Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM

VERTEBRATA HAMA

Disusun oleh:
Nama : Ayu Lutfi Nur Awalia
NIM : 21/482352/PN/17504
Golongan : A3

LABORATORIUM PENGENDALIAN HAYATI


DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2023
ACARA 2

KUNJUNGAN KE KEBUN BINATANG GEMBIRALOKA

A. Tujuan
Praktikum Vertebrata Hama Acara 2 “Kunjungan ke Kebun Binatang
Gembiraloka” memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mengenal visual profil morfologi, biologi, ekologi binatang vertebrata di Kebun
Binatang Gembiraloka

B. Bahan
Adapun bahan yang digunakan pada praktikum ini antara lain satwa yang
berstatus sebagai binatang vertebrata hama di Kebun Binatang Gembiraloka.

C. Cara Kerja
Pada praktikum Acara 2 yang berjudul "Kunjungan ke Kebun Binatang
Gembiraloka" dilaksanakan pada hari Rabu, 22 Maret 2023 pukul 08.30 WIB di
Kebun Binatang Gembiraloka. Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini
antara lain yaitu satwa yang berstatus sebagai binatang vertebrata hama di Kebun
Binatang Gembiraloka.
Adapun cara kerja pada praktikum yaitu, pertama praktikan bersama koas
dengan transportasi pribadi berangkat dari Fakultas Pertanian UGM dan dipastikan
pukul 08.30 WIB sudah masuk Kebun Binatang Gembiroloka. Kemudian, praktikan
dibagi dalam enam kelompok, 10 – 11 praktikan per kelompok, masing-masing
kelompok dibimbing seorang koas. Selanjutnya, masing-masing praktikan dalam
kelompok mengamati, buat foto dan video setiap jenis vertebrata hama yang ada
termasuk informasi pada papan nama. Praktikan bersama koas diskusi tentang profil
morfologi, biologi, dan ekologi setiap jenis vertebrata hama. Waktu pengamatan
setiap jenis vertebrata hama diatur secukupnya dengan perhitungan semua objek
teramati dan paling lambat pukul 13.00 sudah selesai dan kembali ke kampus.
Kemudian dalam pembuatan laporan harus dilengkapi ilustrasi foto dan memuat profil
morfologi, biologi, habitat, ekologi vertebrata hama. Pengumpulan laporan dalam
bentuk soft file dikirim ke Koasisten menjelang Acara 5. Terakhir, dilakukan post test
setelah kegiatan pengamatan.

D. Hasil Praktikum
1. Gajah (Elephas maximus)

Gambar 1.1 Gajah (Elephas maximus)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
 Morfologi: Gajah Asia (Elephas maximus) memiliki ukuran tubuh lebih besar
dibandingkan gajah afrika (Laxodonta afrcanaa). Berat gajah asia betina dapat
mencapai maksimum 3700 kg dan tinggi 2,4 meter. Sedangkan gajah jantan dapat
mencapai berat 5000 kg dan tinggi 3,2 meter. Jejak kaki pada gajah sumatera
dewasa berukuran antara 35-44 cm,dan pada jejak kaki gajah muda berukuran
antara 18–22 cm (Rahmanda, 2020).
 Biologi: Gajah betina bereproduksi ketika berumur 8-10 tahun, sementara gajah
jantan setelah berumur 12-15 tahun. Masa reproduksi gajah betina empat tahun
sekali, dengan lama kehamilan 19-21 bulan dan hanya melahirkan satu ekor.
Gajah hanya dapat melakukan proses kawin dalam kondisi aman dan tidak akan
melakukan kawin jika ada kehadiran manusia. Gajah dapat hidup selama 70 tahun
selama hidupnya gajah jantan tidak terikat pada satu ekor betina pasangannya.
(Rahmanda, 2020).
 Ekologi: Habitat gajah yaitu di hutan primer, hutan sekunder, rawa, dan zona
riparian. Zona riparian yang disukai gajah yaitu dataran rendah hingga 3.000 mdpl.
Zona riparian adalah daerah khas peralihan antara perairan dan daratan. Gajah
membutuhkan area habitat luas untuk wilayah tempat tinggal dan mencari makan
(Rahmanda, 2020).

2. Babi Hutan (Suscrofa vitalus)

Gambar 1.2 Babi Hutan (Suscrofa vitalus)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Morfologi: Babi hutan memiliki ciri morfologi yaitu, tinggi babi dewasa 55- 110 cm,
panjang tubuh 90 – 200 cm, panjang ekor 15 – 40 cm, dan panjang telingan 24 –
26 cm. Berat babi hutan berkisar 50 – 90 kg, tergantung dari habitatnya. Babi
hutan jantan memiliki taring panjang yang terus tumbuh dari gigi taring atas dan
bawah yang berukuran ± 6 - 12 cm. Kulit Babi hutan bewarna hitam gelap dan
ditumbuhi rambut halus (Wickline, 2014).
 Biologi: Babi hutan betina akan bunting selama 115 hari, jumlah anak yang
dilahirkan berjumlah 10 ekor atau lebih. Di habitatnya, babi hutan dapat hidup
mencapai 20 tahun.
 Ekologi: Babi hutan memiliki habitat di belukar hutan. Babi hutan memiliki perilaku
hidup berkelompok yaitu induk dengan anak, sedangkan jantan dewasa biasanya
hidup soliter. Babi hutan memiliki kebiasaan berkubang di dalam hutan yang
ternaungi pohon serta tidak jauh dari jalur hewan maupun manusia. Perilaku ini
bertujuan untuk mengurangi intensitas parasit dan menyesuaikan kondisi tubuhnya
karena panas. Ketika mencari makan, babi jantan terlihat akan meninggalkan jejak
yang tidak beraturan dibandingkan babi betina, hal ini dikaitkan dengan
penggunaan gigi dalam mencari makan pada babi jantan (Arini et al., 2018).
3. Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

Gambar 1.3 Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)


(Sumber: Baihaqi et al., 2017)

 Morfologi: Monyet ekor panjang memiliki rambut berwarna cokelat sampai


cokelat kemerahan, memiliki ekor panjang berbentuk bulat silindris yang ditutupi
oleh rambut pendek dengan warna serupa dengan warna rambut pada tubuhnya.
Hidung pada monyet ekor panjang berbentuk datar pada bagian pangkal dan
menyempit pada bagian ujungnya. Monyet ekor panjang bergerak dengan empat
kaki yang digunakan untuk berjalan, melompat dan berpindah dari satu dahan ke
dahan lain,maupun untuk mengambil makanan. Rambut pada bagian kepala dan
sekitar wajah membentuk jambang lebat. Pada monyet yang baru lahir atau
monyet anakan warna rambut bagian kepala berwarna hitam (Juwita & Umami,
2021).
 Biologi: Monyet ekor panjang memiliki sistem reproduksi polygyny di mana jantan
dan betina dapat mempunyai pasangan lebih dari satu. Hewan ini juga hidup
berkelompok dengan sistem multifemale dan multimale, keberhasilan reproduksi
dari spesies ini bergantung pada kondisi fisik monyet tersebut, hirarkinya, juga
faktor lingkungan seperti ketersediaan makanan. (Nabilah et al., 2019).
 Ekologi: Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dapat ditemukan pada
kawasan kanopi hutan, hutan bersungai, kawasan pesisir, mangrove, rawa
maupun hutan wisata. Macaca fascicularis atau monyet ekor panjang adalah jenis
hewan yang hidup berkelompok atau arboreal dengan membentuk koloni-koloni
tertentu dan memiliki batas wilayahnya masing-masing (Anggraini et al., 2019).

4. Kelinci (Orytolagus Cuniculus)

Gambar 1.4 Kelinci (Orytolagus Cuniculus)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
 Morfologi: Kelinci merupakan hewan mamalia yang memiliki telinga panjang,
memiliki bulu yang halus tetapi lebat, memiliki warna yang bermacam-macam
mulai dari warna hitam, abu-abu, kecoklatan, hitam putih, dan lain-lain. Mata
kelinci berbentuk bulat kelonjongan dengan warna kemerahan. Bagian hidung
pada kelinci berbentuk silindris, mempunyai gigi seri di bagian depan yang
digunakan kelinci untuk memotong atau mengunyah rumput. Kelinci memiliki
ukuran kaki depan lebih pendek daripada kaki belakang. Kaki belakang berjari
empat dan kaki depan berjari lima dilengkapi dengan cakar yang kuat. (Yusuf & Al-
Ghizar, 2022). Warna kelinci di pengaruhi oleh spesiesnya (Kaso et al., 2021).
 Biologi: Kelinci berkembang biak dengan cara beranak (vivipar). Umur hidup
kelinci dapat mencapai lima sampai sepuluh tahun dengan umur produktif dua
hingga tiga tahun dan memiliki kemampuan beranak sepuluh kali per tahun.
 Ekologi: Kelinci banyak ditemukan seperti di padang rumput dan lubang-lubang
bawah tanah. Kelinci biasanya hidup di lubang di tanah untuk berlindung dari
predator nya kelinci memiliki kecepatan melompot yang cepat”. Kelinci
digolongkan jenis ternak pseudoruminansia, yaitu herbivora yang tidak dapat
mencerna serat secara baik. Fermentasi hanya terjadi di Caecum yang merupakan
50% dari seluruh kapasitas saluran pencernaan. Kelinci juga mampu melakukan
caecotrophy atau coprophage, yaitu proses memakan kembali faeces di pagi atau
malam hari (Kaso et al., 2021)

5. Landak (Hystrix javanica)

Gambar 1.5 Landak (Hystrix javanica)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Morfologi: Landak adalah hewan pengerat (Rodentia) yang memiliki ciri morfologi
meliputi panjang ekor berukuran antara 6 -13 cm. Bobot tubuh 8 kg dengan
panjang tubuh sekitar 45-73 cm. Landak memiliki dua bentuk rambut, yaitu rambut
halus dan rambut yang mengeras atau dikenal dengan sebutan duri. Satu ekor
Landak Jawa biasanya memiliki sekitar 30.000 duri di seluruh tubuhnya (Haryono
et al., 2019).
 Biologi: Proses reproduksi terjadi beberapa kali sampai landak betina merasa
cukup dan menjauhi si jantan. Kemudian, landak jantan akan pergi dan mencari
pasangan lainnya sementara betina akan menghabiskan tujuh bulan untuk hamil
dan menyusui anaknya selama empat bulan (Anonim, 2020)
 Ekologi: Landak dapat ditemukan di daerah hutan primer, hutan sekunder, dan
perkebunan. Ciri khas landak yaitu apabila merasa terancam, maka landak akan
menegakkan duri-duri yang ada pada tubuhnya sehingga tubuh terlihat lebih besar
(Salviana et al., 2017).
6. Bajing (Ratufa affinis)

Gambar 1.6 Bajing (Ratufa affinis)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Morfologi: Ratufa affinis memiliki panjang tubuh rata-rata 32-35 cm, panjang ekor
160-210 mm, dan berat badan 0,9-1,5 kilogram. Bajing merupakan mamalia
pengerat (ordo Rodentia) dari suku (famili) Sciuridae (Sari et al., 2020). Bajing
memiliki warna bulu kecoklatan pada bagian dorsal dan jingga kemerahan di
bagian ventral serta memiliki moncong yang tidak terlalu panjang bajing relatif
agak rata pada bagian mulut dan hidungnya. Bajing ada yang hidup di tanah juga
ada yang hidup di pohon. Bahkan bajing dari subspesies Pteromyini mampu
terbang (melayang dari atas ke bawah), karena jenis ini mempunyai membran
(selaput tipis) diantara kaki depan dan belakang yang memungkinkan melayang
jauh diantara pepohonan (Alamendah, 2010).
 Biologi: Bajing kawin secara poligami, dimana satu jantan dapat mengawini
maksimal 4 betina. Musim kawin terjadi sepanjang tahun dengan puncaknya di
bulan juni-Agustus, semakin tinggi curah hujan maka semakin sering salwa ini
akan kawin. Betina akan bunting selama 40-48 hari. Pada betina memiliki kelenjar
mammae yang berjumlah dua atau tiga pasang. Dalam berkembangbiak satu
induk betina mampu melahirkan 1-4 ekor anak. Lama waktu hidup yang pernah
tercatat yaitu 9 tahun 7 bulan (Sari et al., 2020).
 Ekologi: Bersifat arboreal, dan dapat ditemukan di perkebunan, semak belukar,
kebun, hutan hujan, dan hutan bakau. Hewan diurnal dan umumnya ditemukan
soliter atau dalam kelompok kecil. Aktivitas mereka biasanya terkait dengan
mencari makan. Seringkali, interaksi antara bajing saling kejar-mengejar (Sari et
al., 2020).

7. Ular Sanca Kembang (Malayopython reticulatus)


Gambar 1.7 Ular Sanca Kembang (Malayopython reticulatus)
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Morfologi: Ular sanca kembang memiliki berat berkisar 1,3 kilogram, dengan
panjang 90-150 cm. Ular merupakan hewan yang tidak memiliki kaki, tidak
memiliki kelopak mata yang sehingga kelopak mata tersebut digantikan oleh suatu
selaput transparan yang berfungsi untuk melindungi mata. Keunikan lain dari sub-
ordo ini yaitu jenis reptil ini memiliki thermosensor, organ perasa (tactile organ)
dan organ Jacobson yang sebagai reseptornya yang sehingga bangsa ular
memiliki penciuman tajam yang peka terhadap sebuah rangsangan kimia di
rongga hidungnya. Sebagian dari bangsa ular memiliki taring bisa yang berfungsi
sebagai pertahanan dan melumpuhkan mangsanya (Maya & Nur, 2021).
 Biologi: Musim kawin terjadi pada bulan Februari-Maret. Berkembangbiak dengan
cara bertelur berjumlah 25-50 butir dengan masa pengeraman 2-3 bulan. Ular
betina akan mengerami telurnya hingga anakan ular sanca kembang menetas dan
keluar dari sarangnya. Ular dapat hidup selama 13-14 tahun lamanya.
 Ekologi: Habibat ular sanca kembang yaitu di hutan, sabana, dan padang rumput.

8. Beluk Ketupa (Ketupa ketupu)

Gambar 1.8 Beluk ketupa (Ketupa ketupu)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Morfologi: Beluk ketupa memiliki berat 1 – 2kg dengan panjang 40 – 50 cm.


rentang sayap beluk ketupa yaitu 69 – 70 cm dan panjang ekor 16 – 18 cm. Beluk
ketupa memiliki bulu yang tebal bewarna coklat dengan coretan hitam dan
pinggiran kuning tua pada tubuh bagian atas, sedangkan bagian bawah bewarna
kuning merah mata dengan coretan hitam tebal. Mata berwarna kuning terang,
paruh abu-abu, dan kaki bewarna kuning (Lewis, 2020).
 Biologi: Musim kawin berlangsing antara bulan Januari-Februari. Berkembang
biak dengan bertelur (ovipar) berjumlah 1 butir dan akan menetas setelah 28-30
hari.
 Ekologi: Beluk ketupa memiliki habitatnya di hutan, hutan mangrove, dan pohon
dekat perairan.
9. Elang bondol (Haliastur indus)

Gambar 1.9 Elang bondol (Haliastur indus)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Morfologi: Elang bondol memiliki ukuran tubuh kurang lebih 45 cm, berwarna
putih dan coklat pirang. Saat dewasa bagian kepala, leher, dan dada berwarna
putih (Putri et al., 2021). Sedangkan sayap, punggung, ekor, dan perut berwarna
coklat terang. Memiliki iris coklat, paruh dan sera abu-abu kehijauan, tungkai dan
kaki kuning suram (Syahputry, 2018)
 Biologi: Musim kawin berlangsung pada musim kemarau bulan Januari-Juli.
Berkembang blok dengan cara bertelur fovipar) berjumlah -4 butir. dengan masa
pengeraman 28-35 hari.
 Ekologi: Elang bondol dapat ditemukan di hutan dan pepohonan didekat perairan
hutan. Elang bondol mampu memakan tangkapannya saat terbang untuk
menghindari pencurian makanan dari burung lain.

10. Kakatua Tanimbar (Cacatua goffiniana)

Gambar 1.10 Kakatua Tanimbar (Cacatua goffiniana)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Morfologi: Kakatua tanimbar memiliki panjang tubuh dari kepala hingga ekor ±32
cm, bulu tubuh berwarna putih dan warna bulu khas pink-salmon di antara mata
dan paruh. Bulu sekeliling telinga berwarna putih pucat. Bagian bawah bulu sayap
dan ekor semburat kuning. Kelopak mata berwarna putih, paruh dan kaki berwarna
abu-abu. Pada jantan iris berwarna cokelat gelap dan pada betina cokelat
kemerah-merahan. Kakatua tanimbar memiliki bentuk paruh bengkok pemakan
biji-bijian dan juga buah-buahan seperti jagung, kacang tanah, kacang almond,
apel dan jeruk (Prijono et al., 2019)
 Biologi: Berkembang blak dengan cara betalur berjumlah 1-2 butir dan akan
menetas selelah 20-30 hari.
 Ekologi: Habitat asli spesies ini adalah hutan tropis/subtropis dataran rendah,
padang rumput, dan terkadang sering di temukan di lahan garapan manusia di
kawasan Wallaceae Kakatua tanimbar merupakan jenis burung kakatua terkecil,
endemik dari pulau Tanimbar, Maluku (Damara et al., 2022).

11. Musang (Paradoxurus hermaphroditus)

Gambar 1.11 Musang (Paradoxurus hermaphroditus)


(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

 Morfologi: Musang luwak termasuk ke dalam famili Viverridae, akan tetapi tidak
termasuk ke dalam golongan karnivora sejati. Berbeda dengan keluarga kucing
yang merupakan karnivora sejati, struktur gigi musang tidak dirancang sebagai
pemangsa yang harus memakan daging sebagai pakan utamanya. Musang Luwak
lebih tepat disebut frugivora dari pada karnivora dalam batasan perilaku
makannya, yaitu akan memilih buah sebagai pakan utamanya selama 6
persediaan masih tersedia dan beralih memangsa vertebrata kecil, reptil, ataupun
serangga disaat terjadi kelangkaan buah-buahan (Wahyuningsih, 2018).
 Biologi: Musang dapat bereproduksi sepanjang tahun dengan rata-rata
melahirkan 2 – 4 ekor anak per tahun. Anak diasuh oleh induk betina. Anak yang
telah lahir diletakkan di dalam lubang pohon atau goa (Wahyuningsih, 2018).
 Ekologi: Musang merupakan mamalia yang aktif pada malam hari (nocturnal).
Habitat pada cekungan pohon menjadi tempat berlindung hewan unik ini, termasuk
celah-celah batu, atau dedaunan lebat. Musang dapat hidup di semak-semak,
hutan sekunder, perkebunan, dan pemukiman manusia. Musang Luwak termasuk
hewan yang bersifat soliter dengan berbagai gaya hidup dan adaptasi, sebagai
contohnya mereka sangat pandai memanjat pohon untuk mencari makan
(Wahyuningsih, 2018).
DAFTAR PUSTAKA

Alamendah. 2010. Bajing dan tupai adalah berbeda. <


https://alamendah.org/2010/01/23/bajing-dan-tupai-adalah-berbeda/>. Diakses
pada 27 Maret 2023.
Anggraini, F., D., Prasetyo, A., P., B., dan Iswari, R., S. 2019. Promoting
children’s conservation awareness of Macaca fascicularis through narrative
video. Unnes Science Educational Journal. 8(3): 1-6.
Anonim. 2020. Proses unik landak kawin, jantan akan basahi betina dengan air seni. <
https://kumparan.com/dasar-binatang/proses-unik-landak-kawin-jantan-akan-
basahi-betina-dengan-air-seni-1tkjYU9BlWD/full>. Diakses pada 27 Maret 2023.
Arini, D. I. D., Kinho, J., Diwi, M. S., Christita, M., Halawane, J. E., Fahmi, M. F., and
Kafiar, Y. 2018. Wildlife diversity for ecotourism at aqua lestari forest park, north
minahasa. Jurnal Wasian. 5(1): 1-14.
Baihaqi, A., Setia, T. M., Sugardjito, J., dan Lorenzo, G. 2017. Penggunaan pohon tidur
monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di hutan lindung Angke Kapuk dan
ekowisata mangrove Pantai Indah Kapuk Jakarta. Al-Kauniyah. 10(1): 35-41.
Damara, K. A., Harianto, S. P., Iswandaru, D., dan Setiawan, A. 2022. Status
perlindungan burung yang diperdagangkan di Kota Bandar Lampung. Jurnal
Belantara. 5(2): 219-231.
Haryono, M., Explotasia, I., Pramon, H., Kristanto, A., Hamidy, A., Achmadi, A. S., dan
Primadian, B. R. 2019. Panduan identifikasi jenis satwa liar dilindungi mamalia.
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, Jakarta.
Juwita, J., dan Umami, M. 2021. Pemanfaatan monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis) sebagai wisata edukasi di Babakan, Sumber, Cirebon. Bio-Lectura:
Jurnal Pendidikan Biologi. 8(2): 129-138.
Kaso, S., Islamiyah, B., dan Cho-I-Rong, C. 2021. Analisis kesalahan morfologi dalam
menulis teks deskripsi siswa Kelas VII MTsN 1 Tulungagung. Jurnal
Mardibasa. 1(1): 1-21.
Lewis, D. 2020. Buffy fish owl (Ketupa ketupu).
<https://www.owlpages.com/owls/species.php?s=1410 >. Diakses pada 28
Maret 2023.
Maya, S., dan Nur, R. A. 2021. Zoologi Vertebrata. Widina Media Utama, Bandung.
Nabilah, H., Sjahfirdi, L., dan Prameswari, W. 2019. Pengaruh kondisi vasektomi
pada perilaku reproduksi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di
Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia Bogor. Jurnal Al-Azhar Indonesia
Seri Sains dan Teknologi. 4(3): 1-8.
Prijono, S. N., Rachmatika, R., dan Sari, A. P. 2018. Komparasi kecernaan protein pada
kakatua tanimbar (Cacatua goffiniana, Finsch 1863) dengan pemberian sumber
protein nabati yang berbeda. Zoo Indonesia. 26(1): 1-13.
Putri, G. X., Suripto, B. A., dan Purwanto, A. A. 2021. Keanekaragaman dan
kemelimpahan burung pemangsa (Raptor) migran yang teramati dari kawasan
bukit 76 Kaliurang,Yogyakarta. Biotropic. 5(1): 1-8.
Rahmanda, S. 2020. Preferensi pakan gajah sumatera (Elephas Maximus Sumatranus)
di conservation response unit (Cru) Trumon Kabupaten Aceh Selatan sebagai
referensi mata kuliah ekologi hewan. UIN Ar-raniry Banda Aceh. Disertasi
Doktor.
Salviana, M., Abdullah, A., and Saputri, M. 2017. Habitat conditions malayan porcupine
(Hystrix brachyura) In captivity Deer park Village Lamtanjong District Of Aceh
And Village Panton Luas South Aceh Regency. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Pendidikan Biologi. 2(1): 1-14.
Sari, R. M., Djong, H. T., and Roesma, D. I. 2020. Morphological variation of plantain
squirrel Callosciurus notatus (Boddaert, 1785)(Rodentia: Sciuridae) population in
West Sumatra, Indonesia. Asian Journal of Forestry. 4(2): 1-7.
Syahputry, M. S. 2018. Keanekaragaman spesies burung pada kawasan ekosistem
Danau Aneuk Laot sebagai referensi tambahan materi keanekaragaman hayati
di sekolah menengah atas Kota Sabang. UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Disertasi
Doktor.
Wahyuningsih, S. 2018. Analisis keragaman morfologi fenotipik musang luwak
(Paradoxurus hermaphroditus) di wilayah Nusa Tenggara Barat sebagai basis
identifikasi variasi genetik. Universitas Muhammadiyah Malang. Disertasi Doktor.
Wickline, K. 2014. "Sus scrofa" (on-line), animal diversity web. <
https://animaldiversity.org/accounts/Sus_scrofa/>. Diakses pada 28 Maret 2023.
Yusuf, M. Y., dan Al-Gizar, M. R. 2022. Teknik manajemen dan pengelolaan hewan
percobaan. Biopress, Makassar.

Anda mungkin juga menyukai