Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial, maka ia melakukan interaksi


sebagau tuntutan alam. Manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya dalam suasana yang terisolasi, dengan kata lain manusia
senantiasa membutuhkan bantuan manusia lainnya.

Hukum sebagai sesuatu yang berkenaan dengan manusia, maka


hubungan manusia dengan sesama manusia lainnya ada dalam suatu
pergaulan hidup. Sebab tanpa pergaulan hidup tidak akan ada hukum (ibi
societas, zoon politikon). Hukum berfungsi untuk mengatur hubungan
antara manusia. Tetapi tidak semua perbuatan manusia itu memperoleh
pengaturannya. Hanya perbuatan atau tingkah laku yang diklasifikasikan
sebagai perbuatan hukum saja yang menjadi perhatian. (Lili Rasiji,
1982:8)

Hubungan hukum itu terdiri dari ikatan-ikatan antara individu


dengan individu dan antara individu dengan masyarakat. Dalam usahanya
mengatur, hukum menyesuaikan dengan kepentingan masyarakat secara
baik. Sebagai kumpulan peraturan atau kaedah, hukum mempunyai isi
yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap
individu atau setiap orang, normatif karena menentukan apa yang
seyogyanya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, serta
menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan pada kaedah-
kaedah.

Kaedah hukum bertujuan untuk melindungi kepentingan manusia


sebagai makhluk sosial. Karenanya kaedah tersebut harus ditaati, harus

1
dilaksanakan dan dipertahankan, tapi bukannya dilanggar. Melakukan
pelanggaran terhadap kaedah hukum dinilai buruk, sebaliknya patuh
terhadap kaedah itu adalah baik. Olehnya itu  kaedah hukum dpat juga
disebut sebagai kaedah etis. (Sudikno Mertokusumo,1991:36).

Etika itu menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian


menetapkan hukum baik atau buruk, tetapi bukanlah semua perbuatan itu
dapat diberi hukum, sebagaimana perbuatan manusia itu ada yang timbul
tanpa kehendaknya seperti bernapas, denyut jantung dan memicingkan
mata dengan tiba-tiba. Ada pula perbuatan manusia yang timbul karena
kehendak dan setelah dipikir masak-masak akan hasil dan akibatnya,
sebagaimana orang yang melihat pembangunan rumah sakit yang dapat
memberi manfaat kepada orang banyak untuk meringankan penderitaan
yang sakit, kemudian ia lalu bertindak untuk membangun rumah sakit itu.
Begitu pula jika ada orang bermaksud akan membunuh musuhnya, lalu
memikirkan cara-caranya dengan pikiran yang tenang, kemudian ia
melakukan apa yang ia kehendaki. Inilah perbuatan yang disebut perbuatan
kehendak, yang dapat diberi hukum baik atau buruk. (Ahmad
Amin,1995:3). Jadi etika sebagai usaha manusia untuk menilai mana yang
baik dan mana yang buruk terhadap perbuatan yang dilakukan. Karena
dengan mengetahui nilai baik dan buruk itu, sehingga manusia terdorong
untuk melakukan perbuatan berdasarkan nilai itu tadi.

Jika di dalam suatu masyarakat tertanam nilai kebaikan pada


masing-masing individu, maka nilai tersebut akan tercermin dalam
perilakunya dengan melakukan perbuatan baik, sehingga akan menjadi
etika pada masing-masing individu tersebut. Suatu ketika yang sudah
tertanam kuat dalam masyarakat akan memudahkan untuk menciptakan
suatu kaedah, sehingga kedamaian dapat diwujudkan.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari nilai, fungsi etika, dan teori-teori etika?

2
2. Apakah pengertian dari moralitas dan unsur-unsur moralitas?
3. Apakah ada keterkaitan antara etika dan hukum?
4. Bagaimana persamaan dan perbedaan etika dan hukum?
5. Kemampuan manakah yang harus kita pakai untuk mengukur etika dan
moralitas?
6. Bagaimanakah kita membangun etika dan moralitas?
7. Apakah yang disebut norma moralitas yang benar dalam tinjauan
filsafat?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian nilai, fungsi etika, dan teori-teori etika;
2. Untuk mengetahui pengertian moralitas dan unsur-unsur moralitas;
3. Untuk mengetahui dan memahami keterkaitan antara etika dan hukum;
4. Memahami persamaan dan perbedaan etika dan hukum.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. NILAI, NORMA, MORAL, DAN ETIKA


Nilai adalah sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan
landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik
disadarinya maupun tidak.
Berbeda dengan fakta yang dapat diobservasi secara empirik, tidak
demikian halnya dengan nilai, karena nilai berkaitan dengan cita-cita,
keinginan, dan harapan, dan segala sesuatu pertimbangan internal
(batiniah) manusia. Nilai dengan demikian tidaklah konkret, dan dalam
praktiknya memang bersifat susbjektif.
Nilai yang abstrak dan subjektif tersebut, agar dapat lebih berguna
dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, perlulebih dikonkretkan
lagi. Untuk itu nilai harus dirumuskan ke dalam simbol-simbol tertentu,
yang tujuannya agar lebih mudah dipahami secara interpersonal. Wujud
yang lebih konkret dari nilai ini adalah norma. Dari norma-norma yang
ada, norma hukum adalah norma yang paling kuat karena dapat dipaksakan
pelaksanannya oleh kekuasaan eksternal (penguasa).
Nilai dan norma selanjutnya berkaitan erat dengan moral dan etika.
Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat
kepribadian seseorang sangat ditentukan oleh moralitas yang dimiliknya.
Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin
dari sikap dan tingkah lakunya.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, filsafat hukum adalah
cabang dari filsafat, bukan cabang dari ilmu hukum. Lili Rasjidi
melukiskan hubungan antara filsafat dan filsafat hukum dengan urutan-

4
urutan sebagai berikut : filsafat →filsafat manusia→filsafat tingkah laku
(etika)→filsafat hukum.1
Jadi, filsafat hukum mempunyai kaitan yang erat dengan etika.
Sama dengan istilah filsafat (philos dan sophia, yang artinya cinta pada
kebijaksanaan), secara etimologis, etika juga berasal dari bahasa Yunani,
yaitu ethos atau ta etika, yang artinya watak kebiasaan. Seringkali orang
menyamakan istilah etika dengan ajaran moral. Istilah yang terakhir ini
juga berasal dari bahasa Yunani, yakni mos (jamaknya mores), yang juga
bermakna sama dengan ethos.
Walaupun secara etimologis bermakna sama, dua istilah tersebut
tidaklah identik. Menurut Franz Magnis-Suseno, yang dimaksud dengan
ajaran moral adalah ajaran-ajaran wejangan-wejangan, khotbah-khotbah,
patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan atau
tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia
menjadi manusia yang baik. Di lain pihak, etika adalah filsafat atau
pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-
pandangan moral.2
Habermas menyatakan bahwa prinsip-prinsip moral itu “...di satu
sisi bertumpu pada hak setiap orang untuk melakukan apa yang
dianggapnya sah; di sisi lain dia bersandar pada keharusan, bahwa setiap
orang boleh mengejar tujuan-tujuan dengan manfaat untuk masing-masing
hanya jika sejalan dengan manfaat bersama.”3
Etika sebagai cabang filsafat, pertama-tama dapat didekati secara:
(1) deskriptif dan normatif. Karena itu ada yang disebut etika deskriptif
dan etika normatif. Di luar itu ada pendekatan ketiga, yang disebut
metaetika.
Etika deskriptif melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas,
misalnya berupa adat kebiasaan, anggapan tentang baik dan buruk,

1
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 1990), hlm 7.
2
F Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta:
Kanisius, 1991), Cet. Ke-3, hlm 14.
3
Habermas 1985: 28.

5
tindakan-tindakan yang diperbolehkan dan dilarang. Etika deskriptif
mempelajari moralitas yang terdapat pada individu-individu tertentu,
dalam kebudayaan atau subkultur tertentu dalam suatu periode sejarah, dan
sebagainya. Karena etika deskriptif hanya melukiskan, ia tidak memberi
penilaian. Misalnya, ia melukiskan adat mengayau (memenggal) kepala
manusia yang ditemukan dalam suatu masyarakat primitif, tetapi ia tidak
memberi penilaian apakah adat semacam itu dapat diterima atau harus
ditolak.4
Berbeda dengan etika deskriptif, pada etika normatif ini ia sudah
sampai pada penilaian-penilaian. Dengan perkataan lain, di sini sudah ada
pemihakan terhadap pandangan moralitas tertentu. Pengayauan kepala
seperti dicontohkan di atas, oleh pengemuka etika normatif, mungkin
sekali akan ditolaknya berdasarkan alasan-alasan yang rasional dan kritis.
Etika normatif ini justru adalah bagian terpenting dari etika karena di
sinilah berlangsung diskusi-diskusi yang paling menarik tentang masalah-
masalah moral.5
Pendekatan berikutnya adalah yang disebut metaetika (meta berarti
melebihi atau melampaui). Metaetika lebih bersifat sebagai filsafat analitis,
suatu aliran yang penting dalam filsafat abad ke-20, yang antara lain
dipelopori filsuf Inggris bernama George Moore (1873-1958). Dalam
metaetika, misalnya dianalisis pengertian istilah atau konsep “keadilan”
itu. Apakah “keadilan” yang dipergunakan dalam konteks tertentu
mengandung makna yang sama dengan “keadilan” dalam konteks yang
lain. Jika berbeda, bagaimana hal itu harus dijelaskan.
Baik etika deskriptif maupun etika normatif, sangat membutuhkan
bantuan metaetika ini. Dalam membuat argumentasi yang rasional dan
kritis, jelas diperlukan analisis-analisis mendalam tentang konsep, istilah,
kata, dan seterusnya, yang semuanya mempengaruhi pemahaman kita
tentang suatu masalah.

4
K Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), Cet. Ke-2, hlm 15-16.
5
Ibid, hlm 17.

6
B. FUNGSI ETIKA
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha mengkaji segala
sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dengan menggunakan pikiran.
Bagian-bagiannya meliputi: 1.Metafisika yaitu kajian dibalik alam yang
nyata, 2.Kosmologia yaitu kajian tentang alam, 3.Logika yaitu pembahasa
tentang cara berpikir cepat dan tepat, 4.Etika yaitu pembahasan tentang
tingkah laku manusia, 5.Teologi yaitu pembahasan tentang ketuhanan,
6.Antropologi yaitu pembahasan tentang manusia. Dengan demikian,
jelaslah bahwa etika termasuk salah satu komponen dalam filsafat.
Etika berusaha memberi petunjuk untuk tiga jenis pertanyaan yang
senantiasa kita ajukan. Pertama, apakah yang harus kita lakukan dalam
situasi konkret yang tengah dihadapi? Kedua, kita akan mengatur pola
koeksistensi kita dengan orang lain? Ketiga, akan menjadi manusia macam
apa kita ini? Dalam konteks ini, etika berfungsi sebagai pembimbing
tingkah laku manusia agar dalam mengelola kehidupan ini tidak sampai
bersifat tragis. Etika berusaha mencegah tersebarnya fractisida yang secara
legendaris dan historis mewarnai sejarah hidup manusia. 6
Jika tiga pertanyaan itu disarikan, sampailah pada satu fungsi
utama etika, yaitu untuk membantu kita mencari orientasi secara kritis
dalam berhadapan dengan moralitas yang membingungkan.7 Disini terlihat
bahwa etika adalah pemikiran sistematis tentang moralitas, dan yang
dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan suatu
pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Pengertian demikian perlu
dicari dengan alasan: (1) kita hidup dalam masyarakat yang semakin
pluralistik, juga dalam bidang moral, sehingga kita bingung harus
mengikuti moralitas yang mana, (2) modernisasi membawa perubahan
besar dalam struktur kebutuhan dan nilai masyarakat yang akibatnya

6
A, Rachmat, Titik Sentuh Antara Etika dan Filsafat, Pro Justitia, Tahun X No. 2/April,
1992, hlm. 3-18.
7
F Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta:
Kanisius, 1991), Cet. Ke-3hlm 15.

7
menantang pandangan-pandangan moral tradisional, (3) adanya pelbagai
ideologi yang menawarkan diri sebagai penuntun hidup, yang masing-
masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus hidup,
dan (4) etika juga diperlukan oleh kaum agama yang di satu pihak
menemukan dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka,
di lain pihak sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan
tidak menutup diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang
sedang berubah itu.
Berikut ini akan dijelaskan dua sifat etika :8
1. Non-empiris , yang menyatakan bahwa filsafat digolongkan sebgai
ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan pada
fakta atau konkret. Namun, filsafat tidaklah demikian, filsafat
berusaha melampaui yang konkret dengan seolah-olah menanyakan
apa di balik gejala-gejala konkret. Demikian pula dengan etika.
Etika tidak hanya berhenti pada apa yang konkret yang secara
faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya
dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
2. Praktis, yaitu bahwa cabang-cabang filsafat berbicara mengenai
sesuatu “yang ada”. Misalnya, filsafat hukum itu mempelajari apa
itu hukum. Akan tetapi, etika tidak terbatas pada itu, tetapi bertanya
tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian, etika
sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena langsung
berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
manusia. Tetapi, ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti
menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis,
tetapi reflektif. Maksudnya, etika hanya menganalisis tema-tema
pokok, seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dan
sebagainya.

8
K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 27-29.

8
C. TEORI-TEORI ETIKA

Etika berasal dari kata Yunani yaitu ethos yang berari akhlak, adat
kebiasaan, watak, perasaan, sikap yang baik, yang layak . etika bukan
berasal dari ajaran moral, melainkan merupakan cabang ilmu filsafat
mengenai suatu pemikiran kritis dan mendasar dari yang baik, yang pantas
dan benardari ajaran moral. Etika merupakan suatu pertimbangan yang
sistematis tentang perilaku benaratau salah, kebajikan atau kejahatan yang
berhubungan dengan perilaku. Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia,
etika adalah 1) ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk, dan tentang
hak dan kewajiban moral. 2) kumpulan atau seperangkat asas atau nilai
yang berkenaan dengan akhlak. 3) nilai yang benar dan salah yang dianut
suatu golongan ataau masyarakat.9 Etika berurusan dengan orthopraxis,
yakni tindakan yang benar (right action). Kapan suatu tindakan itu
dipandang benar ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai teori (aliran)
etika yang secara global bisa dibagi menjadi dua, yaitu aliran deontologis
(etika kewajiban) dan aliran teologis (etika tujuan atau manfaat). 10 Di luar
dua pembagian besar itu, sebenarnya masih dikenal pembagian dan
penamaan teori etika yang lain, seperti hedonisme, eudominisme, utilisme,
dan vitalisme.

Menurut pendekatan deontologis yang diilhami pemikiran


Immanuel Kant ini, baik buruk suatu tindakan dinilai dari sudut tindakan
itu sendiri, bukan dari akibatnya. Suatu tindakan baik, apabaila tindakan
itu sesuai dengan aturan (norma) yang ada, baik itu berasal dari agama
yang dianutnya, kesusilaan, sopan santun, maupun hukum. Dalam
prakteknya, teori deontologis ini menimbulkan kesan kaku dan konservatif
(melestarikan status quo).

9
Cecep Triwibisono, Etika Dan Hukum Kesehatan (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), hlm. 1.

A, Rachmat, Titik Sentuh Antara Etika dan Filsafat, Pro Justitia, Tahun X No. 2/April,
10

1992, hlm. 7.

9
Sebaliknya, teori teleologis, yang lebih menekankan pada unsur
hasil. Suatu tindakan dikatakan baik apabila buah dari tindakan itu lebih
banyak untungnya daripada ruginya. Teori teleologis ini memunculkan dua
pandangan, yaitu: (1) egoisme, dan (2) utilitarianisme.11

Ada perbedaan yang mencolok dari kedua teori ini. Egoisme selalu
menekankan keuntungan pada “saya pribadi saja” sementara
utilitarianisme menekankan keuntungan pada “setiap orang, termasuk
saya”. Di sini terlihat sisi humanis dari utilitarianisme dibandingkan
dengan egosime.

filsafat itu sebagai suatu pengetahuan yang terbentuk secara


sistematis, metodis, dan koheren tentang seluruh kenyataan termasuklah
pandangan hidup sebagai petunjuk arah kegiatan manusia dalam segala
bidang kehidupannya. Selanjutnya filsafat ini memiliki cabang filsafat
hukum yang merupakan filsafat tingkah laku yang mempelajari hukum
secara filosofis. Yang artinya, hukum itu dikaji sampai ke
hakikatnya/dasarnya dan di situ terdapat yang namanya nilai yaitu
sifat/kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Agar
lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia perlu
dikonkretkan lagi dalam bentuk norma, agar menjadi obyektif. Dari
norma-norma yang ada, norma hukum fositiflah yang paling kuat karena
dapat di paksakan pelaksanaannya oleh kekuatan eksternal/penguasa,
kemudian nilai dan norma ini berkaitan erat dengan moral dan etika.

Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia


yang maknanya tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Maka derajat
kepribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya.12

Etika lebih banyak bersifat teori, moral lebih bersifat praktik. Etika
membicarakan bagaimana seharusnya, sementara moral membicarakan
11
A.S, Keraf, Etika Bisnis, Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur, (Yogyakarta:
Kanisius, 1993), Cet. Ke-2, hlm. 31.
12
Muhamad Erwin, Filsafat Hukum (Refleksi Kritis terhadap Hhukum), (Jakarta : PT RajaGrapindo
Persada, 2012), hlm. 82.

10
bagaimana adanya. Etika menyelidiki, memikirkan, dan
mempertimbangkan tentang yang baik dan yang buruk, sementara moral
menyatakan ukuran yang baik tentang tindakan manusia dalam kesatuan
sosial tertentu.

Franz Magnis-Suseno mengemukakan bahwa dengan ajaran moral


(ajaran-ajaran, khotbah,khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan an
ketetapan), entah lisan ataupun tulisan tentang bagaimana manusia harus
hidup dan bertingkah agar ia menjadi manusia yang baik sedangkan etika
itu merupakan pemikiran yang mendasar tentang ajaran-ajaran moral.13

Etika dan moral sepertinya memang suatu keadaan ataupun kaedah


yang tidak bisa dipisahkan antara satu sama lainnya, ketika seseorang
berbicara mengenai etika dalam kacamata teori apapun pasti akan
membicarakan moral juga. Demikian juga sebaliknya ketika orang
membicarakan makna apa yang terkandung dibalik kata moral, sudah pasti
pembahasan atau argumentasinya menyangkut juga tentang etika. Bahkan
dalam beberapa literature tentang filsafat hukum kita akan menemui secara
jelas bahwa etika dan moral itu selalu dibahas dalam space atau tempat
yang sama.

Moral pada dasarnya menuntun manusia untuk menyadari


kemanusiaannya seperti halnya ia sadar akan keberadaannya, yang tak
hanya cukup memenuhi kebutuhan fisiknya, namun ada hal lain yaitu
kebutuhan metafisik, yaitu keimanan, sadar akan keterbatasan, kerena ia
tidaklah manusia yang seorang diri saja bila tidak berhadapan dengan
manusia-manusia lainya, terlebih berbatas dengan tuhan.

1. Idealisme Etis

13
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar (Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral), (Yogyakarta:
Kanisius, 1987), hlm. 14.

11
Istilah “idealisme” biasanya muncul dalam wacana cabang filsafat
ontologi. Dalam konteks itu, idealisme dipandang sebagai paham yang
menyakini hakikat sesuatu adalah ide atau gagasan, bukan materi. Dalam
perkembangannya, idealisme juga diyakini memiliki implikasi-implikasi
secara etis, sehingga lahir pandangan tentang idealisme etis.14

Idealisme dalam kancah ontologi bertolak dari pemikiran bahwa


manusia adalah makhluk yang memiliki ide san idelah yang memengaruhi
materi (pengalaman) , bukan sebaliknya. Dalam hal ini idealisme tidak
bermaksud untuk mengingkari keberaaan materi. Hanya saja, untuk dapat
mengetahui materi itu, orang terlebih dulu menggunakan idenya. Jadi, ide
tetap yang utama.15

Idealisme dibedakan oleh H. De Vos menjadi tiga yaitu sebagai berikut:

a) Idealisme Rasionalistis
b) Idealisme Estetis, dan
c) Idealisme Etis.16

2. Deontologisme Etis

Deontologisme etis sering dikaitkan dengan pandangan filsuf asal


Prusia Timur bernama Immanuel Kant (1724-1804). Jika mengikuti
pandangan deontologis dari Kant , inti dari periaku baik harus didorong
oleh itikad (kehendak) yang baik. Itikad baik muncul karena memang
kewajiban yang bersangkutan untuk berbuat demikian, bukan jarena
spontanitas, watak, hobby, atau yang lainnya. Perilaku yang didorong oleh
kewajiban tanpa maksud-maksud lain diluar kewajiban disebut dengan
14
J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan ( Yogykarta: Kanisius,
2002), hlm.176-177.
15
Shidarta, Moralitas Profesi Hukum: suatu tawaran kerangka berfikir (Bandung: PT Pefika
Aditama), hlm. 56.

16
H. De Vos, Pengantar Etika, terjemahan Soejono soemargono ( (ogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1987), hlm.
203-210.

12
imperatif kategoris. Kewajiban moral adalah selalu imperatif kategoris ,
buka imperatif hipotesis. Seorang hakim bebuat adil karena memang
kewajibannyalah untuk berbuat adil, bukan karena ia ingin dipuji oleh
masyarakat atau agar dinilai baik oleh atasannya.

Teori deontologis ini (dalam kutub ekstrim) sering pula disebut


dengan etika peraturan, sebagai lawan dari pengertian etika situasi.
Menurut teori deontologis, manusian itu baik selama ia tidak melanggar
norma-norma yang berlaku, termasuk didalamnya norma agama. Teori
deontologias sama sekali tidak menjawab pertanyaan, “Mengapa sesuatu
yang dilarang itu dianggap buruk?” jawaban yang diberikan hanya berhenti
pada keberadaan norma yang mengharuskanmya beranggapan demikian.
Sebagai contoh, orang membunuh dianggap buruk bukan karena perilaku
membunuh itu secara objektif buruk, tetapi karena perilaku itu dilarang
oleh norma-norma yang ada.

3. Teologisme Etis

Jika teori deontologis menekankan pada perilaku, sebaliknya teori


teologis lebih menekankan pada unsur hasil. Suatu perilaku baik jika buah
dari perilaku itu lebih banyak untung daripada rugi. Untug rugi ini dilihat
dari indikator kepentingan manusia.

Teori ini memunculkan dua pandangan, yaitu:

a) Egoisme, dan
b) Utilitarianisme (Utilisme)

Ada perbedaan yang mencolok dari kedua teori ini. Egoisme selalu
menekankan keuntunagn pada “saya pribadi saja” sementara
utilitarianisme menekankan keuntungan pada “setiap orang, termasuk
saya”. Di sini terlihat sisi humanis dari utilitarianisme dibandingkan
dengan egoisme. Cara berpikir utilitarianisme ini sebenarnya merupakan

13
penghalusan dari alturisme yang cenderung dinilai kurang realistis, yakni
menekankan keuntungan bagi “ setiap orang kecuali saya”.

Dalam praktik, egoisme dan utilisme sering kali bertumpang tindih,


sehingga sulit untuk dibedakan. Jeremy Bentham (1742-1832)
mengajarkan, bahwa utilisme ditunjukan untuk mengejar kemanfaatan
(baca: kebahagiaan) pribadi. Oleh karena itu, utilisme telah berhasil jika
dapat membuat mayoritas dari pribadi-pribadi dalam masyarakat tertentu
merasa bahagia. Walaupun demikian, pandangan Bentham tetaplah
bersifat individualistis.

Sedangkan egoisme adalah perilaku dari setiap pada dasarnya


bertujuan untuk mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya
sendiri. Karena itu, satu-satunya tujuan dan juga kewajiban moral setiap
pribadi adalah untuk mengejar kepentinganmya dan memajukan dirinya
sendiri.17

D. MORALITAS

Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang


menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk.
Moralitas mencakup pengertian tentang baik-buruknya perbuatan manusia.

Moralitas dapat objektif atau subjektif. Moralitas objektif


memandang perbuatan semata sebagai suatu perbuatan yang telah
dikerjakan, bebas lepas dari pengaruh-pengaruh sukarela pihak pelaku.
Moralitas subjektif adalah moralitas yang memandang perbuatan sebagai
perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan si pelaku sebagai
individu.

Moralitas juga dapat intrinsik atau ekstrinsik. Pembagian ini


hendaknya jangan dicampuradukkan dengan pembagian di atas tadi.
Moralitas intrinsik memandang suatu perbuatan menurut hakikatnya bebas

17
Shidarta, OP. Cit., hlm. 62.

14
lepas dari setiap bentuk hukum positif. Moralitas ekstrinsik adalah
moralitas yang memandang perbuatan sebagai sesuatu yang diperintahkan
atau dilarang oleh seseorang yang berkuasa atau oleh hukum positif, baik
dari manusia asalnya maupun dari Tuhan.18

Teori yang mengatakan bahwa semua bentuk moralitas itu


ditentukan oleh konvensi dan bahwa semua bentuk moralitas itu adalah
resultan dari kehendak seseorang yang dengan sekehendak hatinya
memerintahkan atau melarang perbuatan-perbuatan tertentu tanpa
mendasarkan atas sesuatu yang intrinsik dalam perbuatan manusia sendiri
atau pada hakikat manusia dikenal sebagai aliran positivisme moral.
Disebut begitu karena menurut aliran tersebut, semua moralitas bertumpu
pada hukum positif sebagai lawan hukum kodrat (natural law). Menurut
teori tersebut, perbuatan dianggap benar atau salah berdasarkan: (1)
kebiasaan manusia, (2) hukum-hukum negara, (3) pemilihan bebas
Tuhan.19

E. UNSUR-UNSUR MORALITAS
Kualitas norma moral sebagaimana telah disinggung ditentukan
oleh beberapa unsur pokok, yaitu kebebasan, tanggungjawab, dan suara
hati. Semakin tinggi derajat kebebasan, tanggung jawab, dan kemurnian
suara hatinya, semakin baik kualitas moral yang bersangkutan.
1. Kebebasan
Kebebasan merupakan unsur penting dalam norma moral. Hal ini
sangat esensial, mengingat norma moral itu adalah norma yang otonom,
yang disebut oleh Kelsen dengan regulations of internal behavior. Jadi,
selalu ada pilihan (alternatif) bagi manusia untuk bersikap dan berperilaku
berdasarkan nilai-nilai yang diyakininya.
Walaupun diyakini bahwa manusia itu adalah makhluk yang bebas,
namun terdapat keraguan mengenai hal ini. Sehingga timbul pertanyaan,

18
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral, (Bandung: CV Pustaka Grafika, 1999), hlm. 118
19
Ibid, hlm. 119-120

15
“Benarkah manusia itu mempunyai kebebasan dalam bersikap dan
berperilaku?”
Pertama, ada pendapat yang mengatakan kebebasan seperti
dinyatakan tersebut sebenarnya tidak ada. Pemikiran demikian datang dari
aliran determinisme,20 baik yang bersifat materialis maupun religius.
Pendapat kedua yang bersebrangan dengan determinisme adalah
aliran antinomisme yang berpendapat bahwa manuisa itu adalah makhluk
yang bebas. Paling tidak, bebas dalam lingkup kodratnya sebagai manusia.
Semangat kebebasan (al-hurriyah), termasuk kebebasan berekspresi
bahkan dianggap salah satu semangat dasar dalam ajaran agama.
2. Tanggung Jawab
“Respondeo ergo sum” (Aku bertanggung jawab, jadi aku ada),
demikian tegas Emmanuel Levinas (1906-1995).21 Ucapan ini
menggarisbawahi betapa penting makna sebuah tanggungjawab.
Kebebasan memberikan pilihan bagi manusia untuk bersikap dan
berperilaku. Oleh karena itu manusia wajib bertanggungjawab atas pilihan
yang telah dibuatnya. Pertimbangan moral, baru akan mempunyai arti
apabila manusia tersebut mampu dan mau bertanggungjawab atas
pilihannya. Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan, bahwa
pertimbangan-pertimbangan moral hanya mungkin ditujukan bagi orang
yang dapat dan mau bertanggungjawab. Itulah sebabnya kita tidak pernah
meminta pertanggungjawaban atas sikap dan prilaku orang gila atau anak
di bawah umur, sekalipun kita mengetahui menurut moralitas kita yang
wajar, sikap dan perilaku orang itu tidak dapat diterima.
3. Suara Hati
Suara hati sering juga disebut dengan hati nurani. Dalam kosa kata
Latin, terdapat dua istilah yang berbeda untuk hati nurani dan suara hati,
20
Determinisme diperkenalkan dalam wacana fisafat oleh Sir William Hamilton. Dalam
bahasa Latin, determinare berarti menentukan batas atau membatasi. Determinisme beranggapan
setiap pertistiwa sudah ditentukan. Setiap kejadian (akibat) pasti mempunyai sebab (kausalitas).
Penjelasan lebih lanjut lihat Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1996), hlm. 159 161.
21
K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX:Prancis, jilid II (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1996), hlm. 279-296.

16
yaitu kata synteresis dan conscientia. Kata synteresis lebih tepat diartikan
sebagai hati nurani, yaitu pengetahuan intuitif tentang prinsip-prinsip
moral. Menurut Aquinas, hati nurani berasal langsung dari Tuhan dan oleh
karena itu tidak mungkin keliru. Apabila manusia menghadapi situasi
konkret yang mengharuskan memilh sikap-sikap moral tertentu, maka
yang hadir pada saat itu adalah suara hati (conscientia).22
Jika hati nurani adalah “suara Tuhan” maka tidak demikian halnya
dengan suara hati itu. Suara hati memang suara kejujuran, tetapi tidak
identik dengan hakikatbkebenaran itu sendiri. Artinya suara hati mungkin
saja salah, tetapi “kesalahan” suara hati itu karena ketidaktahuan si pemilik
suara hati itu, bukan karena ia sengaja berbuat salah.
Franz Magnis-Suseno menyebutkan tiga lembaga normatif yang
mengajukan norma-norma (dalam arti yang lebih abstrak berupa nilai-
nilai) mereka kepada kita.23
Pertama, adalah masyarakat, termasuk pemerintah, guru, orang tua,
teman sebaya, dan pemuka agama. Lembaga normatif tersebut baik secara
implisit maupun eksplisit, akan menyatakan apa yang baik dan tidak baik
menurut mereka. Tentu saja nilai-nilai yang diberikan oleh orangtua,
misalnya tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai yang ditawarkan oleh
teman sebaya.
Ke dua, adalah ideologi termasuk agama di dalamnya. Kode etik
profesi juga ada dalam kategori lembaga normatif ke dua ini. Agama,
khususnya bagi bangsa Indonesia memegang peranan yang cukup dominan
dalam memasok nilai-nilai dlam kehidupan sehari-hari.
Ketiga, adalah superego24 pribadi. Seperti perasaan malu pada diri
seseorang apabila yang berangkutan melakukan suatu perilaku tidak

22
Franz Magnis-Suseno, Tiga Belas Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani sampai Abad ke-19
(Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 91.
23
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar:..., Op. Cit., hlm. 49-52.
24
Istilah superego berasal dari Sigmund Freud. Ia juga menyebutkan tiga lembaga yang
memengaruhi struktur kepribadian seseorang, yaitu: (1) id (Es), (2) ego (Ich), dan (3) superego
(Ueberich). Id adalah alam bawah sadar manusia, sedangkan ego adalah aktivator yang
menggerakkan alam bawah sadaritu dengan menghubungkannya dengan realitas. Superego
merupakan internalisasi (pembatinan) dari ego.

17
terpuji. Perasaan malu atau bersalah ini muncul secara spontan, tanpa
melalui proses perenungan terlebih dulu (karena memang telah
terinternalisasi dalam diri yang bersangkutan), dan juga bukan karena ada
pihak lain yang telah menegur atau memberi sanksi. Lemaga normatif ke
tiga ini banyak dipengaruhi oleh seberapa jauh kadar kedalaman
keterlibatannya pada lembaga normatif pertama dan ke dua.
F. HUKUM
Pertama sebagaimana yang kita ketahui hukum itu adalah aturan
yang dibuat oleh pemerintah atau badan yang berwenang untuk mengatur
warga negaranya atau masyarakatnya supaya tertib, artinya hukum adalah
alat untuk mengatur kehidupan warga negara. dan hukum terntunya
disandingkan dengan konsekuensi yang berupa sanksi bagi para pelanggar,
demi terciptanya ketertiban sanksi perlu ditegakan suapaya wibawa hukum
itu tercipta dan masyarakat akan mematuhi hukum. 25

Kedua bahwa etika seringkali diartikan sebagai tingkah laku yang


dilahirkan sebagai suatu kepantasan yang ada di suatu masyarakat
sehingga menjadi tolak ukur baik dan buruk atau layak dan tidak layak.

Sebenarnya ada keterkaitan antara etika dan hukum, dalam


keterkaitan ini saya akan membahas tentang persamaan dan perbedaan
antara etika dan hukum :

1. Persamaannya adalah :
a) Hukum dan etika sama-sama berfungsi sebgai alat untuk mengatur
tertib hidup dalam masyarakat. Kedua jenis ini sama sama megatur
tertibnya pergaulan antara sesama atau masyarakat.
b) Hukum danetika sama-sama mempelajari dan menjadikan objek
tingkah laku manusia. Kedua jenis ini sama-sama menyoroti
tingkah laku warga negara dalam hidup bersama, ada tidaknya
gejala yang mengganggu ketertiban umum.

25
Dr. H. Burhanudin salam, Etika Sosial asas moral dalam kehidupan manusia, (Rineka
Cipta), h.129-135

18
c) Keduanya memberikan batasan, yaitu batas gerak hak dan
wewenang seseorang dalam pergaulan hidup, supaya jangan saling
merugikan. Hukum negara memberikan sanksi hukuman berupa
penjara, kurangan dan lain sebagainnya bagi pelanggar, sedangkan
hukum etika memberikan sanksi berupa label bahwa orang itu
penjahat.
d) Keduanya bersumber dari pengalaman. Bahwa masing-masing dari
kedua jenis ini menggunakan pengalaman untuk menambah,
mengurangi ketentuan – ketentuan yang ada didalamnya, seperti
halnya pada awal mula tidak ada undang-undang perkawinan tapi
sekarang karena dianggap perlu maka diadakan.
e) Keduanya menggugah kesadaran manusiawi. Kedua jenis ini
menghendaki agar nilai-nilai kemanusiaan dijunjung tinggi
dihargai dan dijaga, artinya jangan sampai ada yang merugikan dan
dirugikan hak-haknya, sehingga akan tercipta kesadaran manusia
dan menjadi manusia yang baik seutuhnya.
2. Perbedaanya adalah :
a) Hukum negara itu tertulis sedangkan hukum etis itu tidak tertulis.
Hukum negara itu tertulis layaknya KUHP dan lain sebagainya
yang menentukan aturan dan sanksi dalam kehidupan masyarakat
sehingga jelas dan konkrit adanya, meskipun hukum etika tidak
tertulis tapi dia berperan penting karena jauh sebelum seseorang
hendak melakukan kejahatan hukum etika akan berbisik di hatinya
“jangan berbuat jahat kelak kamu akan dicap sebagai penjahat dan
aka dihukum”. Akan tetapi apabila dia melanggar hukum etika
yang berbisik di hatinya, maka bukan hanya hukuman fisik saja
yang dia terima melalui hukuman negara berupa penjara , akan
tetapi di jiwanya terdapat penyesalan dan itu berupa hukuman etika
di dalam dirinya sendiri.
b) Pada hukum negara, sifatnya objektif, tegas, hukum etika sifatnya
subjektif, fleksibel/luwes. Dalam KUHP seringkali bunyi pasal

19
diawali dengan “barang siapa..” yang mengartikan siapa saja .
artinya apabila dia membunuh karena adiknya diperkosa itu akan
tetap dikenakan sanksi penjara meskipun dapat dikurangi karena
keadaan itu, tapi dalam hukum etika bisa saja itu dianggap sebagai
sesuatu yang baik karena mempertahankan kehormatan
keluarganya.
c) Hukum negara bersifat menuntut sedangkan hukum etika bersifat
memberi tuntutan. Hukum negara ditujukan kepada jenis kejahatan
yang dilakukan sedankan sehingga bersifat menuntut karena
memang jenis sanksi berbeda disetiap jenis kejahatan, akan tetapi
beda halnya dengan hukum etika yang memberikan tuntutan
melalui peringatan di hati seseorang yang akan melakukan
kejahatan dengan peringatan berupa bisikan hati bahwa itu
perbuatan jahat maka jangan kerjakan, maka secara tidak langsung
seseorang itu mempunyai tuntutan untuk tidak mengerjakan.
d) Hukum negara memerlukan bukti untuk menjatuhkan vonis, hukum
etika tidak memerlukan bukti fisik. Ketika didepan sidang
pengadilan, jaksa penuntut umum tidak bisa memberikan bukti
konkrit bahwa seseorang itu melakukan tindak kejahatan maka dia
akan terbebas meskipun pada hakikatnya dia melakukan tindakan
itu, lain halnya dengan hukum etika, seseorang yang melakukan
kejahtan baik dia diketahui atau tidak perbuatannya hukum etika
berbisik dihati orang itu bahwa dia adalah penjahat karena
perbuatannya.
e) Hukum negara membutuhkan aparatur negara untuk menegakan
hukum itu, sedang hukum etika tidak memerlukan aparat, artinya
hanya kesadaran jiwanya saja. Hukuman negara akan tegak bila
adany aparatur negara yang menegakannya seperti jaksa, hakim,
polisi, dan lain sebagainya. Ada kalanya meskipun ada aparatur
negara akan tetapi masih saja para penjahat lolos dalam sidang
pemeriksaan karena alasan yang didukung oleh ketentuan pasal-

20
pasal yang mendukungnya juga. Lain halnya dengan hukuman
etika, meski seseorang bisa kabur dari hukuman negara akan tetapi
hukuman etika selalu berbisik bahwa “mau kemana kau pergi
wahai pembunuh, wahai koruptor, wahai hakim yang menerima
suap, wahai pejabat yang menyelewengkan amanah, kau adalah
penjahat dan aku yang menyaksikan kejahatan mu.” Karena
memang hati nurani tidak mengenal sogok dan dusta.
Kemudian setelah menjabarkan perbedaan dan persamaan
antara moral dan hukum disini penulis ingin menyampaikan pemikiran
pemikiran penulis dengan mengutip dan membaca beberapa buku.
Bahwa bila ditelusuri adanya hukum itu pada hakikatnya berasal dari
pada pengalaman manusia, berupa keinginanya untuk aman, untuk
tidak dirugikan, untuk hidup tertib, untuk bisa memenuhi haknya dan
untuk tidak dilanggar haknya, singkatnya adalah manusia
menginginkan keadilan, maka dibentuklah hukum untuk itu. Dari sini
tepatlah apa yang dikatakan di dalam beberapa literatur dan
sebagaimana juga yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch bahwa
cita hukum tidak lain dari pada keadila, artinya hukum lahir dari pada
keadilan yang didambakan oleh manusia. Sekarang mengapa manusia
ingin akan keadilan? Ingin akan ketentraman? Ingin akan ketertiban?
Ingin supaya haknya tidak dirugikan ?, karena memang pada dasarnya
manusia menghendaki mana yang baik dan mana yang buruk, mana
yang pantas dan mana yang tidak pantas untuk dikerjakan, atau dengan
kata lain hukum moral sudah jauh berbicara dibanding dengan hukum
negara perihal kebaikan dan keburukan, akan tetapi tidak dipungkiri
manusia mempunyai hawa nafsu yang kadang membunuh moralnya,
membunuh suara hatinya padahal susara hati adalah pusat martabat
kemanusiaan sebagai manusia yang utuh (Imanuel Kant ). 26 sehingga
apabila hukum moral tidak dikonkritkan menjadi hukum negara maka
tidak ada sanksi yang pasti. untuk itu lahirlah hukum negara yang

26
G.P Shindunata, dkk, Sesudah Filsafat, ( yogyakarta : kansisus, 2006) h. 42

21
terkodifikasi sebagai alat memenuhi hukum moral yang sudah sejak
awal berbicara. Oleh karenanya antara legalitas dan moralitas sungguh
sulit untuk dipisahkan karena pada hakikatnya mereka adalah dua
kutub magnet antara positif dan negatifnya saling membutuhkan,
artinya adalah untuk membuat suatu legalitas yang baik perlu tentunya
moral yang baik, dan untuk menjalankan legalitas yang baik itu pun
perlu moral yang baik. Sehingga tidak ada lagi UU yang
mementingkan satu pihak saja, dan tidak ada lagi para penjahat yang
melanggar UU yang ada, atau bisa juga tingkat pelanggarannya minim.

22
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
1. Etika secara lebih detail merupakan ilmu yang membahas tentang
moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moral.
2. Etika dalam hubungannya dengan filsafat dapat dipahami bahwa istilah
yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia
dengan nilai ketentuan baik atau buruk.
3. Dalam etika biasanya dibedakan antara etika deskriptif dan etika
normatif. Etika deskriptif menguraikan dan menjelaskan kesadaran-
kesadaran dan penngalaman moral secara deskriptif sedangkan Etika
normatif dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran atau
norma yang dapat dipakai untuk menanggapi menilai perbuatan.
4. Etika filsafat dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis, metodis dan
sistematis tentang tingkah laku manusia dari sudut norma-norma susila
atau dari sudut baik atau buruk. Dari sudut pandang normatif, etika
filsafat merupakan wacana yang khas bagi perilaku kehidupan
manusia, dibandingkan dengan ilmu lain yang juga membahas tingkah
laku manusia.

B. Saran
Makalah kami ini belum cukup sempurna, untuk pembaca, jangan
pernah merasa puas dengan makalah kami, harus tetap mencari tahu lagi
tentang materi ini karena cangkupannya luas sekali. Penulis sangatlah
mengharapkan Kritikan maupun saran yang membangun agar makalah
yang kami buat bisa lebih baik dan lebih sempurna lagi. Penulis mohon
maaf bila ada penulisan atau kata-kata yang belum tepat, karena kami pun
masih dalam tahap pembelajaran.

23
DAFTAR PUSTAKA

A, Rachmat. 1992. Titik Sentuh Antara Etika dan Filsafat. Pro Justitia.

A.S, Keraf. 1993. Etika Bisnis, Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi
Luhur. Yogyakarta: Kanisius.

Bertens, K. 2000. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

________. 1996. Filsafat Barat Abad XX: Prancis. jilid II. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. 2004. Pokok-Pokok Filsafat. Jakarta:


PT Gramedia Pustaka Utama.
De Vos, H. 1987. Pengantar Etika, terjemahan Soejono soemargono.
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Erwin, Muhamad. 2012. Filsafat Hukum (Refleksi Kritis terhadap
Hhukum). Jakarta : PT Raja Grapindo Persada.
Internet, https://gpdlawyer.wordpress.com/2013/10/31/hukum-dan-etika/,
akses 18 Februari 2018
Internet, http://yonesamz.blogspot.co.id/2015/05/hubungan-filsafat-
dengan-etika.html, akses 18 Februari 2018
Internet, http://hermankatimin2.blogspot.co.id./2012/12/pemahaman-
filsafat-ilmu-terhadap-etika_4.html?m=1, akses 12 februari 2018
Jafray. 2014. Etika Dalam Pendidikan: Kajian etis Tentang Krisis Moral
Berdampak Pada Pendidikan. Vol. 12. No. 2. STAKN Toraja.

Kusumohadimidjojo, Budiono. 2009. Filsafat Kebudayaan; Proses


Realisasi Manusia. Yogyakarta: Jalasutra.
Poespoprodjo, W. 1999. Filsafat Moral. Bandung: CV Pustaka Grafika.

Rasjidi, Lili. 1990. Dasar-Dasar Filsafat Hukum. Bandung: Citra Aditya.

Shidarta. 2006. Moralitas Profesi Hukum: Suatu Kerangka Berpikir.


Bandung: PT Refika Aditama.

24
Shindunata, G.P, dkk. 2006. Sesudah Filsafat. Yogyakarta: Kansius.

Soyomukti, Nurani. 2016. Pengantar Filsafat Umum. Yogyakarta: Ar-


Ruzz Media.

Sudarminta. 2002. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan.


Yogykarta: Kanisius.
Suseno, Franz Magnis. 1997. Tiga Belas Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani
sampai Abad ke-19. Yogyakarta: Kanisius.

__________________. 1991. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok


Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius.

Wilujeng, Sri Rahayu. 2016. Filsafat, Etika Dan Ilmu: Upaya memahami
Hakikat Ilmu Dalam Konteks Keindonesiaan. Vol. No. Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Diponegoro

Yahfizham. 2012. Moral, Etika Dan Hukum: Implikasi Etis Dari


Teknologi Informasi Dan Komunikasi. Vol. 6. No. 1, Fakultas
Tarbiyah IAIN-SU Medan.

25

Anda mungkin juga menyukai