Flippo (1984:527) dalam Randall & Susan (1996:217) mengemukakan bahwa kecelakaan
adalah suatu peristiwa yang tidak direncanakan dan harus dianalisis dari segi biaya dan sebab-
sebabnya. Setiap kejadian kecelakaan memberikan dampak kerugian dan kerusakan, harta benda
atau properti dan proses produksi bagi perusahaan atau karyawan yang mengalami kecelakaan
tersebut. Dampak krusial bagi perusahaan atas terjadinya kecelakaan kerja yaitu terhambatnya
produktivitas kinerja perusahaan. Pada dasarnya, akibat dari peristiwa kecelakaan dapat dilihat
dari besar-kecilnya biaya yang dikeluarkan bagi terjadinya suatu peristiwa kecelakaan. Menurut
(Tarwaka,2008) dalam Wahju (2014:231) Secara garis besar kerugian akibat kecelakaan kerja
dapat dikelompokkan menjadi:
1. Kerugian/Biaya Langsung (Direct Cost)
Yaitu suatu kerugian yang dapat dihitung secara langsung mulai dari terjadinya
peristiwa sampai dengan tahap rehabilitasi, seperti; penderitaan tenaga kerja yang
mendapat kecelakaan dan keluarganya, biaya angkut dan biaya rumah sakit, biaya
kompensasi pembayaran asuransi kecelakaan, upah selama tidak mampu bekerja dan
biaya perbaikan peralatan yang rusak, dll.
2. Kerugian/Biaya Tidak Langsung (Indirect Costs)
Yaitu merupakan kerugian berupa biaya yang dikeluarkan dan meliputi sesuatu yang
tidak terlihat pada waktu atau beberapa waktu setelah terjadinya kecelakaan. Biaya tidak
langsung ini mencakup antara lain:
a. Hilangnya waktu kerja dari tenaga kerja yang mendapat kecelakaan
b. Hilangnya waktu kerja dari tenaga kerja lain, seperti rasa ingin tahu dan rasa simpati
serta setia kawan untuk membantu dan memberikan pertolongan pada korban,
mengantar ke rumah sakit, dll
c. Terhentinya proses produksi sementara, kegagalan pencapaian target, kehilangan
kompensasi, dll
d. Kerugian akibat kerusakan mesin, perkakas atau peralatan kerja lainnya
e. Biaya penyelidikan dan sosial lainnya, seperti mengunjungi tenaga kerja yang sedang
menderita akibat kecelakaan, menyelidiki sebab-sebab terjadinya kecelakaan,
mengatur dan menunjuk tenaga kerja lain untuk meneruskan pekerjaan dari tenaga
kerja yang menderita kecelakaan, merekrut dan melatih tenaga kerja baru dan
timbulnya ketegangan dan strees serta menurunnya moral dan mental tenaga kerja.
Terdapat banyak sebab yang sangat mungkin terjadinya kecelakaan dan masalah kesehatan
pegawai, antara lain:
1. Kondisi Tempat Lingkungan Kerja
a. Pengaturan dan penyimpanan beberapa barang yang beresiko yang kurang
diperhitungkan keamanannya.
b. Ruangan kerja yang sangat padat dan sesak.
c. Pembuangan kotoran dan limbah yg tidak pada tempatnya.
2. Penyusunan Udara
a. Sirkulasi udara yang kurang baik
b. Suhu hawa yg tidak dikondisikan penyusunannya.
3. Penggunaan Perlengkapan Kerja
a. Pengaman perlengkapan kerja yang telah usang atau rusak seperti sepatu safety, kaca
mata, helm safety, masker, sarung tangan dll.
b. Pemakaian mesin dan alat elektronik tanpa ada pengaman yang baik.
4. Keadaan Fisik dan Mental Pegawai
a. Rusaknya alat indera dan stamina pegawai yg tidak stabil.
b. Emosi pegawai yg tidak stabil, sikap pegawai yang asal-asalan dan kurang
pengetahuan dalam pemakaian sarana kerja terlebih sarana kerja yang membawa
kemungkinan bahaya.
Usaha keselamatan dan kesehatan kerja memerlukan partisipasi dan kerja sama dari semua
pihak yaitu pemerintah, pengusaha dan pekerja. Flippo (1984:539) dalam Randall & Susan
(1996:135) berpendapat bahwa tujuan program keselamatan dan kesehatan kerja karyawan dapat
dicapai, jika ada unsur-unsur yang mendukung, yaitu:
1. Dukungan Manajemen Puncak
Manajemen puncak harus memberikan dukungan aktif pada program keselamatan
kerja agar program itu dapat tetap hidup dan menjadi efektif. Dukungan manajemen
ditandai dengan kehadiran secara pribadi pada rapat-rapat yang membahas masalah
kesehatan, pemeriksaaan-pemeriksaan pribadi secara periodik, penekanan pada laporan-
laporan tetap tentang keselamatan dan pencantuman angka-angka keselamatan dan
prestasi bidang keselamatan pada agenda rapat dewan direksi.
2. Pengangkatan Seorang Direktur Keselamatan
Agar program dapat dilaksanakan dengan baik, perlu diangkat seorang pimpinan yang
bertanggung jawab untuk merencanakan, melaksanakan dan mengendalikannya.
3. Perekayasaan suatu pabrik dan operasi yang aman
Rekayasa yang sehat dan berorientasi ke masa depan tentulah harus menjadi syarat
pokok dari setiap usaha keselamatan. Tindakan pencegahan untuk pengaman biasanya
memerlukan prosedur kerja yang lebih panjang atau usaha tambahan, dan orang
seringkali cenderung mempersingkat cara kerja yang direkayasa itu.
4. Pendidikan semua karyawan untuk bertindak secara aman
Sebagian besar program keselamatan harus mengutamakan pendidikan karyawan
untuk bertindak, berpikir dan bekerja dengan aman. Banyak cara dapat ditempuh untuk
melakukan pendidikan ini, diantaranya adalah sebagai berikut
a. Pendidikan bagi karyawan baru
b. Penekanan titik-titik keselamatan selama pelatihan, khususnya dalam pelatihan di
tempat kerja
c. Pembentukan komite keselamatan karyawan
d. Pengadaan rapat-rapat khusus tentang keselamatan karyawan
e. Bagan-bagan, poster dan peragaan yang menekankan kebutuhan untuk bertindak
dengan aman
5. Pendekatan pokok terhadap suatu program keselamatan
Pada hakikatnya haruslah bersifat positif. Peringatan, denda, pemberhentian
sementara, dan pemecatan dalam keadaan tertentu sangat tepat digunakan untuk
mengefektifkan suatu program keselamatan.
Mogok Kerja
Mogok kerja menurut Pasal 1 ayat (23) UU Ketenagakerjaan didefinisikan sebagai tindakan
pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat
pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan. Lebih lanjut, definisi
tersebut dilengkapi Pasal 137 dalam undang undang yang sama, yang menyebutkan bahwa
mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja /serikat buruh yang harus
dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat kegegalan perundingan. Pengaturan
mengenai mogok kerja dapat dijumpai pada Pasal 137 sampai dengan Pasal 145 UU
Ketenagakerjan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep.232/
MEN/2003 tentang Akibat Mogok Kerja Tidak Sah.
Pemogokan atau mogok kerja adalah merupakan salah satu persoalan yang dapat meresahkan
dunia usaha dan mengganggu hubungan kerja,keharmonisan dalam hubungan industrial serta
keharmonisan kehidupan sosial masyarakat karena melibatkan banyak pihak yang terkait. Di lain
pihak bagi pekerja yang melakukan pemogokan kadang-kadang hanya merupakan keterpaksaan
sebagai akibat buntunya pembicaraan atau tidak adanya komunikasi yang baik antara
management dengan para pekerja/buruh, pada akhirnya mereka menempuh jalan mogok kerja
demi menunjukkan integritas hak mereka dalam perundingan. Adanya kebuntuan atau mis-
komunikasi, seakan tidak ada lagi jalan lain yang dapat ditempuh untuk dapat dipenuhinya
keinginan mereka (para) pekerja/buruh.
Menurut Pasal 137 Pasal 143 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
bahwa mogok kerja merupakan hak dasar pekerja / buruh dan serikat pekerja/serikat buruh (trade
union). Oleh karena itu, dalam melaksanakan hak dasar tersebut, siapapun tidak dapat
menghalang-halangi pekerja/buruh untuk menggunakan hak mogok kerja sepanjang dilakukan
secara sah, tertib dan damai. Demikian juga, siapapun dilarang melakukan penangkapan dan/atau
penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib
dan damai sesuai dengan ketentuan, asalkan mogok kerja tersebut dilakukan sebagai akibat
gagalnya perundingan.
Pemogokan atau mogok kerja sebagai alat (sarana) untuk mencapai tujuan pada awalnya muncul
karena adanya tuntutan-tuntutan pekerja/buruh. Jika tuntutan-tuntutan tersebut dikaitkan dengan
norma-norma hukum, maka dapat dibedakan menjadi tuntutan normatif dan tuntutan tidak
normatif.
Tuntutan normatif adalah tuntutan yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan sebagai akibat pihak pengusaha (majikan) tidak memenuhi
kewajiban yang diletakkan oleh peraturan perundang-undangan, misalnya tuntutan perbaikan
struktur dan skala upah, tuntutan pembayaran THR dan sebagainya.
Sebaliknya, tuntutan tidak normatif adalah tuntutan yang tidak didasarkan pada ketentuan yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan, misalnya pemberian bonus tahunan bagi pekerja
back office, tuntutan pemberian kesejahteraan lebih baik kepada pekerja dan keluarganya.
Selain dapat dilihat dari segi normatif atau tidak normatif, tuntutan pekerja/buruh dalam
melakukan pemogokan / mogok kerja pekerja/buruh dapat dilihat dari segi lain, yakni mogok
kerja bertendensi ekonomi, dan mogok kerja yang bertendensi non-ekonomi. Mogok kerja yang
bertendensi ekonomi, apabila pemogokan dilakukan oleh pekerja/buruh yang didasarkan pada
tuntutan yang bernilai uang, misalnya tuntutan kenaikan upah, tuntutan pemberian uang makan
dan transport, ataukah tuntutan yang berkenaan dengan pemberian fasilitas perumahan atau
tempat tinggal di siteplan (semacam mess). Sebaliknya, mogok kerja yang bertendensi non-
ekonomi, apabila pemogokan dilakukan oleh pekerja/buruh tidak berdasarkan pada tuntutan yang
bernilai uang, seperti misalnya tuntutan untuk perbaikan tingkat kesejahteraan dan restrukturisasi
jabatan-jabatan dalam perusahaan, atau tuntutan utnuk meminta penggantian pimpinan
perusahaan atau pimpinan unit kerja yang melakukan tindakan sewenang-wenang.
Dalam hal pekerja / buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan tuntutan
hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha, maka pekerja/buruh berhak
mendapatkan upah . Dengan kata lain, apabila pekerja/buruh melakukan mogok kerja secara sah
yang bukan merupakan tuntutan normatif, pada prinsipnya pekerja tidak berhak atas upah (no
work no pay) , kecuali management dapat memberi toleransi upah tetap dibayar.
Upaya penyelesaian mogok kerja kadang-kadang merupakan suatu seni tersendiri. Terkadang
antara mogok kerja yang satu dengan mogok kerja lainnya berbeda teknik dan cara penanganan
serta penyelesaiannya. Walaupun demikian dalam peraturan perundang-undangan diatur norma
secara umum antara lain, bahwa sebelum dan selama mogok kerja berlangsung, instansi
ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan
dengan mempertemukan (melakukan mediasi) dan merundingkan dengan para pihak yang
berselisih (pihak / kelompok yang mogok kerja dengan management). Dalam hal perundingan
(mediasi) tersebut menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian bersama (PB)
yang ditanda-tangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang ketenagakerjaan sebagai
saksi.
Dalam hal perundingan (mediasi) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi
ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya mogok kerja
kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang, yakni
pengadilan hubungan industrial (PHI) atau arbitrase -dalam hal menyangkut perselisihan
kepentingan dan perselisihan antar trade union. Sedangkan terkait dengan gagalnya perundingan
yang tidak menghasilkan kesepakatan, maka atas dasar perundingan (antara pengusaha dengan
trade union atau penanggung-jawab mogok kerja) tersebut, mogok kerja dapat diteruskan (tidak
bekerja) atau dihentikan untuk sementara (kembali bekerja / masuk kerja sementara waktu) atau
dihentikan sama sekali (dimana pekerja kembali masuk kerja seperti biasa).
Untuk mencegah timbulnya suatu mogok kerja maka perlu dilakukan hal berikut ini:
1. Membentuk suatu sistem informasi yang terstruktur, agar tidak terjadi kesalahan dalam
komunikasi. Misalnya, dengan membuat papan pengumungan atau pengumuman melalui
loudspeaker.
2. Buat komunikasi dua arah antara atasan dan bawahan menjadi lancer dan harmonis,
misalnya dengan membuat rapat rutin, karena dengan komunikasi yang dua arah dan
intens akan mengurangi masalah di lapangan.
Pemutusan Hubungan Kerja adalah berakhirnya hubungan kerja sama antara karyawan dengan
perusahaan, baik karena ketentuan yang telah disepakati, atau mungkin terputus ditengah karier.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Pasal 1 ayat 25, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena
suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja atau buruh
dan pengusaha.
Menurut Manulang (1998) dalam Wahju (2014:249) mengemukakan bahwa istilah pemutusan
hubungan kerja dapat memberikan beberapa pengertian:
1. Termination, putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja
yang telah disepakati
2. Dismissal, putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan tindakan pelanggaran
disiplin kerja yang telah ditetapkan perusahaan
3. Redundancy, karena perusahaan melakukan pengembangan dan menggunakan mesin-
mesin teknologi baru, seperti: penggunaan robot-robot industry dalam proses produksi,
penggunaan alat berat yang cukup dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk
menggantikan sejumlah tenaga kerja. Hal ini berakibat pada penggurangan tenaga kerja
4. Retrentchment, yang dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi, seperti resesi ekonomi
yang membuat perusahaan tidak mampu memberikan upah kepada karyawannya
Dengan adanya tindakan PHK sangat berpengaruh sekali terhadap karyawan itu sendiri. Dengan
diberhentikan dari pekerjaannya maka berarti karyawan tersebut tidak dapat lagi memenuhi
kebutuhan secara maksimal untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Selain itu PHK juga
menimbulkan konsekuensi yang lebih banyak bersifat merugikan daripada menguntungkan bagi
kedua belah pihak. Dengan adanya pemberhentian karyawan juga berpengaruh sekali terhadap
perusahaan terutama masalah dana. Karena pemberhentian karyawan memerlukan dana yang
cukup besar diantaranya untuk membayar dana pensiun atau pesangon karyawan dan dana untuk
membayar tunjangan-tunjangan lainnya. Begitu juga pada saat penarikan kembali karyawan,
perusahaan pun mengeluarkan dana yang cukup besar untuk pembayaran perekrutan dan seleksi
karyawan baru.
Dengan demikian keduanya saling memiliki konsekuensi terhadap masing-masing antara lain:
1. Konsekuensi PHK yang dialami oleh perusahaan:
Melepas karyawan yang sudah berpengalaman
Terhentinya produksi sementara dengan adanya PHK
Harus mencari pengganti dengan karyawan baru
Perlu biaya yang besar untuk perekrutan karyawan baru
Hasil kerja karyawan baru belum tentu sesuai harapan daripada karyawan lama
2. Konsekuensi PHK yang dialami oleh karyawan
Hilangnya penghasilan
Berkurangnya rasa harga diri karena harus menganggur
Harus bersusah payah lagi karena mencari pekerjaan baru
Daftar Rujukan
Randall, S. Schuler & Susan E. Jackson. 1996. MSDM Menghadapi Abad ke-21. Edisi keenam.
Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. (Online).
http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/13146/node/10/undangundang-nomor-13-tahun-
2003. Diakses 30 September 2017.
Widowo. W. 2014. Hubungan Industrial. Malang.