Anda di halaman 1dari 25

ETIKA ADMINISTRASI NEGARA

a. Pengertian moral dan moralitas


1. Moral secara etimologi diartikan: a) Keseluruhan kaidah-kaidah kesusilaan dan
kebiasaan yang berlaku pada kelompok tertentu, b) Ajaran kesusilaan, dengan kata
lain ajaran tentang azas dan kaidah kesusilaan yang dipelajari secara sistimatika
dalam etika. Dalam bahasa Yunani disebut “etos” menjadi istilah yang berarti norma,
aturan-aturan yang menyangkut persoalan baik dan buruk dalam hubungannya dengan
tindakan manusia itu sendiri, unsur kepribadian dan motif, maksud dan watak
manusia. kemudian “etika” yang berarti kesusilaan yang memantulkan bagaimana
sebenarnya tindakan hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan yang buruk.

2. Moralitas berasal dari kata dasar “moral” berasal dari kata “mos” yang berarti
kebiasaan. Kata “mores” yang berarti kesusilaan, dari “mos”, “mores”. Moral adalah
ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban
dan lain-lain; akhlak budi pekerti; dan susila. Kondisi mental yang membuat orang
tetap berani; bersemangat; bergairah; berdisiplin dan sebagainya.
Moralitas yang secara leksikal dapat dipahami sebagai suatu tata aturan yang
mengatur pengertian baik atau buruk perbuatan kemanusiaan, yang mana manusia
dapat membedakan baik dan buruknya yang boleh dilakukan dan larangan sekalipun
dapat mewujudkannya, atau suatu azas dan kaidah kesusilaan dalam hidup
bermasyarakat.
Secara terminologi moralitas diartikan oleh berbagai tokoh dan aliran-aliran
yang memiliki sudut pandang yang berbeda:
 Franz Magnis Suseno menguraikan moralitas adalah keseluruhan norma-norma, nilai-
nilai dan sikap seseorang atau sebuah masyarakat. Menurutnya, moralitas adalah sikap
hati yang terungkap dalam perbuatan lahiriah (mengingat bahwa tindakan merupakan
ungkapan sepenuhnya dari hati), moralitas terdapat apabila orang mengambil sikap
yang baik karena Ia sadar akan kewajiban dan tanggung jawabnya dan bukan ia
mencari keuntungan. Moralitas sebagai sikap dan perbuatan baik yang betul-betul
tanpa pamrih.
 W. Poespoprodjo, moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan
itu kita berkata bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk atau dengan
kata lain moralitas mencakup pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia.
 Immanuel Kant, mengatakan bahwa moralitas itu menyangkut hal baik dan buruk,
yang dalam bahasa Kant, apa yang baik pada diri sendiri, yang baik pada tiap
pembatasan sama sekali. Kebaikan moral adalah yang baik dari segala segi, tanpa
pembatasan, jadi yang baik bukan hanya dari beberapa segi, melainkan baik begitu
saja atau baik secara mutlak.
 Emile Durkheim mengatakan, moralitas adalah suatu sistem kaidah atau norma
mengenai kaidah yang menentukan tingka laku kita. Kaidah-kaidah tersebut
menyatakan bagaimana kita harus bertindak pada situasi tertentu. Dan bertindak
secara tepat tidak lain adalah taat secara tepat terhadap kaidah yang telah
ditetapkan.
Dari pengertian tersebut, disimpulkan bahwa moralitas adalah suatu ketentuan-
ketentuan kesusilaan yang mengikat perilaku sosial manusia untuk terwujudnya
dinamisasi kehidupan di dunia, kaidah (norma-norma) itu ditetapkan berdasarkan
konsensus kolektif, yang pada dasarnya moral diterangkan berdasarkan akal sehat
yang objektif.

b. Etika deskriptif dan etika normative


1. Etika Deskriptif
Etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku
manusia serta apa yang dikejar oleh setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu
yang bernilai. Artinya etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa
adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait
dengan situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang
kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang
dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara
etis.
Etika deskriptif menurut pendapat Katt Soff bahwa etika bersangkutan dengan
nilai dan ilmu pengetahuan yang membicarakan masalah baik dan buruknya tingkah
laku manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Etika bersangkutan dengan pencatatan
terhadap corak-corak predikat serta tanggapan-tanggapan kesusilaan yang dapat
ditemukan dalam masyarakat. Sehingga ilmu ini hanya bersifat pemaparan atau
penggambaran saja. Etika deskriptif dapat disimpulkan sebagai bentuk implementasi
perbuatan serta perilaku yang diterapkan setiap manusia merupakan landasan
pergaulan kehidupan antar manusia dalam ruang lingkup lingkungan masyarakat.

2. Etika normatife
Etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya
dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan
apa yang bernilai dalam hidup ini jadi etika normatif merupakan norma-norma yang
dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang
buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat
(Ruslan, 2002 : 38).
Menurut Katt Soff yang dimaksud dengan etika normatif adalah sering
dipandang sebagai suatu ilmu yang mengadakan ukuran-ukuran atau norma-norma
yang dapat dipakai untuk menanggapi atau menilai perbuatan dan tingkah laku
seseorang dalam bermasyarakat. Etika normatif ini berusaha mencari ukuran umum
bagi baik buruknya tingkah laku. Etika normatif dapat disimpulkan sebagai ilmu yang
mempelajari perilaku manusia yang berkaitan dengan baik buruknya perbuatan atau
tingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat.

c. Landasan etika
Garis Besar landasan Etika:
1. Naturalisme:
1) Paham mini berpendapat bahwa system-sistem etika dalam kesusilaan mempunyai
dasar alami, yaitu pembenaran-pembenaran hanya dapat dilakukan melalui
pengkajian atas fakta dan bukan atas teori-teori yang sangat metafisis.
2) Manusia pada kodratnya adalah baik, sehingga ia harus dihargai dan menjadi ukuran.
2. Individualisme
1) Emmanuel Kant, menekankan bahwa setiap orang bertanggung jawab secara
individual bagi dirinya.
2) Dampak positif dari individualisme adalah terpacunya prestasi dan kreativitas
individu.
3) Orang akan memiliki etos kerja yang kuat dan selalu ingin berbuat yang terbaik bagi
dirinya.
4) Dampak negative bahwa setiap orang akan mementingkan diri sendiri atau bersikap
egosentris.
3. Hedonisme
Titik tolaknya bahwa manusia menurut kodratnya selalu mengusahakan
kenikmatan, yaitu bila kebutuhan kodrati terpenuhi, orang akan memperoleh
kenikmatan sepus-puasnya.
4. Eudaemonisme
1) Dari bahasa Yunani, yaitu demon yang berarti roh pengawal yang baik, kemujuran
atau keuntungan.
2) Kepuasan yang sempurna tidak saja secara jasmani tetapi juga rohani.
3) Mencita-citakan suasana batiniah yang disebut bahagia.
4) Mengajarkan bahwa kebahagiaan merupakan kebaikan tertinggi (prima facie).
5. Utilitarianisme
1) Tokoh dari ajaran ini adalah Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-
1873).
2) Ciri utamanya adalah pengenal kesusilaan adalah manfaat dari suatu perbuatan.
3) Suatu perbuatan dikatakan baik jika membawa manfaat atau kegunaan, berguna
artinya memberikan kita sesuatu yang baik dan tidak menghasilkan sesuatu yang
buruk.
6. Idealisme
1) Paham ini timbul dari kesadaran akan adanya lingkungan normativitas,
2) Bahwa terdapat kenyataan yang bersifat normative yang memberikan dorongan
kepada manusia untuk berbuat.
3) Keunggulan dari ajaran ini adalah pengakuannya tentang dualism manusia, bahwa
manusia terdiri dari jasmani dan rohani.
4) Berdasrkan aspek cipta, rasa dan karsa yang terdapat dalam batin manusia.
5) Dapat dibagi menjadi 3:
a) Idealisme rasionalistik
Bahwa dengan menggunakan pikiran dan akal, manusia dapat mengenal norma-norma
yang menuntun perilakunya.
b) Idealisme estetik
Bahwa dunia serta kehidupan manusia dpat dilihat dari perspektif “karya seni”.
c) Idealisme etik
Pada intinya ingin menentukan ukuran-ukuran moral dan kesusilaan terhadap dunia
dan kehidupan manusia.

d. Antara Legitimasi sosiologis dan legitimasi etis


Weber melihat adanya tiga corak Legitimasi Sosiologis
1. Kewenangan Tradisional
2. Kewenangan Karismatik
3. Kewenangan Legal Rasional yang mengambil landasan dari hukum-hukumformal dan
rasional bagi dipegangnya kekuasaan oleh seorang pemimpin.
Legitimasi etis melihat kesesuaian antara dasar-dasar kekuasaan itu dari sudut
norma-norma moral. Ciri-ciri Legitimasi Etis: Kerangka Legitimasi Etis mengandaikan
bahwa beberapa konsepsi tentang legitimasi kekuasaan setiap persoalan yang
menyangkut manusia hendaknya diselesaikan secara etis termasuk persoalan
kekuasaan. Legitimasi Etis berada di belakang setiap tatanan normatif dalam prilaku
manusia.Etika menjadi landasan dari setiap kodifikasi peraturan hukum pada suatu
negara.

B. Legitimasi Kekuasaan negara menurut beberapa pemikir Unsur Pokok yang


dikaitkan dengan Negara adalah
 Penduduk atau sekelompok
 Wilayah atau teritori yang pasti
 Organisasi Politik atau sistem pemerintahan
 Kedaulatan
1) Plato
Dalam model distribusi kekuasaan antara penguasa dan yang dikuasai,plato
mengandaikan bahwa para penguasa memperoleh hak memakai kekuasaan untuk
mencapai kebaikan publik dari kecerdasan mereka yang luar biasa.
2) Thomas Aquinas
Pemikir ini berusaha mendobrak keasyikan masyarakatnya dengan tempat
mereka dalam kota manusia,hal-hal dunia dan pemilikan material. Keadilan yang
timbul dari transaksi-transaksi. Menyangkut pangkat bahwa keadilan yang wajar
terjadi bila seseorang penguasa atau pemimpin memberikan kepada setiap orang apa
yang menjadi haknya berdasarkan pangkat.

Pembedaan jenis hukum:


A. Hukum Abadi (Lex Eterna)
Kebenaran dari hukum ini ditunjang oleh kearifan Illahi yang merupakan landasan dari
segala ciptaan.
B. Hukum Kodrat (Lex Naturalis)
Disamping mengemukakan hukum-hukum religus,Aqunias juga menghubungkannya
dengan hukum moral yang terdapat dalam hukum kodrat.
C. Hukum buatan Manusia (Lex Humana)
Hukum ini dimaksudkan untuk mengatur tatanan sosial sesuai dengan nilai-nilai
kebajikan dan keadilan.
D. Niccolo Machiavelli
Satu-satunya kaidah etika politik yang dianut oleh machiavelli ialah bahwa apa yang
baik adalah segala sesuatu yang mampu menunjang kekuasaan negara.
E. Thomas Hobes
Dasar dari ajarn hobes adalah tinjauan psikologis beberapa konsepsi tentang legitimasi
kekuasaan terhadap motivasi tindakan manusia.Hobes mengatakan bahwa untuk
menertibkan tindakan manusia,mencegah kekacauan,dan mengatasi anarki,kita tidak
mungkin mengandalkan kepada imbauan-imbauan moral.
F. JJ.Rousseau
Berangkat dari asumsi bahwa pada dasarnya manusia itu baik.Negara dibentuk karena
adanya niat baik untuk melestarikan kebebasan dan kesejahtraan individu.
Jadi, legitimasi merupakan sesuatu yang sangat penting dan diperlukan oleh
seseorang atau sekelompok orang yang memegang kekuasaan, dalam hal ini
pemerintah. Dengan dan melalui legitimasi pemerintah dapat lebih secara cepat
menciptakan stabilitas politik dan perubahan sosial, dan dengan legitimasi yang
diperoleh maka pemerintah dapat pula mempergunakan alat negara guna memaksa
pihak lain untuk mematuhi peraturan dan kebijakan pemerintahan, hal mana
dikatakan oleh Talcott Parsons sebagai kewajiban-kewajiban yang mengikat dan
sejauh untuk tujuan-tujuan kolektif. Namun demikian perlu diingat pula bahwa
sebuah kekuasaan dalam perjalanannya akan mengalami krisis legitimasi apabila
terjadi perubahan mendasar di dalam masyarakat, pemerintah tidak memenuhi janji-
janjinya, dan juga apabila terjadinya persaingan elit politik yang tajam dan tidak
sehat.

e. Gagasan Tentang Demokrasi


Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana kekuasaan terletak pada
mayoritas rakyat dan pelaksanaanya dilakukan melalui wakil-wakil yang terpilih.
Dasar-dasar Moral:
 Demokrasi berlandaskan pada keyakinan nilai dan martabat manusia
 Karena sifat dan nilai manusia,demokrasi mengandung implikasi adanya konsep
kebebasan manusia.

f. Konsep,Tujuan,Model Birokrasi
Ciri-ciri Struktur Birokrasi:
 Birokrasi melaksanakan kegiatan-kegiatan reguler yang dibutuhkan untuk
 mencapai tujuan-tujuan organisasi,didistribusikan melalui cara tertentu,dan dianggap
sebagai tugas-tugas resmi
 Pengorganisasian kantor mengikuti prinsip hierarkis,yaitu bahwa unit yang lebih
rendah dalam sebuah kantor berada di bawah pengawasan dan pembina unit yang
lebih tinggi
 Pelaksanaan tugas diatur oleh suatu sistem peraturan-peraturan abstrak yang
konsisten dan mencakup juga penerapan aturan-aturan itu dalam kasus-kasus tertentu
 Pejabat yang ideal melaksanakan tugas-tugasnya dengan semangat(formal dan tidak
bersifat pribadi), tanpa perasaan dendam dan nafsu dan karena itu tanpa perasaan
suka dan tidak suka
 Pekerjan dalam organisasi birokratis berdasarkan pada kualifikasi teknis dan
dilindungi dari pemecatan oleh sepihak
 Pengalaman menunjukan bahwa tipe organisasi administratif yang murni berciri
birokratis dilihat dari sudut teknis akan mampu mencapai tingkat efisiensi yang
tertinggi

g. Inefisiensi Organisasi
Konsep Birokrasi dipandang sebagai antitesis dari vitalitas administratif dan kreatifitas
manajerial.
Gejala-gejala yang diamati dalam birokrasi:
 kepercayaan yang berlebihan kepada persyaratan-persyaratan administratif
(Presedence)
 Kurangnya inisiatif,kelambanan dalam berbagai urusan,
 Banyaknya formalitas dan formulir serta duplikasi pekerjaan

h. Filsafat Normatif Bagi administrator


Para Pejabat berfungsi sebagai administrator yang harus mengabdi kepada
kepentingan umum,bukan sebaliknya.Oleh karena itu,disamping harus memenuhi
persyaratan-persyaratan teknis seperti intelegenisa,kemampuan mengambil
keputusan(decission making),wawasan ke depan,atau kemahiran manajemen,mereka
harus mempunyai landasan normatif yang terkandung dalam nilai-nilai moral.
Berbagai teori Filosofis yang sering dijadikan landasan,baik yang berasal dari
hukum abadi(naturalisme),Teori Utilitarian,Teori Deontologis,Individualisme maupun
teori kebebasan pribadi,ternyata tidak selalu memuaskan untuk memecahkan semua
persoalan.
Nilai normatif yang juga wajib dianut oleh para administrator berkenan dengan
konsep keadilan.
Beberapa Pedoman yang bisa diikuti untuk dapat berlaku dan bertindak secara adil
menurut beberapa rumusan atau pendapat filsuf :
 Dorongan batin yang tetap untuk memberikan kepada setiap orang apa yang
semestinya
 Tidak sewenang-wenang dan tidak membeda-bedakan orang

Sumber:
http://edhoo91.blogspot.com/
http://forum-haksesuk.blogspot.com/2008/11/legitimasi-pemerintah-amp.html
http://www.referensimakalah.com/2012/09/pengertian-moral-dan-moralitas.html
http://belajarkomunikasilagi.blogspot.com/2012/11/etika-deskriptif-dan-
normatif.html
Diposting oleh Retno Kurnia Imsany di 11/14/2013
Etika Administrasi

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap masyarakat atau bangsa pasti mempunyai pegangan moral yang menjadi landasan sikap,
perilaku dan perbuatan mereka untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Dengan pegangan moral itu mana
yang baik dan mana yang buruk, benar dan salah serta mana yang dianggap ideal dan tidak. Oleh karena
itu dimana pun kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara peranan etika tidak mungkin
dikesampingkan. Semua warganegara berkepentingan dengan etika.
Salah satu kelemahan dasar dalam pelayanan publik di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika
sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan dengan dunia pelayanan publik. Padahal, dalam
literatur tentang pelayanan publik dan administrasi publik, etika merupakan salah satu elemen yang sangat
menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan organisasi di dalam melaksanakan
pelayanan publik itu sendiri.

Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi
oleh birokrasi, maka telah terjadi pula perkembangan di dalam penyelenggaraan fungsi pelayanan publik,
yang ditandai dengan adanya pergeseran paradigma dari rule government yang lebih menekankan pada
aspek peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi paradigma good governance yang tidak
hanya berfokus pada kehendak atau kemauan pemerintah semata, tetapi melibatkan seluruh komponen
bangsa, baik birokrasinya itu sendiri pihak swasta dan masyarakat (publik) secara keseluruhan.

Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela
kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa
kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte
perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki etika yang baik
dalam menjalankan kewajibannya.

1.2 Rumusan Masalah

a. Jelaskan mengenai etika


b. Jelaskan konsep mengenai etika administrasi negara
c. Jelaskan etika administrasi negara dalam implementasinya
d. Jelaskan contoh kasus terkait pelanggaran etika administrasi negara

1.3 Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui penjelasan mengenai etika


b. Untuk mengetahui bagaimana konsep mengenai etika administrasi negara
c. Untuk mengetahui implementasi etika administrasi negara di Indonesia
d. Untuk mengetahui kasus pelanggaran etika administrasi negara dan analisisnya
1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan penulis dan pembaca
mengenai etika administrasi, mengetahui contoh kasus terkait dengan pelanggaran etika administrasi, dan
mengetahui sejauh mana teori-teori tentang etika administrasi diimplementasikan dalam birokrasi
indonesia dalam konteks kekinian.

1.5. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Dalam Bab ini akan membahas mengenai Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat
Penulisan, dan Sistematika Penulisan terkait dengan judul makalah yang ditulis.

BAB II PEMBAHASAN

Dalam Bab ini akan dijelaskan terkait etika, konsep mengenai etika administrasi negara, etika
administrasi negara dalam implementasinya, dancontoh kasus terkait pelanggaran etika administrasi
Negara

BAB III PENUTUP

Dalam Bab ini Penulis akan menyimpulkan semua analisa penulisan makalah ini.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Etika

Etika berasal dari bahasa Yunani etos, yang artinya kebiasaan atau watak, sedangkan moral
berasal dari bahasa Latin mos (jamak: mores) yang artinya cara hidup atau kebiasaan. Dari isyilah ini
muncul pula istilah morale atau moril, tetapi artinya sudah jauh sekali dari pengertian asalnya.Moril bisa
berarti semangat atau doronganbatin. Disamping itu terdapat istilah norma yang berasal dari bahasa Latin.
(norma: penyiku atau pengukur), dalam bahasa inggris norma berarti aturan atau kaidah. Dalam kaitannya
dalam prilaku manusia, norma digunakan sebagai pedoman atau haluan bagi perilaku yang seharusnya
dan juga untuk menakar atau menilai sebelum ia dilakukan.
Moral merujuk kepada tingkah laku yang bersifat spontan seperti rasa kasih, kemurahan hati,
kebesaran jiwa, yang kesemuanya tidak terdapat dalam peraturan-peraturan hukum, sedangkan moralitas
mempunyai makna yang lebih khusus sebagai bagian dari etika. Moralitas berfokus pada hukum-hukum
dan prinsip abstrak dan bebas. Orang yang telah mengingkari janji yang diucapkannya dapat dianggap
sebagai orang yang tidak dipercaya atau tidak etis, tetapi bukan berarti tidak bermoral, namun menyiksa
anak disebut tindakan tidak bermoral.

Secara Epistimologis etika dan moral memiliki kemiripan, namun sejalan dengan perkembangan
ilmu dan kebiasaan dikalangan cendekiawan ada pergeseran arti. Etika cenderung dipandang sebagai
suatu cabang ilmu dalam filsapat yang mempelajari nilai baik dan buruk manusia. Sedangkan moral
adalah hal-hal yang mendorong manusia untuk melakukan tindakan yang baik sebagai kewajiban atau
norma.

Etika merupakan seperangkat nilai sebagai pedoman, acuan, referensi, acuan, penuntun apa yang
harus dilakukan dalam menjalankan tugasnya, tapi juga sekaligus berfungsi sebagai standar untuk menilai
apakah sifat, perilaku, tindakan atau sepak terjangnya dalam menjalankan tugas dinilai baik atau buruk.
Oleh karenanya, dalam etika terdapat sesuatu nilai yang dapat memberikan penilaian bahwa sesuatu tadi
dikatakan baik, atau buruk.

Pemikiran tentang etika berlangsung pada tiga aras: (1) filosofik, (2) sejarah, dan (3) kategorial.
Pada aras filosofik, etika dibahas sebagai bagian integral Filsafat, disamping metafisika, Epistemologi,
Estetika, dan sebangsanya. Pada aras sejarah, etika dipelajari sebagai etika masyarakat tertentu pada
zaman tertentu, misalnya Greek and Graeco-Roman Ethics, Mediaeval Ethics, sedangkan etika pada aras
kategorial dibahas sebagai etika profesi, etika jabatan, dan etika kerja. Sebagai bagian etika, Etika
pemerintahan terletak pada aras kategorial, sedangkan sebagai bagian Ilmu Pemerintahan, pada
arasphilosophical.

Etika menurut Bertens (1977) “seperangkat nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan dari seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan Darwin
(1999) mengartikan Etika adalah prinsip-prinsip moral yang disepakati bersama oleh suatu kesatuan
masyarakat, yang menuntun perilaku individu dalam berhubungan dengan individu lain masyarakat.
Selanjutnya Darwin (1999) juga mengartikan Etika Birokrasi (Administrasi Negara) adalah sebagai
seperangkat nilai yang menjadi acuan atau penuntun bagi tindakan manusia dalam organisasi. Dengan
mengacu kedua pendapat ini, maka etika mempunyai dua fungsi, yaitu pertama sebagai pedoman, acuan,
referensi bagi administrasi negara (birokrasi publik) dalam menjalankan tugas dan kewenangannya agar
tindakannya dalam birokrasi sebagai standar penilaian apakah sifat, perilaku, dan tindakan birokrasi
publik dinilai abik, buruk, tidak tercela, dan terpuji. Seperangkat nilai dalam etika birokrasi yang dapat
digunakan sebagai acuan, referensi, penuntun, bagi birokrasi publik dalam menjalan tugas dan
kewenangannya antara lain, efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal,
merytal system, responsible, accountable, dan responsiveness.

2.2 Konsep Etika Administrasi Negara

Etika administrasi Negara yaitu bidang pengetahuan tentang ajaran moral dan asas kelakuan yang
baik bagi para administrator pemerintahan dalam menunaikan tugas pekerjaannya dan melakukan
tindakan jabatannya. Bidang pengetahuan ini diharapkan memberikan berbagai asas etis, ukuran baku,
pedoman perilaku, dan kebijakan moral yang dapat diterapkan oleh setiap petugas guna terselenggaranya
pemerintahan yang baik bagi kepentingan rakyat.

Sebagai suatu bidang studi, kedudukan etika administrasi negara untuk sebagian termasuk dalam
ilmu administrasi Negara dan sebagian yang lain tercakup dalam lingkungan studi filsafat. Dengan
demikian etika admistrasi Negara sifatnya tidak lagi sepenuhnya empiris seperti halnya ilmu administrasi,
melainkan bersifat normatif. Artinya etika administrasi Negara berusaha menentukan norma mengenai
apa yang seharusnya dilakukan oleh setiap petugas dalam melaksanakan fungsinya da memegang
jabatannya.

Etika administrasi Negara karena menyangkut kehidupan masyarakat, kesejahteraan rakyat, dan
kemajuan bangsa yang demikian penting harus berlandaskan suatu ide pokok yang luhur. Dengan
demikian, etika itu dapat melahirkan asas, standar, pedoman, dan kebajikan moral yang luhur pula.
Sebuah ide agung dalam peradaban manusia sejak dahulu sampai sekarang yang sangat tepat untuk
menjadi landasan ideal bagi etika administrasi Negara adalah Keadilan, dan memang inilah yang menjadi
pangkal pengkajian Etika Admnistrasi Negara, untuk mewujudkan keadilan.

Adapun secara substantif Bidang Studi Etika Administrasi Negara diadakan untuk mengetahui
beberapa hal berikut :

 Tujuan ideal administrasi


 Ciri-ciri administrasi yang baik
 Penyalahgunaan wewenang yang terjadi pada administrator
 Perbandingan bentuk-bentuk administrasi yang baik dan buruk

Ada 3 prinsip yang harus dipegang agar sebuah Administrasi dapat dikatakan baik yakni:

1.Prinsip Pelayanan kepada Masyarakat

Prinsip utama prinsip demokrasi adalah asas kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan
bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara, dari sini dapat
dipahami bahwa pemerintah ada memang untuk memberi pelayanan kepada masyarakat.

2.Prinsip Keadilan Sosial dan Pemerataan

Prinsip ini berhubungan dengan distribusi pelayanan yang harus sesuai, tidak “pilih kasih” dan relatif
merata di seluruh wilayah sebuah negara/ pemerintahan.

3.Mengusahakan Kesejahteraan Umum

Maksudnya adalah setiap pejabat pemerintah harus memiliki komitmen dan untuk peningkatan
kesejahteraan dan bukan semata mata karena diberi amanat atau dibayar oleh negara melainkan karena
mempunyai perhatian yang tulus terhadap kesejahteraan warga negara pada umumnya.

Persoalan-persoalan etis yang dibahas dalam etika Administrasi yang sekaligus menjadi ruang
lingkup dari Etika Administrasi itu sendiri menurut J. Alder antara lain :

 Apakah ukuran-ukuran dari administrasi yang baik ?


 Apakah sifat dasar dari administrasi yang jelek ?
 Apakah ada bentuk/model Administrasi yang baik atau jelek?
 Apakah keberhasilan administrasi ditentukan oleh tujuan yang ingin dicapai, yaitu efisiensinya dalam
melaksanakan tugas?
Dari sini dapat diketahui bahwa lingkup Etika Administrasi Negara adalah pada penentuan nilai
dalam proses administrasi. Kedudukan etika administrasi negara berada diantara etika profesi dan etika
politik sehingga tugas administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan
sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat publik.

Etika adminisrtasi negara merupakan salah satu wujud control terhadap administrasi Negara
dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Jika administrasi Negara
menginginkan sikap, tindakan dan prilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok,
fungsi, dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika administrasi negara. Etika administrasi
Negara disamping digunakan sebagai pedoman, acuan, dan referensi administrasi Negara dapat pula
digunakan sebagai standar untuk menilai apakah sikap, prilaku, dan kebijakannya dapat dikatakan baik
atau buruk.

Etika administrasi negara sangat erat berkaitan dengan etika kehidupan berbangsa. Administrasi
negara/publik tidak hanya terbatas pada kumpulan sketsa yang digunakan untuk membenarkan kebijakan
pemerintah atau hanya terbatas pada suatu disiplin ilmu saja - putting the ideas (Peter Senge, 1990) tetapi
lebih jauh dari itu, administrasi negara dijelaskan Wilson (1978) sebagai suatu upaya untuk menaruh
perhatian – concern terhadap pelaksanaan suatu konstitusi ketimbang upaya membuatnya. Jadi sangat
jelas bahwa dalam administrasi negara dikenal etika administrasi negara yang tujuannya adalah untuk
menyelengarakan kegiatan administrasi negara dengan baik, dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat. Itu berarti, saat etika administrasi negara digunakan dengan baik oleh para penyelenggara
negara (administrator) maka etika kehidupan berbangsa pun dapat berlangsung dengan baik, sebaliknya,
apabila etika administrasi negara tidak secara benar melandasi setiap pergerakan dalam administrasi
negara maka dapat diindikasikan begitu banyaknya masalah yang berdampak pada kehidupan berbangsa.

Etika sebagai penentu keberhasilan atau kegagalan dalam kehidupan berbangsa. Khususnya Etika
Politik dan Pemerintah. Etika ini dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan
efektif; menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan keterbukaan, rasa tanggung
jawab, tanggap akan aspirasi rakyat; menghargai perbedaan; jujur dalam persaingan; ketersediaan untuk
menerima pendapat yang lebih benar walau datang dari orang per orang ataupun kelompok orang; serta
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Etika pemerintahan mengamanatkan agar para pejabat memiliki
rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila dirinya merasa
telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat,
bangsa, dan negara.

Sebaliknya, saat etika administrasi negara tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka tercipta suatu
ketidakseimbangan yang berujung pada masalah-masalah kompleks yang sulit diselesaikan di Indonesia.
Karena pada saat ini, dimana seharusnya Indonesia yang menganut sistem demokrasi dapat lebih baik
dengan perspektif dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat ternyata harus terpuruk karena pada kenyataannya,
hampir semua pejabat politik dan pemerintah hanya memikirkan kepentingan diri pribadi dan
kelompoknya. Adanya ‘budaya’ korupsi yang telah sejak lama menodai penyelenggaraan administrasi
negara di Indonesia menunjukkan bahwa etika administrasi negara telah sangat dilanggar oleh para
penyelenggara negara. Ketika etika untuk mengambil tindakan yang berhubungan langsung dengan
kegiatan negara dilanggar inilah maka dapat dipastikan etika politik dan pemerintah sama sekali tidak
diperhatikan. Dengan melihat semua fakta itulah, perlu adanya kesadaran bagi seluruh rakyat Indonesia
akan pentingnya etika administrasi negara yang mendasari baik buruknya suatu penyelenggaraan negara,
dan kemudian etika administrasi negara tersebut sangat menentukan bagaimana etika kehidupan
berbangsa, khususnya etika politik dan pemerintah.

8 (delapan) unsur administrasi negara, yaitu:

1. Organisasi
2. Manajemen
3. Komunikasi
4. Kepegawaian
5. Perbekalan
6. Keuangan
7. Ketatausahaan
8. Hubungan masyarakat
Delapan usnsur ini merupakan unsur-unsur yang tak dapat terlepas dari etika administrasi negara.
Sistem sensor, praktek organisasi, praktek manajemen, praktek kepegawaian apabila dijalankan sesuai
etika administrasi negara maka akann berlangsung dengan baik dan akan jauh lebih mudah dalam
mencapai tujuan bersama. Dalam suatu organisasi yang menjadi wadah bagi segenap kegiatan kerjasama
yang biasanya dilakukan dengan adanya kelompok-kelompok kerja yang kemudian juga berhubungan
dengan proses manajemen memperlihatkan bahwa etika administrasi negara lah yang paling berperan.
Karena sekalipun suatu organisasi telah menetapkan peraturan beserta sistem manajemennya akan
menjadi tidak berguna ketika ternyata etika administrasi negara tidak diperhatikan.

Dalam etika publik, setidaknya ada tiga perhatian (concern), antara lain:

1. Pelayan publik yang berkualitas dan relevan.


2. Dimensi normatif dan dimensi reflektif (bagaimana bertindak) menciptakan suatu institusi yang adil.
3. Modalitas etika, menjembatani agar norma moral bisa menjadi tindakan nyata (sistem, prosedur, sarana
yang memudahkan tindakan etika).
Berdasarkan concern etika publik tersebut, dapat dilihat adanya suatu sistem sensor yang menandai
keberadaan etika administrasi negara. Untuk melihat apakah pelayan publik berkualitas dan relevan,
apakah dimensi normatif dan reflektif sudah berjalan baik dan meciptakan suatu institusi yang adil dan
apakah modalitas etika sudah menjadi tindakan nyata membuat adanya suatu sistem sensor yang menjadi
penilai bagi perhatian publik yang ada.
2.3 Etika Administrasi Negara dalam Implementasinya

Dalam penerapannya banyak sudah contoh kasus yang ada di Indonesia berkaitan dengan etika
administrasi negara. Mulai dari hal terkecil saat pembuatan KTP, karena organisasi pemerintah tidak
melangsungkan hidupnya dengan etika, maka dengan mudah terjadi praktek pungutan liar yang
merugikan masyarakat. Hal itu juga yang kemudian membuat penilaian tentang buruknya manajemen
pemerintahan yang ada. Seharusnya, dalam keberlangsungan negara, adanya komunikasi sesuai etika
dapat berlangsung dengan benar baik antara pejabat pemerintah sebagai penyelenggara negara maupun
antara rakyat dan pemerintah agar tercipta suatu koordinasi yang kontekstual dan berdampak positif bagi
rakyat dan pemerintah. Dalam etika administrasi negara yang dapat dikatakan harus melingkupi semua
proses penyelenggaraan negara. Namun, pada prakteknya, kepegawaian di Indonesia seringkali berjalan
tidak sesuai dengan etika yang ada. Dapat dilihat dari awal, proses seleksi saja sudah mengindikasikan
adanya kecurangan misalnya dengan adanya kasus penyuapan untuk diterima sebagai PNS. Kecurangan
ini kemudian berdampak buruk, karena dengan kecurangan ini akan timbul sumber daya manusia yang
kurang berkualitas.

Sama halnya dengan ketatausahaan, tanpa etika administrasi negara, ketatausahaan akan
berlangsung tidak transparan dan merugikan masyarakat. Keuangan negara pun rusak karena
penyelenggaraan anggaran yang tidak berlandaskan etika administrasi negara, praktek korupsi ada
dimana-mana, akuntabilitas publik pun menjadi sesuatu yang sangat dipertanyakan keberadaannya, kalau
sudah begitu maka hubungan masyarakat pun tidak akan berjalan dengan baik. Masyarakat sudah
mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Penyelenggaraan negara terlihat berlangsung dengan
kacau, itu semua disebabkan karena pengabaian terhadap etika administasi negara.

Dengan melihat kenyataan tersebut, perlu adanya kesadaran baik dari pemerintah yang
menyelenggarakan kegiatan negara, maupun dari masyarakat yang semestinya dilayani dengan baik oleh
negara, semua kegiatan pemerintahan tidak lepas dari etika administrasi negara. Ketika eksistensi etika
tersebut dipertanyakan, maka semua komponen negara pun akan menjadi tak jelas kemana arah dan
tujuannya.
2.4 Contoh Kasus Terkait Pelanggaran Etika Administrasi Negara

News / Nasional

Urip Masih Diperiksa KPK, Meski Sudah 12 Jam


Senin, 3 Maret 2008 | 10:53 WIB

JAKARTA, SENIN - Walau mentari telah


memancarkan sinarnya ke bumi, Ketua tim
penyelidik kasus penyimpangan
penyerahan aset obligor atau pemegang
saham pengendali Kejaksaan Agung
terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia, Urip Tri Gunawan masih
diperiksa oleh tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi.

Hingga pukul 10.45 wiib, Urip belum menampakkan batang hidungnya di lobby KPK.
Juru Bicara KPK, Johan Budi SP, mengatakan hingga pagi ini Urip masih diperiksa
sebagai tersangka. "Masih ada dia. Kalau AS enggak ada," ujarnya ketika dihubungi
melalui telepon, Senin (3/3).

KPK memeriksa Urip sejak Minggu (2/3) sore kemarin. Urip tertangkap tangan
sedang menerima uang suap sebesar 660.000 dollar AS (sekitar Rp 6,1 miliar). Ini
berarti, Urip sudah diperiksa lebih dari 12 jam. Johan menambahkan pada pagi ini,
KPK juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap Wibobo terkait kasus aliran dana
Bank Indonesia sebesar Rp100 miliar.
Analisis :

Beberapa waktu lalu di Indonesia santer terdengar kasus yang berhubungan dengan etika
administrasi. Kasus terebut adalah kasus penyuapan. Kasus- kasus penyuapan yang terjadi dikaangan
birokrat Indoneia belakangan ini tentunya sangat bertentangan dengan etika administrasi.

Kasus yang berhubungan dengan etika dalam birokrasi pemerintahan ini melibatkan beberapa
profesi dalam bidang hukum dan ketatanegara yang melakukan pelanggaran terhadap etika seperti pejabat
administrasi negara, anggota legislatif, jaksa, hakim, kepolisian, pegawai perpajakan, dan lain sebagainya.

Kasus santer tentang penyuapan beberapa waktu lalu tersebut adalah kasus penyuapan Jaksa Urip
Tri Gunawan yang menerima suap sebesar 660 ribu dolar AS atau lebih dari Rp. 6 Miliar dari Arthalita
Suryani. Kasus ini merupakan kasus yang harus menjadi koreksi penegakan hukum di Indonesia dan
terutama dalam bidang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang rentan terhadap kasus penyuapan.

Pihak-pihak yang terlibat dalam kasus-kasus yang terjadi di dalam konteks etika berasal dari
seluruh elemen pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Padahal pejabat pemerintah baik
eksekutif, legislatif maupun yudikatif harus mematuhi etika jabatannya masing-masing. Etika dalam
birokrasi pemerintahan merupakan hal yang sangat penting untuk keberlangsungan penyelenggaraan
pemerintahan dan untuk menjaga citra birokrasi agar birokrasi pemerintahan terus mendapat kepercayaan
dari masyarakat.

Penangkapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan, telah membuka borok besar di tubuh Kejaksaan
Agung, khususnya Korps Adhyaksa. Ditangkapnya jaksa ketua penyidikan kasus Bantuan Likuiditas
Bank Indonesia (BLBI) untuk BDNI Urip Tri Gunawan memunculkan desakan agar Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mengambil alih penanganan kasus BLBI. KPK dinilai relative lebih
independen dan mendapat kepercayaan publik.

Kasus tertangkapnya jaksa penyelidik kasus BLBI Urip Tri Gunawan atas dugaan penerimaan
uang senilai 660 ribu dolar AS, diharapkan menjadi "shock teraphy" (terapi kejut) bagi para jaksa
sehingga mereka takut untuk menerima suap.

Jaksa merupakan profesi yang terhormat, oleh karenanya seorang jaksa yang terhormat
semestinya sudah teruji moralitasnya. Hal itu tercermin dalam perilaku dan kehidupannya, kemudian
dalam dia bertindak dalam profesinya. Dan yang terpenting dia bisa berbuat terbaik bagi bangsanya. Jaksa
bukan sebagai pelengkap dalam proses penegakan hukum. Dia harus bertanggung jawab sebagai organ
yang harus menegakkan hukum dan bagaimana supremasi hukum berjalan dengan baik.

Sekarang ini, banyak jaksa yang masih jauh dari harapan yang didambakan masyarakat. Para
jaksa sebagai penegak hukum harus konsisten menegakan hukum dengan menerapkan hukum dengan
baik. Sebagai penegak hukum harus memberi contoh menegakkan hukum yang baik, bukan sebaliknya,
memberi contoh menegakkan hukum tapi melanggar hukum. Ini sangat fatal. Hal itu juga menyebabkan
masyarakat bertanya terhadap penegakkan hokum yang ada.

Jadi jika ditarik inti dasar perlunya etika dalam administrasi negara adalah agar
administrator publik dapat mempertanggung jawabkan cara kerjanya berdasarkan pada nilai-nilai dalam
masyarakat demokratis.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penerapan etika adminitrasi dalam prakteknya terutama dalam administrasi


pemerintahan memiliki banyak aspek yang harus dijalankan dengan sebaik- baiknya, seperti
menjalankan asas-asas birokrasi pemerintahan yang baik, dengan mewujudkan prinsip
demokratis, keadilan sosial dan pemerataan serta mewujudkan kesejahteraan umum.

Berbicara masalah etika tentunya tidak terlepas dari sifat individu yang menjalankan
kegiatan baik itu dalam berorganisasi maupun kegiatan kesehariannya. Tentunya dalam praktek
menerapkan etika administrasi dalam pemerintahan perlu adanya kesadaran dari masing-masing
aparat birokrasi untuk benar-benar menjalankan tugas pokok dan fungsinya.

Selain itu dalam upaya penerapan etika administrasi pemerintahan yang baik, perlu
adanya aturan-aturan yang dibuat untuk mengatur para birokrat untuk tetap konsisten
menjalankan dan mengamalkan etika yang baik dalam administrasi pemerintah.

Jika dilihat kondisi Indonesia pada saat ini, melalui fakta-fakta yang ada, saat ini masih
banyak instansi-instansi pemerintah yang belum mampu menerapkan prinsip etika administrasi
yang baik, sekali lagi hal ini bertumpu pada kemauan individu-individu yang berkerja dalam
instansi tersebut untuk dapat merubah kebiasaan yang buruk dan mengantinya dengan
penerapan etika administrasi yang baik.

Diposting oleh NURSELLA SENJARIANI di 10.32


Meskipun pemerintah selalu mencanangkan untuk adanya reformasi pelayanan publik,
tetap saja selalu ada penyakit birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat sehingga banyak masyarakat yang mengeluhkan hal tersebut. Pelayanan
publik di Indonesia masih diwarnai dengan masalah ketidakjelasan birokrat dalam
melayani, sulitnya masyarakat dalam mengakses pelayanan yang dibutuhkan, pelayanan
yang tidak sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) sehingga dianggap
sangat berbelit-belit, banyaknya pungutan liar, ketidakjelasan birokrat dalam
memberikan kepastian waktu pelayanan sehingga banyak masyarakat yang merasa
waktu dan biaya-nya yang digunakan dalam mengurus dokumen di berbagai instansi
terbuang sia-sia, adanya diskriminatif antara kelompok rentan dengan yang lain, masih
banyaknya instansi yang menjadikan antrian panjang dalam pengurusan dokumen
sebagai tontonan sehari-hari, serta tidak jelasnya mekanisme komplain yang bisa
digunakan masyarakat untuk menyampaikan keluhan.

Baca Juga Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Siap Garap Potensi Kakao di
Putabangun Selayar
Powered by Inline Related Posts

Masalah yang telah disebutkan di atas merupakan fakta-fakta maupun hasil penelitian
yang dilakukan oleh peneliti-peneliti di Indonesia. Salah satu penyakit birokrasi yang
sangat meresahkan masyarakat adalah ketidakjelasan birokrasi dalam memberikan
pelayan, baik dari waktu, biaya, dan lain-lain. Hal ini terjadi di salah satu instansi yang
penulis pernah rasakan buruknnya pelayanan yang diberikan. Ketika mengurus
dokumen, terlihat bahwa ruangan atau loket pelayanan hanya beberapa yang di isi oleh
pegawai sehingga menyebabkan adanya antrian panjang karena kurangnya pegawai
yang melayani. Kedua ketika melayani masyarakat, pegawai masih sempat
menyibukkan diri untuk menggunakan handphone baik untuk nonton maupun bermain
game sehingga pelayanan yang diberikan sangat lama, padahal ada jadwal waktu yang
diberikan kepada pegawai kapan harus melayani dan kapan harus istirahat. Ketiga
banyaknya alasan pegawai yang dianggap tidak masuk akal untuk menunda pengurusan
dokumen yang diinginkan masyarakat, baik dari sarana prasarana yang rusak,
ketidakhadiran birokrat yang diinginkan tanda tangannya maupun pegawai yang
diberikan kewenangan untuk mencetak dokumennya sehingga dokumen tersebut
ditahan dan masyarakt dihimbau untuk menunggu dalam beberapa hari kemudian, dan
sebagainya. Keempat mekanismen komplain yang tidak jelas bahkan keluhan yang
dirasakan masyarakat kadang tidak mampu dipecahkan. Ketika ingin menyampaikan
keluhan di ruang pengaduan, terlihat bahwa diruangan itu tidak ada pegawai sehingga
masyarakat tidak mampu menyampaikan keluhannya.

Permasalahan tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak buruknya pelayanan
publik di Indonesia. Banyak kemudian anggapan yang menunjukkan bahwa monopoli
di lingkungan pemerintah dalam melayani masyarakat menjadi penyebab yang utama.
Karena masyarakat dalam mengurus suatu dokumen, mau tidak mau harus ke instansi
pemerintah yang diinginkan, karena organisasi publik seperti instansi pemerintah tidak
seperti perusahaan swasta yang tidak memiliki pesaing sehingga birokrasi tidak
memperdulikan keluhan – keluhan masyarakat. padahal prinsip tersebut sangat
menyimpang dari adanya Good Governance atau tata kelola pemerintahan yang baik.
Hal ini membuktikan bahwa ternyata citra pelayanan publik oleh birokrasi di Indonesia
lebih mendominasi pada sisi buruknya daripada prestasi yang diraih.
Melihat masalah – masalah tersebut yang dianggap sudah tidak asing di Indonesia. Hal
ini sangat meresahkan masyarakat. Suatu hal yang sangat penting bagi pemerintah
Indonesia untuk menindaklanjuti dengan serius tentang buruknya pelayanan publik di
Indonesia. Banyak inovasi atau strategi yang bisa digunakan pemerintah untuk
reformasi pelayanan publik, misalnya banyak melakukan dialog publik maupun dialog
dengan akademisi – akademisi yang ahli dalam bidang pelayanan publik, memberikan
ketegasan kepada penyelenggara pelayanan publik, bahkan pemerintah juga bisa belajar
dari Negara – Negara maju yang telah menerapkan pelayanan publik yang sangat
diharapkan masyarakat, dan sebagainya. Pemerintah harus melakukan reformasi
pelayanan publik yang mampu menunjukkan peningkatan secara signifikan untuk
mengembalikan kepercayaan publik kepada birokrasi atau pemerintah. Karena pada
konsepnya, apabila pemerintah tidak mampu memenuhi apa yang dibutuhkan
masyarakat (tidak mampu melayani dengan baik) maka secara perlahan kepercayaan
publik akan menurun terhadap pemerintah, dan apabila kepercayaan publik itu sudah
menurun bahkan telah hilang untuk pemerintah maka instansi pemerintah atau
organisasi publik tersebut dianggap gagal.

Anda mungkin juga menyukai