Anda di halaman 1dari 23

PERILAKU KORUPSI DALAM PERSPEKTIF ETIKA PEMERINTAHAN

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah Satu Tugas


Mata Kuliah Etika dan Filsafat Pemerintahan
Pada Program Magister Ilmu Pemerintahan
Pascasarjana Universitas Langlangbuana

Disusun Oleh :

1. Seni Dwi Oktavia L230170009


2. Rohmatika L2301700
3. Hestin Prabawati L23017000
4. Annisa Larasati L23017000
5. Ajeng L2301700

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS LANGLANGBUANA
BANDUNG
2018
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1

I.1 Latar Belakang..............................................................................1

I.2 Rumusan Masalah.........................................................................2

I.3 Tujuan Penulisan...........................................................................2

I.4 Manfaat Penulisan........................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...............................................................................3

2.1 Etika Pemerintahan..........................................................................3


2.2 Nilai-Nilai Etika dalam Pemerintahan.............................................4
2.3 Wujud Etika dalam Pemerintahan....................................................5
2.4 Fenomena Perilaku Korupsi dan Contoh Kasusnya........................6
2.5 Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi.........................13
2.5.1 Upaya Pencegahan (Preventif).............................................14
2.5.2 Upaya Penindakan (Kuratif).................................................14
2.5.3 Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa...............................15
2.5.4 Upaya Edukasi LSM.............................................................15

BAB III PENUTUP.....................................................................................17


3.1 Kesimpulan....................................................................................17
3.2. Saran.............................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah yang berjudul
“Perilaku Korupsi Dalam Perspektif Etika Pemerintahan” Shalawat beserta
salam kami sampaikan kepada junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW beserta
keluarga dan sahabat-sahabatnya yang telah mengangkat manusia dari alam
kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.

Dalam penulisan makalah ini kami banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah turut membantu dan memberi saran kepada penulisan makalah kami ini.

Kami sadar bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, hal itu di
karenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan kami. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kami memohon maaf apabila
dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan dan kesilapan.

Kami akhiri wabillah hitaufik hidayah wassalammu’alaikum wr………wb

Banjar, 09 Desember 2018

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di dalam diri manusia terdapat dua kepentingan yaitu kepentingan individu


dan kepentingan bersama. Kepentingan individu didasarkan pada manusia sebagai
makhluk indivu, karena diri manusia selalu ingin memenuhi kebutuhan pribadi.
Kepentingan bersama didasarkan pada manusia sebagai makhluk sosial (kelompok)
yang ingin memenuhi kebutuhan bersama.

Dalam hidup bermasyarakat diperlukan aturan-aturan dan ketentuan-


ketentuan. Aturan dan ketentuan dimaksud dapat dalam bentuk Undang-Undang
Dasar (Tertulis) atau aturan-aturan dasar (tidak tertulis). Dalam berorganisasi
khususnya organisasi pemerintah, aturan ini menjadi hal yang sangat penting karena
hal ini merupakan bekal dasar yang harus dimiliki oleh seorang individu atau
kelompok saat berada dalam suatu lingkungan.

Etika merupakan suatu acuan dalam berperilaku bagi individu maupun


kelompok dimana dalam ilmu etika menjelaskan mana yang baik dan mana yang
buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui
oleh akal pikiran. Di Indonesia permasalah terkait etika pemerintahan sangat
beragam, salah satu diantaranya adalah kasus korupsi. Pembahasan mengenai etika
dalam pemerintahan ini merupakan cikal bakal terciptanya suatu sistem pemerintahan
yang sukses dan tidak melenceng dari jalur norma-norma yang ada. Hal ini berkaitan
erat terhadap menguatnya fenomena korupsi nepotisme dan segala bentuk
penyelewengan lainnya yang telah menggerogoti institusi pemerintahan yang marak
terjadi saat ini.
I.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang kami kaji dalam makalah ini adalah :

1. Bagaimana Fenomena Korupsi Jika Ditinjau Dari Perspektif Etika


Pemerintahan.

2. Bagaimana Upaya-Upaya Dalam Menanggulangi Korupsi Dari Sudut


Pandang Etika Pemerintahan.

I.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui Fenomena Korupsi Jika Ditinjau dari Perspektif Etika


Pemerintahan.

2. Untuk mengetahui Upaya-Upaya dalam Menanggulangi Korupsi dari Sudut


Pandang Etika Pemerintahan.

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang diharapkan dari makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Bagi penulis sebagai wahana untuk menambah wawasan peneliti agar lebih baik
lagi, khususnya mengenai Fenomena Korupsi Jika Ditinjau dari Perspektif Etika
Pemerintahan.
2. Bagi kepentingan akademisi makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk
peneliti selanjutnya, khususnya mengenai Upaya-Upaya dalam Menanggulangi
Korupsi Dari Sudut Pandang Etika Pemrintahan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Etika Pemerintahan

Etika Pemerintahan adalah ajaran untuk berperilaku yang baik dan benar
sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia.
Dalam Etika Pemerintahan terdapat juga masalah kesusilaan dan kesopanan dalam
aparat, aparatur, struktur dan lembaganya. Etika pemerintahan mengamanatkan agar
pejabat pemerintah memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan
kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan
sistem nilai atau pun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa
dan negara.

Etika ini dimaksud untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efesien dan
efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang bercirikan
keterbukaan, rasa bertanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai
perbedaan, jujur dalam persaingan, kesediaan untuk menerima pendapat yang lebih
benar walau datang dari orang per-orang ataupun kelompok orang, serta menjunjung
tinggi Hak Asasi Manusia.

Landasan Etika Pemerintahan:

1. Pancasila
2. UUD 1945
3. Tap MPR No. 11
4. UU No. 28 1999
5. UU No. 45 1999 (Kepegawaian)
6. UU No. 32 2004
Pentingnya Etika:
1. Etika sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya,
atau yang disebut dengan “sistem nilai
2. Sebagai kumpulan asas-asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan
“kode etik”
3. Sebagai ilmu tentang baik dan buruk atau yang disebut dengan “filsafar
moral”
Tujuan etika:
1. Untuk meredam kecenderungan kepentingan pribadi.
2. Etika bersifat kompleks, dalam banyak kasus bersifat dilematis, karena itu
diputuskan yang bisa memberikan kepastian tentang mana yang benar dan
salah, baik dan buruk.
3. Perbedaan etika dan etiket:
4. Etika lebih menggambarkan norma tentang perbuatan itu sendiri. Misalnya,
mengambil barang milik orang tanpa ijin tidak boleh diperbolehkan. Etika
apakah perbuatan itu boleh atau tidak boleh dilakukan.
5. Etiket menggambarkan cara suatu perbuatan itu dilakukan manusia dan
berlaku hanya dalam pergaulan atau berinterkasi dengan orang lain an
cenderung berlaku dalam kalangan tertentu saja, misalnya, member barang
dengan tangan kiri, de kalangan tertentu hal ini merupakan tidak sopan akan
tetapi tidak begitu dengan kalangan lainnya.

2.2 Nilai-nilai Etika Dalam Pemerintahan

Etika pemerintahan disebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan


yang berhubungan dengan hak-hak dasar warga negara selaku manusia sosial
(mahluk sosial). Nilai-nilai keutamaan yang dikembangkan dalam etika pemerintahan
adalah :
1. Penghormatan terhadap hidup manusia dan HAM lainnya.

2. kejujuran baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya


(honesty).

3. Keadilan dan kepantasan merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan


terhadap orang lain.

4. kekuatan moralitas, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan


(fortitude).

5. Kesederhanaan dan pengendalian diri (temperance).

6. Nilai-nilai agama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar manusia harus
bertindak secara profesionalisme dan bekerja keras.

2.3 Wujud Etika Dalam Pemerintahan

Wujud etika pemerintahan tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan


dalam UUD baik yang dikatakan oleh dasar negara (pancasila) maupun dasar-dasar
perjuangan negara (teks proklamasi). Di Indonesia wujudnya adalah pembukaan
UUD 1945 sekaligus pancasila sebagai dasar negara (fundamental falsafah bangsa)
dan doktrin politik bagi organisasi formil yang mendapatkan legitimasi dan serta
keabsahan hukum secara de yure maupun de facto oleh pemerintahan RI, dimana
pancasila digunakan sebagai doktrin politik organisasinya. Mewujudkan pemerintah
yang baik dan sehat (Good Governance) :

a. Pemerintahan yang konstitusional (Constitutional)


b. Pemerintahan yang legitimasi dalam proses politik dan administrasinya
(legitimate)
c. Pemerintahan yang digerakkan sektor publik, swsata dan masyarakat
(public, private and society sector )
d. Pemerintahan yang digerakkan sektor publik, swsata dan masyarakat
(public, private and society sector )
e. Pemerintahan yang menguatkan fungsi : kebijakan publik (Public Policy ),
pelayanan publik (Public Service), otonomi daerah (Local Authonomy),
pembangunan (Development ), pemberdayaan masyarakat ( Social
Empowering ) dan privatisasi ( Privatization )

2.4 Fenomena Perilaku Korupsi di Indonesia dan Contoh Kasusnya

Pada saat ini banyak sekali kasus-kasus muncul berkaitan dengan


permasalahan etika dalam organisasi pemerintahan. Salah satu contoh nyata yang
masih saja dilakukan oleh individu dalam organisasi pemerintah yaitu KKN. Adapun
definisi dari KKN yaitu suatu tindak penyalahgunaan kekayaan negara, yang
melayani kepentingan umum, untuk kepentingan pribadi atau perorangan. Akan tetapi
praktek korupsi sendiri, seperti suap atau sogok, banyak ditemui di tengah masyarakat
tanpa harus melibatkan hubungan negara.

Praktek KKN dalam organisasi pemerintah khususnya, menjadi masalah


berkaitan dengan etika organisasi pemerintah Karena ini merupakan penyelewengan
dari apa yang seharusnya dilakukan dan dimiliki oleh seorang individu dalam
organisasi pemerintah, yakni melayani rakyat dengan baik dan berusaha memberikan
yang terbaik bagi rakyat. Akan tetapi, dengan adanya peraktek KKN jelas merugikan
bangsa dan negara.

Korupsi biasanya yang tergambarkan ialah adanya seorang pejabat tinggi yang
dengan rakus menggelapkan uang pajak, mengumpulkan komisi, atau menggunakan
uang negara lainnya bagi kepentingan pribadi. Korupsi sebagian besar dikaitkan
dengan penggelapan sejumlah uang atau hal-hal yang bersifat material. Dalam
pembendarahan kata bahasa Indonesia, korupsi diartikan sebagai suatu perbuatan
busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang, sogok dan sebagainya
(Poerwadarminta, 1976).
Untuk pertama kalinya korupsi menjadi istilah yuridis dalam peraturan
penguasa militer PRT/PM/06/1957 tentang pemberantasan korupsi . di dalam
peraturan ini, korupsi diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang merugikan
keuangan pula tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi, yaitu:

1. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga untuk kepentingan diri
sendiri, untuk kepentingan orang lain, atau untuk kepentingan suatu badan yang
langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan dan perekonomian negara.

2. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau
upah dari keuangan negara ataupun dari suatu badan yang menerima bantuan
dari keuangan negara atau daerah yang dengan mempergunakan kesempatan
atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan,
langsung atau tidak langsung membawa keuntungan atau material baginya.

Akan tetapi dapat dilihat bahwa istilah korupsi mengandung makna dan
pengertian yang begitu luas. Luasnya pengertian ini didukung oleh kenyataan bahwa
korupsi selalu dilakukan oleh manusia yang punya itikad kurang baik, dan mnausia
sebagai subyek tidak pernah kehabisan cara untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak
baik tersebut. Selama kegiatan administratif dilaksanakan oleh manusia dan
pengambilan keputusan dilakukan oleh manusia, maka akan selalu terdapat peluang
akan terjadinya korupsi.

Korupsi terjadi bila seorang pegawai negeri menyalahgunakan wewenang


yang ada padanya untuk memperoleh penghasilan tambahan bagi dirinya dari
masyarakat. Seorang pejabat dikatakan melakukan tindak korupsi apabila menerima
hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil
keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Hadiah yang
diberikan oleh seseorang mungkin sesungguhnya tidak mengandung potensi apa-apa.
Namun efek buruk dari penerimaan hadiah tersebut akan muncul bila keputusan
seorang tokoh atau pejabat ternyata tergantung kepada ada atau tidaknya hadiah tadi.
Dan sejak itulah sebenarnya seorang pejabat telah melakukan korupsi. Imbalan atau
balasan dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk
diteruskan kepada keluarganya, partainya maupun orang-orang yang punya hubungan
pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi walaupun dia tidak
menerima uang atau keuntungan lain secara langsung.

Nepotisme juga punya kaitan erat dengan korupsi meskipun istilah ini kurang
mendapatkan perhatian yang memadai dari para penulis masalah korupsi . nepotisme
adalah usaha-usaha yang disengaja oleh seorang pejabat dengan memanfaatkan
kedudukan dan jabatannya untuk menguntungkan posisi, pangkat, dan karier diri
sendiri, famili, atau kawan dekatnya dengan cara-cara yang tidak adil (unfair).
Pemilihan atau pengangkatan orang pada jabatan tertentu terkadang tidak melalui
cara-cara yang rasional dan seleksi yang terbuka melainkan hanya tergantung rasa
suka atau tidak suka. Keuntungan yang dinikmati untuk diri sendiri, kelompok,
maupun keluarga ini dapat berupa kewenangan, pangkat, kesempatan, atau
keuntungan material. Sepintas lalu nepotisme tidak membawa banyak kerugian bagi
masyarakat, tetapi kita akan melihat bahwa jika dibiarkan berlarut-larut ia akan
sangat berbahaya bagi kewibawaan admiistrasi pemerintahan. Nepotisme dapat
terjadi sejak tingkat manajemen operasional sampai pada keputusan-keputusan
penting tingkat nasional yang melibatkan urusan-urusan politis.

Sisi lain dari nepotisme dapat menjelma sebagai korupsi jabatan. Seseorang
memanfaatkan kedudukan dan wewenangnya untuk menggunakan fasilitas-fasilitas
istimewa yang disediakan oleh negara sehingga sampai-sampai mengurus
sumberdaya yang dimiliki negara. Selain itu terdapat pula istilah-istilah yang merujuk
kepada modus operandi tindakan korupsi. Istilah penyogokan (graft) merujuk kepada
pemberian hadiah atau upeti untuk maksud mempengaruhi keputusan orang lain.
Pemerasan (extortion), yang diartikan sebagai tindakan korupsi. Kecuali itu ada
istilah penggelapan (fraud), untuk menunjuk kepada tindakan pejabat yang
menggunakan dana publik yang mereka urus untuk kepentingan diri sendiri sehingga
harga yang harus dibayar oleh masyarakat menjadi lebih mahal.

Buruknya etika pejabat negara dengan mengabaikan kewajibannya kepada


negara dan rakyat. Perilaku korupsi yang sangat berakar dalam lingkungan sosial
ekonomi masyarakat juga ditunjang dengan lemahnya penerapan berbagai aturan
tentang etika pejabat negara dalam penyelenggaraan pemerintahan sehingga mereka
cenderung memperlakukan jabatan sebagai hak milik. Sebagaimana Ryaas Rasyid
(2007) menyatakan, setiap perilaku pejabat negara atau pejabat publik yang tidak
mendukung apalagi menghambat kepada pelayanan, pemberdayaan dan
pembangunan, maka, sudah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran etika.
Pelanggaran etika pejabat negara ini yang membawa Indonesia belum bersih dari
tindak pidana korupsi. Namun harapan dan tekanan publik untuk terciptanya
pemerintahan atau negara yang bebas dari praktik korupsi juga semakin menguat.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang menunjukkan sebuah kemauan politik
untuk menegakkan etika pejabat negara sebenarnya sudah cukup banyak.

Dimulai dari Falsafah Pancasila dan Konstitusi/UUD 1945 Negara RI;


kemudian TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; lalu UU Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme dan UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 8 Tahun
1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ( LN No. 169 dan Tambahan LN No. 3090
); kemudian UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dirubah
dengan UU Nomor 3 Tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan
Daerah; serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 tentang Disiplin Pegawai Negeri .

Ironisnya, peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan etika


pejabat negara di atas cenderung dilanggar oleh mereka sendiri dengan perbuatan
melawan hukum, seperti korupsi yang dilatari oleh penyalahgunaan wewenang,
persekongkolan untuk memperkaya diri sendiri, tidak efisien dalam mengelola
keuangan negara, perbuatan yang merugikan keuangan negara, yang berakibat
terganggunya pelayanan publik dan pemerintahan. Kurangnya etika pejabat publik
dan birokrasi yang tidak transparan, mengabaikan kewajiban untuk kepentingan
rakyat dan melayani dirinya sendiri, penyalahgunaan kewenangan dengan cara
melawan hukum sebagaimana digambarkan di atas, adalah merupakan penyebab dari
timbulnya kasus hukum dalam Pembangunan Proyek Kawasan Hambalang yakni
Pembangunan Pusat Olahraga di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, yang melibatkan
Kementerian Pemuda dan Olahraga sehingga menjadi berita yang menyedot
perhatian publik pada rentang 2012 dan 2013.

Dimana kasus korupsi Proyek Hambalang mulai terkuak ketika Koordinator


Anggaran Komisi X DPR RI yang juga Bendahara Umum Partai Demokrat,
Muhammad Nazaruddin, ditangkap. Nazar mulai mengungkap berbagai aktivitas
korupsi yang melibatkannya, salah satunya korupsi pada Proyek Hambalang yang
ternyata juga melibatkan koleganya di Partai Demokrat, di antaranya Anas
Urbaningrum, Andi Alfian Mallarangeng, dan Angelina Sondakh. Selanjutnya, Nazar
juga mengungkapkan keterlibatan pihak Kementerian Pemuda dan Olahraga
(Kemenpora) serta pihak swasta, yakni PT Adi Karya dan PT Wijaya Karya (Wika).
Informasi tentang adanya korupsi Hambang mulai diselidiki oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 1 Agustus 2011. Pada 8 Februari 2012, Nazar
kembali memberikan kesaksiannya di KPK. Nazar mengungkapkan bahwa ada uang
Rp 100 miliar hasil dari korupsi proyek Hambalang yang dibagi-bagi. Rp 50 miliar
digunakan untuk pemenangan Anas sebagai Ketua Umum Partai Demokrat; sisanya
Rp 50 miliar dibagi-bagi kepada anggota DPR RI, termasuk kepada Menpora, Andi
Alfian Mallarangeng.

Kasus Hambalang sesungguhnya merupakan penyimpangan dari proses


pengadaan barang dan jasa pemerintah, yaitu penyimpangan terhadap prinsip bahwa
pengadaan barang dan jasa merupakan upaya pemenuhan kebutuhan publik yang
bermanfaat bagi masyarakat luas, tersedia dan dapat diakses oleh semua anggota
masyarakat tanpa terkecuali. Penyimpangan ini muncul arena adanya kekuasaan dan
kemampuan anggota masyarakat tertentu dalam mencari keuntungan bagi dirinya
sendiri dengan memanfaatkan sumber daya yang ada di masyarakat.

Bergulirnya kasus Hambalang yang menyeret beberapa kader sehingga


menimbulkan perpecahan di tubuh Partai Demokrat. Anas Urbaningrum, Ketua
Umum Partai Demokrat, yang terpilih dalam Kongres Bandung pada 2010, akhirnya
mengundurkan diri. Hal ini sejalan dengan penetapan dirinya menjadi tersangka oleh
KPK. Gonjang-ganjing diinternal Partai Demokrat mencerminkan dua kubu yang
bertikai; yakni kubu SBY dan kubu Anas. Kongres Luar Biasa (KLB) Partai
Demokrat 30--31 Maret 2013 akhirnya menunjuk SBY yang sebelumnya menjadi
Dewan Pembina Partai, menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Perpecahan di Partai
Demokrat menyebabkan tingkat elektabilitas Partai Demokrat menurun. Hasil
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 12 September - 5 Oktober 2013, elektabilitas
Partai Demokrat telah berada di 9,8 persen. Hal ini menunjukkan elektabilitas Partai
Demokrat terus merosot dari waktu ke waktu.

Perpecahan internal dan kasus korupsi yang melanda sejumlah petinggi


Demokrat menjadi faktor utama merosotnya elektabilitas Partai Demokrat. Kampanye
Demokrat pada 2009 yang menyuarakan anti korupsi nyatanya menjadi kontradiksi
dengan terlibatnya petinggi Demokrat dalam kasus korupsi. Terbongkarnya skandal
Hambalang menjelang Pemilu 2014, sangat berpengaruh terhadap perolehan suara
Partai Demokrat. Terlebih pemberitaan media yang menyorot partai ini dengan tajam
dan cenderung negatif. Fenomena penurunan suara Partai Demokrat adalah salah satu
implikasi politis dari pelanggaran etika pejabat publik dalam skandal P3SON
Hambalang. Implikasi ini dapat dihitung secara kuantitatif berdasar dari jumlah suara
Partai Demokrat yang hilang jika dibandingkan dengan Pemilu Legislatif 2009.
Implikasi politis kasus ini memang paling terasa bagi Partai Demokrat, karena
citra partai bersih yang dibangun sejak 2004 seketika runtuh. Selain itu, implikasi
politik secara kuantitatif juga mungkin dirasakan oleh partai politik lain yang menjadi
peserta Pemilu Legislatif 2014. Terdapat implikasi politis lain yang tidak bisa
dihitung secara kuantitatif, yaitu berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap
politisi muda untuk mengemban amanah sebagai pejabat publik. Kasus Hambalang
juga menunjukkan bahwa terdapat persekongkolan jahat antara pejabat publik dan
pihak swasta untuk menggerogoti dana proyek negara yang bersumber dari APBN.

Simpulannya bentuk pergulatan kepentingan politik dalam kasus Proyek


Hambalang melibatkan eksekutif dan legislatif terutama dari salah satu fraksi di DPR
memicu terjadinya perbuatan melanggar etika pejabat negara yang juga melibatkan
swasta untuk bersama-sama mengorupsi uang negara. Pergulatan kepentingan politik
dengan tujuan memperoleh sumber keuangan tersebut membuat oknum eksekutif
maupun legislatif melakukan pelanggaran etika pejabat negara berupa tindakan tidak
jujur, memanipulasi data dan mengabaikan prinsip pemerintahan yang baik dan
transparan, professional serta akuntabel. Selanjutnya, implikasi politik yang
ditimbulkan oleh kasus korupsi dalam pelaksanaan Proyek Hambalang terhadap
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih menunjukkan bahwa keberadaan partai
politik dalam lingkup kekuasaan sangat mudah untuk melakukan tindakan korupsi.
Secara mikro, implikasi politisnya adalah penurunan suara Partai Demokrat dalam
Pemilu Legislatif 2014, sedang secara makro implikasi politisnya adalah penurunan
kepercayaan masyarakat terhadap partai politik.

Dengan mengkaji berbagai pengertian dan definisi di seputas istilah korupsi


ini, maka dapat diuraikan unsur-unsur dominan yang melekat pada tindakan korupsi,
antara lain:

1. Setiap korupsi bersumber pada kekuaasaan yang didelegasikan, Pelaku-pelaku


korupsi adalah orang-orang yang memperoleh kekuatan atau wewenang dari
perusahaan atau negara dan memanfaatkannya untuk kepentingan-kepentingan
lain.

2. Korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontrakdiktif dari pejabat-pejabat yang


melakukannya.

3. Korupsi dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.


Oleh karena itu korupsi akan senantiasa bertentangan dengan kepentingan
organisasi, kepentingan negara atau kepentingan umum.

4. Orang-orang yang mempraktekkan korupsi biasanya berusaha untuk


menrahasiakan perbuatannya. Mungkin saja korupsi sudah begitu menjarah
sehingga banyak sekali orang yang terlibat korupsi.

5. Korupsi dilakukan secara sadar dan disengaja oleh para pelakunya. Dalam hal
ini tidak ada keterkaitan antara tindakan korup dengan kapasitas rasional
pelakunya.

Maka dapat dikemukakan secara singkat bahwa korupsi mempunyai


katakteristik sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan dengan melibatkan
unsur-unsur tipu muslihat, ketidakjujuran dan penyembunyian suatu kenyataan.
Korupsi merupakan tindakan yang merugikan negara, secara langsung maupun tidak
langsung. Ditinjau dari berbagai aspek normatif, korupsi merupakan suatu
penyimpangan atau pelanggaran. Norma sosial, norma hukum, maupun norma etika
pada umumnya secara tegas menganggap korupsi sebagai tindakan yang buruk.
Hanya saja sering terjadi bahwa korupsi mengambil bentuk-bentuk tindakan yang
licik, membudaya, dan sulit dideteksi, sehingga kadang-kadang masyarakat tidak
menyadari bahwa lingkungan mereka telah dijangkiti penyakit korupsi.

2.5 Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi


Partisipasi dan dukungan dari masyarakat sangat dibutuhkan dalam
mengawali upaya-upaya pemerintah melalui KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
dan aparat hukum lain. KPK yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi,
menanggulangi, dan memberan-tas korupsi, merupakan komisi independen yang
diharapkan mampu menjadi “martir” bagi para pelaku tindak KKN.
Adapun agenda KPK adalah sebagai berikut :

1. Membangun kultur yang mendukung pemberantasan korupsi.

2. Mendorong pemerintah melakukan reformasi public sector dengan


mewujudkan good governance.

3. Membangun kepercayaan masyarakat.

4. Mewujudkan keberhasilan penindakan terhadap pelaku korupsi besar.

5. Memacu aparat hukum lain untuk memberantas korupsi.

Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di
Indone-sia, antara lain sebagai berikut :

a. Upaya pencegahan (preventif).

b. Upaya penindakan (kuratif).

c. Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa.

d. Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

2.5.1 Upaya Pencegahan (Preventif)


a. Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan
pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan
agama.

b. Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan teknis.

c. Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan memiliki
tang-gung jawab yang tinggi.

d. Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada jaminan
masa tua.

e. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang tinggi.

f. Sistem keuangan dikelola oleh para pejabat yang memiliki tanggung jawab
etis tinggi dan dibarengi sistem kontrol yang efisien.

g. Melakukan pencatatan ulang terhadap kekayaan pejabat yang mencolok.

h. Berusaha melakukan reorganisasi dan rasionalisasi organisasi pemerintahan


mela-lui penyederhanaan jumlah departemen beserta jawatan di bawahnya.

2.5.2 Upaya Penindakan (Kuratif)


Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar
dengan dibe-rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum
pidana.

2.5.3 Upaya Edukasi Masyarakat/Mahasiswa

a. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol


sosial terkait dengan kepentingan publik.
b. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.

c. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari pemerintahan desa
hingga ke tingkat pusat/nasional.

d. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang penyelenggaraan


peme-rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.

e. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan aktif


dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.

2.5.4 Upaya Edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)

a. Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah yang


meng-awasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di Indonesia
dan terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk
memberantas korupsi me-lalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat
melawan praktik korupsi. ICW lahir di Jakarta pd tgl 21 Juni 1998 di tengah-
tengah gerakan reformasi yang menghendaki pemerintahan pasca Soeharto yg
bebas korupsi.

b. Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan


memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba
se-karang menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju
organisasi yang demokratik. Publikasi tahunan oleh TI yang terkenal adalah
Laporan Korupsi Global. Survei TI Indonesia yang membentuk Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) In-donesia 2004 menyatakan bahwa Jakarta sebagai
kota terkorup di Indonesia, disu-sul Surabaya, Medan, Semarang dan Batam.
Sedangkan survei TI pada 2005, In-donesia berada di posisi keenam negara
terkorup di dunia. IPK Indonesia adalah 2,2 sejajar dengan Azerbaijan,
Kamerun, Etiopia, Irak, Libya dan Usbekistan, ser-ta hanya lebih baik dari
Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti &
Myanmar. Sedangkan Islandia adalah negara terbebas dari korupsi.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

a. Korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau


perusahaaan) dan sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain serta
selalu mengandung unsur penyelewengan dan ketidakjujuran.
b. Rendahnya moralitas para pelaku pemerintahan inilah yang menjadi faktor
utama terjadinya kecurangan dan berbagai penyimpangan dalam bisnis.

c. Peran serta pemerintah dalam pemberantasan korupsi ditunjukkan dengan


KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan aparat hukum lain. KPK yang
ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk mengatasi, menanggulangi dan
memberantas korup.si.

d. Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dlam memberantas tindak korupsi
di Indonesia, antara lain :upaya pencegahan (preventif), upaya penindakan
(kuratif), upaya edukasi masyarakat/mahasiswa dan upaya edukasi LSM
(Lembaga Swada-ya Masyarakat).

e. Etika seseorang dapat mulai ditanamkan semenjak ia masih kecil, ketika


dirinya masih merupakan sosok pibadi yang lugu dan utuh.

3.2 Saran

1. Pemerintah hendaknya memaksimalisasi kinerja lembaga pengawasan,


sehingga kontrol pemerintahan dapat berjalan dengan efektif.

2. Dalam melakukan proses rekrutimen hendaknya diterapkan proses merit


sistem dengan prinsip good governance untuk meminimalisir tindak
korupsi.

3. Setiap birokrat hendaknya memegang teguh kode etiknya dalam setiap


tingkah laku, sehingga korupsi tidak akan terjadi.
DAFTAR PUSTAKA

Hamalik, Oemar. 2005. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi


Aksara.
Kumarotomo, Wahyudi. 1996. Etika Administrasi Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

Ndraha, Taliziduhu. 2005. Teori Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka cipta.

Widjaja, A.W. 1993. Etika Administrasi Negara. Palembang: Bumi Aksara.

WEB

https://agus91makmun.wordpress.com/2013/05/04/etika-pemerintahan/

https://arifalauddin.wordpress.com/2010/06/19/%E2%80%9Dkorupsi-sebagai-salah-
satu-penyimpangan-etika-analisis-sebab-dan-solusi%E2%80%9D/

https://media.neliti.com/media/publications/75540-ID-etika-organisasi-dalam-
memberantas-korup.pdf

http://e-journal.uajy.ac.id/2801/2/1KOM03897.pdf

http://www.bpkp.go.id

http://www.wikipedia.org

Anda mungkin juga menyukai