Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Etika, Moral, dan Akhlak

Oleh:

Kelompok 3
Setyo Wisnu Wardana 21050114120018
Reynando Bagaskoro 21050114120019
Bagus Hadi Wicaksono 21050114120020
Mirza Aufa Nugraha L 21050114120024
Rilo Chandra M 21050114120026
Adi Rusdi Sholih 21050114120027
Pradika Andarisa 21050114120028

JURUSAN TEKNIK MESIN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015
I. Konsep Etika, Moral, dan Akhlak
A. Etika
Dari segi etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti
watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika
diartikan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dari pengertian
kebahasaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan
tingkah laku manusia.

Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan
ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut
para ulama etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk,
menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan
tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan
menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.

Berikutnya, dalam encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai


filsafat moral, yaitu studi yang sitematik mengenai sifat dasar dari konsep-
konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah, dan sebagainya.

Sementara itu menurut Profesor Robert Salomon, etika dapat


dikelompokan menjadi dua definisi:
Etika merupakan karakter individu, dalam hal ini termasuk bahwa orang
yang beretika adalah orang yang baik. Pengertian ini disebut pemahaman
manusia sebagai individu yang beretika.
Etika merupakan hukum sosial. Etika merupakan hukum yang mengatur,
mengendalikan serta membatasi perilaku manusia.

Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika
berhubungan dengan empat hal sebagai berikut:
1. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya
membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia.
2. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau
filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak,
absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki
kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga
memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia seperti
ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan
sebagainya.
3. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu
dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia,
yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia,
terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan
sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh
manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang
ada.
4. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat
berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.

Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu
pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang
dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang
dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau buruk dapat
dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir.
Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat
pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika
adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia.

Sebagai cabang pemikiran filsafat, etika bisa dibedakan manjadi dua:


obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai
kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan
itu sendiri. Faham ini melahirkan apa yang disebut faham rasionalisme dalam
etika. Suatu tindakan disebut baik, kata faham ini, bukan karena kita senang
melakukannya, atau karena sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan
semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat
begitu.

Aliran kedua ialah subyektivisme, berpandangan bahwa suatu tindakan


disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek
tertentu. Subyek disini bisa saja berupa subyektifisme kolektif, yaitu
masyarakat, atau bisa saja subyek Tuhan.

Adapun berbagai macam etika yang berkembang di masyarakat antara


lain:
Etika deskriptif
etika yang berbicara mengenai suatu fakta yaitu tentang nilai dan pola
perilaku manusia terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya
dalam kehidupan masyarakat.
Etika Normatif
etika yang memberikan penilaian serta himbauan kepada manusia
tentang bagaimana harus bertindak sesuai norma yang berlaku.
Mengenai norma norma yang menuntun tingkah laku manusia dalam
kehidupan sehari hari.

Etika dalam keseharian sering dipandang sama denga etiket, padahal


sebenarnya etika dan etiket merupakan dua hal yang berbeda. Dimana etiket
adalah suatu perbuatan yang harus dilakukan. Sementa etika sendiri
menegaskan bahwa suatu perbuatan boleh atau tidak. Etiket juga terbatas
pada pergaulan. Di sisi yang lain etika tidak bergantung pada hadir tidaknya
orang lain. Etiket itu sendiri bernilai relative atau tidak sama antara satu
orang dengan orang lain. Sementa itu etika bernilai absolute atau tidak
tergantung dengan apapun. Etiket memandang manusia dipandang dari segi
lahiriah. Sementara itu etika manusia secara utuh.
B. Moral
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu
jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum
bahasa Indonesia dikatan bahwa moral adalah penentuan baik buruk
terhadap perbuatan dan kelakuan.

Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan
untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau
perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk.

Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah


istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia
dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah.

Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan


lainnya, kita dapat mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek
yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia
selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.

Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki
perbedaan:
1. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai
perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran
atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-
norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat.
Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada
dalam konsep-konsep, sedangkan moral berada dalam dataran realitas
dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat. Hal ini
berarti tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah
laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di
masyarakat.
2. Kedua, etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak
bersifat praktis.
3. Ketiga, etika memandang tingkah laku perbuatan manusia secara
universal (umum), sedangkan moral secara lokal.
4. Keempat, moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.
5. Kelima, moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.

Kesadaran moral serta pula hubungannya dengan hati nurani yang dalam
bahasa asing disebut conscience, conscientia, gewissen, geweten, dan bahasa
arab disebut dengan qalb, fu'ad. Dalam kesadaran moral mencakup tiga hal:
1. Pertama, perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan tindakan yang
bermoral.
2. Kedua, kesadaran moral dapat juga berwujud rasional dan objektif, yaitu
suatu perbuatan yang secara umumk dapat diterima oleh masyarakat,
sebagai hal yang objektif dan dapat diberlakukan secara universal, artinya
dapat disetujui berlaku pada setiap waktu dan tempat bagi setiap orang
yang berada dalam situasi yang sejenis.
3. Ketiga, kesadaran moral dapat pula muncul dalam bentuk kebebasan.

Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan,


bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau sistem hidup yang
dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sistem hidup
tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan
munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang
berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan.
Jika nilai-nilai tersebut telah mendarah daging dalam diri seseorang, maka
akan membentuk kesadaran moralnya sendiri. Orang yang demikian akan
dengan mudah dapat melakukan suatu perbuatan tanpa harus ada dorongan
atau paksaan dari luar.
C. Akhlak
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefinisikan akhlak,
yaitu pendekatan linguistic (kebahasaan), dan pendekatan terminologik
(peristilahan).

Dari sudut kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu isim
mashdar (bentuk infinitive) dari kata al-akhlaqa, yukhliqu, ikhlaqan, sesuai
timbangan (wazan) tsulasi majid af'ala, yuf'ilu if'alan yang berarti al-sajiyah
(perangai), at-thobi'ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan,
kelaziman), al-maru'ah (peradaban yang baik) dan al-din (agama).

Namun akar kata akhlak dari akhlaqa sebagai mana tersebut di atas
tampaknya kurang pas, sebab isim masdar dari kata akhlaqa bukan akhlak,
tetapi ikhlak. Berkenaan dengan ini, maka timbul pendapat yang mengatakan
bahwa secara linguistic, akhlak merupakan isim jamid atau isim ghair mustaq,
yaitu isim yang tidak memiliki akar kata, melainkan kata tersebut memang
sudah demikian adanya.

Untuk menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah, kita dapat merujuk
kepada berbagai pendapat para pakar di bidang ini. Ibn Miskawaih (w. 421
H/1030 M) yang selanjutnya dikenal sebagai pakar bidang akhlak terkemuka
dan terdahulu misalnya secara singkat mengatakan bahwa akhlak adalah sifat
yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal


sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam
membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan
agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan
gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Definisi-definisi akhlak tersebut secara substansial tampak saling
melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam
perbuatan akhlak, yaitu:
1. Pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat
dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya.
2. Kedua, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan
mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan
sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang
ingatan, tidur atau gila.
3. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam
diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari
luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar
kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan.
4. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan
dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara.
5. Kelima, sejalan dengan ciri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya
akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-
mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin
mendapatkan suatu pujian.

Akhlak itu terbagi dua yaitu Akhlak yang Mulia atau Akhlak yang Terpuji
(Al-Akhlakul Mahmudah) dan Akhlak yang Buruk atau Akhlak yang Tercela (Al-
Ahklakul Mazmumah).

Akhlak yang mulia yaitu akhlak yang diridhoi oleh Allah SWT , akhlak yang
baik itu dapat diwujudkan dengan mendekatkan diri kita kepada Allah yaitu
dengan mematuhi segala perintahnya dan meninggalkan semua larangannya,
mencintai ajaran-ajaran dari sunnah Rasulullah SAW.

Akhlak yang buruk itu berasal dari penyakit hati yang keji seperti iri hati,
ujub, dengki, sombong, nifaq (munafik), hasud, suudzaan (berprasangka
buruk), dan penyakit-penyakit hati yang lainnya, akhlak yang buruk dapat
mengakibatkan berbagai macam kerusakan baik bagi orang itu sendiri, orang
lain yang di sekitarnya maupun kerusakan lingkungan sekitarnya.

Yang menyebabkan hati manusia menjadi baik atau buruk adalah nafsu.
Menurut Ibnu Arabi, di dalam diri manusia ada 3 nafsu,yaitu:

1. Nafsu Syahwaniyah, yaitu nafsu yang ada dalam diri manusia dan
binatang,nafsu ini cenderung kepada kelezatan jasmaniyah, misalnya
makan, minum, dan seksual.

2. Nafsu Ghodhobiyah, nafsu ini juga ada pada manusia dan binatang,yaitu
cenderung pada amarah.

3. Nafsu Nathiqah, yaitu nafsu yang membedakan manusia dengan


binatang, Dengan nafsu ini manusia dapat berfikir dengan baik,berdzikir,
dan memahami fenomena alam.

II. Karakteristik Etika Islam


Berbeda dengan etika filsafat, etika islam mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
a. Etika islam mengajarkan dan menuntut manusia pada tingkah laku yang baik
dan menjauhkan dari tingkah laku yang buruk.
b. Etika islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik
buruknya perbuatun, didasarkan pada ajaran Allah SWT.
c. Etika islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima dan dijadikan
pedoman oleh seluruh umat manusia.
d. Etika islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia ke jenjang akhlak yang
luhur dan meluruskan perbuatan manusia.

Etika islami berkaitan erat dengan akhlak islami. Secara sederhana akhlak
islami dapat diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak
yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak dalam hal
menempati posisi sebagai sifat.
Dengan demikian akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan
mudah, disengaja, mendarah-daging dan sebenarnya yang didasarkan pada
ajaran Islam. Dilihat dari segi sifatnya yang universal, maka akhlak Islami juga
bersifat universal. Namun dalam rangka menjabarkan akhlak islami yang
universal ini diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan sosial
yang terkandung dalam ajaran etika dan moral.

Dengan kata lain akhlak Islami adalah akhlak yang disamping mengakui
adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai
bersifat lokal dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal itu.

Ruang lingkup akhlak Islami adalah sama dengan ruang lingkup ajaran Islam
itu sendiri, khususnya yang berkaitan dengan pola hubungan. Akhlak diniah
(agama/Islam) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah,
hingga kepada sesame makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan
benda-benda yang tak bernyawa).

III. Hubungan Tasawuf dengan akhlak


Tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada Allah dengan cara mensucikan
hati (tashfiyat al-qalbi). Hati yang suci bukan hanya bisa dekat dengan Allah
tetapi malah bisa mengenal Allah. Menurut Dzun Nun al-Misri, ada 3 macam
pengetahuan tentang Allah,yaitu:
a. Pengetahuan awam: Allah Esa dengan syahadat
b. Pengetahuan ulama: Allah Esa menurut logika akal
c. Pengetahuan Kaum Sufi: Allah Esa dengan hati sanubari

Dalam ilmu tasawuf, metode penyucian diri adalah dengan :


a. Ijtinabul Manhiyat, yaitu menjauhi larangan Allah
b. Adaul Wajibat, yaitu melaksanakan kewajiban Allah
c. Adaun Nafilat,yaitu melaksanakan hal-hal yang disunahkan Allah
d. Ar-Riyadloh, yaitu latihan spiritual agar dapat istiqamah dalam menjalankan
seluruh ajaran Islam dan mendekatkan diri kepada Allah.
Jadi kaitan/hubungan tasawuf dengan akhlak yaitu bahwa orang yang suci
hatinya akan tercermin dalam air muka dan perilakunya yang baik. Dengan
tasawuf, diharapkan tiap individu memiliki akhlak yang mulia.

IV. Indikator Manusia Berakhlak


Indikator manusia berakhlak adalah tertanamnya iman dalam hati dan
teraplikasinya takwa dalam perilaku dan terhindar dari nifaq. Nifaq adalah sikap
mendua terhadap Allah, tidak ada kesesuaian antara hati dan perbuatan.
Apabila akhlak dipahami sebagai pandangan hidup maka manusia berakhlak
adalah manusia yang menjaga keseimbangan antara hak dan kewajibannya
dalam hubungannya dengan Allah,sesama makhluk,dan alam semesta.

V. Aktualisasi Akhlak dalam Kehidupan Masyarakat


Aktualisasi akhlak adalah bagaimana seseorang dapat mengimplementasikan
iman yang dimilikinya dan mengaplikasikan seluruh ajaran Islam dalam setiap
tingkah laku sehari-hari. Cakupan akhlak meliputi:
1. Akhlak terhadap Allah SWT, bentuk akhlak terhadap Allah tercermin pada
suatu hal yang dicintai Allah, menurut apa-apa yang membuat Allah
meridhoi sesuatu
a. Siwak adalah menyucikan mulut dan membawa keridhoan Allah
(Sahih Bukhari).
b. Sungguh Nabi SAW melihat bekas ludah yang mengering diarah kiblat,
maka hal itu sangat membuat beliau sedih, hingga terlihat bekas
kesedihan pada wajah beliau SAW, seraya berdiri dan
membersihkannya dengan jarinya dan bersabda: Jika diantara kalian
berdiri untuk melakukan shalatnya, sungguh ia sedang berbicara pada
Tuhannya(Sahih Bukhari).
2. Akhlak terhadap orang lain
a. memuliakan tamu,
b. tidak meninggikan suara,
c. memuliakan yang lebih tua,
d. memuliakan ulama,
e. memuliakan orang tua,
f. malu,
g. murah senyum,
h. bersikap lemah lembut,
i. ringan tangan(menolong tanpa pamrih), dsb.
3. Akhlak pada diri sendiri, sebagai hamba Allah, manusia diwajibkan untuk
selalu bersikap tunduk dan patuh terhadap Allah Swt. Kepatuhan dan
ketaatan bukan dipaksa melainkan datang dari kemauan hati, sesuai
dangan dasar akal fikiran yang telah dianugerahkan oleh Allah SWT dan
Allah tidak menyukai suatu yang berlebih-lebihan.
4. Akhlak pada lingkungan lingkungan dalam kajian al-Quran dan Sunnah
Rasul bentuk aktualisasi akhlak terhadap lingkungan dibedakan menjadi
dua yaitu akhlak terhadap alam nyata dan akhlak terhadap alam ghaib.

Berikut adalah sabda Rasulullah SAW tentang akhlak:

Rasulullah SAW bersabda: Aku dibimbingan pengajaran akhlak oleh


Tuhanku, maka sebaik-baik bimbingan akhlak adalah bimbingan akhlak yang
diajarkan padaku
Sungguh yang paling kucintai diantara kalian adalah yg paling baik
akhlaknya (Shahih Bukhari)

VI. Simpulan
Sebagai seorang muslim, sepatutnya kita memiliki akhlak yang mulia untuk
mendapatkan ridho-Nya. Sungguh hanya orang-orang yang berakhlak mulia yang
diterima di sisi-Nya.

VII. Daftar Pustaka


Al-Jazairi, Syekh Abu Bakar. 2003. Mengenal Etika dan Akhlak Islam. Lentera:
Jakarta.

Bakry, Oemar. 1981. Akhlak Muslim. Aangkasa: Bandung.

Anda mungkin juga menyukai