Anda di halaman 1dari 8

SATWAHARAPAN

1. Pendahuluan

Perkembangan usaha peternakan telah sampai pada upaya perluasan jenis-jenis hewan yang
diusahakan untuk diambil hasilnya. Perluasan ini dibuktikan dengan munculnya istilah baru, yaitu satwa
harapan. Berdasarkan perbedaan dari definisi antara hewan dan ternak, dimana hewan adalah semua
binatang yang hidup di darat, baik yang dipelihara maupun yang liar. Ternak adalah hewan piaraan yang
kehidupannya diatur dan diawasi oleh manusia serta dipelihara khusus untuk diambil hasil dan jasanya
bagi kepentingan hidup manusia. Satwa harapan dapat didefinisikan sebagai binatang atau satwa
selain binatang yang dipelihara/diternakan tersebut dan diharapkan apabila diusahakan dapat
menghasilkan bahan dan jasa seperti ternak. Berbagai jenis satwa harapan tersebut, contohnya antara
lain ; burung (burung puyuh,ayam hutan), cucak rawa, reptil (ular,buaya), ikan arwana, kupu-kupu,
banteng, rusa, gajah dan anoa.

Pada umumnya, alasan utama manusia melakukan budidaya satwa liar adalah karena alasan
ekonomis yang berasal dari bermacam-macam produk, misalnya ; daging, minyak, gading/tanduk/taring,
kulit sampai pada pemanfaatan bulu dan nilai keindahan dari kekhasannya. Salah satu cara budi daya
dan pengembangan satwa liar menjadi komoditi domesti adalah domestikasi atau penangkaran. Ada
beberapa pola yang dikembangkan, yaitu game ranching dan game farming. Game ranching adalah
penangkaran yang dilakukan dengan sistem pengelolaan yang ekstensif. Ada dua arti yang berbeda
(Robinson dan Bolen, 1984), pertama, suatu kegiatan penangkaran yang menghasilkan satwa liar untuk
kepentingan olah raga berburu, umumnya jenis binatang eksotik, kedua, adalah kegiatan penangkaran
satwa liar untuk menghasilkan daging, kulit, maupun binatang kesayangan, seperti misalnya burung,
ayam hutan dan sebagainya. Pola penangkaran ini telah berkembang di Afrika, Amerika Serikat dan
Australia. Di Indonesia sendiri pola ini telah di coba dikembangkan untuk jenis-jenis ayam hutan,
burung, reptil (buaya, ular, penyu) dan ungulata (rusa, banteng).

Pola yang kedua adalah game farming, yaitu kegiatan penangkaran satwa liar dengan tujuan
untuk menghasilkan produk-produk seperti misalnya kulit, bulu, minyak dan taring/gading/tanduk.
Dalam pola ini dikembangkan juga penjinakan untuk keperluan tenaga kerja, misalnya gajah.

Prinsip penangkaran adalah pemeliharaan dan perkembangbiakaan sejumlah satwa liar yang
sampai pada batas-batas tertentu dapat diambil dari alam, tetapi selanjutnya pengembangannya hanya
diperkenankan diambil dari keturunan-keturunan yang berhasil dari penangkaran tersebut. Ada empat
syarat untuk mengembangkan komoditi domestik melalui penangkaran agar diperoleh hasil maksimal,
yaitu :

Obyek (satwa liar), perlu memperhatikan populasinya di alam apakah mencukupi atau tidak,
kondisi species (ukuran badan, perilaku) dan proses pemeliharaan sertta pemanfaatannya.
Penguasaan ilmu dan teknologi, meliputi pengetahuan tentang ekologi satwa liar serta
dikuasainya teknologi yang sesuai dengan keadaan perkembangan dunia.
Tenaga terampil untuk menggali dasar ekologi ataupun cara pengelolaan pada proses
penangkaran
Masyarakat, berkaitan erat dengan sosial budaya dan diharapkan sebagai sasaran utama dalam
proses pemasaran produk.

Penangkaran dalam rangka budi daya dilakukan dengan sasaran utama komersiil terutama dari segi
peningkatan kualitasnya, sehingga metode yang diterapkan lebih ditujukan untuk peningkatan jumlah
produksi yang ditentukan oleh kaidah-kaidah ekonomi dan dikendalikan pasar. Metode ini menerapkan
teknologi reproduksi yang tinggi, seperti misalnya : inseminasi buatan, transplantasi embrio, agar dapat
dihasilkan keturunan jantan yang baik, sehingga terjadi peningkatan genetik. Namun demikian, ini hanya
boleh dilakukan bagi satwa/binatang hasil penangkaran pertama karena menyangkut nilai sosila etis dan
undang-undang tentang perlindungan satwa liar yang merupakan satwa langka.

Suatu alasan yang sangat penting agar peternakan satwa liar dapat dikembangkan adalah karena
satwa liar mempunyai daya adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan ternak lain, selain proses
pengelolaannya jauh lebih mudah dan hasilnya sangat memuaskan. Hal-hal penting yang perlu
diperhatikan untuk memperbesar kemungkinan domestikasi/penangkaran adalah anggapan bahwa satwa
liar tidak dapat didomestikasikan adalah karena kualitas keliaran. Hal ini sama skali tidak benar, sebab
mamalia liar dapat dijinakan sama mudahnya seperti yang lain (Ertingham, 1984). Hal lainnya yang perlu
juga diperhatikan adalah pendapat bahwa pada domestikasi ada satu atau dua spesies yang tidak dapat
mengeksploitasi potensi vegetasi makanannya secara penuh seperti pada saat mereka hidup di alam
bebas. Hal ini mungkin ada benarnya dan dapat dibuktikan pada satwa-satwa domestik seperti misalnya
jenis hewan pemakan semak (sapi dan kambing), pemakan rumput (domba). Sapi akan memakan hijauan
sampai pada tingkat tertentu dan kambing akan merumput maupun memakan semak apabila terpaksa.
Hal ini berarti bahwa mereka mampu memanfaatkan suatu selang vegetasi yang luas meskipun ada
tumbuh-tumbuhan yang tidak mereka makan.

Dari segi sosial ekonomi, hal-hal penting yang perlu diperhatikan tidak berhubungan langsung
dengan ternak obyeknya. Segi ekonomi lebih mengarah pada ada/tidaknya modal sebagai penyedia input
dan kelangsungan proses penangkaran sebagai produksinya dan pertimbangan akan hasil yang
dikeluarkan sebagai out putnya. Segi sosial, lebih mengarah pada ketaatan terhadap undang-undang
(sosial etis) dan kesiapan untuk menerima dan melakukan proses domestikasi/penangkaran terhadap
satwa liar ini.

Nampaknya masa depan satwa liar sebagai suatu sumber daya yang dapat di eksploitasi dan
dikembangkan sebagai suatu faktor penambah keanekaragaman hewan domestic sangat bagus
prospeknya, sebagai contoh, peternakan Gazzella (sejenis rusa) telah dipraktekan dan hasilnya sangat
memuaskan selama bertahun-tahun di Afrika Selatan. Bahkan peternakan ini mampu menyerap tenaga
kerja sekitar 3000 orang dengan produksi lebih dari tiga juta kilogram daging pertahun. Indonesia
dengan potensi sumber daya yang tinggi dimana terdapat beraneka ragam binatang lebih meningkatkan
pengembangan dan memasyarakatkan sistem domestikasi/penangkaran ini. Suatu contoh yang
berkembang di Indonesia adalah sapi Bali (Bos sondaicus). Jenis ini telah membudidaya di masyarakat
dan telah mempunyai status sosial, bahkan penyebarannya telah sampai ke Australia. Satwa liar yang
mempunyai potensi sama besarnya adalah rusa dan anoa yang didukung dengan populasinya yang masih
banyak.
Potensi-potensi tersebut dengan alasan di atas hendaknya digali dan dikembangkan dengan
sistem domestikasi sebagai langkah awalnya. Selain itu, pola-pola penangkaran yang telah dikembangkan
masyarakat tradisional seperti dilakukan masyarakat di pedalaman Irian Jaya terhadap buaya, yang
termasuk kategori farming perlu dikembangkan dan ditingkatkan dengan memberi bimbingan ke arah
pola penangkaran profesional, sehingga hasilnya optimal.

2. Lingkungan Hidup Anoa dan Penyebarannya

2.1. Penampilan umum anoa

Smith (1827) yang dikutip oleh Mustari (2003b) adalah orang pertama yang mendeskripsikan spesies
anoa (Antelope/Bubalus depressicornis) berdasarkan tengkorak seekor anoa di museum British.
Spesies Bubalus quarlesi menurut Mustari (2003b) diidentifikasi oleh Ouwen dan dilaporkan pada tahun
1910. Groves (1969) menyatakan bahwa tengkorak anoa yang dideskripsikan oleh Smith tersebut adalah
tengkorak dari anoa dataran rendah. Menurut Groves (1969), di Sulawesi terdapat dua jenis anoa, yaitu
anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan anoa gunung (Bubalus quarlesi). Anoa dataran
rendah berwarna hitam, terdapat bercak putih pada tungkai depan, panjang ekor dapat mencapai
persendian lutut belakang, rambut agak jarang pada individu dewasa. Jantan anoa memiliki warna
rambut yang lebih gelap dibanding betina, kadang memiliki bercak putih berbentuk sabit (crescent) pada
bagian bawah leher. Potongan melintang pangkal tanduk berbentuk triangular, terdapat garis-garis cincin
(wrinkled) pada pangkal sampai seperdua panjang tanduk. Panjang tanduk berkisar 271-273 mm pada
jantan, 183-260 mm pada betina. Panjang tengkorak 298-322 mm pada jantan dan 290-300 mm pada
betina.

Lebih lanjut dideskripsikan oleh Groves (1969)


bahwa anoa gunung memiliki warna rambut coklat
kehitaman atau coklat kemerahan. Rambut lebih tebal,
tidak terdapat bercak putih bentuk sabit pada leher. Ekor
lebih pendek, tidak lebih dari seperdua jarak pangkal
ekor dengan persendian lutut belakang. Potongan
melintang pangkal tanduk berbentuk conical, tidak
terdapat garis-garis cincin (wrinkled) pada pangkal
tanduk. Panjang tanduk 146-199 mm, panjang tengkorak
244-290 mm.

Menurut Grzimek (1975) panjang kepala dan badan anoa berkisar 1600-1720 mm, panjang ekor
180-310 mm, tinggi bahu 690-1060 mm, berat badan berkisar 150-300 kg. Berat badan anoa ini dianggap
dan dibuktikan terlalu berlebihan oleh beberapa peneliti (Mustari, 1995; Mustari, 2002; Kasim, 2002)
karena berdasarkan penimbangan 12 ekor anoa yang ditangkap oleh peneliti-peneliti tersebut tidak satu
pun yang memiliki berat badan lebih dari 110 kg untuk anoa dataran rendah dan 100 kg untuk anoa
dataran tinggi. Perbedaan ini dimungkinkan karena pada kurun waktu yang berbeda maka ketersediaan
pakan anoa pun berbeda baik dalam kualitas maupun kuantitasnya.

2.2. Penyebaran dan populasi

Sampai akhir abad ke-19, anoa dapat dijumpai hampir di seluruh daratan pulau Sulawesi. Heller
(1889) menyatakan bahwa anoa terdapat di Gorontalo, sekitar Minahasa, Likupang, Lempias dan hutan
antara Langowan dan Pangku. Mohr (1921) menggambarkan penyebaran anoa di Sulawesi Utara meliputi
daerah Minahasa, Klabat, Teluk Tomini, Matinang dan Randangan. Anoa di Sulawesi Tengah, dijumpai di
sekitar danau Lindu, daerah Besoa, Bada, Topebatu Toli-Toli Banggai dan Tobungku. Wilayah Sulawesi
Selatan mencatat adanya anoa di sekitar danau Matana, danau Towuti dan Lalangatu. Selain itu Mohr
(1921) menyatakan bahwa anoa gunung dapat dijumpai di Sulawesi selatan mencakup wilayah Tanah
Toraja, Binuang, Palopo, pegunungan Bowonglangi, pegunungan Bontain gunung Lompobattang dan
pegunungan Mandar. Harper (1945) menulis mengenai keberadaan anoa di Mamuju, Mamasa, Makale-
Rantepao, Palopo, Buton, Kendari, Kolaka, Malili dan Masamba.

Tidak semua daerah yang tersebut di atas pada saat ini dihuni oleh anoa disebabkan oleh
perambahan hutan dan perburuan liar terhadap satwa ini (Mustari, 1997). Berdasarkan data dari IUCN
(2001) sejak tahun 1979, secara pasti jumlah anoa kian merosot bahkan di beberapa wilayah yang dekat
dengan desa/kampung, keberadaannya telah menghilang sama sekali. Daftar Merah (Red List Book)
IUCN memasukkan anoa dalam status endangered. Anoa pada dewasa ini hanya dapat ditemukan di
dalam hutan besar. Wilayah Sulawesi Utara mencatat adanya anoa di Taman Nasional (TN) Dumoga Nani
Warta Bone, Cagar Alam (CA) Panua dan beberapa kawasan hutan konsesi HPH (Hak Penebangan
Hutan). Anoa di Sulawesi Tengah masih dapat dijumpai di Besoa (Sugiharta, 1994) dan TN Lore Lindu.
Keberadaan anoa di Sulawesi Tenggara ditemukan di hutan Suaka Margasatwa (SM) Kolaka Utara, TN
Rawa Aopa, SM Tanjung Peropa, SM Tanjung Batikolo, SM Tanjung Amolengu dan SM Buton Utara.
Belum ditemukannya pemahaman yang sempurna untuk upaya budidayanya menyebabkan
perkembangbiakan anoa menjadi terhambat. Upaya pelestarian anoa memerlukan adanya identifikasi,
studi serta evaluasi dengan berbagai model pendekatan/aspek untuk mendapatkan hasil yang optimal
dan mencapai sasaran.
2.3. Habitat

Habitat anoa adalah hutan primer di pulau Sulawesi, yaitu hutan yang belum dijamah manusia.
Anoa sering dijumpai di hutan sekunder, di pinggir hutan atau di daerah yang relatif terbuka pada malam
hari. Hutan lebat berfungsi sebagai pelindung (cover) bagi anoa. Sewaktu mencari makan, satwa ini
menyukai habitat yang relatif terbuka dan didapati banyak jenis tumbuhan bawah, semak, herba dan
perdu (Mustari, 1997).

Anoa dataran rendah menghuni hutan dataran rendah dengan ketinggian kurang lebih sampai 700
m di atas permukaan laut. Anoa gunung menghuni hutan pegunungan. Pembagian semacam ini akan
tetapi tidak bersifat mutlak karena sering dijumpai anoa dataran rendah pada daerah yang lebih tinggi
atau anoa dataran tinggi dijumpai mengunjungi pantai untuk minum air laut (Mustari, (1995 dan 2003a);
Labiro (2001) dan Pujaningsih, et al., (2005).
3. Prospek dan Potensi Anoa sebagai Satwa Budidaya

Anoa diburu untuk dimanfaatkan kulit, tanduk dan dagingnya. Tanduk anoa dipercaya dapat
menyembuhkan beberapa macam penyakit pada manusia (sakit perut, keseleo, luka ringan) dan juga
ternak. Berdasarkan hasil penelitian Kasim (2002) diperoleh informasi bahwa anoa memiliki indeks
penyebaran kelompok urat daging baku lebih baik daripada sapi, kerbau dan banteng. Rendahnya
perlemakan ini disebabkan agresivitas dan aktifitas jelajah anoa di habitatnya yang lebih tinggi
dibandingkan satwa lain yang telah didomestikasikan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa anoa mampu
beradaptasi dengan cepat secara baik terhadap jenis bahan pakan yang ada di kondisi ex situ, sehingga
memungkinkan untuk dijadikan satwa budidaya. Meskipun demikian Kasim (2002) menegaskan bahwa
pada kondisi penangkaran atau budidaya anoa masih banyak mendapat cekaman (stress) baik akibat
suhu lingkungan ataupun karena makanannya, sehingga perlu diketahui dan dipelajari dari segi aspek
domestikasi tersebut.

4. Hal-hal yang Menjadi Ancaman terhadap Kelestariannya

Jenis-jenis endemik terbentuk karena adanya habitat yang spesifik. Jenis-jenis tersebut hanya
terdapat pada habitat di tempat mereka terbentuk dan hanya mampu beradaptasi dengan karakteristik
habitat tersebut. Apabila habitatnya mengalami perubahan secara drastis (misalnya oleh adanya polusi,
konversi lahan, fragmentasi habitat, dll), maka jenis-jenis endemik sering tidak mampu beradaptasi
mengikuti perubahan tersebut. Dihadapkan dalam kondisi seperti ini, jenis-jenis endemik akan mengarah
pada kepunahan. Soehartono dan Mardiastuti (2003) menegaskan dengan kata lain, jenis-jenis endemik
mudah mengalami kepunahan apabila habitatnya terganggu.

Kemampuan adaptasi yang lemah tidak saja terjadi terhadap perubahan habitat, tetapi juga dalam
hal beradaptasi dengan jenis-jenis baru (Malik et al., 2004). Jenis-jenis endemik tidak terbiasa hidup
berkompetisi, sehingga akan mengalami tekanan apabila ke dalam habitatnya diintroduksi jenis-jenis dari
habitat lain yang memanfaatkan sumberdaya yang sama dengan jenis endemik tersebut. Keberadaan
jenis-jenis kompetitor akhirnya akan secara lambat laun menyingkirkan posisi jenis-jenis endemik.
Umumnya jenis-jenis endemik juga kurang atau bahkan tidak terbiasa hidup dengan predator, sehingga
dia tidak memiliki kemampuan untuk menyelamatkan diri dari predator. Apabila ke dalam habitatnya
diintroduksi predator maka dalam waktu singkat populasi jenis endemik akan habis. Sama halnya dengan
predator, penyebarannya yang terbatas menyebabkan jenis-jenis endemik juga tidak terbiasa dengan
patogen yang berasal dari habitat lain. Kedatangan jenis-jenis introduksi yang membawa patogen baru ke
habitat di tempat jenis-jenis endemik berada dapat menimbulkan wabah yang memusnahkan jenis-jenis
endemik. Pemaparan tersebut menunjukkan betapa jenis-jenis endemik memiliki resiko kepunahan yang
sangat tinggi, sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara sangat hati-hati.

Secara umum, terdapat beberapa hal yang menyebabkan rawan punah atau punahnya jenis hayati
yaitu: (1) Kurangnya eksplorasi jenis baru, sehingga kepunahan jenis tersebut tidak diketahui; (2)
Penyediaaan habitat untuk jenis yang dilindungi masih sangat kurang (Alikodra, 1996; Direktorat Jendral
PHKA, 2002; Malik et al., 2004); (3) Habitat yang disediakan tidak sesuai bagi suatu jenis yang
dilindungi; (4) Pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian alam (Malik et al. 2004); (5)
Pemanfaatan yang memutus daur reproduksi (Kasim, 2002); (6) Adanya pemindahan suatu jenis baru
kedalam suatu ekosistem; (7) Kurang sadarnya akan pentingnya konservasi hewan langka bagi anggota
masyarakat sekitar, termasuk pengelola kawasan (Pujaningsih et al., 2007; Soehartono dan Mardiastuti,
2003); (8) Upaya kongkrit perlindungan belum nyata di lapangan. Masih banyak dijumpai penjualan
jenis hayati yang dilindungi di tempat umum; (9) Pengambilan dari alam secara besar-besaran dan terus-
menerus (Kasim, 2002).

5. Tingkah laku

5.1. Tingkah laku sosial

Hasil pengamatan Fadjar (1973) menemukan bahwa anoa lebih sering ditemukan berpasangan.
Kelompok anoa ditemukan apabila ada anoa betina dalam keadaan bunting dan mempunyai anak.
Penelitian yang dilakukan oleh Mustari (1995) melaporkan bahwa jarang ditemukan kelompok anoa lebih
dari tiga ekor. Menurut Jarman (1974) yang disitasi oleh Hgi et al. (1999) jenis satwa yang mencari
pakan dengan meramban, cenderung hidup sendiri atau berpasangan untuk menghindarkan kompetisi
dalam mendapatkan pakannya. Dilaporkan juga bahwa anoa mempunyai kesenangan berendam di dalam
air dan berkubang di dalam lumpur (Groves, 1969; Fadjar, 1973; Whitten et al., 1987; Mustari, 1995).
Periode bunting adalah 276 - 315 hari dan biasanya melahirkan satu anak. Seekor anoa dapat mencapai
umur sekitar 20-25 tahun. Hasil pengamatan Mustari (1995) melaporkan bahwa anoa aktif di pagi dan
sore menjelang malam hari. Periode waktu di antaranya digunakan untuk beristirahat dan beruminasi di
dalam hutan.

Selain manusia, predator yang mengancam kelangsungan hidup anoa adalah ular phyton yang suka
memangsa anak-anak anoa (Whitten et al., 1987). Beberapa peneliti menyatakan bahwa anoa tidak
toleran terhadap kehadiran spesies asing di wilayahnya. Mereka memilih menghindar ke dalam hutan-
hutan primer dan daerah dataran tinggi (Manansang et al., 1996). Menurut pengamatan Mustari (1995)
anoa sebenarnya adalah satwa yang pemalu dan tidak suka ribut. Satwa ini menjadi ganas jika dalam
keadaan terluka atau habis melahirkan. Whitten et al. (1987) melaporkan bahwa anoa tidak pernah
berada di wilayah yang sama dengan rusa maupun babi hutan. Hal ini diduga karena kebiasaan anoa
sebagai browser dan rusa sebagai grasser. Meskipun demikian karena habitat yang semakin sempit,
Mustari (1995) menemukan bahwa anoa dan rusa hidup berdampingan di SM Tanjung Amolengu pada
area seluas 5 km2.

Menurut informasi Whitten et al. (1987), anoa adalah binatang monogamus dan tidak menandai
wilayah kekuasaannya. Keberadaan anoa di dalam suatu wilayah ditandai dengan adanya bekas defekasi,
goresan tanduk pada pepohonan maupun bekas galian tanah di sekitar tempat satwa ini melakukan
defekasi.

5.2. Tingkah laku makan


Sebagaimana ruminansia pada umumnya, pakan anoa terdiri atas pakan hijauan sebagai pakan
dasar yang kaya serat kasar untuk sumber energi dan memenuhi isi lambung, dan pakan konsentrat yang
kaya protein, energi, mineral organik dan vitamin yang diperlukan ternak. Ransum pakan tradisional
lebih menitik beratkan perpaduan rumput dan dedaunan dengan indikator utama kenaikan bobot badan
(Pujaningsih, 2005). Kerbau liar kerdil yang endemik ini makan rerumputan, paku-pakuan, semak serta
buah-buahan yang jatuh (Mackinnon and MacKinnon, 1979). Sejauh ini belum tersedia data mengenai
kebutuhan nutrisi untuk anoa sebagaimana hewan ternak lainnya. Anoa liar di alam bebas memakan
aquatic feed antara lain berupa pakis, rumput, tunas pohon, buah-buahan yang jatuh, dan jenis umbi-
umbian. Berdasarkan pengamatan Mustari (1995 dan 2003a); Labiro (2001) dan Pujaningsih, et al.,
(2005) dilaporkan bahwa anoa dataran rendah kadang-kadang juga meminum air laut yang diduga untuk
memenuhi kebutuhan mineral mereka. Anoa di dataran tinggi, menjilat garam alami dalam rangka
pemenuhan kebutuhan mineralnya.

Anoa diadaptasikan di tempat-tempat penangkaran maupun kebun binatang, dengan diberi pakan
segar yang tersedia di lokasi (Malik et al., 2004; Pujaningsih, 2005; Pujaningsih et al., 2005).
Manansang et al. (1996) merekomendasikan pakan dari jenis dedaunan (daun nangka, daun pisang, daun
singkong atau yang lainnya), rerumputan, buah-buahan (pisang, nangka, pepaya, jambu atau yang
lainnya), sayuran (kangkung, wortel, lobak, ubi, singkong), konsentrat yang mengacu pada konsentrat
sapi potong serta garam mineral.

Tugas :

Buat paper dengan tema:

1. Konservasi ex situ dan konservasi in situ


- Pengertian
- Tujuan

- Prospek implementasi

2. Peran IUCN dan CITES dalam konservasi keanekaragaman hayati


- Misi Visi IUCN
- Pengertian List of Appendix

3. Peraturan dan Perundang-undangan yang terkait dalam upaya konservasi dan


pemanfaatannya sebagai satwa budidaya.
- UU no. 5 th 1990 dan PP no 8 tahun 1999 (Kehutanan)
- dilakukan penelitian ke arah budi daya anoa sesuai dengan UU no 18 th 2009(Peternakan)

- Apa nama UU dan pasal-pasal mana yang mendukung usaha budidaya satwa harapan.

Anda mungkin juga menyukai