M.Si., Ilmu Filsafat, Cet. Ke-2, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, h. 188.
[5] Drs. Sudarsono, S.H. M.Si, op.cit., h. 88.
[6] http://udn-blog.blogspot.com/2011/06/konsep-etika-ilmu-dan-metode-ilmiah.html, accessed 28 September 2011
[7] http://id.wikipedia.org/wiki/arti_Ilmiah, accesed, 29 September 2011.
[8] Pius A Partanto, dkk., Kamus Ilmiah Populer, Arkaloka, Surabaya, 1994, h. 243.
[9] Magnis Suseno, kuasa dan Moral, Gramedia, Jakarta, 1988., h.
[10] Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu, Liberty, Yogyakarta, 2007., h.175-176
[11] http://kangdidin.blogspot.com/2010/01/etika-penemuan-ilmiah.html, accessed 28 September 2011.
[12] Ibid
Advertisements
REPORT THIS AD
Share this:

 Twitter
 Facebook

Related

ISLAM SEBAGAI AGAMA, ISLAM SEBAGAI PRODUK BUDAYA, DAN ISLAM SEBAGAI
PENGETAHUAN ILMIAHIn "Wawasan Ilmiah"
EKONOMI KAPITALISME DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT EKONOMI ISLAMIn "Wawasan Ilmiah"
KONSEP DAN PENERAPAN FUNGSI-FUNGSI MANAJEMEN PENDIDIKAN DI LEMBAGA
PENDIDIKANIn "Dasar Ilmu Manajemen Pendidikan Islam"
12 f, 2011Leave a Reply

« PreviousNext »

Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.
M T W T F S S

« Oct   Nov »

  1 2

3 4 5 6 7 8 9

10 11 12 13 14 15 16

17 18 19 20 21 22 23

24 25 26 27 28 29 30

31  

OCTOBER 2011

Archives
 September 2018
 January 2017
 May 2015
 February 2015
 March 2013
 March 2012
 November 2011
 October 2011
 October 2010
 August 2010
 July 2009
 May 2009
 March 2009
 January 2008
Pages
 About

Top Rated
Posts | Pages | Comments
All | Today | This Week | This Month
 There are no rated items for this period.

Blog Stats
 227,152 hits
Advertisements
REPORT THIS AD

View Full Site

Blog at WordPress.com.

Privacy & Cookies: This site uses cookies. By continuing to use this website, you agree to their use.

Anda mungkin juga menyukai